Sabtu, 03 Januari 2015

Yang Lebih Perkasa Orang Sakit


Tahun 2010, menjelang kelahiran anak saya yang pertama, isteri saya sakit. Ada sekitar 2 bulan ia harus terbaring. Sementara, penghasilan terbatas dari pekerjaan saya, ketika itu tidak bisa mencukupi biaya pengobatan. Dengan sendirinya kian hari kian menipis. Tinggal satu-satunya adalah maskawin. Sebagai suami, ketika itu saya tidak terucap untuk bicara pada isteri. Sebab bagi saya, maskawin menjadi seuatu yang sakral. Kali itu ada terbersit keinginan untuk menjual maskawin. Tapi mulut saya terkunci. Saya sangat tahu, isteri saya begitu sayangnya, sehingga untuk melepas maskawin yang menjadi sejarah pernikahan kami akan berat ia lakukan. Sudah tentu, jauh sebelum sakit, isteri saya sangat keberatan untuk melepas maskawin, apalagi ketika itu hanya sekadar akan dijual untuk memenuhi kebutuhan perut dan persiapan kelahiran. Tapi kali itu tak ada pilihan, kecuali saya harus sampaikan kepada isteri saya. Prinsip saya, untuk apa menahan harta benda, sementara mutiara dan belahan jatung hati saya terbaring sakit? Akhirnya saya beranikan diri bicara pada isteri saya. “Bagaimana kalau maskawin kita jual saja, untuk tambahan biaya pengobatan,” ujar isteri saya, beberapa detik sebelum saya berucap. Subhanllah! Demikian kuatnya energi dari langit, sehingga seketika tenaga itu mendorong isteri saya untuk menyatukan kata hati saya saat itu. ** Dalam sejarah, budaya patriarki sudah demikian kuat mengakar di Sumatera Selatan (Sumsel). Akibatnya, posisi laki-laki seolah menjadi “raja” di rumah tangga. Sampai-sampai, tradisi ini, seolah mengajarkan ; semua pekerjaan dapur adalah urusan perempuan. Sementara laki-laki tidak boleh sedikitpun berurusan dengan dapur, termasuk diantaranya menimba atau mengangkut air dari sumur ke dapur. “itu aib,” kata bapak saya suatu ketika. Tapi ketika Idul Fitri tahun lalu, saat saya, isteri dan anak-anak mudik ke rumah orang tua di pojok desa Sumatera Selatan, ada perasaan prihatin melihat emak. Sejak mesin airnya mati, emak harus mengangkut air ke dapur. Padahal rumah kami panggung. Sehingga emak harus setiap hari menimba dan mengakut air ari sumur ke dapur, setelah sebelumnya emak harus menaiki tangga yang menuju dapur. Sementara bapak saya, karena kuatnya memegang budaya patriarki, tak sedikitpun bergeming guna membantu emak, walau sekadar menimba air sumur untuk keperluan mandi. Saat kami sudah kembali ke Palembang, kami mendengar nenek kami sakit. Selama tiga bulan lebih nenek terbaring tak berdaya. Semua harus dilakukan diatas tempat tidur. Kencing, berak, makan dan semuanya. Tak ada pilihan lain, emak yang harus mengurus semuanya. Sejak menyuap sampai bersih-besih kotoran. Tapi kata Emak, sejak nenek sakit sampai akhirnya sembuh, bapak sekarang menjadi orang yang sangat empatik terhadap dapur. Memang bukan untuk memasak. Tapi bersedia meringankan beban emak untuk menimba dan mengangkut air dari sumur ke daur. Bahkan bapak juga sesekali memenuhi semua bak mandi, ember di sumur sampai penuh. Sakitnya nenek, ternyata menjadi “alat Tuhan” untuk mengantar dan menyalurkan energi-Nya yang kemudian “memaksa” bapak saya untuk peduli terhadap keseharian emak. ** Kejadian serupa, sangat mungkin pernah menimpa Anda. Saat seseorang sakit, apakah anak, ibu, ayah, nenek atau tetangga kita sakit. Sudah tentu akan memaka para sanak saudara dan tetangga untuk besuk (menengok) ke rumah sakit atau ke rumah kita, yang sama sekali tidak pernah terpikrikan sebelumnya. Atau bahkan sangat terasa berat karena kesibukan. Tapi satu hal yang tidak bisa terbantahkan, setiap orang sakit akan selalu mendapat “pelayanan istimewa” dari sebelumnya. Siapapun, tidak ada yang kuasa menolak perintah dari orang yang sedang sakit. Hampir semua permintaannya dituruti, kecuali hal yang dilarang dokter atau yang membayahakan si pasien. Termasuk dari dua peristiwa diatas yang kemudian menyadarkan saya, betapa orang sakit punya kekuatan dahyat untuk “memaksa” orang sehat agar melakukan sesuatu, yang mungkin sebelumnya sangat berat dilakukan. Sama beratnya ketika saya harus menjual maskawin isteri saya. Tetapi faktanya malah berbalik. Justeru isteri saya yang “memaksa” saya untuk menjual maskawin, ketika dirinya sedang sakit. Demikian halnya sikap bapak saya yang sangat kuat memegang tradisi patriarki, yang enggan membantu emak, walau sekadar menimba air. Tapi kenyataanya, dengan lantaran nenek sakit, disitulah Tuhan telah “menyampaikan pesan” kepada bapak saya, yang kemudian bapak saya ‘dipaksa’ untuk menjadi orang peduli terhadap emak, hingga sekarang. Ternyata, melalui orang sakit, Tuhan telah menyusupkan energi “Al-Qahhar (Maha menundukkan) dan Al Jabbar (Maha Perkasa)” kedalam detak jatung setiap kita, ke bilik saya dan bapak saya. Dalam kondisi isteri saya dan nenek sakit itulah, saya dan bapak saya membuang “gensi pribadi” untuk kemudian melalukan sesuatu demi sebuah kesembuhan orang-orang yang kita cintai. Subhanallah! Palembang, 9 Juli 2014