Kamis, 15 Oktober 2009
DE-SAKRALISASI CELANA DALAM
Oleh Imron Supriyadi
Celana dalam, bagi saya, atau juga bagi anda merupakan bagian atribut kebudayaan yang sangat privacy. Sebab, hampir semua orang, jangankan untuk memperlihatkan, untuk menjemur dan membawa dari kamar ke kamar mandi saja, harus sembunyi-sembunyi. Atau paling tidak, diselipkan diantara pakaian lain, sehingga secara kasat mata, atribut yang bentuknya segitiga ini, tidak diketahui oleh banyak orang.
Persoalannya bukan karena celana dalam itu barang curian, tetapi karena atribut ini adalah bagian “simbol kepribadian” yang memang harus dijaga, sejak dari pembungkusnya sampai yang dibungkus.
Atribut yang ‘sakral’
Disisi lain, celana dalam, bagi saya merupakan sesuatu yang amat ‘sakral’. Sebab, selain atribut ini memiliki beberapa rambu-rambu tidak tertulis, tetapi harus ditaati. Pertama, celana dalam berposisi sebagai alat pelindung dari organ tubuh kita yang ‘paling dalam’, sehingga tidak siapapun boleh membuka secara sembarangan, kecuali sudah ada ‘aqad’ yang sah, secara agama dan hukum. Bahkan, seorang dokter-pun harus mengatakan “maaf” terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan terhadap seorang pasien, yang secara kebetulan memiliki penyakit di kawasan itu. Dengan realitas ini, celana dalam adalah salah satu produk kebudayaan, yang pada kenyataannya, bukan saja mengajarkan tentang nilai, tetapi juga menyodorkan sebuah pesan moralitas sosial, sehingga orang tidak bisa sembarangan melihat, memperlihatkan atau membukanya.
Kekejaman Celana dalam
Di zaman Renaisans, celana dalam merupakan atribut, yang digunakan untuk menjaga seorang isteri, agar tidak melakukan perselingkuhan. Pada zaman ini, celana dalam dibuat dari logam, kemudian menempel ketat, sehingga seorang perempuan akan sulit bergerak, sekalipun untuk buang air. Ketika itu, celana dalam, dikenal juga dengan sebutan korset besi, badong dan Pita Venus Pelindung perempuan. Badong pengaman milik wanita yang dikenal sebagai Ratu Prancis ini, terbuat dari ujung gading gajah, yang dikaitkan pada lingkar gelang besi oleh sebuah gesper. Untuk memperketat atau memperlonggarkannya, digunakan semacam penahan bergigi. Lingkar besi itu dibungkus dengan bahan sutera, agar tidak menimbulkan lecet. Lengkung ujung gading itu mengikuti kontur anatomis dan posisinya menutupi bagian kemaluan. Bagian ujung depan yang bercelah dan bergerigi dari alat "penyiksa" itu kini masih bisa disaksikan di Museum de Cluny di Paris.
Inilah realitas, betapa kejamnya pria-pria di zaman Renaisans dan Barock yang memaksa istri-istri mereka memakai pelindung mengerikan itu adalah celana dalam milik Katharina von Medici (1519 -1589). Makna dan tujuan peralatan ini dipakai, hanya untuk menjaga “kehormatan” setiap isteri ketika itu. Dengan kata lain, seorang isteri memang ditempatkan pada posisi yang sangat privacy, sehingga, hanya suaminya saja, yang boleh menyentuh istrinya, karena istri dianggap sebagai "benda" milik pribadi suami. Itulah sebabnya perempuan yang dinikahi sah saja "disimpan" dalam pelindung yang terbuat dari besi.
Kasus ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat biasa. Para kalangan atas juga tidak bebas dari celana dalam kejam ini. Charlotte Aglae, putri Herzog von Orleans, yang terkenal sebagai wanita tercantik di zamannya, datang ke Italia untuk menikah dengan Herzog von Modena. Dia harus tunduk pada peraturan setempat, sehingga harus juga mengenakan pelindung seram itu. (intisari : 1998)
Ternyata, celana dalam logam ini, bukan saja ada pada zaman renaisans. Sebab zaman jahiliyah, celana dalam logam juga memiliki peran yang sama, yaitu untuk melindungi perempuan dari jamahan laki-laki. Sebab, zaman jahiliyah para perempuan banyak yang ditinggal perang, sehingga untuk melindungi mereka dari ulah para laki-laki zaman itu, celana dalam logam dipakai oleh hampir setiap perempuan.
Celana dalam versi Mbah Rowo
Sementara itu, realitas lain menyebutkan, di ujung desa, di puncak sebuah gunung, celana dalam justeru dijadikan sebagai alat penglaris dalam jual beli soto ayam. Inilah yang dilakukan oleh Mbah Rowo, salah satu tokoh supranatural di kepulauan Jawa Tengah.
**
Jika melihat realitas tentang celana dalam (G-string) pada saat ini, ada semacam de-sakraliasi terhadap celana dalam. Di awal tulisan, saya sebut celana dalam merupakan atribut yang sangat privacy. Tidak semua orang bisa melihat dan tidak sembarang orang bisa membukanya. Tetapi pada akhir-akhir ini, saya atau juga anda, tidak akan terlalu sulit untuk melihat atribut yang sebelumnya saya sebut sangat privacy itu. Betapa tidak? Belakangan, diantara sekian banyak perempuan justru sedang merasa tidak gaul, kalau tidak memakai stelan rok / celana ketat dan kaos oblong minim yang memang pas-pasan, sehingga jika badan menunduk sedikit, maka akan terlihatlah warna celana dalam yang sedang dikenakannya. Trend ini bukan saja melanda di kalangan remaja, tetapi juga menimpa di kalangan perempuan setengah baya. Yang lebih ironis lagi, ada beberapa perempuan yang notabene sudah menutupi diri dengan jilbab, tetapi masih juga mengenakan kaos oblong yang minim. Akibatnya, nasib celana dalam yang berjilbab, sama saja dengan yang tidak berjilbab.
Anehnya lagi, hampir setiap perempuan yang mengenakan pakaian minim ini, selalu berusaha menutupi pinggangnya dengan menarik-narik kaos oblongnya, agar celana dalamnya tidak terlihat. Tetapi logika apa yang kemudian terbersit dari rumah? Kalau memang tidak ingin celana dalamnya terlihat atau sengaja diperlihatkan, kenapa mesti memakai kaos dan rok yang minim? Apakah ini juga bagian dari proses menjual celana dalam, sebagaimana difungsikan sebagai penglaris “Soto Ayam” seperti Mbah Rowo?
Realitas ini, sebagai bukti adanya pergeseran pemahaman nilai sakral terhadap celana dalam. Di satu sisi, celana dalam adalah symbol dari ‘kehormatan’ perempuan dan laki-laki. Tetapi disisi lain, ada de-sakralisasi celana dalam. Ini terlihat, disaat celana dalam sudah bukan lagi menjadi atribut yang mesti dilindungi dari penglihatan orang banyak, justeru sebaliknya. Ingin dilihat banyak orang. Kata Orang, datang tampak pusat, pergi tampak celana dalam, begitulah sekarang orang membuat sebuah idiom terhadap “murahnya celana dalam”.
Potret kebudayaan diatas, menggambarkan adanya sikap yang bertentangan (paradok), antara tuntutan penghargaan terhadap perempuan dan realitas penampilan perempuan. Pada bagian lain, sekelompok perempuan mengkampayekan soal hak-hak perempuan. Tetapi dibagian lain, ada sekelompok perempuan, yang sepertinya melihat celana dalam sudah bukan lagi menjadi barang atau atribut yang harus ditutup-tutupi, malah sebaliknya, celana dalam menjadi atribut yang memang layak dilihat oleh semua orang.
Bagi Agus Romdani, Ketua Litbang UKMBS Universitas Lampung, realitas ini, sebenarnya bagian dari akibat berbagai macam perubahan, baik konflik vertikal maupun horizontal yang meliputi persaingan elit, friksi-friksi, konflik antar lembaga politik maupun kerusuhan-kerusuhan yang mengguncang Indonesia. Sehingga, megakibatkan adanya pergeseran nilai, norma sebagai patokan dalam berfikir, bertindak dan berprilaku. Sebab, menurut Romdani, penurunan standar nilai dalam berprilaku tentu akan bermuara pada perubahan karakter, sifat, watak bangsa. Konsekuensinya, ketika sekelompok perempuan, sudah menanamkan sifat semau gue, maka selanjutnya yang akan mengemuka adalah bagaimana kelompoknya bisa tampil beda dengan yang lain.
Namun yang pasti, realitas celana dalam, menurut saya bukan satu akibat dari struktur sosial yang diwariskan, namun sebagai sikap keresahan secara psikologis, sehingga secara sadar atau tidak, telah ada usaha untuk memunculkan pola budaya baru, sekalipun itu merusak mentalitas dan moralitas bangsa. Dan celakanya kadang perubahan budaya itu tiada disadari berjalan, mengalir, bergerak tanpa arah yang jelas, carut marut dan akhirnya membawa sampah- sampah busuk dan luka-luka yang parah. **
Palembang, 2007
TEOLOGI MATI LAMPU
Oleh Imron Supriyadi
Suatu ketika, di Er-Te saya sedang mendapat giliran mati lampu. Dan sebelumnya, PLN memang sudah memberitahu tentang giliran mati lampu ini, sekalipun, tidak jarang pemberitahuan itu melenceng dari jadwal. Nah, menurut jadwal giliran, seharusnya malam itu di Er-te saya tidak mendapat giliran mati lampu. Oleh karena meleset dari jadwal itulah, kemudian beberapa warga uring-uringan, marah-marah, kesal dan lain sebagainya.
Tetapi di sisi lain, saya juga melihat, beberapa warga keluar dari rumah, menuju warung membeli lilin, ada juga yang tandhang kerumah tetangga, dan berkumpul, sambil menunggu hidupnya lampu, sambil ngobrol dan bercengekarama.
Saya tidak tahu persis, anda masuk di bagian mana. Apakah anda masuk ke kelompok yang marah-marah dan kesal, atau masuk kelompok orang yang biasa saja menghadapi mati lampu.
Nah, kalau kita mau jujur, dari peristiwa mati lampu, sebenarnya ada nilai yang mungkin selama ini tidak pernah kita pikirkan, tetapi justeru muncul di saat mati lampu. Mungkin, selama ini kita selalu disibukkan oleh bermacam aktifitas kantor atau pekerjaan keseharian. Sehingga, sepulang dari kantor, anda tidak pernah melakukan tandhang atau silaturahmi ke para tetangga, karena sudah terlalu lelah dengan pekerjaan satu hari penuh. Demikian juga, oleh karena kita sering berbelanja di Supermarket, anda pun sangat jarang membeli lilin di warung tetangga, yang mungkin membutuhkan keuntungan dari tangan kita.
Inilah yang saya katakan, dari mati lampu, ada nilai yang mungkin selama ini kita lupakan. Sebab, dari mati lampu, dalam masing-masing warga tiba-tiba muncul semangat kebersamaan untuk berkumpul dengan tetangga, berbagi kesejahteraan dengan warung sebelah dengan membeli lilin, atau bahkan kita pun memiliki emosi yang serupa, yaitu kekesalan terhadap musuh yang sama yaitu : mati lampu.( baca; kegelapan). Kenapa di saat mati lampu kemudian kita berkumpul, mengerubungi lilin atau lampu minyak? Atau kenapa pula di saat mati lampu kita kemudian lebih memilih mencari teman ngobrol, ketimbang tidur-tiduran di dalam kamar sendirian? Apalagi alasannya, kalau bukan karena anda, saya dan kita tidak menginginkan adanya kegelapan.
Tetapi, semangat kebersamaan dan menyatu dalam satu gerakan emosi, dalam konteks mati lampu, tidak pernah kita petik, untuk tetap kita lestarikan dalam kedirian kita. Kita sering merasa, selama ini tidak menginginkan rumah kita gelap, tetapi kita sering berdiam diri di kamar masing-masing. Setelah kegelapan itu hadir di depan mata, kita baru tersadar, bahwa kita sedang berada dalam kegelapan.
Mati lampu, ternyata bukan sekedar mendorong kita untuk sebatas marah terhadap PLN, tetapi ada nilai yang mesti dikdepankan, semangat kebersamaan, untuk melawan kegelapan. Apakah kegelapan di rumah kita, kegelapan di dalam dada kita, di dalam hati nurani kita atau bahkan kegelapan dalam sistem bangsa dan ketatanegaraan kita. Mestikah kita membiarkan kegelapan, jika kita bisa membeli lilin dan mengumpulkan kayu bakar dalam satu “ikatan api” kebersamaan untuk melawan kegelapan?**
Palembang, 2002
RONDA UNTUK SI TUAN POLAN
Cerpen Imron Supriyadi
Matahari baru saja tenggelam di ufuk barat. Jam menunjukkan pukul 17. 00 WIB. Aku baru saja masuk rumah. Di ruang keluarga berukuran 4 x 6 m2, anak dan isteriku sedang asyik menonton televisi.
”Ayah aru alek awe ya?”, Caca, anakku menyambut riang, dengan bahasa masih cadel. Maklum, Caca baru berumur 1 tahun 8 bulan.
”Ada jadwal ronda untuk ayah”, Kata isteriku, sambil menyodorkan lembaran beserta lampirannya. Kubaca kalimat per kalimat. Di akhir lampiran jadwal, Camat, Lurah, Danramil, Kapolsek, Kepala Lingkungan dan ketua RT tertera di lembaran itu. Tidak tangung-tanggung. Semua unsur Muspika kecamatan membubuhkan tanda tangan. Aku tidak tahu persis, apa birokrasi di kecamatan tempat aku tinggal memang seperti ini? Sebagai orang baru, aku memang masih buta dengan situasi birokrasi di perkampungan seperti sekarang. Atau karena beberapa instansi terkait tidak mengerti adminstrasi, siapa yang mesti tanda tangan? Kalau hanya sekedar jadwal ronda tingkat RT, mestikah semua unsur Muspika bertanda tangan? Entahlahlah. Aku juga tidak ingin mencari jawabannya. Toh, aku tidak punya kewenangan mengatur mereka. Sesaat, aku hanya ada perasaan lucu saja, ketika melihat berkas jadwal ronda, yang dibubuhi tanda tangan semua unsur Muspika. Kali ingin tampil beda ya? Betapa kepercayaan dan kepedulian masyarakat kita, sudah sedemikian rapuh, sehingga untuk membangun kepercayaan sebuah program harus dibubuhi tanda tangan seluruh aparat pemerintah? Tidak cukupkah ketua RT dan Lurah, atau kepala lingkungan setempat?
Kondisi birokrasi di perkampungan seperti tempat aku tinggal sekarang, memang jauh berbeda dengan kota yang sebelumnya aku singgahi selama 15 tahun. Di perkampungan yang jauh dari pusat kota tempat aku tinggal, terkesan masih feodalistik. Semua unsur, sejak dari ketua pengurus masjid sampai Camat, harus mengetahui program kelompok masyarakat yang hendak dilakukan. Sampai program sekolah, setingkat Taman Kanak-Kanak (TK), harus melibatkan Camat setempat. Termasuk jadwal ronda di tingkat RT saja, semua unsur Muspika seolah wajib tanda tangan. Aduh, feodalis banget!
Mungkin, di tahun mendatang, di kampungku juga harus ada aturan main, bagi warga yang hendak membuang hajat ke kamar kecil, sebelumnya mesti izin lebih dulu dan meminta tanda tangan kepada ketua RT dan jajarannya. Sehingga, air seni atau tinja yang keluar bisa dipertanggungjawabkan kepemilikannya.
Adzan maghrib berkumandang. Tapi aku tidak berjamaah di masjid. Sebab, di rumah aku berkewajiban menjadi imam bagi anak dan isteriku. Untuk beberapa kalangan, masjid mungkin tempat satu-satunya untuk menggali pahala menuju sorga. Tapi buatku tidak. Masjid bukanlah bangunan menjulang tinggi yang dilengkapi dengan kubah mengkilat yang diatasnya ada tulisan ”Allah”. Tetapi masjid adalah dimana kita bersujud, tempat dimana kita menundukkan kepala dan membentangkan sajadah, semua itu adalah masjid. Termasuk di rumah kontrakanku sekarang. Kami lebih memilih mendirikan masjid di dalam rumah. Di rumah kontrakan kami, atau di dalam rumah sanubari kami.
”Malam ini, ayah mulai ronda”, Isteriku mengingatkan.
Aku tak begitu peduli. Aku lebih asyik bercengkrama dengan Caca dan boneka kesayagannya. Tapi, masih juga aku sahuti;
”Malam ini aku minta ganti saja. Bilang sama Pak RT, aku banyak kerjaan. Malam ini aku harus menyelesaikan surat menyurat ke Kabupaten tentang usulan subsidi guru”.
”Oi, Yah. Ini pertama kali. Ndak lemak samo tetanggo. Apo uji wong agek”, isteriku protes.
”Mereka itu tidak tahu dengan kesibukanku. Yang mereka tahu, aku ini kerja sejak pagi, pulang sore, kemudian malam istirahat. Tentang pekerjaan lain pada malam hari di kantor, mereka jelas tak mau tahu”.
”Justeru karena itu, Yah, makanya ayah harus ronda!” iseriku mendesak.
”Bayar sajalah sepuluh ribu sebagai uang denda”, Kataku ringan.
Isteriku mungkin merasa tidak enak dengan sikapku. Ia khawatir, kalau-kalau orang-orang sekitar akan menilai negatif terhadapku, hanya karena aku tak memenuhi jadwal ronda malam itu. Apalagi kami termasuk warga baru.
”Aku atau ayah yang ke Pak RT?”
”Bunda sajalah. Aku malas”.
Karena rumah Pak RT letaknya hanya tiga rumah dari rumah kontrakanku, maka sebentar saja, isteriku sudah kembali.
”Hari ini boleh idak ronda. Tapi jadwal berikutnya harus ronda”, isteriku berpidato lagi.hhhh! ia tampa kesal.
**
Satu pekan berlalu. Tiba saatnya aku kembali mendapat jadwal ronda. Kali ini, aku benar-benar berada di luar kota. Sehingga, aku punya alasan untuk tidak ronda malam itu. Tepat malam jatah aku harus ronda, aku masih di Tangerang untuk urusan yayasan tempat aku bekerja. Terpaksa, hari itu isteriku harus kembali ke rumah Pak RT, untuk minta izin, sekaligus membayar uang denda 10 ribu rupiah.
”Ayah ndak ronda lagi malam kemarin. Ndak lemak kalau bayar terus. Sekali-sekali ronda, ndak rugi kan?.
”Iya..ya...malam berikutnya aku ronda. Malam kemarin kan aku masih di Tangerang, jadi ya ndak bisa ronda”. Argumentasiku sekali ini telak. Isteriku terdiam.
Sejak pergantian ketua Rt baru ini, di kampungku memang sedang digalakkan ronda malam. Katanya untuk meningkatkan keamanan masyarakat. Tapi menurut cerita banyak orang, hampir 25 tahun lebih, di kampungku tempat aku tinggal sekarang, tidak pernah terjadi pencurian. Padahal, potensi pencurian di kampungku sangat banyak peluangnya. Betapa tidak? Di beberapa ruas jalan, atau di lapangan sepak bola, hampir tiap malam ada puluhan sapi yang berkeliaran, atau berkumpul di sebuah kubangan untuk bercengkrama sebangsa mereka. Kalau berniat mencuri satu sapi saja, rasanya tidak terlalu sulit. Toh, sapi di kampungku dilepas begitu saja. Hanya beberapa warga saja yang bersedia mengadangkan di rumah. Itu pun setelah ada pemberlakuan Perda hewan ternak.
Tapi tingkat kesibukan buruh tambang seperti di kampungku, seakan sudah banyak menyita energi dan pikiran. Belum lagi di desak oleh jadwal kerja rutin perusahaan, dari siang, pagi sore dan malam. Sehingga tumpukan kelelahan ini, kemudian tak memberikan kesempatan warga setempat untuk melakukan sesuatu diluar profesionalitas mereka sebagai buruh tambang. Termasuk menuntut hak-hak buruh yang acap kali ditindas-pun juga enggan. Apalagi mencuri. Kalaupun harus mencuri, paling-paling sambil pulang membawa bongkahan batubara yang masih mentah, untuk bahan bakar di rumah. Tapi itupun tak bisa dikatakan mencuri. Sebab, Batubara yang dibawa ke rumah, rata-rata bukan Batubara kelas Antrasit, batubara kelasnya paling bagus kualitasnya. Yang mereka bawa Batubara ”sampah” yang sudah tidak layak produksi. Maka siapapun boleh mengambil untuk bahan bakar di rumah. Ini juga katanya kok!
Situasi aman seperti di kampungku, rasanya tidak perlu ada ronda malam. Tetapi baru satu tahun tinggal di rumah kontrakan, dalam sistem pemerintahan tingkat RT-ku secara tiba-tiba, terjadi restrukturisasi. Persis seperti reshuffle yang dilakuan pemerintahan SBY dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Tetapi, karena ini hanya pergantian pengurus RT, jadi tak banyak menimbulkan perdebatan di kalangan warga, apalagi di partai politik.
Minggu, 13 Mei 2007. Tiba saatnya aku dapat jatah ronda. Malam ini aku harus mencari alasan untuk tidak ronda lagi. Sebab, isteriku malam ini pasti akan kembali menyerangku. Tapi, apa mungkin aku beberkan sedetil-detilnya, kenapa selama ini aku menolak untuk ronda? Aku memutar otak beberapa kali, mencari argumentasi untuk menangkal serangan isteriku.
”Jangan lupo, malam ini ayah ada jadwal ronda”.
Tepat dugaanku. Isteriku menyerang lagi.
Aku diam. Acara televisi yang menyiarkan Indonesian Movie Awards 2007, sepertinya lebih menarik, ketimbang mendebatkan persoalan ronda malam.
“Yah, la jam berapo ini. Berangkatlah ronda!”.
Aku masih diam.
“Ndak lemak yah. Kito ni warga baru disini. Kalau di Palembang, mungkin idak apo. Wong masih ngerti dengan kesibukan ayah. Kalau disini ndak biso yah”.
Aku bangkit. Lembaran jadwal ronda dan surat dari Kabupaten yang ditembuskan ke Kelurahan kusodorkaan kepada isteriku.
Isteriku hanya menatap tajam.
”Tolong Bunda baco surat perintah ronda ini, dari awal sampai akhir”.
”Ngapo memang?”
”Baco dulu. Baru aku jelaske”.
Karena isteriku sudah baca sebelumnya. Sebentar saja langsung berkomentar.
”Ndak katek yang aneh. Isinyo cuma pemberitahuan dari kabupaten ke semua kelurahan dan RT untuk melakukan ronda malam”.
Aku merapat dengan isteriku.
”Cubo Bunda baco jelas-jelas, kemudian pahami kalimat surat ini”.
”Sehubungan dengan akan dilangsungkannya Pilkada di Kabupaten 2008, maka bersama ini kami memerintahkan kepada seluruh kecamatan, kelurahan sampai di tingkat desa dan RT, untuk melaksanakan ronda malam. Tujuannya untuk mengamankan dan menjaga stabillitas menjelang Pilkada....”.
”Bunda Paham?!”
”Yo!. Ronda ini dilakukan karena menjelang Pilkada 2008”.
”Betul. 100 untuk Bunda. Inilah yang menyebabkan aku enggan ikut ronda”.
”??????”, Isteriku mengernyitkan kening. Sorotnya matanya masih menyimpan seribu tanya, apa hubungan ronda malam dengan keenggananku ikut jadwal ronda.
”Bunda. Ini kan jelas. Ronda ini dilakukan bukan berdasar pada kesadaran kultural. Tetapi struktural. Bupati minta kepada rakyat. Bukan Rakyat minta kepada Bupati. Artinya, ronda ini hanya untuk mengamankan Pilkada. Kalau untuk mengamankan dan menyuseskan Pilkada, ya otomatis untuk menjaga pejabat agar aman dari amuk masa bagi yang tidak setuju dengan Kepala Daerah yang terpilih”.
”Jadi”?
”Ya, program ronda ini bukan untuk mengamankan masyarakat, tapi untuk pejabat yang terlibat langsung atau tidak dalam proses Pilkada nanti”.
”Jadi menurut Ayah, perintah ini salah?”
”Bukan salah. Tapi belum benar. Sebab, program apapun yang dikeluarkan pemerintah kabupaten dan dibawahnya, seharusnya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pejabat”.
”Tapi dalam Pilkada kan melibatkan rakyat secara langsung?!”
”Ya pada saat menjelang Pilkada seperti ini, rakyat dilibatkan. Setelah terpilih, apa rakyat ditoleh lagi? Kan tidak. Persis dengan para anggota dewan kita itu lho. Sebelumnya, waktu jadi ustadz, ayat kursi yang dibaco. Setelah jadi anggota dewan, kursinyo be yang dibawa, ayatnyo entah kemano”.
”Sekarang di kampung kita, masyarakat disuruh ronda malam. Katanya untuk mengantisipasi adanya provokator. Katanya, agar masyarakat tidak resah. Sebenarnya, yang resah itu bukan rakyat, tapi para pejabat yang punya kepentingan untuk memperbutkan kursi kepala daerah. Kalau rakyat, ayah pikir tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti ini”.
”Wah, masyarakat kita jadi komunitas yang apolitis dong!”
”Itu hak. Selama sikap dan mentalitas pengelola negeri ini lebih banyak meminta kepada rakyat, dan bukan memberi, maka rakyat akan tetap apolitis. Termasuk meminta rakyat untuk ronda malam, agar mereka bisa tidur nyenyak, sampai Pilkada tiba, ini juga membuat muak rakyat. Seharusnya pejabat yang ronda malam, agar rakyat bisa aman dari lapar. Aman dari jeratan tingginya harga beras dan tidur nyenyak...”.
”Alasan itu, yang membuat ayah menolak ronda malam?”
”Yap!”. Pendek saja aku menjawab.
”Kalau itu alasannya, berarti ayah tidak mungkin akan mengikuti jadwal ronda ini. Ngomong be malas, yah”.
”Bukan itu masalahnya, Bunda”.
”Jadi?!”
”Selama, perintah ronda ini hanya untuk mengamankan pejabat. Dengan mengucap bismilah, ayah 100 persen menolak. Sebab, yang perlu pengamanan, kesejukan, kesejahteraan itu rakyat, bukan pejabat. E, sekarang malah ngemis ke rakyat, minta pengamanan dengan ronda malam. Mestinya tunaikan dulu kewajibannya sebagai pejabat : melayani rakyat. Bukan malah sebaliknya, minta dilayani. Makanya, sebelum Bupati dan jajarannya merubah isi surat itu, ayah tetap tolak untuk ronda. Sebab ayah bukan anjing pejabat, yang siap menjaga siang dan malam tidurnya si tuan Polan”.
Isteriku agak kesal malam itu.
Acara Indonesian Movie Awards 2007 sudah usai. Caca juga sudah tidur 30 menit lalu. Kudekap isteriku erat. Hujan diluar masih mengguyur. Detak jantung isteriku jadi tidak teratur. Aku tahu bahasa itu. Kubisikkan ditelinganya ; Sekarang, lebih baik kita ronda berdua saja. Apalagi diluar hujan. (*)
Tanjung Enim, 13 Mei 2007
Selasa, 13 Oktober 2009
PANGGIL AKU, PAHLAWAN PENGHIANAT
Cerpen Imron Supriyadi
Ribuan, bahkan jutaan manusia memenuhi Taman Pemakaman Umum (TPU) di Desa Sukamenang. Sebuah Desa yang berada di ujung Negeri Indonesia. Puluhan orang yang menggotong keranda kematian, saling silang untuk mengganti sudut pemikul keranda. Mereka berharap dapat mencatat jasa terakhir untuk kematianku, walau hanya sebatas mengangkat jenazahnya.
Maklum, aku adalah aktifis yang selalu membela hak orang lain. Dari abang becak, tukang ojek, mahasiswa, buruh, TKW, pedagang kakilima hingga pekerja seks komersial alias lonthe. Kini mereka datang untuk kali terakhir; mengantarkan jasadku untuk kemudian dikubur bersama cerita semasa di dunia.
Aku terbunuh dalam sebuah becak, saat aku hendak pulang. Bukan karena becak yang kutumpangi tertabrak mobil. Tetapi karena aku minum air mineral yang belakangan diketahui sudah dimasuki racun air seni seorang pengidap HIV/AIDS. Virusnya secara cepat kemudian menjalar ke sekujur tubuhku, hingga aku terkulai lemas diatas becak tak berdaya. Persis seorang laki-laki terkena HIV/ AIDS atau seperti penis impotent yang tak mampu menembus liang vagina karena ia sudah menjadi benang basah. Lemas. Lunglai. Tak berdaya. Akhirnya aku mati sebelum sampai di Rumah Sakit.
Aku sudah dimasukkan ke dalam liang lahat. Gelap. Tak ada lampu. Apek. Sebentar lagi cacing mulai keluar bersamaan dengan malaikat penyiksa kubur. “Hiii, ngeri,” tiba-tiba ada perasaan takut menyusup. Padahal jauh sebelum aku terbaring di dalam kubur tak ada yang kutakutkan. Dari pangkat Jenderal Hansip sampai Jenderal Satpam berbintang kejora tak membuatku surut kebelakang. Aksi demo sudah ratusan kali aku pimpin. Terakhir aku hanya mampu membawa massa 500 orang, karena ongkos dari donatur tak cukup untuk membayar para demonstrans. Uang 1 juta rupiah aku terima. Sementara sebelum pergi aku harus meninggalkan uang bagi anak dan isteriku 500 ribu rupiah. Itu pun belum masuk biaya susu, bayar lampu, air dan kontrakan rumah. Tapi cukuplah untuk satu pekan aku bernapas sambil mencari proyek lain yang bisa aku jual di dalam atau ke luar negeri. Ya, aku belajar seperti LSM profesional yang acapkali menjadi agen asing di negeri ini.
Kaki-kaki para pelayat terdengar sedang memadatkan tanah pemakaman. Kali ini mereka injak-injak aku. Padahal waktu aku masih hidup, jangankan menginjakku, untuk bertatapan saja tidak berani. Mereka semua adalah sahabatku. Dulu mereka sering aku bagi uang kalau aku sedang mendapat proyek demo. Atau ada program luar negeri guna mendata jumlah kemiskinan di Desa Sukamenang lalu aku kirim ke luar negeri. Dalam satu pekan saja proposal tembus 150 juta. Dahsyaat, Men! Tetapi sekarang?! Mereka juga yang kini menginjakku. Tapi aku yakin, ini bukan didasari kebencian. Bagaimana mungkin mereka benci terhadapku, sementara mereka banyak belajar dariku tentang apa saja. Tentang membuat daftar kehadiran palsu untuk laporan ke donatur luar negeri agar jumlahnya pas dengan anggaran. Belum lagi, aku juga mengajari mereka membuat stempel rumah makan, catering snack agar mudah untuk membuat kuitansi. Dalam teknologi, kuajari mereka program photoshop. Mereka kemudian lihai memanipulasi foto pertemuan di komunitas kaum urban pada sebuah perkampungan kumuh, lalu aku selipkan fotoku seolah aku sedang berada di tengah-tengah mereka. Padahal foto dan kehadiranku palsu. Dengan ragam ilmu yang mereka dapat, tentu mereka menginjakku kali ini bukan atas dasar kebencian.
Aku sudah lima menit terbaring dibawah papan penutup mayat. Tapi derai tangis kaum kerabatku masih terdengar jelas dari dasar kubur. Suaranya gemuruh. Sesekali menderu tidak teratur seperti derum mesin mobil yang terjebak macet. Sebagian lagi suaranya agak tersendat seperti mesin kendaraan kehabisan bensin. Di ujung makam suaranya rada samar. Yang terdengar hanya kalimat ; Almarhum masih mempunyai tanggungan hutang!
“Aduh, sial! Itukan urusan nanti setelah pemakamanku selesai. Lagi pula itu kan bisa ditagih pada ahli warisku! Jangan diatas taman pemakaman, lah! Mestinya kalian doakan aku, agar aku bisa mendapat keringanan pengadilan kubur! Bukan malah menagih hutang!,” aku mengumpat kesal pada sekelompok tukang cetak sablon tempat aku memesan kaos dan stiker yang belum lunas aku bayar.
Tetesan air mata dari sejuta pasang mata terus mengalir. Ia tak bisa terbendung sebagaimana luapan lumpur Lapindo Brantas di Jawa Timur. Berapa gulung tisu dan kain harus menyeka derai air mata kaum kerabat, tetapi ia tak sanggup menghalau luapan emosi embun yang menggumpal menembus kornea dan membasahi pipi. Ini sama dengan upaya tim penyelamat lumpur lapindo yang memasukkan ratusan bola baja ke dalam lobang luapan lumpur, tetapi masih gagal juga karena memang Tuhan ingin mematahkan logika dan teori manusia.
Suara sepatu, sandal dan terompah perlahan kian menjauh. Ini berarti para pelayat sudah tujuh langkah meninggalkanku. Sebentar lagi malaikat akan datang mengadiliku. Aku harus bersiap diri. Tapi disini aku tidak ada pengacara, seperti ketika aku ditahan karena ribuan abang becak bentrok dengan aparat menolak pemberlakuan SIM Becak di Kota Palembang. Pengadilan kubur tak kenal dengan suap atau jual beli seperti orang tua membelikan nilai anaknya karena tidak naik kelas. Negosiasi harga tidak berlaku disini. Tidak seperti calon pegawai negeri sipil yang harus menyuap 15 juta agar SK CPNS-nya segera turun.
Aku juga tidak bisa memalsukan data seperti camat yang menyuruh para kepala desa untuk memadatkan jumlah orang miskin agar jatah Bantuan Langsung Tunai (BLT) bisa melebihi jatah sehingga para aparat juga mendapat bagian. Ini murni catatan malaikat. Tapi malaikat hanya mencatat hal-hal yang fisik saja. Kalau soal kata hati, hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku agak berbesar hati. Kalau saja akan ada data yang dikonfrontir antara data keburukan fisik dan keburukan batin. Menurutku jumlahnya fifty-fifty. Tetapi entahlah menurut catatan Tuhan. Aku memang harus menunggu. Boleh jadi ada selisih jumlah kebaikan dan keburukan antara Tuhan dan malaikat. Sama dengan pemberitaan kriminal seorang wartawan yang salah akibat wartawan tidak melakukan ferifikasi ke lokasi kejadian. Karena hanya nongkrong di pos polisi, data yang ditulis tidak akurat. Tapi mungkinkah catatan malaikat tidak akurat seperti wartawan yang menulis berita dengan “jurnalisme katanya?” semua kuserahkan saja pada Tuhan. Toh, menurut Kiai Majid, malaikat juga mahluk sama dengan manusia yang keduanya juga ciptaan Tuhan. Tak perlu aku bergantung pada mahluk. Aku hanya wajib berserah diri pada yang menciptakan mahluk: Tuhan!. Dalam posisi ini aku tidak mungkin lagi menduakan Tuhan. Ini musyrik! Ujar Kiai Majid suatu kali.
“Hei! Siapa kau?!” sebuah pertanyaan berada tinggi terdengar dari sebelah ruang kubur. Aku tergeregap. Kutatap matanya. Tapi tak jelas. Hanya samar-samar aku bisa melihat rona yang rada seram. Sepertinya orang ini tidak kenal aku. Aku ini mantan demonstrans yang tak takut pada siapapun. Tak boleh penghuni kubur ini seenaknya saja bertanya dengan membentak padaku. Kau pikir aku ini siapa? Kucoba untuk melawannya. Kudekati hingga hindungku hampir bersentuhan, seperti orang pacaran yang malu-malu ciuman takut ada yang mengintip.
“Kau pasti orang Batak? Atau orang Sumsel?” selidikku.
“Ah, Rasis kali, kau,” jawabnya.
“Nah, asli! Kalau dengar logat dan dialek bicaranya, kau pasti orang Batak,” aku berbesar hati karena bertemu dengan penghuni makam dari satu daerah. Ya, paling tidak sama-sama dari Sumatra.
Tak lama kami bicara, banyak lagi berdatangan mayat yang kemudian menyapaku. Puluhan bahkan ratusan mayat dengan kondisi badan sesuai dengan umur mereka masing-masing kemudian mengenalkan dirinya terhadapku. Dari sekian banyak mayat, aku memang terlihat agak lebih mentereng dan perlente dibanding mereka. Kalau melihat wajah dan kulit, mereka dari kalangan orang miskin. Tetapi sebagian mereka seperti aku kenal sebelumnya. Tapi dimana? Aku mulai menerka-nerka. O, iya sebagian mereka adalah orang miskin yang pernah aku bela!
“Kau, siapaaa?!” suara ini lebih keras dari sebelumnya. Suara itu ditingkahi suara gemuruh dengan nada yang sama. Gendang telingaku hampir pecah. Belum sempat aku menutup rapat telinga, sebuah cengkraman kuat memegang tengkuk belakang. “blug!” aku dipindahkan dari kerumunan para mayat. Kini aku berada d tengah-tengah mereka. Semua mayat menatapku tajam. Aku terduduk. Salah satu diantara mereka mendekatiku. Sedikit-sedikit aku menggeser posisiku. Aku seperti sedang menjadi stunmen film Suster Ngesot yang dibintangi Nia Ramadhani.
“Kaukah pahlawan demokrasi itu?” pertanyaaannya agak lembut. Tapi matanya menyimpan dendam. Bola matanya seperti mau keluar. Mulutnya seperti Singa yang sudah dua minggu tidak bertemu rusa. Tapi cengkeramannya dilepaskan. Aku kemudian bisa membenahi tali pocong kepala yang lepas. Tanganku juga mengusap-usap kain bagian bokongku yang mulai basah. Ternyata sumber air itu berasal dari arah depan. Ini berarti aku ngobrok, terkencing di tempat tanpa sengaja akibat ketakutan.
“O, iya. Aku ini banyak disebut orang pahlawan demokrasi,” jawabku setengah berbangga. Aku sedikit bergeser. Pantatku dingin. Air mulai berkecipak di bagian bawah tempat dudukku. Mataku melirik ke beberapa mayat untuk menunjukkan kalau aku ini pahlawan demokrasi, pembela kaum urban yang tertindas. Tertindas oleh apa saja! Kapitalisme atau represi kekuasaan.
“Apa yang telah kau lakukan sehingga kau tidak menolak disebut pahlawan demokrasi?!” nadanya tetap meninggi. Tapi agak berubah intonasinya kali itu. Namun jelas, dari getaran suaranya menyimpan kekesalan. Aku mulai mengatur emosi. Jangan-jangan aku tengah dijebak. Aku lama bergelut dalam permainan politik, jadi aku harus membaca dari arah yang berlawanan. Aku harus menggunakan teori berpikir memutar. Tidak bisa aku memahami kalimat per kalimat dengan kacamata kuda. Ini bahaya kalau-kalau ada serangan pertanyaan dari arah lain.
“E, anu. Bukan aku, tapi mereka yang menyebutku pahlawan demokrasi. Aku hanya menerima saja, kok!” aku meluruskan, agar tidak terlalu berisiko.
“Tahu, kenapa kau disebut pahlawan demokrasi?!” selidik suara itu.
“Ya, karena aku telah memperjuangkan hak-hak orang miskin, mahasiswa, pedagang kakilima dan kaum urban lainnya?” jawabku apa adanya.
“Orang miskin kau perjuangkan haknya, lalu datanya kau jual ke luar negeri guna mendapat dana bantuan asing dengan alasan pemberdayaan kaum miskin! Iya?!”
“Plar! Plar!” beberapa kali cambukan seketika menghunjam. Aku mengerang kesakitan. Aku mengusap bagian belakang tubuhku. Kain kafan sobek. Sebuah luka terasa pedih. Tapi ia tak mengeluarkan darah. Jantung sepertinya sudah tak kuat lagi memompa keberfungsian darah. Luka tak berdarah memang lebih pedih dibanding berdarah. Sama dengan orang menahan lapar dan haus bagi kaum miskin. Ia tak berdarah. Tetapi rasanya lebih pedih dari pada menahan luka akibat terkena sebilah pisau. Luka tanpa darah itu menyayat hingga ke lubuk hati. Ini yang sering membuat orang menjadi gelap mata dan melakukan apa saja akibat dendam. Ya, dendam lapar yang demikian panjang. Sehingga akibat lapar dan kehausan bisa membuat orang berbuat apa saja termasuk membunuh. Tenaga menahan lapar harus menguras air mata, hingga akhirnya dehidrasi akibat di dalam tubuhnya tak lagi ada cairan. Benar, kemiskinan dan kelaparan adalah perang yang yang tidak pernah mengenal kata terlambat. Satu detik saja lambat, ia akan mati.
“Blug! Plak! Plak!” hunjaman bogem mentah dan tamparan datang bertubi-tubi. Aku merasakan Mike Tyson sedang menyentak rahang dengan hock kiri. Sakit. Mataku berkunang-kunang. Tapi tak ada wasit yang menghitung dari nomor satu sampai sepuluh hingga aku mampu berdiri. Kali ini benar-benar knock out!
“Kau bawa kami melakukan protes mengatasnamakan hak asasi manusia dan demokrasi. Tetapi kau bawa nama kami untuk biaya sewa kantor, kontrak rumah dan gaji para aktifis! Kau jual negeri ini dengan dalih demokrasi! Masih juga kau mengaku pahlawan demokrasi?!” tak bisa aku berkata lagi saat kemudian sebuah tendangan kuat memapas keras tepat dimukaku. Aku tersungkur. Sementara kaki-kaki penghuni kubur makin mendekat. Inikah pengadilan Tuhan? Atau dendam dunia yang belum terbalas sehingga mereka baru bisa mengadiliku di alam barzah?
“Sebentar. Beri aku ruang untuk berargumen,” aku mencoba mengatur napas. “Sebaiknya, masalah ini kita bicarakan baik-baik. Kekerasan cukup di dunia saja. Ini adalah pintu menuju alam mahsyar, sehingga kita harus menciptakan kedamaian di alam barzah,” kucoba meredakan emosi mereka.
“Aku memang mendapat dana dari luar negeri. Tapi semua ini aku lakukan demi tegaknya demokrasi. Tidak untuk menjual negara, men! Mereka tidak pernah menyelipkan pesan-pesan politik untuk merusak kedaulatan. Mereka hanya ingin....”
“Plak! Plak!” tamparan lagi-lagi menghunjam keras. Tetesan air liur terasa asin. Ini pertanda ada gigi yang mulai patah atau mulut bagian dalam ada yang robek. Tapi darah tak juga memerah. Hanya lendir kecoklatan yang menetes.
“Kau ingat! Sejarah bangsa ini sudah dimulai oleh keterlibatan asing menjatuhkan Soekarno. Dan kau, yang mengaku pahlawan demokrasi memilih sekolah keluar negeri dengan biaya asing, lalu mereka menjadikan kamu sebagai agen mereka di negeri ini. Masihkah kau akan mengaku kalau kau adalah pahlawan demokrasi!” suara itu getarannya sampai menembus dinding taman pemakaman. Beberapa butir tanah sempat berguguran walau tidak membuatku tertimbun.
“Orang-orang semacam kalian yang telah mengajarkan demokrasi. Tetapi kalian juga yang membuat kami tidak bisa membedakan antara demokrasi dan anarki. Kalian tawarkan nilai-nilai yang sama sekali tidak membuat negeri ini mandiri. Malah sebaliknya, manusia semacam kalianlah yang tengah menyiapkan bangsa ini untuk terus menerus dijajah! Kau dan teman-teman kalianlah yang telah menjual negara ini demi keuntungan pribadi!”
“Tapi ini untuk proses pencerdasan, men! Bukan untuk menggangu stabilitas kedaulatan nasional? Bener!” kucoba meyakinkan mereka.
“Masih juga kau akan mengelak! Coba kalian pikir. Bagaimana wajah bangsa ini dimata internasional sudah tidak lagi punya martabat karena semua aib bangsa ini kalian jual di mata internasional. Kau hujat bangsa ini diluar negeri, sementara kau dan teman-teman kalian masih makan dan minum di negeri ini?! Bukankah kau inilah yang sebenarnya pahlawan penghianat!” nada geram campur dendam kian dahsyat. Tak bisa lagi aku membedakan antara hunjaman malaikat dan para mayat. Semua menghujaniku dengan tendangan dan kekerasan lainnya. Aku pingsan.
Di sepertiga malam aku terbangun. Badanku terasa remuk redam. Leher seperti dibebani besi satu ton, hingga untuk menoleh pun aku tak sanggup. Suasana masih gelap. Orang-orang tak lagi berkerumun seperti sebelumnya. Sebuah bandul berat yang melingkar dileherku. Ada untaian rantai dengan kayu besar menindihku. Sebuah tulisan jelas diguratan kayu. Ia terbuat dari api. Berkobar seperti hendak membakarku. “Kau adalah pahlawan penghianat, men,” api itu kemudian menjalar dalam tubuhku membakar semua kain kafan, membakar seluruh badan dan isi perutku. Ruangan kubur menjadi kobaran api yang panas. Mataku hanya menatap hitam pekat. Dalam bilik jantungku aku hanya berucap. Tuhan, maafkan aku telah menjual negara. “Sudah terlambat. Sory, taubatmu tertolak, men,” Tuhan menjawab dengan bahasa gaul. (*)
Tanjung Enim, 15 September 2008 M
15 Ramadhan 1429 H
Ribuan, bahkan jutaan manusia memenuhi Taman Pemakaman Umum (TPU) di Desa Sukamenang. Sebuah Desa yang berada di ujung Negeri Indonesia. Puluhan orang yang menggotong keranda kematian, saling silang untuk mengganti sudut pemikul keranda. Mereka berharap dapat mencatat jasa terakhir untuk kematianku, walau hanya sebatas mengangkat jenazahnya.
Maklum, aku adalah aktifis yang selalu membela hak orang lain. Dari abang becak, tukang ojek, mahasiswa, buruh, TKW, pedagang kakilima hingga pekerja seks komersial alias lonthe. Kini mereka datang untuk kali terakhir; mengantarkan jasadku untuk kemudian dikubur bersama cerita semasa di dunia.
Aku terbunuh dalam sebuah becak, saat aku hendak pulang. Bukan karena becak yang kutumpangi tertabrak mobil. Tetapi karena aku minum air mineral yang belakangan diketahui sudah dimasuki racun air seni seorang pengidap HIV/AIDS. Virusnya secara cepat kemudian menjalar ke sekujur tubuhku, hingga aku terkulai lemas diatas becak tak berdaya. Persis seorang laki-laki terkena HIV/ AIDS atau seperti penis impotent yang tak mampu menembus liang vagina karena ia sudah menjadi benang basah. Lemas. Lunglai. Tak berdaya. Akhirnya aku mati sebelum sampai di Rumah Sakit.
Aku sudah dimasukkan ke dalam liang lahat. Gelap. Tak ada lampu. Apek. Sebentar lagi cacing mulai keluar bersamaan dengan malaikat penyiksa kubur. “Hiii, ngeri,” tiba-tiba ada perasaan takut menyusup. Padahal jauh sebelum aku terbaring di dalam kubur tak ada yang kutakutkan. Dari pangkat Jenderal Hansip sampai Jenderal Satpam berbintang kejora tak membuatku surut kebelakang. Aksi demo sudah ratusan kali aku pimpin. Terakhir aku hanya mampu membawa massa 500 orang, karena ongkos dari donatur tak cukup untuk membayar para demonstrans. Uang 1 juta rupiah aku terima. Sementara sebelum pergi aku harus meninggalkan uang bagi anak dan isteriku 500 ribu rupiah. Itu pun belum masuk biaya susu, bayar lampu, air dan kontrakan rumah. Tapi cukuplah untuk satu pekan aku bernapas sambil mencari proyek lain yang bisa aku jual di dalam atau ke luar negeri. Ya, aku belajar seperti LSM profesional yang acapkali menjadi agen asing di negeri ini.
Kaki-kaki para pelayat terdengar sedang memadatkan tanah pemakaman. Kali ini mereka injak-injak aku. Padahal waktu aku masih hidup, jangankan menginjakku, untuk bertatapan saja tidak berani. Mereka semua adalah sahabatku. Dulu mereka sering aku bagi uang kalau aku sedang mendapat proyek demo. Atau ada program luar negeri guna mendata jumlah kemiskinan di Desa Sukamenang lalu aku kirim ke luar negeri. Dalam satu pekan saja proposal tembus 150 juta. Dahsyaat, Men! Tetapi sekarang?! Mereka juga yang kini menginjakku. Tapi aku yakin, ini bukan didasari kebencian. Bagaimana mungkin mereka benci terhadapku, sementara mereka banyak belajar dariku tentang apa saja. Tentang membuat daftar kehadiran palsu untuk laporan ke donatur luar negeri agar jumlahnya pas dengan anggaran. Belum lagi, aku juga mengajari mereka membuat stempel rumah makan, catering snack agar mudah untuk membuat kuitansi. Dalam teknologi, kuajari mereka program photoshop. Mereka kemudian lihai memanipulasi foto pertemuan di komunitas kaum urban pada sebuah perkampungan kumuh, lalu aku selipkan fotoku seolah aku sedang berada di tengah-tengah mereka. Padahal foto dan kehadiranku palsu. Dengan ragam ilmu yang mereka dapat, tentu mereka menginjakku kali ini bukan atas dasar kebencian.
Aku sudah lima menit terbaring dibawah papan penutup mayat. Tapi derai tangis kaum kerabatku masih terdengar jelas dari dasar kubur. Suaranya gemuruh. Sesekali menderu tidak teratur seperti derum mesin mobil yang terjebak macet. Sebagian lagi suaranya agak tersendat seperti mesin kendaraan kehabisan bensin. Di ujung makam suaranya rada samar. Yang terdengar hanya kalimat ; Almarhum masih mempunyai tanggungan hutang!
“Aduh, sial! Itukan urusan nanti setelah pemakamanku selesai. Lagi pula itu kan bisa ditagih pada ahli warisku! Jangan diatas taman pemakaman, lah! Mestinya kalian doakan aku, agar aku bisa mendapat keringanan pengadilan kubur! Bukan malah menagih hutang!,” aku mengumpat kesal pada sekelompok tukang cetak sablon tempat aku memesan kaos dan stiker yang belum lunas aku bayar.
Tetesan air mata dari sejuta pasang mata terus mengalir. Ia tak bisa terbendung sebagaimana luapan lumpur Lapindo Brantas di Jawa Timur. Berapa gulung tisu dan kain harus menyeka derai air mata kaum kerabat, tetapi ia tak sanggup menghalau luapan emosi embun yang menggumpal menembus kornea dan membasahi pipi. Ini sama dengan upaya tim penyelamat lumpur lapindo yang memasukkan ratusan bola baja ke dalam lobang luapan lumpur, tetapi masih gagal juga karena memang Tuhan ingin mematahkan logika dan teori manusia.
Suara sepatu, sandal dan terompah perlahan kian menjauh. Ini berarti para pelayat sudah tujuh langkah meninggalkanku. Sebentar lagi malaikat akan datang mengadiliku. Aku harus bersiap diri. Tapi disini aku tidak ada pengacara, seperti ketika aku ditahan karena ribuan abang becak bentrok dengan aparat menolak pemberlakuan SIM Becak di Kota Palembang. Pengadilan kubur tak kenal dengan suap atau jual beli seperti orang tua membelikan nilai anaknya karena tidak naik kelas. Negosiasi harga tidak berlaku disini. Tidak seperti calon pegawai negeri sipil yang harus menyuap 15 juta agar SK CPNS-nya segera turun.
Aku juga tidak bisa memalsukan data seperti camat yang menyuruh para kepala desa untuk memadatkan jumlah orang miskin agar jatah Bantuan Langsung Tunai (BLT) bisa melebihi jatah sehingga para aparat juga mendapat bagian. Ini murni catatan malaikat. Tapi malaikat hanya mencatat hal-hal yang fisik saja. Kalau soal kata hati, hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku agak berbesar hati. Kalau saja akan ada data yang dikonfrontir antara data keburukan fisik dan keburukan batin. Menurutku jumlahnya fifty-fifty. Tetapi entahlah menurut catatan Tuhan. Aku memang harus menunggu. Boleh jadi ada selisih jumlah kebaikan dan keburukan antara Tuhan dan malaikat. Sama dengan pemberitaan kriminal seorang wartawan yang salah akibat wartawan tidak melakukan ferifikasi ke lokasi kejadian. Karena hanya nongkrong di pos polisi, data yang ditulis tidak akurat. Tapi mungkinkah catatan malaikat tidak akurat seperti wartawan yang menulis berita dengan “jurnalisme katanya?” semua kuserahkan saja pada Tuhan. Toh, menurut Kiai Majid, malaikat juga mahluk sama dengan manusia yang keduanya juga ciptaan Tuhan. Tak perlu aku bergantung pada mahluk. Aku hanya wajib berserah diri pada yang menciptakan mahluk: Tuhan!. Dalam posisi ini aku tidak mungkin lagi menduakan Tuhan. Ini musyrik! Ujar Kiai Majid suatu kali.
“Hei! Siapa kau?!” sebuah pertanyaan berada tinggi terdengar dari sebelah ruang kubur. Aku tergeregap. Kutatap matanya. Tapi tak jelas. Hanya samar-samar aku bisa melihat rona yang rada seram. Sepertinya orang ini tidak kenal aku. Aku ini mantan demonstrans yang tak takut pada siapapun. Tak boleh penghuni kubur ini seenaknya saja bertanya dengan membentak padaku. Kau pikir aku ini siapa? Kucoba untuk melawannya. Kudekati hingga hindungku hampir bersentuhan, seperti orang pacaran yang malu-malu ciuman takut ada yang mengintip.
“Kau pasti orang Batak? Atau orang Sumsel?” selidikku.
“Ah, Rasis kali, kau,” jawabnya.
“Nah, asli! Kalau dengar logat dan dialek bicaranya, kau pasti orang Batak,” aku berbesar hati karena bertemu dengan penghuni makam dari satu daerah. Ya, paling tidak sama-sama dari Sumatra.
Tak lama kami bicara, banyak lagi berdatangan mayat yang kemudian menyapaku. Puluhan bahkan ratusan mayat dengan kondisi badan sesuai dengan umur mereka masing-masing kemudian mengenalkan dirinya terhadapku. Dari sekian banyak mayat, aku memang terlihat agak lebih mentereng dan perlente dibanding mereka. Kalau melihat wajah dan kulit, mereka dari kalangan orang miskin. Tetapi sebagian mereka seperti aku kenal sebelumnya. Tapi dimana? Aku mulai menerka-nerka. O, iya sebagian mereka adalah orang miskin yang pernah aku bela!
“Kau, siapaaa?!” suara ini lebih keras dari sebelumnya. Suara itu ditingkahi suara gemuruh dengan nada yang sama. Gendang telingaku hampir pecah. Belum sempat aku menutup rapat telinga, sebuah cengkraman kuat memegang tengkuk belakang. “blug!” aku dipindahkan dari kerumunan para mayat. Kini aku berada d tengah-tengah mereka. Semua mayat menatapku tajam. Aku terduduk. Salah satu diantara mereka mendekatiku. Sedikit-sedikit aku menggeser posisiku. Aku seperti sedang menjadi stunmen film Suster Ngesot yang dibintangi Nia Ramadhani.
“Kaukah pahlawan demokrasi itu?” pertanyaaannya agak lembut. Tapi matanya menyimpan dendam. Bola matanya seperti mau keluar. Mulutnya seperti Singa yang sudah dua minggu tidak bertemu rusa. Tapi cengkeramannya dilepaskan. Aku kemudian bisa membenahi tali pocong kepala yang lepas. Tanganku juga mengusap-usap kain bagian bokongku yang mulai basah. Ternyata sumber air itu berasal dari arah depan. Ini berarti aku ngobrok, terkencing di tempat tanpa sengaja akibat ketakutan.
“O, iya. Aku ini banyak disebut orang pahlawan demokrasi,” jawabku setengah berbangga. Aku sedikit bergeser. Pantatku dingin. Air mulai berkecipak di bagian bawah tempat dudukku. Mataku melirik ke beberapa mayat untuk menunjukkan kalau aku ini pahlawan demokrasi, pembela kaum urban yang tertindas. Tertindas oleh apa saja! Kapitalisme atau represi kekuasaan.
“Apa yang telah kau lakukan sehingga kau tidak menolak disebut pahlawan demokrasi?!” nadanya tetap meninggi. Tapi agak berubah intonasinya kali itu. Namun jelas, dari getaran suaranya menyimpan kekesalan. Aku mulai mengatur emosi. Jangan-jangan aku tengah dijebak. Aku lama bergelut dalam permainan politik, jadi aku harus membaca dari arah yang berlawanan. Aku harus menggunakan teori berpikir memutar. Tidak bisa aku memahami kalimat per kalimat dengan kacamata kuda. Ini bahaya kalau-kalau ada serangan pertanyaan dari arah lain.
“E, anu. Bukan aku, tapi mereka yang menyebutku pahlawan demokrasi. Aku hanya menerima saja, kok!” aku meluruskan, agar tidak terlalu berisiko.
“Tahu, kenapa kau disebut pahlawan demokrasi?!” selidik suara itu.
“Ya, karena aku telah memperjuangkan hak-hak orang miskin, mahasiswa, pedagang kakilima dan kaum urban lainnya?” jawabku apa adanya.
“Orang miskin kau perjuangkan haknya, lalu datanya kau jual ke luar negeri guna mendapat dana bantuan asing dengan alasan pemberdayaan kaum miskin! Iya?!”
“Plar! Plar!” beberapa kali cambukan seketika menghunjam. Aku mengerang kesakitan. Aku mengusap bagian belakang tubuhku. Kain kafan sobek. Sebuah luka terasa pedih. Tapi ia tak mengeluarkan darah. Jantung sepertinya sudah tak kuat lagi memompa keberfungsian darah. Luka tak berdarah memang lebih pedih dibanding berdarah. Sama dengan orang menahan lapar dan haus bagi kaum miskin. Ia tak berdarah. Tetapi rasanya lebih pedih dari pada menahan luka akibat terkena sebilah pisau. Luka tanpa darah itu menyayat hingga ke lubuk hati. Ini yang sering membuat orang menjadi gelap mata dan melakukan apa saja akibat dendam. Ya, dendam lapar yang demikian panjang. Sehingga akibat lapar dan kehausan bisa membuat orang berbuat apa saja termasuk membunuh. Tenaga menahan lapar harus menguras air mata, hingga akhirnya dehidrasi akibat di dalam tubuhnya tak lagi ada cairan. Benar, kemiskinan dan kelaparan adalah perang yang yang tidak pernah mengenal kata terlambat. Satu detik saja lambat, ia akan mati.
“Blug! Plak! Plak!” hunjaman bogem mentah dan tamparan datang bertubi-tubi. Aku merasakan Mike Tyson sedang menyentak rahang dengan hock kiri. Sakit. Mataku berkunang-kunang. Tapi tak ada wasit yang menghitung dari nomor satu sampai sepuluh hingga aku mampu berdiri. Kali ini benar-benar knock out!
“Kau bawa kami melakukan protes mengatasnamakan hak asasi manusia dan demokrasi. Tetapi kau bawa nama kami untuk biaya sewa kantor, kontrak rumah dan gaji para aktifis! Kau jual negeri ini dengan dalih demokrasi! Masih juga kau mengaku pahlawan demokrasi?!” tak bisa aku berkata lagi saat kemudian sebuah tendangan kuat memapas keras tepat dimukaku. Aku tersungkur. Sementara kaki-kaki penghuni kubur makin mendekat. Inikah pengadilan Tuhan? Atau dendam dunia yang belum terbalas sehingga mereka baru bisa mengadiliku di alam barzah?
“Sebentar. Beri aku ruang untuk berargumen,” aku mencoba mengatur napas. “Sebaiknya, masalah ini kita bicarakan baik-baik. Kekerasan cukup di dunia saja. Ini adalah pintu menuju alam mahsyar, sehingga kita harus menciptakan kedamaian di alam barzah,” kucoba meredakan emosi mereka.
“Aku memang mendapat dana dari luar negeri. Tapi semua ini aku lakukan demi tegaknya demokrasi. Tidak untuk menjual negara, men! Mereka tidak pernah menyelipkan pesan-pesan politik untuk merusak kedaulatan. Mereka hanya ingin....”
“Plak! Plak!” tamparan lagi-lagi menghunjam keras. Tetesan air liur terasa asin. Ini pertanda ada gigi yang mulai patah atau mulut bagian dalam ada yang robek. Tapi darah tak juga memerah. Hanya lendir kecoklatan yang menetes.
“Kau ingat! Sejarah bangsa ini sudah dimulai oleh keterlibatan asing menjatuhkan Soekarno. Dan kau, yang mengaku pahlawan demokrasi memilih sekolah keluar negeri dengan biaya asing, lalu mereka menjadikan kamu sebagai agen mereka di negeri ini. Masihkah kau akan mengaku kalau kau adalah pahlawan demokrasi!” suara itu getarannya sampai menembus dinding taman pemakaman. Beberapa butir tanah sempat berguguran walau tidak membuatku tertimbun.
“Orang-orang semacam kalian yang telah mengajarkan demokrasi. Tetapi kalian juga yang membuat kami tidak bisa membedakan antara demokrasi dan anarki. Kalian tawarkan nilai-nilai yang sama sekali tidak membuat negeri ini mandiri. Malah sebaliknya, manusia semacam kalianlah yang tengah menyiapkan bangsa ini untuk terus menerus dijajah! Kau dan teman-teman kalianlah yang telah menjual negara ini demi keuntungan pribadi!”
“Tapi ini untuk proses pencerdasan, men! Bukan untuk menggangu stabilitas kedaulatan nasional? Bener!” kucoba meyakinkan mereka.
“Masih juga kau akan mengelak! Coba kalian pikir. Bagaimana wajah bangsa ini dimata internasional sudah tidak lagi punya martabat karena semua aib bangsa ini kalian jual di mata internasional. Kau hujat bangsa ini diluar negeri, sementara kau dan teman-teman kalian masih makan dan minum di negeri ini?! Bukankah kau inilah yang sebenarnya pahlawan penghianat!” nada geram campur dendam kian dahsyat. Tak bisa lagi aku membedakan antara hunjaman malaikat dan para mayat. Semua menghujaniku dengan tendangan dan kekerasan lainnya. Aku pingsan.
Di sepertiga malam aku terbangun. Badanku terasa remuk redam. Leher seperti dibebani besi satu ton, hingga untuk menoleh pun aku tak sanggup. Suasana masih gelap. Orang-orang tak lagi berkerumun seperti sebelumnya. Sebuah bandul berat yang melingkar dileherku. Ada untaian rantai dengan kayu besar menindihku. Sebuah tulisan jelas diguratan kayu. Ia terbuat dari api. Berkobar seperti hendak membakarku. “Kau adalah pahlawan penghianat, men,” api itu kemudian menjalar dalam tubuhku membakar semua kain kafan, membakar seluruh badan dan isi perutku. Ruangan kubur menjadi kobaran api yang panas. Mataku hanya menatap hitam pekat. Dalam bilik jantungku aku hanya berucap. Tuhan, maafkan aku telah menjual negara. “Sudah terlambat. Sory, taubatmu tertolak, men,” Tuhan menjawab dengan bahasa gaul. (*)
Tanjung Enim, 15 September 2008 M
15 Ramadhan 1429 H
BU, IZIN AKU SEKOLAH DI DALAM WC
Cerpen Imron Supriyadi
Namaku Ibnu Hajar. Tapi orang lebih suka memanggilku dengan nama singkat ; Benu, alias : B-E-En-U, Benu. Panggilan yang sebenarnya tidak terlalu rela kudengar. Tapi, sepertinya, orang lebih enak menyebut Benu, ketimbang harus memanggilku dengan Ibnu.
Sekali lagi, namaku Ibnu, kenapa menjadi Benu? Ah, dasar memang! Sepertinya, realitas kita memang sudah memicu orang semaunya memilih jalan hidup, termasuk memanggil atau menyebut nama orang.
Sekedar satu detik untuk mengatup bibir pada huruf 'b' saja sudah tidak mau, apalagi untuk melakukan perubahan. Ah, wajar saja kalau kemudian banyak orang terdidik untuk memilih hidup dengan logika lompat katak.
"Logika lompat katak?" tanya Ibu pada suatu ketika.
"Iya, Bu,"
"Apa itu?"
"Ya, kenyataan kita saat ini, Bu. Hidup mau enak, punya uang banyak, pakaian mau bagus, tetapi kerja keras tidak mau. Akhirnya menjalani hidup selalu potong kompas, menyuap, menyogok, membunuh, merampok. Dan Anehnya, Bu. Hidup seperti katak ini bukan saja dilakoni oleh orang bawah, tetapi juga para atasan kita."
"Ah, masa begitu, Nak?"
"Bener, Bu!" Jawabku meyakinkan.
"Kalau tidak percaya, nih Ibu Baca koran pagi ini. Politik Uang marak, menjelang Pemilihan Walikota. Dan ada lagi Bu, Menjelang Suksesi, Gubernur bagi-bagi uang Siluman."
"Lho, itu kan demi kebaikan, Nak."
"Ya, kebaikan untuk LPJ-nya. Besok atau Lusa, kita dibuatnya lapar lagi, Bu. Itu sama saja potong kompas, sama seperti hidupya katak. Lompat sana-lompat sini. Jadi mereka itu, Bu, tak ubahnya seperti katak."
"Hus, jaga mulutmu!" Hardik Ibuku rada marah.
Ibu, kembali merajut kain.
Aku masih bercerita tentang apa saja, yang aku suka. Namaku masih Ibnu, dipanggil orang dengan Benu!.
Tahun 80-an, aku tinggalkan sekolah. Padahal, kata orang, sekolahku adalah bagian dari penjara suci di negeri ini. Tapi aneh, tempat-tempat yang selama ini kuanggap suci, sakral, atau orang-orang yang kuangap tak pantas melakukan tindakan kekerasan dan keji, justeru telah mengguruiku menjadi manusia amoral.
Bagaimana tidak? sejak sekolah, guruku sudah mengajari aku dengan kekerasan. Memukul, menjemur, menendang, bahkan salah seorang teman ada yang tangannya disundut rokok, hanya gara-gara lupa mengerjakan Pe-er.
"Puih! Sekolah macam apa itu!" Aku mengumpat.
Makanya, sejak ia keluar sekolah, temanku itu, sampai sekarang, menjadi manusia pendendam, suka melakukan kekerasan terhadap teman sendiri. Kalau ini yang terus terjadi, berarti, sekolah hanya akan menciptakan manusia yang siap akan menjajah manusia lain. Ini tidak boleh terjadi. Kita harus merdeka dari penindasan siapapun. Guru, pejabat atau presiden sekalipun tidak boleh dan tidak berhak menjajah siapapun. Kalau semut saja bisa menggigit, kenapa aku harus diam?
Masih tahun 80-an. Aku keluar dari asrama, yang dianggap orang-orang sebagai penjara suci itu. Bukan lantaran aku tidak lagi butuh Tuhan, atau karena aku berniat untuk memprotes kebijakan Tuhan, tetapi justeru karena para guru di sekolahku telah keluar dari aturan Tuhan.
Tahun kedua, menjelang aku keluar, di sekolahku sudah dibangun ratusan kamar VIP. Kamar ini diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya, yang sudah tentu hidup serba enak dan tidak siap hidup susah di asrama. Belum lagi satu tahun berjalan, di sekolahku sudah terjadi kelompok-kelompok, antara kaya dan miskin. Antara penghuni kamar VIP dan penghuni kamar kelas gembel sepertiku. Bahkan, di dalam kelas-pun, murid-murid menjadi terbelah-belah. Barisan penghuni kamar VIP berbanjar dengan VIP. Sebaliknya penghuni kelas gembel berbanjar dengan kelas gembel. Padahal Tuhan tak membeda-bedakan antara satu sama lain.
"Oi, kalian tak perlu berpisah-pisah seperti itu. Disini kita sama, dia makan nasi, kita makan nasi, tidak ada yang berbeda," Teriakku suatu kali saat istirahat siang, tanpa berniat sama sekali untuk meng-identifikasi diri sebagai Tuhan.
Tapi, aku hanya sendiri.
Hanya beberapa kawan saja yang ikut mendukung aksi protes, untuk segera menutup kamar VIP. Bahkan sikap bersama, dari Wali murid kelas gembel yang menolak kamar VIP, tak juga merubah sistem di sekolahku. Kesenjangan antara kelas VIP dan kelas gembel terus terjadi. Sentimen psiklogis dan juga jurang materi tak bisa dihindarkan, bahkan makin menular kemana-mana. Muncullah di sekolahku dua buah kantin. Kantin VIP dan kantin sederhana.
Ternyata, sekolahku makin detik makin parah. Dan pagi usai shalat subuh, aku kabari Ibu bahwa aku tidak lagi sekolah.
"Bu, aku ingin sekolah di dalam WC."
"Ah, macam-macam saja kamu, Nak! Kenapa mesti di WC, sekolah lain kan
banyak?"
"Iya, Bu. Sekolah lain mungkin tak jauh berbeda. Ada kesenjangan. Ada perkelahian. Ada suap menyuap untuk menambah nilai, atau masih saja ada penjajahan manusia atas manusia. Tanpa ada buku, guru mengancam tidak meluluskan ujian. Dan di sekolah, guru bukan manusia yang disegani lagi, tetapi menjadi monster yang menakutkan, seperti boneka jaelangkung."
"Lantas apa yang akan kau peroleh, jika sekolah di dalam WC?".
"Di WC, aku temukan persamaan hak antara si gembel dengan pejabat, Bu. Tak akan ada yang berak mengeluarkan emas atau perak, tapi tai, t-a-i. Ya semua, bukan kelas gembel atau pejabat, semua t-a-i."
"Terus, selain itu, di dalam WC, tidak akan lagi kutemukan kesejangan miskin atau kaya. Sejak kelas pinggiran sampai kelas presiden, tak ada yang berak sambil berdiri, semua jongkok atau duduk."
Ibu sesaat tersenyum.
"Ada-ada saja kau ini, Nak."
"Kenapa Ibu mesti tersenyum, ini kenyataan lho, Bu.".
"Iya, Ibu tahu, tapi kok kedengaranya lucu."
"Memang Bu, ini lucu bagi siapa saja yang tidak pernah berpikir filosofi di dalam WC."
Ibu makin tertawa;
"WC kok dibuat Filosofi."
"Lho, kenapa tidak, Bu. Aku masih ingat Bu, apa yang Ibu katakan, Nak jadikan setiap mahluk itu guru, dan setiap tempat itu sekolah. Makanya, di dalam WC-pun aku akan sekolah."
Ibuku makin penasaran, kenapa aku memilih sekolah di dalam WC. Dan saat itu, aku belum tahu benar, apakah Ibu mengizinkanku atau tidak.
"Supaya Ibu tahu, kenapa aku meminta izin sekolah di dalam WC, karena di dalam WC aku merasa terdidik untuk disiplin. Sebab aku tidak akan berlama-lama melamun di dalam WC, kalau mamang aku selesai membuang tai. Sebab, Ibu pernah bilang, Nak, hidup ini tidak akan selesai dengan lamunan. Oleh sebab itu, Bu, aku juga tidak mau berlama-lama di dalam WC. Itu namanya disiplin Bu"
"Karena alasan itu, lalu kau ingin sekolah di dalam WC?"
"Ada lagi, Bu! Di dalam WC, aku dididik untuk tidak menciptakan fitnah. Sebab, setiap aku selesai berak, aku kan harus membersihkan kotoran. Ini artinya sama seperti yang pernah Ibu katakan padaku, Nak jangan sebarkan kotoran dan fitnah dimanapun kamu bermukim."
"Dan terakhir, Bu. Ini yang mungkin tidak pernah dirasakan banyak orang."
"Apa itu?"
"Di dalam WC, aku menemukan kebesaran Tuhan.".
"Hei, kenapa Tuhan kau bawa-bawa dalam WC!"
Ibuku agak tersinggung.
"Jangan marah dulu, Bu. Ibu kan pernah bilang, Tuhan menebar pelajaran dimana-mana. Dan menurutku, di dalam WC pun, Tuhan sedang memberi simbol kebesaran-Nya."
Sesaat, Ibu menghentikan merajut kain.
Keningnya mengerut. Pertanda Ibu masih penuh tanda tanya. Aku menggeser lalu lebih mendekat dari posisi Ibu.
"Begini, Bu, aku tidak bisa membayangkan, berapa besar biaya untuk berobat bagi orang yang dalam tiga hari tidak bisa berak. Akan berapa juta rupiah harus dikeluarkan, jika aku ini tidak bisa mengeluarkan tai dari dalam perut! Makanya, setelah selesai berak, aku ingat kata-kata ibu, Nak sering-sering bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Dan buatku, satu hari bisa berak satu kali saja adalah bagian kebesaran Tuhan yang patut kunikmati dan kusyukuri. Itulah, Bu, kenapa aku saat ini memilih untuk sekolah di dalam WC. Di WC kutemukan kedamaian, tidak ada protes, tidak ada suap menyuap, tidak ada pertengkaran, yang ada hanya kerelaan untuk duduk sesaat, membuang kotoran, demi kesehatan tubuh kita."
"Ibu tidak setuju!"
Aku terperanjat.
"Kenapa, Bu, Kenapa?!"
"Jangan kau sekolah di dalam WC, tapi masuklah ke dalam Kakus."
Aku masih binggung
"Apa bedanya WC dengan kakus Bu."
"WC ada di setiap tempat termasuk di hotel-hotel dan rumah-rumah mewah,
sementara kakus hanya ada di dusun dan pinggir sungai.".
"Maksud, Ibu?"
"Nak, di dalam WC itu ada tisu, ada mesin pengering tangan, ada sabun, ada sikat dan peralatan moderen, yang banyak diproduksi oleh para pemilik modal.".
"Lalu?"
"Jangan kita tergantung pada para pemilik modal itu hanya gara-gara soal aksesoris WC. Makanya, kalau kamu sekolah di dalam WC, nanti akan lupa dengan kedamaian dan kebebasan kakus yang keluar dari ketergantungan. Modalnya hanya penutup kain dan jongkok, lain tidak."
"Supaya tidak tergantung dengan peralatan WC, aku harus bagaimana, Bu?"
"Ya, rebut pabriknya dan kuasai!"
"Lalu?!"
"Lalu bangun dan tebar kakus di setiap tempat, dan ajari mereka bagaimana membuat alat pembersih kakus. Kalau itu sudah kau rebut, nak, tak akan ada lagi penjajahan manusia atas manusia, tak ada lagi ketergantungan kita pada pemilik modal, kita akan mendiri, dan tidak akan ada lagi kesenjangan. Yang ada hanya kedamaian, sama seperti kedamaian kita di dalam kakus."
Aku kaget mendengar ajaran Revolusi WC dari Ibuku.
Aku baru sebatas menyerap Filosofi WC. Tapi Ibuku sudah sampai pada Revolusi WC. Tiba-tiba perutku mual.
"Aduh Bu, perutku, perutku."
Ibuku terperanjat. Ia meletakkan jahitannya. Ia menatapku khawatir.
"Kenapa perutmu, Nak?"
"Aku...aku kebelet Bu. Aku mau ke WC, eh... ke kakus Bu."
***
Palembang, 4 Mei 2003.
Dari dalam WC. Jl. Demang Lebar Daun,
Pukul : 03. 59 WIB
Namaku Ibnu Hajar. Tapi orang lebih suka memanggilku dengan nama singkat ; Benu, alias : B-E-En-U, Benu. Panggilan yang sebenarnya tidak terlalu rela kudengar. Tapi, sepertinya, orang lebih enak menyebut Benu, ketimbang harus memanggilku dengan Ibnu.
Sekali lagi, namaku Ibnu, kenapa menjadi Benu? Ah, dasar memang! Sepertinya, realitas kita memang sudah memicu orang semaunya memilih jalan hidup, termasuk memanggil atau menyebut nama orang.
Sekedar satu detik untuk mengatup bibir pada huruf 'b' saja sudah tidak mau, apalagi untuk melakukan perubahan. Ah, wajar saja kalau kemudian banyak orang terdidik untuk memilih hidup dengan logika lompat katak.
"Logika lompat katak?" tanya Ibu pada suatu ketika.
"Iya, Bu,"
"Apa itu?"
"Ya, kenyataan kita saat ini, Bu. Hidup mau enak, punya uang banyak, pakaian mau bagus, tetapi kerja keras tidak mau. Akhirnya menjalani hidup selalu potong kompas, menyuap, menyogok, membunuh, merampok. Dan Anehnya, Bu. Hidup seperti katak ini bukan saja dilakoni oleh orang bawah, tetapi juga para atasan kita."
"Ah, masa begitu, Nak?"
"Bener, Bu!" Jawabku meyakinkan.
"Kalau tidak percaya, nih Ibu Baca koran pagi ini. Politik Uang marak, menjelang Pemilihan Walikota. Dan ada lagi Bu, Menjelang Suksesi, Gubernur bagi-bagi uang Siluman."
"Lho, itu kan demi kebaikan, Nak."
"Ya, kebaikan untuk LPJ-nya. Besok atau Lusa, kita dibuatnya lapar lagi, Bu. Itu sama saja potong kompas, sama seperti hidupya katak. Lompat sana-lompat sini. Jadi mereka itu, Bu, tak ubahnya seperti katak."
"Hus, jaga mulutmu!" Hardik Ibuku rada marah.
Ibu, kembali merajut kain.
Aku masih bercerita tentang apa saja, yang aku suka. Namaku masih Ibnu, dipanggil orang dengan Benu!.
Tahun 80-an, aku tinggalkan sekolah. Padahal, kata orang, sekolahku adalah bagian dari penjara suci di negeri ini. Tapi aneh, tempat-tempat yang selama ini kuanggap suci, sakral, atau orang-orang yang kuangap tak pantas melakukan tindakan kekerasan dan keji, justeru telah mengguruiku menjadi manusia amoral.
Bagaimana tidak? sejak sekolah, guruku sudah mengajari aku dengan kekerasan. Memukul, menjemur, menendang, bahkan salah seorang teman ada yang tangannya disundut rokok, hanya gara-gara lupa mengerjakan Pe-er.
"Puih! Sekolah macam apa itu!" Aku mengumpat.
Makanya, sejak ia keluar sekolah, temanku itu, sampai sekarang, menjadi manusia pendendam, suka melakukan kekerasan terhadap teman sendiri. Kalau ini yang terus terjadi, berarti, sekolah hanya akan menciptakan manusia yang siap akan menjajah manusia lain. Ini tidak boleh terjadi. Kita harus merdeka dari penindasan siapapun. Guru, pejabat atau presiden sekalipun tidak boleh dan tidak berhak menjajah siapapun. Kalau semut saja bisa menggigit, kenapa aku harus diam?
Masih tahun 80-an. Aku keluar dari asrama, yang dianggap orang-orang sebagai penjara suci itu. Bukan lantaran aku tidak lagi butuh Tuhan, atau karena aku berniat untuk memprotes kebijakan Tuhan, tetapi justeru karena para guru di sekolahku telah keluar dari aturan Tuhan.
Tahun kedua, menjelang aku keluar, di sekolahku sudah dibangun ratusan kamar VIP. Kamar ini diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya, yang sudah tentu hidup serba enak dan tidak siap hidup susah di asrama. Belum lagi satu tahun berjalan, di sekolahku sudah terjadi kelompok-kelompok, antara kaya dan miskin. Antara penghuni kamar VIP dan penghuni kamar kelas gembel sepertiku. Bahkan, di dalam kelas-pun, murid-murid menjadi terbelah-belah. Barisan penghuni kamar VIP berbanjar dengan VIP. Sebaliknya penghuni kelas gembel berbanjar dengan kelas gembel. Padahal Tuhan tak membeda-bedakan antara satu sama lain.
"Oi, kalian tak perlu berpisah-pisah seperti itu. Disini kita sama, dia makan nasi, kita makan nasi, tidak ada yang berbeda," Teriakku suatu kali saat istirahat siang, tanpa berniat sama sekali untuk meng-identifikasi diri sebagai Tuhan.
Tapi, aku hanya sendiri.
Hanya beberapa kawan saja yang ikut mendukung aksi protes, untuk segera menutup kamar VIP. Bahkan sikap bersama, dari Wali murid kelas gembel yang menolak kamar VIP, tak juga merubah sistem di sekolahku. Kesenjangan antara kelas VIP dan kelas gembel terus terjadi. Sentimen psiklogis dan juga jurang materi tak bisa dihindarkan, bahkan makin menular kemana-mana. Muncullah di sekolahku dua buah kantin. Kantin VIP dan kantin sederhana.
Ternyata, sekolahku makin detik makin parah. Dan pagi usai shalat subuh, aku kabari Ibu bahwa aku tidak lagi sekolah.
"Bu, aku ingin sekolah di dalam WC."
"Ah, macam-macam saja kamu, Nak! Kenapa mesti di WC, sekolah lain kan
banyak?"
"Iya, Bu. Sekolah lain mungkin tak jauh berbeda. Ada kesenjangan. Ada perkelahian. Ada suap menyuap untuk menambah nilai, atau masih saja ada penjajahan manusia atas manusia. Tanpa ada buku, guru mengancam tidak meluluskan ujian. Dan di sekolah, guru bukan manusia yang disegani lagi, tetapi menjadi monster yang menakutkan, seperti boneka jaelangkung."
"Lantas apa yang akan kau peroleh, jika sekolah di dalam WC?".
"Di WC, aku temukan persamaan hak antara si gembel dengan pejabat, Bu. Tak akan ada yang berak mengeluarkan emas atau perak, tapi tai, t-a-i. Ya semua, bukan kelas gembel atau pejabat, semua t-a-i."
"Terus, selain itu, di dalam WC, tidak akan lagi kutemukan kesejangan miskin atau kaya. Sejak kelas pinggiran sampai kelas presiden, tak ada yang berak sambil berdiri, semua jongkok atau duduk."
Ibu sesaat tersenyum.
"Ada-ada saja kau ini, Nak."
"Kenapa Ibu mesti tersenyum, ini kenyataan lho, Bu.".
"Iya, Ibu tahu, tapi kok kedengaranya lucu."
"Memang Bu, ini lucu bagi siapa saja yang tidak pernah berpikir filosofi di dalam WC."
Ibu makin tertawa;
"WC kok dibuat Filosofi."
"Lho, kenapa tidak, Bu. Aku masih ingat Bu, apa yang Ibu katakan, Nak jadikan setiap mahluk itu guru, dan setiap tempat itu sekolah. Makanya, di dalam WC-pun aku akan sekolah."
Ibuku makin penasaran, kenapa aku memilih sekolah di dalam WC. Dan saat itu, aku belum tahu benar, apakah Ibu mengizinkanku atau tidak.
"Supaya Ibu tahu, kenapa aku meminta izin sekolah di dalam WC, karena di dalam WC aku merasa terdidik untuk disiplin. Sebab aku tidak akan berlama-lama melamun di dalam WC, kalau mamang aku selesai membuang tai. Sebab, Ibu pernah bilang, Nak, hidup ini tidak akan selesai dengan lamunan. Oleh sebab itu, Bu, aku juga tidak mau berlama-lama di dalam WC. Itu namanya disiplin Bu"
"Karena alasan itu, lalu kau ingin sekolah di dalam WC?"
"Ada lagi, Bu! Di dalam WC, aku dididik untuk tidak menciptakan fitnah. Sebab, setiap aku selesai berak, aku kan harus membersihkan kotoran. Ini artinya sama seperti yang pernah Ibu katakan padaku, Nak jangan sebarkan kotoran dan fitnah dimanapun kamu bermukim."
"Dan terakhir, Bu. Ini yang mungkin tidak pernah dirasakan banyak orang."
"Apa itu?"
"Di dalam WC, aku menemukan kebesaran Tuhan.".
"Hei, kenapa Tuhan kau bawa-bawa dalam WC!"
Ibuku agak tersinggung.
"Jangan marah dulu, Bu. Ibu kan pernah bilang, Tuhan menebar pelajaran dimana-mana. Dan menurutku, di dalam WC pun, Tuhan sedang memberi simbol kebesaran-Nya."
Sesaat, Ibu menghentikan merajut kain.
Keningnya mengerut. Pertanda Ibu masih penuh tanda tanya. Aku menggeser lalu lebih mendekat dari posisi Ibu.
"Begini, Bu, aku tidak bisa membayangkan, berapa besar biaya untuk berobat bagi orang yang dalam tiga hari tidak bisa berak. Akan berapa juta rupiah harus dikeluarkan, jika aku ini tidak bisa mengeluarkan tai dari dalam perut! Makanya, setelah selesai berak, aku ingat kata-kata ibu, Nak sering-sering bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Dan buatku, satu hari bisa berak satu kali saja adalah bagian kebesaran Tuhan yang patut kunikmati dan kusyukuri. Itulah, Bu, kenapa aku saat ini memilih untuk sekolah di dalam WC. Di WC kutemukan kedamaian, tidak ada protes, tidak ada suap menyuap, tidak ada pertengkaran, yang ada hanya kerelaan untuk duduk sesaat, membuang kotoran, demi kesehatan tubuh kita."
"Ibu tidak setuju!"
Aku terperanjat.
"Kenapa, Bu, Kenapa?!"
"Jangan kau sekolah di dalam WC, tapi masuklah ke dalam Kakus."
Aku masih binggung
"Apa bedanya WC dengan kakus Bu."
"WC ada di setiap tempat termasuk di hotel-hotel dan rumah-rumah mewah,
sementara kakus hanya ada di dusun dan pinggir sungai.".
"Maksud, Ibu?"
"Nak, di dalam WC itu ada tisu, ada mesin pengering tangan, ada sabun, ada sikat dan peralatan moderen, yang banyak diproduksi oleh para pemilik modal.".
"Lalu?"
"Jangan kita tergantung pada para pemilik modal itu hanya gara-gara soal aksesoris WC. Makanya, kalau kamu sekolah di dalam WC, nanti akan lupa dengan kedamaian dan kebebasan kakus yang keluar dari ketergantungan. Modalnya hanya penutup kain dan jongkok, lain tidak."
"Supaya tidak tergantung dengan peralatan WC, aku harus bagaimana, Bu?"
"Ya, rebut pabriknya dan kuasai!"
"Lalu?!"
"Lalu bangun dan tebar kakus di setiap tempat, dan ajari mereka bagaimana membuat alat pembersih kakus. Kalau itu sudah kau rebut, nak, tak akan ada lagi penjajahan manusia atas manusia, tak ada lagi ketergantungan kita pada pemilik modal, kita akan mendiri, dan tidak akan ada lagi kesenjangan. Yang ada hanya kedamaian, sama seperti kedamaian kita di dalam kakus."
Aku kaget mendengar ajaran Revolusi WC dari Ibuku.
Aku baru sebatas menyerap Filosofi WC. Tapi Ibuku sudah sampai pada Revolusi WC. Tiba-tiba perutku mual.
"Aduh Bu, perutku, perutku."
Ibuku terperanjat. Ia meletakkan jahitannya. Ia menatapku khawatir.
"Kenapa perutmu, Nak?"
"Aku...aku kebelet Bu. Aku mau ke WC, eh... ke kakus Bu."
***
Palembang, 4 Mei 2003.
Dari dalam WC. Jl. Demang Lebar Daun,
Pukul : 03. 59 WIB
Sabtu, 10 Oktober 2009
SUFISME DAN PEMILU 2009
SUFISME DAN PEMILU 2009
(Catatan Spiritual bagi Politisi menjelang Pemilu)
Oleh Imron Supriyadi
Ada kesan berlebihan yang mungkin kemudian muncul di benak kita, saat saya menghubungkan dunia sufi dengan hasil Pilkada Sumsel. Tetapi saya memaklumi dengan pandangan sinisme itu. Sebab dari kebanyakan kita melihat fenomena alam dalam realitas politik, sering dilihat dari perspektif sebab akibat.
(Catatan Spiritual bagi Politisi menjelang Pemilu)
Oleh Imron Supriyadi
Ada kesan berlebihan yang mungkin kemudian muncul di benak kita, saat saya menghubungkan dunia sufi dengan hasil Pilkada Sumsel. Tetapi saya memaklumi dengan pandangan sinisme itu. Sebab dari kebanyakan kita melihat fenomena alam dalam realitas politik, sering dilihat dari perspektif sebab akibat.
Langganan:
Postingan (Atom)