Cerpen Imron Supriyadi
Malam kian kelam. Aku terbaring diatas balai bambu, menerawang menatapi diri yang makin termakan usia. Tiba – tiba kamar terasa sumpek, panas, dan beraroma kurang sedap. Desiran angin menembus kamarku hanya membawa kabar yang sulit diterka. Aku menangis ketika kamarku dicabik,cubit atau digilas oleh realita. Kucoba menagabarkan pada orang sekitar, tetapi mereka hanya menggelang, meninggalakan tapak tak berbekas. Kadang mereka menatapku sinis, lalu pergi tanpa ucapan maaf. Mungkin, saatnya aku harus mengabarkan ini pada ayah, pikirku. Aku bangkit, dan merapikan kamar.
“Ayah,’’ tulisku mengawali surat itu. Meski kau akan menangis setelah membaca surat ini, tapi segeralah kau usap air mata itu. Jangan kau biarkan air mata berurai dipipimu. Aku malu jika ayah hanya bisa menangis tanpa suara, dan berbisik tanpa kata. Ayah, anakmu kini sedang dalam keprihatinan, bertarung dengan masa depan, berlindung di bawah buramnya cahaya malam.
Cahaya lampu 100 watt yang ayah belikan dulu, sepertinya tak mampu memancarkan suasana baru dalam kamarku. Bahkan Ayah, kamarku kini pengap disusupi oleh cerobong asap pabri, udara kendaraan bermotor atau angin penderitaan, yang datangnya dari pinggir trotoar.
Aku berhenti menulis ketika ratih, istriku menerobos masuk kamar. Ia pun duduk dan menatapku dalam diam. Aku hanya melirik ketika ia memunguti dan mengumpulkan kertas – kertas yang berserakan dilantai kamar. Ratih yang ceria, kini bias karena keadaan. Sapa mesranya yang dulu menggiurkan setiap lelaki, kini hanya sebatas senyum hambar yang tak bermakna. Aku sendiri kadang sulit menerjemahkan, gerangan apa yang sedang dirasakannya.
“ Mas im”, Ratih membuka kebisuan. Aku hanya menoleh. Tubuh semampai itu kuamati dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kubiarkan saja ketika Ratih duduk merapat dan membaca surat yang belum sempat selesai kutulis.
“Sebaiknya, Mas Im tak menulis surat untuk Ayah. Keadaan kamar kontrakan kita yang makin dilalaikan tuan rumahnya, tak semestinya diketahui Ayah. Toh, surat – surat yang sudah terkirim, sampai tak ada yang dibalas. Mungkin, sekarang Ayah lebih sibuk dengan tugas adan aktivitasnya sendiri, ketimbang memikirkan kondisi kamar kita yang dibanjiri air mata ini,” katanya.
Aku tercenung mendengar ucapan Ratih. Namun batinku terus bergolak.” Ratih, tolong simpan kata – katamu”, ucapku coba memberi pengertian. Ratih kemudian memandangku tajam. Ia pun hanya diam saat aku melanjutkan pembicaraan.
“Aku tahu, kesibukan Ayah telah banyak menyita kepedulian terhadap kita. Namun, bergantinya struktur desa dan dengan jabatan kepala dusun dipegang Ayah, adalah peluang kita mengabarkan, bagaimana naisb kita dikamar ini kelak”, kataku optimis.
‘’Tapi, Mas,” sergah Ratih pelan.” Aku belum yakin benar jika surat ini akan mengubah sikap Ayah. Sebab, digantinya aparat desa, belum menjamin kemandirian Ayah untuk bersikap. Apalagi, kepergian kita ke kamar ini sudah di latar belakangi, dengan pertentangan dengan Ayah. Sulit rasanya…”
“Ratih,” potongku tiba – tiba. “ Kegetiran masa lalu membuat kita berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu hari ini. Tapi, masa lalu membuat kita bijak, meskipun kita kesulitan menerjemahkan kebijaksanaan itu sendiri. Sebenarnya Ayah bukan manusia yang tak pernah memikirkan nasib anaknya. Tapi, dia telah masuk lingkaran struktural, jadi apapun yang dikerjakannnya, tentu tidak lepas dari kepentingan itu,” kataku.
Batinku terus bergejolak. Suasana makin menghimpit. Dadaku tersengal sesak ketika tiba – tiba kepulan asap mengitari sekeliling kamar. Kucoba menghalaunya. Namun aku tersingkir kebawah meja. Hanya sobekan kertas dan pena yang sempat kepegang. Besok atau lusa, surat ini harus segera kukirim pada Ayah pikirku.
Aku hanya menurut saja, saat Ratih muncul dan memapahku ke pembaringan. Seberkas kekhawatiran tergambar diwajah Ratih. Isak tangis Ratih yang selama ini kurindukan tiba – tiba menyeruak ketelinga. Sebongkah kebahagiaan seketika menyusup dalam kalbuku. Ratih kini telah menyuarakan penderitaannya yang sekian lama terpendam.
“Ratih, aku tidak apa – apa,” ucapku menenangkan perasaannya. Dengan pandangan sedikit kabut, kutatap wajah Ratih yang lusuh. Namun hanya kepedihan yang tersemburat di sana. Dada kiriku terasa sesak, namun kucoba terus bertahan. Ratih memandangiku dengan kepedihan dalam, dan isak tangisnya menggema keluar ventilasi kamar, kesetiap telinga tetangga.
“Ratih, berhentilah kau menangis. Tak perlu mereka tah, kita sedang menderita di kamar ini. Kalaupun mereka mendengar, itu hanya menambah beban mereka. Sementara nasib mereka tidak berbeda dengan kita,” kataku meredam gejolak batin Ratih sore itu. Tangis Ratih pun reda.
Azan Magrib menggema, membangkitkanku dari pembaringan dan Ratih pun mengikuti. Aku melangkah, lalu menundukkan diri kehadapan Sang Khalik. Dalam penghambaanku malam itu, kutuangkan segala do’a untuk Ayah, pribadi, dan istriku.
“Ya Allah, semoga Ayah kami di kampung terkuak kejernihan pikirannya memandang seluruh isi kamar ini, demikian desa kami yang sedang dalam genggamannya, serta dalam manapat diri dia sendiri.”
“Ya Allah, anugerahkanlah kami khusnul khatimah kepada Ayah kami. Taburkanlah rezeki rohani kedalam ubun – ubunnya, sehingga peran yang diambilnya adalah peran yang sesungguhnya nyepuhi, bukan fungsi fighter.
Segala beban batin kutuangkan di atas sajadah malam ini, semoga hati Ayah untuk membalas surat – surat kami.*
Dimuat
di Harian Umum Sriwijaya Pos. Minggu 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar