Selasa, 25 Januari 2011

KETIKA GAYUS INGIN MENJADI N”NABI”


Oleh Imron Supriyadi

Keinginan Gayus Tambunan, tersangka penggelapan pajak di Indonesia yang berniat menjadi staf ahli Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Indonesia (Polri) tak lepas dari pantauan warga di kampung saya. Dua pekan terakhir, hampir setiap habis maghrib menjelang isyak, di masjid kampung saya ada saja jamaah yang berbincang soal Gayus.

“Gayus itu sudah gila. Mosok sudah korup kok malah mau jadi staf ahli KPK. Dasar Bocah edan!” ujar Mang Yus agak kesal.
“Iya, aku juga heran, Kok bisa-bisanya Gayus itu ngomong begitu. Apa dia itu tidak sadar kalau sekarang nama dia sedang hancur. E, sekarang malah mau jadi staf ahli. KPK dan Polri lagi! Siapa yang mau menerima orang seperti Gayus!” timpal Mang Sujak seakan setuju dengan Mang Yus.

“Ah, itu kan hanya akal-akalan Gayus, supaya dia dibilang orang yang sudah taubat. Kalau dia diterima jadi staf ahli, otomatis dia akan bebas dari jeratan hukum. Lagi pula, kalau pemerintah mau menerima itu, pemerintah juga gila. Lha, maling pajak kok dijadikan staf ahli? Apa nggak tambah hancur negara ini?,” tukas yang lain.

“Itu kan kerjaan pengacara Gayus, supaya pengacaranya juga ikut tenar. Sudahlah, itu hanya politik jualan Gayus dan pengacaranya saja. Otaknya bukan Gayus, tapi orang-orang dibelakang Gayus,” kata Mang War, salah satu praktisi enterpreuner di Palembang.

Ungkapan beberapa jamaah di masjid kampung saya, tak beda jauh dengan tanggapan sejumlah pejabat di negeri ini. Niat baik Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri dianggap lelucon panggung ludruk yang sama sekali tidak masuk akal sehat kita. Semuanya melihat baik Gayus sebagai dagelan politik Gayus yang ingin dianggap sebagai orang yang sudah menyesal dengan perbuatannya.

Tetapi apakah kita juga akan menolak niat baik anak kita yang sebelumnya terjerat narkoba, kemudian seketika ingin berbalik menjadi orang baik? Atau kita juga akan menghalangi iblis ketika suatu kali iblis datang kerumah kita kemudian ibllis menyatakan bertaubat dan ingin menjadi manusia bermoral sebagaimana nabi?
Kita, selama ini sering memilih membangkitkan suudzon (prasangka buruk) pada sejumlah orang yang punya niat baik. Sehingga prasangka buruk itu kemudian menutup hati kita, lantas mengatakan niat Gayus itu dianggap gagasan orang gila.

Ketika prasangka buruk sudah sedemikian tebal melingkupi akal dan hati kita, maka dia akan menjadi hijab (penutup) hati kita, untuk kemudian pancaran hati kita juga akan buram. Persis ketika kita berdiri di depan cermin. Taburilah cermin itu dengan debu sehingga cermin menjadi buram. Lalu kita ambil sebuah senter, atau lampu. Kemudian kita arahkan sinarnya ke cermin. Maka pantulan sinar yang mengarah pada muka kita juga akan buram, sebagaimana cermin yang sebelumnya memang buram oleh debu yang kita taburkan. Begitulah cerminan hati dan pikiran kita melihat niat Gayus.

Pun Gayus juga begitu. Mengapa niat Gayus harus dinilai negatif ketika ada dia ingin menjadi manusia bermoral seperti Nabi. Kalau ada tawaran pilihan pertanyaan; lebih baik mantan kiai atau mantan preman? Lebih baik mantan gadis berjilbab, atau mantan pekerja seks komersil? Lebih baik mantan ruhaniwan atau mantan koruptor? Logikanya, kalau mantan kiai akan menjelma menjadi preman. Kalau mantan gadis berjilbab bisa menjelma menjadi pekerja seks komersil? Kalau mantan ruhaniwan bisa menjelma menjadi koruptor. Sebaliknya, mantan preman tidak sedikit jadi kiai. Mantan pekerja seks komersil bisa menjadi perempuan berjilbab. Mantan koruptor bisa menjelma menjadi rohaniwan. Lantas berapa fakta di negeri ini orang yang selama ini kita anggap bermoral, tetapi pada kenyataannya kampanye kebaikan yang ditebarkan itu hanya lips service (buah bibir) atau kamuflase saja?

Penialain terhadap niat Gayus sangat relatif. Tergantung dari mana kita akan menilai dan memandangnya. Kita sudah sedemikian tidak percaya para realitas kebaikan yang pada kenyataaannya sering dimanipulasi. Atau kita juga sudah seperti besi karat tebal yang sangat sulit dibersihkan, karena sudah terlalu lama kita menyimpan karat prangsa buruk dalam lintasan batin dan logika kita. Akibatnya, muatan negatif dalam syaraf kita lebih mendominasi jalan pikiran, sehingga yang melintasi otak dan hati kita sering memilih melihat sesuatu dari sisi negatif dari pada positif.

Tetapi dalam soal ini, perlu kemudian kita juga mempertanyakan kembali, sebenarnya yang menolak niat baik Gayus itu karena hati kita yang buram oleh debu prasangka buruk, atau karena kita tidak ingin kasus besar pidana korupsi di negeri ini akan terbongkar oleh Gayus? Sebab disebut anggota DPR-RI, bukan tidak mungkin, ketika kasus Gayus ini diungkap akan banyak sejumlah orang kuat di negeri ini yang terlibat, baik dalam konteks politik dan ekonomi.

Kalau Gayus duduk sebagai staf ahli KPK dan Polri, akan sangat banyak kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat negara juga ikut terbongkar. Ungkapan Gayus yang ingin membongkar kasus korupsi kelas kakap dan kelas paus, sudah pasti membuat sejumlah petinggi negeri ini menjadi kalang kabut. Sebab Gayus adalah saksi kunci, siapa-siapa saja perusahaan dan pejabat negara yang selama ini menggunakan jasa Gayus dalam mengemplang pajak.

Sehingga argumentasi dalam dimensi moralitas yang digembar-gemborkan oleh para pejabat negara menolak Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri, tak lebih bentuk politik ketakutan para pejabat negara dan pengusaha agar Gayus tidak menyebut nama-nama koruptor kelas kakap dan kelas paus.

Argumentasi moralitas menolak Gayus, hanya sebuah politik pembelaan para pejabat negara dan pengusaha, agar mereka tetap selamat dari jeratan hukum terkait kasus korupsi yang mereka lakukan. Para pejabat negara sangat mengetahui iklim pikiran bangsa ini, sehingga hanya politik moralitas yang bisa menjadi benteng penolakan Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri. Hanya dengan kampanye atas nama moralitaslah sejumlah tokoh akan ikut menolak Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri.

Penolakan ini sama halnya ketika kaum kafir Quraisy menolak kedatangan Nabi Muhammad Saw di Mekkah. Penolakan mereka bukan pada dimensi ideologi Islam, melainkan karena Nabi Muhammad Saw akan mengganggu stabilitas penindasan, perbudakan dan kapitalisme yang selama ini dilakukan Kafi Quraisy di Kota Mekkah. Argumentasi penolakan atas dasar Islam tidak masuk akal bagi ajaran nenek moyang mereka, hanya rekayasa sejumlah penguasa Mekkah (Kafir-Quraisy) yang ketika itu tidak ingin diganggu kemapanan kekuasaannya menjadi pememerataan hak dan kewajiaban antar sesama, sebagaimana ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Jadi penilakan meraka bukan karena Islamnya, tetapi karena ajaran Nabi Muhamad Saw yang bertentangan dengan iklim hukum pendindasan yang sudah lebih dulu mereka terapkan.

Gayus memang bukan Nabi atau Rasul. Tetapi saat ini Gayus sedang menjadi manusia pilihan Tuhan yang sedang diundang Tuhan melalui sejumlah kasus yang melingkupinnya. Gayus memang ditugaskan Tuhan untuk membuka sejumlah kasus korupsi. Gayus juga seperti iblis yang membantu kita untuk mengantar banyak manusia masuk sorga, meski dia harus berkorban menyiapkan diri masuk neraka. Sama seperti lilin yang setia menerangi kegelapan, tetapi dirinya siap leleh dan terbakar.

Gayus, seperti juga Ahmad Mushodieq yang mengaku nabi. Datang dan lahir saat ini untuk membuka ruang pikiran dan batin kita. Tanpa Mushodieq mungkin bangsa ini tidak pernah akan ada perbincangan serius para pejabat negara tentang agama. Karena Mushodiq, sejumlah pejabat negara kemudian duduk satu meja, antara Polri, Kemendagri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah tokoh agama membahas kehidupan agama.
Sedemikian parahnya bangsa ini yang telah meinggalkan nilai-nilai kerohanian, segingga Tuhan harus memaksa sejumlah pejabat negara untuk membicarakan agama dengan mengutus Nabi palsu Ahmad Mushodieq. Demikian juga dengan Gayus. Oleh karena sedemikian parahnya tingkat korupsi di negeri ini, sehingga Tuhan harus mengurus Gayus untuk menjadi tersangka. Gayus diundang Tuhan agar segera kembali pada-Nya. Sebab dalam kurun waktu tertentu ketika Gayus memanipulasi laporan pajak, sudah pasti Gayus sedang terlupa pada nilai-nilai kebaikan. Dan sekarang, Gayus tertangkap, ditugasi Tuhan untuk membantu pembongkaran kasus korupsi yang lebih besar di negeri ini.

Sekarang tinggal bagaimana sikap bangsa ini. Apakah akan menempatkan Gayus sebagai iblis yang tetap menjerumuskan manusia, atau merubah pikiran kita, untuk kemudian memposisikan Gayus sebagai iblis yang ingin bertaubat dan membantu bangsa ini untuk membongkar kasus korupsi di negeri ini? Pintu menuju kebaikan dari langit sudah dibuka melalui tertangkapnya Gayus. Sekarang tinggal para pejabat negara, mau atau tidak memulainya untuk membongkar kasus Gayus lain yang lebih besar lagi? [*]

Palembang, 13 Januari 2011

Penulis adalah, Pelaku Sastra, Ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Kota Palembang, bekerja pada Dapunta.com

Sumber Tulisan : http://www.dapunta.com/ketika-gayus-ingin-menjadi-%E2%80%98nabi%E2%80%99.html