Senin, 16 Januari 2012

SUFISME CALEG GAGAL

Oleh Imron Supriyadi

Hasil pemilu 9 April 2009, telah membuat sebagian calon legislatif (Caleg) yang gagal, menjadi tidak rasional. Sebagian dari mereka kemudian membuang akal sehat, dengan melakukan hal-hal diluar logika normal manusia pada umumnya. Penutupan Sekolah Dasar karena merasa berjasa atas pembangunannya, pembongkaran saluran air rakyat, karena atas bantuannya, pengambilan kembali ambal masjid yang diberikan pada masa kampaye, melarikan diri dari tanggungjawab utang piutang, sampai mengakhiri hidup dengan gantung diri. Tragis. Tetapi inilah realitas yang tengah kita hadapi saat ini.

Kesal, kecewa akibat gagal dalam pen-calegan adalah manusiawi! Tetapi jika dirunut, semua ini akibat dari kecenderungan manusia yang selalu mengukur urusan gagal dan berhasil, dengan “logika sebab dan akibat” (kausalitas). Sehingga dalam memahami kalah-menang pemilu menjadi kalkulasi untung-rugi; berapa yang diberikan, dan berapa yang diperoleh. Ketika tidak ada kesesuaian antara pengeluaran dan pendapatan, yang timbul kemudian stress dan depresi. Atau sebagian mencurigai pihak lain; mengapa ini bisa terjadi? Ada apa dibalik kekalahan? Apakah ini rekayasa? Ada manipulasi suara? KPU yang tidak profesional? Semua cenderung menyalahkan pihak lain. Ini semua terjadi, karena sebagian caleg dan tim-suksesnya memahami realitas politik dalam perspektif kausalitas tadi.

Secara sadar atau tidak, asumsi negatif terhadap hasil pemilu, sebenarnya sudah keluar dari term politik itu sendiri, yang mengatakan; politik tidak bisa dihitung seperti matematika (bukan kausalitas). Pengamat politik selalu mengatakan; konstelasi politik tidak bisa dihitung dengan logika; satu ditambah satu sama dengan dua. Bukankah kalimat ini sudah sedemikian mengkristal bagi sekian banyak politisi kita? Lantas mengapa harus menuduh salah terhadap institusi KPU? Atau mengapa harus mengkambinghitamkan pihak lain, bila politik memang bukan rumus matematika yang menerapkan hukum kausalitas?

Paradigma politik non matematik dalam konteks politik ini, bila kemudian dipahami dalam konteks hakikat (bukan syariat), maka langsung atau tidak, membahas politik maka tidak lepas dari dunia sufi. Sebab, ketika politik dikatakan; tidak bisa diukur secara matematik, maka ia akan berpulang pada keyakinan terhadap kekuatan gaib diluar batas logika manusia, bukan hukum kausalitas. Ketika, dunia politik terkait dengan kesadaran sufistik, maka kegagalan caleg, sebaiknya bukan menciptakan tuduhan-tuduhan dan asumsi buruk terhadap pihak lain, justeru membangkitkan kesadaran, bahwa realitas politik tidak kemudian dipandang dari perspektif politik murni (hukum kausalitas) tetapi juga dalam perspektif norma hukum ke-gaiban langit yang selama ini sering diabaikan dalam politik.

Dijelaskan oleh Syeh Ibnu Athoillah, dalam Kitab-nya Al-Hikam, melalui Kiai Imron Jamil asal Jombang, dalam konsep tasawuf tatanan dunia, (baca; realitas politik-red) memang tidak didasari dengan hukum kausalitas. Antara sebab dan akibat merupakan kutub berbeda yang tidak berbanding lurus sebagaimana yang selama kita pahami.
Fakta sejarah membuktikan, betapa hukum kausalitas dalam konteks politik tidak selalu berbanding lurus; setelah Habibie menggantikan Soeharto, Gus Dur menjadi presiden Indonesia. Dalam logika politik, saat itu perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tidak signifikan untuk mengangkat Gus Dur. Secara fisik-pun, Gus Dur tidak memenuhi syarat dari kriteria presiden. Tetapi ketika Tuhan mengatakan; jadi, maka jadilah (Kun Fayakun), maka yang muncul adalah ‘akibat’ yaitu Gus Dur menjadi presiden, meskipun tanpa ‘sebab’ politik yang rasional.

Namun dalam perjalanan waktu, Tuhan kemudian menciptakan keduanya. (Sebab dan akibat). Gus Dur jatuh oleh parlemen sebagai ‘akibat’ dugaan terlibatnya Gus Dur dalam kasus Bruneigate. Walapun saat itu, Mahkamah Agung sudah menyatakan Gus Dur bebas dari Bruneigate, tetapi ketika Tuhan berkehendak Gus Dur harus turun (sebagai akibat), maka melalui Dekrit Presiden, Gus Dur lengser, kemudian mengusung Megawati naik menggantikan presiden.

Ketika ranah politik dipahami dalam perspektif sufistik, maka akan menguatkan pemahaman, ‘kebijakan langit’ tidak menciptakan realitas dunia dengan hukum kausalitas. Tuhan menciptakan sebab dan akibat dengan ruang yang berbeda. Tidak setali tiga uang. Analoginya, sebab sebagai kutup positf, dan akibat sebagai kutub negatif. Ketika dalam realitas politik beberapa caleg yang gagal mempertemukan keduanya (positif-negatif), yang terjadi kemudian bukan terangnya bola lampu neon dan cerahnya batin dan pikiran caleg, melainkan menjadi dua kutub yang konsleting atau terjadinya hubungan arus pendek.

Akibatnya, depresi, stress atau lebih parah lagi, sampai bunuh diri.
Padahal diluar kesadaran, sebagian caleg sering begitu ringan mengatakan; manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan. Tetapi dalam banyak hal, ketika hasil jerih payah tidak sebanding dengan perjuangan dan pengorbanannya, sebagian kita kemudian sering menuduh atau mencurigai pihak lain yang salah. Dan yang lebih parah lagi, sebagian kita berburuk sangka kepada Sang Pengatur Bumi. Ketika ini terjadi, ada nilai ketauhidan, yang bergeser, walau sehelai rambut sekalipun. Akhirnya berlari ke dukun dan lainnya.

Dalam konteks kegagalan caleg ini, ada tiga hal yang perlu menjadi bahan renungan. Pertama; dalam kebijakan langit ada yang disebut nilai kepantasan. Artinya bagi caleg yang gagal, adalah kepantasan lebih baik di mata Tuhan, (bukan dimata manusia), ketimbang harus duduk di parlemen tetapi banyak mudharat bagi yang bersangkutan. Dengan kata lain, kegagalan akan menjadi nikmat dan rahmat, ketika kagagalan dijadikan sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan terhadap caleg gagal, agar terhindar dari peluang berbuat dosa (korup) atau membohongi rakyat. Logikanya, kalau anak kita sedang sakit pilek, maka kita tidak akan membelikan minuman es, meskipun anak kita sampai menangis. Kita melarang karena kita sayang dan takut pilek anak kita bertambah parah. Pelarangan minum es terhadap anak kita juga bagian pemeliharaan kita, supaya anak kita tidak bertambah sakit. Kita ingin anak kita sembuh dan sehat. Pun demikian halnya kebijakan langit. Ketika sebagian caleg gagal duduk di parlemen, sebenarnya Tuhan sedang mencegah, supaya pileknya para caleg tidak lebih parah dari sebelumnya. Tugas caleg gagal adalah, bagaimana menyembuhkan pilek-nya agar dikemudian hari lain di mata Tuhan mendapat posisi kepantasan untuk duduk di parlemen. Kita sering menganggap diri kita pantas menjadi mahluk yang berhak mendapat kedudukan, jabatan dan kekayaan, tetapi kita sendiri tidak pernah sadar bagaimana kita harus lebih dulu memantasi diri untuk menjadi hamba yang terpilih di mata Tuhan.

Kedua; Pengorbanan yang telah diberikan, seharusnya dimaknakan kecintaan Tuhan terhadap seorang hamba, bukan malah sebaliknya. Banyaknya harta yang telah dikeluarkan dalam kampaye, telah menjadi sarana Tuhan untuk melakukan pencucian harta di rumah kita, yang mungkin selama ini ada hak orang lain, tetapi tidak pernah kita berikan. Gagal dan banyaknya korban materi untuk rakyat, adalah bahasa langit untuk memaksa hamba, agar bersedia mengeluarkan hartanya untuk orang lain, yang selama ini di tahan di dalam rumah. Mengutip Andrea Hirata dalam Novel Laskar Pelangi ; yang seharusnya kita bangkitkan adalah, bagaimana kita bersiap diri untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan bersiap diri untuk menerima sebanyak-banyaknya.

Ketiga; kerugian berkorban materi untuk rakyat pada masa kampaye, bukanlah menjadi sesuatu yang merugikan. Mengapa harus merasa rugi berbuat baik pada masa kampaye? Toh, ketika kita lahir juga telanjang. Maka, menjadikan pengorbanan dan kegagalan caleg untuk kembali pada ketelanjangan rohani di hadapan Tuhan, akan menjadi lebih berarti ketimbang sekedar keluhan dan penyesalan. Ketika kebaikan dan pengorbanan di-ikhlaskan sebagaimana kita membuang air besar (tidak diingat dan tidak disebut-sebut), maka kebaikan itu akan menjadi istana surga, melebihi dari sekedar kedudukan sebagai anggota parlemen.

Ketiga; bagi yang lolos menjadi anggota dewan, Tuhan sedang memberi tugas kepada mereka menjadi panitia bumi di parlemen, untuk ikut mengelola negara dan mewakili rakyat. Ketika nanti anggota dewan tidak memegang amanat, maka suatu ketika Tuhan dengan secepat kilat akan segera memecat panitia di parlemen dengan membenturkan mereka pada kasus korupsi, pembakalan hutan, suap menyuap tender dan lain sebagainya. Melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tuhan akan mamnjangkan tangan-Nya di bumi. Demikianlah, bahasa Tuhan untuk mempertemukan kembali seorang hamba yang lupa amanat, agar kembali ke pangkuan-Nya.

Oleh sebab itu, apapun hasil dari semua perjalanan kampaye 2009, berhasil atau gagal sebaiknya dihadapi dengan kecintaan kepada Sang Maha Pencipta. Sehingga baik dan buruk dari hasil jerih payah, bukan membuat lalai dengan amanat-Nya, tetapi mengantarkan kita pada ketaatan dan kedekatan, bukan pada pengingkaran Tuhan. Kita mempunay kewajiban untuk terus berjuang, berdoa dan berihtiar, tetapi soal hasil akhir, kapan, dimana, jumlahnya berapa, itu bukan urusan kita. (*)

BTN Karang Asam
Tanjung Enim, 17 April 2009
*) Penulis adalah Pekerja Seni


Selasa, 03 Januari 2012

Bu, Ijinkan Aku Sekolah di Dalam WC



Cerpen Imron Supriyadi
Namaku Ibnu Hajar. Tapi orang lebih suka memanggilku dengan nama singkat ; Benu, alias : B-e-en-u, Benu. Panggilan yang sebenarnya tidak terlalu rela kudengar. Tapi, sepertinya, orang lebih enak menyebut Benu, ketimbang harus memanggilku dengan Ibnu.
Sekali lagi, namaku Ibnu, kenapa menjadi Benu? Ah, dasar memang! Sepertinya, realitas kita memang sudah memicu orang semaunya memilih jalan hidup, termasuk memanggil atau menyebut nama orang. Sekedar satu detik untuk mengatup bibir pada huruf 'b' saja sudah tidak mau, apalagi untuk melakukan perubahan. Ah, wajar saja kalau kemudian banyak orang terdidik untuk memilih hidup dengan logika lompat katak.
"Logika lompat katak?" tanya Ibu pada suatu ketika.
"Iya, Bu,"
"Apa itu?"
"Ya, kenyataan kita saat ini, Bu. Hidup mau enak, punya uang banyak, pakaian mau bagus, tetapi kerja keras tidak mau. Akhirnya menjalani hidup selalu potong kompas, menyuap, menyogok, membunuh, merampok. Dan Anehnya, Bu. Hidup seperti katak ini bukan saja dilakoni oleh orang bawah, tetapi juga para atasan kita."
"Ah, masa begitu, Nak?"
"Bener, Bu!" jawabku meyakinkan.
"Kalau tidak percaya, nih Ibu Baca koran pagi ini. Politik Uang marak, menjelang Pemilihan Walikota. Dan ada lagi Bu, Menjelang Suksesi, Gubernur bagi-bagi uang Siluman."
"Lho, itu kan demi kebaikan, Nak."
"Ya, kebaikan untuk LPJ-nya. Besok atau Lusa, kita dibuatnya lapar lagi, Bu. Itu sama saja potong kompas, sama seperti hidupya katak. Lompat sana-lompat sini. Jadi mereka itu, Bu, tak ubahnya seperti katak."
"Hus, jaga mulutmu!" hardik Ibuku rada marah.
Ibu, kembali merajut kain. Aku masih bercerita tentang apa saja, yang aku suka.
Namaku masih Ibnu, dipanggil orang dengan Benu!. Tahun 80-an, aku tinggalkan sekolah. Padahal, kata orang, sekolahku adalah bagian dari penjara suci di negeri ini. Tapi aneh, tempat-tempat yang selama ini kuanggap suci, sakral, atau orang-orang yang kuangap tak pantas melakukan tindakan kekerasan dan keji, justeru telah mengguruiku menjadi manusia amoral.
Bagaimana tidak? sejak sekolah, guruku sudah mengajari aku dengan kekerasan. Memukul, menjemur, menendang, bahkan salah seorang teman ada yang tangannya disundut rokok, hanya gara-gara lupa mengerjakan Pe-er.
"Puih! Sekolah macam apa itu!" aku mengumpat.
Makanya, sejak ia keluar sekolah, temanku itu, sampai sekarang, menjadi manusia pendendam, suka melakukan kekerasan terhadap teman sendiri. Kalau ini yang terus terjadi, berarti, sekolah hanya akan menciptakan manusia yang siap akan menjajah manusia lain. Ini tidak boleh terjadi. Kita harus merdeka dari penindasan siapapun. Guru, pejabat atau presiden sekalipun tidak boleh dan tidak berhak menjajah siapapun. Kalau semut saja bisa menggigit, kenapa aku harus diam?
Masih tahun 80-an. Aku keluar dari asrama, yang dianggap orang-orang sebagai penjara suci itu.
Bukan lantaran aku tidak lagi butuh Tuhan, atau karena aku berniat untuk memprotes kebijakan Tuhan, tetapi justeru karena para guru di sekolahku telah keluar dari aturan Tuhan.
Tahun kedua, menjelang aku keluar, di sekolahku sudah dibangun ratusan kamar VIP. Kamar ini diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya, yang sudah tentu hidup serba enak dan tidak siap hidup susah di asrama. Belum lagi satu tahun berjalan, di sekolahku sudah terjadi kelompok-kelompok, antara kaya dan miskin. Antara penghuni kamar VIP dan penghuni kamar kelas gembel sepertiku. Bahkan, di dalam kelas-pun, murid-murid menjadi terbelah-belah. Barisan penghuni kamar VIP berbanjar dengan VIP. Sebaliknya penghuni kelas gembel berbanjar dengan kelas gembel. Padahal Tuhan tak membeda-bedakan antara satu sama lain.
"Oi, kalian tak perlu berpisah-pisah seperti itu. Disini kita sama, dia makan nasi, kita makan nasi, tidak ada yang berbeda," teriakku suatu kalis aat istirahat siang, tanpa berniat sama sekali untuk menidentifikasi diri sebagai Tuhan.
Tapi, aku hanya sendiri. Hanya beberapa kawan saja yang kut mendukung aksi protes, untuk segera menutup kamar VIP. Bahkan sikap bersama, dari Wali murid kelas gembel yang menolak kamar VIP, tak juga merubah sistem di sekolahku. Kesenjangan antara kelas VIP dan kelas gembel terus terjadi.
Sentimen psiklogis dan juga jurang materi tak bisa dihindarkan, bahkan makin menular kemana-mana. Muncullah di sekolahku dua buah kantin. Kantin VIP dan kantin sederhana. Ternyata sekolahku makin detik makin parah. Dan pagi usai shalat subuh, aku kabari Ibu bahwa aku tidak lagi sekolah.
"Bu, aku ingin sekolah di dalam WC."
"Ah, macam-macam saja kamu, Nak! Kenapa mesti di WC, sekolah lain kan banyak?"
"Iya, Bu. Sekolah lain mungkin tak jauh berbeda. Ada kesenjangan. Ada perkelahian. Ada suap menyuap untuk menambah nilai, atau masih saja ada penjajahan manusia atas manusia. Tanpa ada buku, guru mengancam tidak meluluskan ujian. Dan di sekolah, guru bukan manusia yang disegani lagi, tetapi menjadi monster yang menakutkan, seperti boneka jaelangkung."
"Lantas apa yang akan kau peroleh, jika sekolah di dalam WC?".
"Di WC, aku temukan persamaan hak antara si gembel dengan pejabat, Bu. Tak akan ada yang berak mengeluarkan emas atau perak, tapi tai, t-a-i. Ya semua, bukan kelas gembel atau pejabat, semua t-a-i."
"Terus, selain itu, di dalam WC, tidak akan lagi kutemukan kesejangan miskin atau kaya, sejak kelas pinggiran sampai kelas presiden, tak ada yang berak sambil berdiri, semua jongkok atau duduk."
Ibu sesaat tersenyum. "Ada-ada saja kau ini, Nak."
"Kenapa Ibu mesti tersenyum, ini kenyataan lho, Bu.".
"Iya, Ibu tahu, tapi kok kedengaranya lucu."
"Memang Bu, ini lucu bagi siapa saja yang tidak pernah berpikir filosofi di dalam WC."
Ibu makin tertawa; "WC kok dibuat Filosofi."
"Lho, kenapa tidak, Bu. Aku masih ingat Bu, apa yang Ibu katakan, Nak jadikan setiap mahluk itu guru, dan setiap tempat itu sekolah. Makanya, di dalam WC-pun aku akan sekolah."
Ibuku makin penasaran, kenapa aku memilih sekolah di dalam WC. Dan saat itu, aku belum tahu benar, apakah Ibu mengizinkanku atau tidak.
"Supaya Ibu tahu, kenapa aku meminta izin sekolah di dalam WC, karena di dalam WC aku merasa terdidik untuk disiplin. Sebab aku tidak akan berlama-lama melamun di dalam WC, kalau mamang aku selesai membuang tai. Sebab, Ibu pernah bilang, Nak, hidup ini tidak akan selesai dengan lamunan. Oleh sebab itu, Bu, aku juga tidak mau berlama-lama di dalam WC. Itu namanya disiplin Bu"
"Karena alasan itu, lalu kau ingin sekolah di dalam WC?"
"Ada lagi, Bu! Di dalam WC, aku dididik untuk tidak menciptakan fitnah. Sebab, setiap aku selesai berak, aku kan harus membersihkan kotoran. Ini artinya sama seperti yang pernah Ibu katakan padaku, Nak jangan sebarkan kotoran dan fitnah dimanapun kamu bermukim.".
"Dan terakhir, Bu. Ini yang mungkin tidak pernah dirasakan banyak orang."
"Apa itu?"
"Di dalam WC, aku menemukan kebesaran Tuhan.".
"Hei, kenapa Tuhan kau bawa-bawa dalam WC!" Ibuku agak tersinggung.
"Jangan marah dulu, Bu. Ibu kan pernah bilang, Tuhan menebar pelajaran dimana-mana. Dan menurutku, di dalam WC pun, Tuhan sedang memberi simbol kebesaran-Nya."

Sesaat, Ibu menghentikan merajut kain. Keningnya mengerut. Pertanda Ibu masih penuh tanda tanya. Aku menggeser lalu lebih mendekat dari posisi Ibu.
"Begini, Bu, aku tidak bisa membayangkan, berapa besar biaya untuk berobat bagi orang yang dalam tiga hari tidak bisa berak. Akan berapa juta rupiah harus dikeluarkan, jika aku ini tidak bisa mengeluarkan tai dari dalam perut! Makanya, setelah selesai berak, aku ingat kata-kata ibu, Nak sering-sering bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Dan buatku, satu hari bisa berak satu kali saja adalah bagian kebesaran Tuhan yang patut kunikmati dan kusyukuri. Itulah, Bu, kenapa aku saat ini memilih untuk sekolah di dalam WC. Di WC kutemukan kedamaian, tidak ada protes, tidak ada suap menyuap, tidak ada pertengkaran, yang ada hanya kerelaan untuk duduk sesaat, membuang kotoran, demi kesehatan tubuh kita."
"Ibu tidak setuju!"
Aku terperanjat.
"Kenapa, Bu, Kenapa?!"
"Jangan kau sekolah di dalam WC, tapi masuklah ke dalam Kakus."
Aku masih binggung
"Apa bedanya WC dengan kakus Bu."
"WC ada di setiap tempat termasuk di hotel-hotel dan rumah-rumah mewah, sementara kakus hanya ada di dusun dan pinggir sungai.".
"Maksud, Ibu?"
"Nak, di dalam WC itu ada tisu, ada mesin pengering tangan, ada sabun, ada sikat dan peralatan moderen, yang banyak diproduksi oleh para pemilik modal.".
"Lalu?"
"Jangan kita tergantung pada para pemilik modal itu hanya gara-gara soal asesoris WC. Makanya, kalau kamu sekolah di dalam WC nanti akan lupa dengan kedamaian dan kebebasan kakus yang keluar dari ketergantungan. Modalnya hanya penutup kain dan jongkok, lain tidak."
"Supaya tidak tergantung dengan peralatan WC, aku harus bagaimana, Bu?"
"Ya, rebut pabriknya dan kuasai!"
"Lalu?!"
"Lalu bangun dan tebar kakus di setiap tempat, dan ajari mereka bagaimana membuat alat pembersih kakus. Kalau itu sudah kau rebut, nak, tak akan ada lagi penjajahan manusia atas manusia, tak ada lagi ketergantungan kita pada pemilik modal, kita akan mendiri, dan tiadk akan ada lagi kesenjangan. Yang ada hanya kedamaian, sama seperti kedamaian kita di dalam kakus."
Aku kaget mendengar ajaran Revolusi WC dari Ibkuu. Aku baru sebatas menyerap Filosofi WC tapi Ibuku sudah sampai pada Revolusi WC.
Tiba-tiba perutku mual."Aduh Bu, perutku, perutku."
"Kenapa perutmu, Nak?"
"Aku...aku kebelet Bu. Aku mau ke WC, eh... ke kakus Bu."
***
Dari dalam WC. Pukul : 03. 59 WIB
Palembang, 4 Mei 2003

Dimuat di
Harian Pagi Sumatera Ekspres
Palembang Tahun 2003