Kamis, 18 Agustus 2011

Bidadari itu dibawa Jibril


oleh A. Mustofa Bisri

Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.


Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah--dia biasa memanggilnya ukhti--jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas.

Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas tangan kiri, "Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;" katanya, "Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik, menggunakan tangan kanan!" Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. "Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu." Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. "Bapak tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang ada anjingnya!"

Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama.

Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.*

Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.

Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, "Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?

"Syeikh baru?" tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar."Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.

"Siapa, mas?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Jibril, mas. Malaikat Jibril!""Jibril?" aku tak bisa menahan tertawaku.

Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak."Jangan ketawa! Ini serius!

"Wah. Katanya, bagaimana rupanya?" aku masih kurang percaya."Dia tidak cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.

"Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. "Bagaimana ceritanya, mas?

"Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.

"Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?""Lo, malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.

"Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!" selaku, "Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.

"Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya lo."Wah."Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun.

Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu kini "hanya" menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.

Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.

"Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri. "Apa, mas?" aku terkejut setengah mati, "membakar diri bagaimana?

"Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian membakarnya.

"Hei," aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri.

"Yang lucu, mas," suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, "gurunya itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya, mas?!

"Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon."Doakan sajalah mas!" kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.

Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.

"Pernah pulang sebentar, mas" kata Mas Danu di telepon, "dan Sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana?"***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: "Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.

oleh A. Mustofa Bisri
***Rembang, Akhir Ramadan 1423

Pernah dimuat di media Indonesia, 3 September 2003

"Cerita Tiga Kata” Benny Arnas, Cerpen Koran Paling Mutakhir “Pada Sebuah Pagi” : Kajian Feminisme dalam Sastra Indonesia

Oleh Muhammad Azhari
Memahami cerpen “Pada Sebuah Pagi” karya Benny Arnas, bertema perempuan sebagai salah cerita pendek terpilih yang dimuat di Harian Pagi Sumatera Ekspres, Minggu 17 Juli 2011, menandai babak baru dalam penulisan prosa fiksi populer di media massa cetak di Indonesia yang sarat dengan atmosfer “tawar menawar” terhadap realitas ruang dan waktu. Fenomena yang tersirat di antara tiga kata seakan melengkapi dan memperkukuh eksperimen penulis terhadap kecenderungan paling mutakhir dalam penulisan cerita pendek menjadi cerita (sangat) pendek.


Dalam konteks cerita, temanya identik dengan dunia tawar-menawar. Tak jarang, “perempuan” kerap menawar barang—sekalipun mempunyai harta lebih—dan sudah mencapai harga minimal. Jika tidak menawar, perempuan akan dianggap melawan kodrat dan budaya menerima segala bentuk penindasan. “Ibu muda menawarnya. 2500 saja, katanya. Gadis kecil bertahan. Ibu muda menyeringai. Wajahnya beringsut masam. Aku minta setengah. Setengah porsi saja. Katanya tanpa menoleh. 1.750, ’kan, tegasnya. Gadis kecil diam. Ia malas berdebat. Ia tersenyum saja. Ia membuat pesanan.” (Arnas, Sumatera Ekspres, 17 Juli 2011) .

Benny Arnas, penulis buku Bulan Celurit Api, cerpenis yang tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan, mencoba mengangkat isu gender kembali ke dalam cerpennya. Di samping itu, teori-teori yang berkaitan dengan praktik penulisan perempuan yang digagas Helene Cixous terhadap tubuh perempuan melalui patriarki pun menjadi tema utama dalam feminisme. Menurut Woolf (dikutip Sofia, 2010:13), diartikan sebagai sebuah teori mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Terdapat delapan teori feminis (Arivia, 2003:152--154 dalam Sofia, 2010:13-14), yakni feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme liberal, feminisme psikoanalisis, feminisme eksistensialisme, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan global, serta feminisme ekofeminisme.

Sementara itu, Ratna (2004:184) mengemukakan bahwa feminisme lahir pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya A Room of One’s Own (1929). Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman) yang berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Secara lebih luas, feminisme adalah gerakan wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan. Secara lebih sempit, khususnya sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami, karya sastra, baik dalam kaitan-kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi pembaca.

Pada perkembangan selanjutnya, dekonstruksi pun diterapkan dalan kajian feminisme. Maka dari itu, berkembang pula istilah androcentric (berpusat pada laki-laki), phallocentric (berpusat pada [kelamin] laki-laki), androtext (teks yang ditulis lak-laki), gynotext (teks yang ditulis perempuan), dan gynocritic (kritik sastra feminis oleh kaum perempuan).

Berkenaan dengan teori feminisme, Helene Cixous menolak phallocentric dan menyatakan bahwaperempuan memiliki geografi kenikmatan seksual yang lebih banyak dan lebih luas dari laki-laki. Dalam teorinya, Cixous memusatkan kajian feminisme pada aspek oposisi biner dan praktik penulisan perempuan dengan tubuh. Oposisi biner yang dimaksud Cixous merupakan menunjukkan salah satu bagian yang dianggap penting, satunya lagi tidak. Pada novel ini yang menjadi oposisi biner itu adalah tokoh Ibu Muda (kikir) dan Gadis Kecil (dermawan).

Pada cerpen ini, sejak awal kita diperkenalkan dengan dua tokoh paling penting dan sangat berpengaruh dalam penceritaan, yaitu Ibu Muda dan Gadis Kecil. Keduanya dari kalangan berbeda. Ibu Muda adalah tokoh intelektual yang hidup berkecukupan, sedangkan Gadis Kecil hanya pedagang makanan di sebuah kedai kecil. Ibu Muda memesan makanan kepada Gadis Kecil untuk menjaga staminanya dalam sebuah penelitian. Gadis Kecil yang berupaya bertahan hidup, akhirnya membantu Ibu Muda. Ibu Muda menawar harga makanan yang dipesan sampai harga minimal. Setelah kenyang, Ibu Muda beralasan bahwa dirinya lupa membawa uang, namun Gadis Kecil mengikhlaskan makanan yang dilahap habis oleh Ibu Muda itu.

”Tidak apa, Bu. Gadis kecil tersenyum. Tidak usah panik. Tidak perlu bayar. Kata-katanya sangat halus. Namun terasa menusuk” (Arnas, Sumatera Ekspres, 17 Juli 2011).

Kalimat itu menggambarkan kemualiaan hati Gadis Kecil kepada orang yang sangat membutuhkan dan patut dikasihani, Ibu Muda. Sebelumnya, Gadis Kecil sudah ditekan oleh Ibu Muda dengan menawar makanan yang dijualnya.
Betapa takjubnya Ibu Muda mendengar pernyataan Gadis Kecil. ”Mungkin Ibu diutus-Nya (Tuhan). Saya bisa beramal. Saya sangat bersyukur. Ia ke belakang. Meninggalkan ibu muda.” (Arnas, Sumatera Ekspres, 17 Juli 2011).

Sepenggal cerita kemanusiaan yang tergambar dalam cerpen tersebut dipaparkan dengan bahasa yang singkat; hanya tiga kata. Itu menandakan bahwa pentingnya bersedekah karena hidup di dunia memang sangat singkat, seperti yang ditawarkan Benny Arnas dalam cerpennya. Dari gaya penulisannya, langkah-langkah Benny sejalan dengan teori menulis fiksi yang dikemukakan Asep Samboja (2007:31), di antaranya: (1) pemilihan tokoh yang menjadi tulang punggung cerita; (2) tokoh Ibu Muda yang semakin bermasalah, sehingga tokoh akan semakin unik dan cerita semakin menarik; (3) topik memperjuangkan sesuatu sehingga menjadi gereget; serta (4) inventarisasi topik menunjukkan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan orang lain, dengan masyarakat, dengan alam, dengan dirinya sendiri; serta orisinalitas ide ”cerita tiga kata” dikemukakan pertama kali oleh Benny Arnas.

Sejumlah sastrawan ternama seperti Umar Kayam, AA Navis, Kuntowijoyo, hingga Pramoedya Ananta Toer, dobrakan penting dalam sastra sangat ditunggu. Maman S. Mahayana pernah mengklaim bahwa Hari Minggu adalah hari cerpen Indonesia, di mana bangsa ini sangat menikmati temuan-temuan mutakhir dalam penulisan kreatif. Inilah mungkin masa-masa pencerahan akan lahirnya sastrawan muda yang diharapkan dapat membawa dan mengenalkan budaya bangsa pada dunia.

Sejarah sastra di Indonesia, setiap periode memiliki nama dan gaya penciptaan tersendiri, sebagai persetubuhan antara sastra daerah, sastra Indonesia, dan sastra dunia. Cerpen masih menjadi karya primadona yang mendapatkan tempat di hati pembaca. Dalam hal ini, Nurgiyantoro (1995:10) mengemukakan, cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.

Cerpen memiliki tempat khusus di koran-koran, khususnya di rubrik Citra Budaya Sumatera Ekspres. Sekian ratus cerpen lahir dari tangan para cerpenis setiap minggu, namun hanya seperbagian berhasil dimuat dalam rubrik koran. Kehadiran cerpen di sebuah koran merupakan bentuk fasilitasi yang menarik dari redaksi, dengan memformulasikan antara fakta (berita) dan fiksi (cerita). Menjelajahi koran, pembaca dimanjakan selalu bersinggungan dengan fakta berupa berita.. Kecenderungan cerpen di koran yang harus beriringan dengan peristiwa di dalamnya. Di tengah kondisi pers sebagai industri, kebebasan eksperimentatif dan eksploratif estetik cerpenis terus diasah untuk diselaraskan dengan space dan iklan, termasuk penyesuaian tema, peristiwa, maupun bahasa.**

Penulis adalah Editor, Penulis, dan Aktor Teater di Palembang



Daftar Pustaka

Arnas, Benny. Cerita Pendek ”Pada Sebuah Pagi; Cerita Tiga Kata”. Harian Pagi
Sumatera Ekspres, Minggu 17 Juli 2011.

Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tekni Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Samboja, Asep. 2007. Cara Mudah Menulis Fiksi. Jakarta: Bukupop.

Sofia, Adib. 2010. Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo.
Yogyakarta: Citra Pustaka.

Sastra dan Identitas

Oleh Elisa Dwi Wardani

Pada umumnya, pembicaraan mengenai identitas dipandang perlu ketika identitas berada dalam suatu krisis. Hal ini mengingatkan kita kepada dua pandangan yang bertentangan mengenai identitas.

Pandangan yang pertama adalah pandangan essentialism yang percaya bahwa identitas bersifat tetap, universal, dan tidak terpengaruh oleh wacana dari luar.
Dari sudut pandang tersebut, identitas menjadi tidak mungkin untuk berubah sehingga pengaruh-pengaruh dari luar dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan sebuah identitas. Pandangan inilah yang melahirkan berbagai stereotip yang beredar di sekitar kita.

Sebaliknya, pandangan anti-essentialism meyakini identitas sebagai sesuatu yang bersifat cair, terbentuk oleh wacana-wacana dari luar yang kemudian diinternalisasi dan menjadi bagian dari diri seseorang, serta bahwa identitas merupakan penstabilan makna secara temporer.

Pandangan anti-essentialism yang postmodernis tersebut melihat identitas sebagai sebuah konstruksi yang dipengaruhi oleh berbagai wacana dari luar yang saling terkait. Hal tersebut memungkinkan seseorang untuk mengikatkan dirinya pada lebih dari satu konstruksi identitas pada saat yang bersamaan atau mengikatkan dirinya kepada konstruksi makna yang lain di lain waktu.

Identitas di dalam postmodernisme sangat terkait erat dengan bahasa karena pembentukan identitas seseorang tidak lepas dari bahasa. Identitas diri seseorang bahkan terdiri dari dan terbentuk oleh bahasa.

Bahasa dan praktik berbahasa menurut Foucault, sanggup menempatkan seseorang pada posisi sebagai subjek dalam bahasa, misalnya sebagai “perempuan”, “laki-laki”, “homoseksual”, “gila”, “orang asing”, dan sebagainya.

Lebih dari itu, bahasa dan praktik berbahasa juga dapat dipakai sebagai alat untuk memposisikan seseorang sesuai dengan keinginan. Tujuannya adalah untuk menghasilkan manusia-manusia yang bisa diperlakukan sesuai keinginan, yang bisa diukur, dinilai, dilatih, dihukum, disiksa dan sebagainya.

Dengan demikian, bahasa bisa dimanipulasi oleh kekuasaan untuk tujuan-tujuan tertentu. Sebagai media dalam sastra, bahasa memiliki kekuatan untuk menjadi salah satu diskursus yang membentuk identitas.

Sebagaimana dikatakan oleh penyair Taufiq Ismail, penyair adalah penguasa kata-kata. Walaupun seorang penyair, seperti kata Taufiq Ismail, mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.”

Sebagaimana teks adalah bukan sesuatu yang muncul dari kehampaan yang mandiri namun dibentuk oleh suatu praktik diskursus, maka pencerahan sang penyair tersebut tentunya berasal dari pemaknaan sang penyair pribadi mengenai wacana-wacana yang ada di sekitarnya.

Ideologi sang penyair pada gilirannya akan direproduksi dalam representasi yang terwujud dalam karya sastra. Dengan kata lain, pada akhirnya kuasa yang ada dalam kata-kata yang diolah oleh seorang penyair akan menghasilkan sebuah realitas tersendiri.

JK Rowling dan serial Harry Potter-nya yang mengisahkan tentang seorang anak yang memasuki sekolah penyihir Hogwarts sempat menimbulkan reaksi hebat di kalangan pembacanya.

Dalam sebuah wawancara JK Rowling mengakui bahwa dia menerima banyak surat dari anak-anak yang dialamatkan kepada Profesor Dumbledore, kepala sekolah penyihir Hogwarts, yang meminta supaya mereka bisa diterima di sekolah tersebut.
Beberapa dari para pengirim surat tersebut menyatakan bahwa mereka sangat sedih dan sangat berharap bahwa sekolah penyihir tersebut benar-benar ada. Hal ini menunjukkan betapa karya sastra adalah sebuah reproduksi yang mampu menjadi realitas itu sendiri.

Batas antara realitas dan representasi telah menghilang, karena representasi sekarang telah menjadi sebuah realitas. Apa yang khas mengenai sastra menurut Ignas Kleden adalah sifat dialektikanya yang menghubungkan makna tekstual dan makna referensial, dan kemampuan sastra untuk mengedepankan makna tekstual. Hal ini menjelaskan bagaimana karya sastra bekerja.

Realitas yang terbentuk dalam karya sastra menurut Lacan bagaikan cermin yang merupakan refleksi yang palsu dari identitas diri kita yang sesungguhnya karena ia hanya memberikan sesuatu yang bersifat imajiner. Meskipun demikian, sepanjang hidup kita, kita selalu mencari keotentikan dan identitas kita dalam ilusi yang sayangnya tergantung dari cara orang lain menunjukkan bagaimanakah wujud kita tersebut.
Karya sastra yang terdapat di seputar kita boleh dikatakan menjadi salah satu diskursus yang saling terkait dengan diskursus-diskursus lain yang saling berebut untuk menjadi sebuah point of attachment bagi konstruksi identitas kita.

Abad ke 21 sering disebut-sebut sebagai abad di mana kemajuan teknologi berkembang pesat yang menyebabkan menghilangnya batas-batas. Dampaknya, manusia akan terhubung satu dengan yang lainnya seolah-olah tanpa ada waktu, ruang dan tempat yang membatasi.

Kondisi tersebut memiliki potensi untuk mengaburkan identitas manusia itu sendiri. Dengan keterbukaan ala globalisasi, manusia nampak menjadi homogen. Dalam hal inilah sastra sebagai salah satu diskursus pembentuk jati diri memiliki peluang untuk ikut menstabilkan makna jati diri seorang manusia.

Ketika batas-batas membaur, dan bukan hanya batas-batas antar ruang dan waktu saja yang membaur, namun juga batas-batas antara disiplin ilmu, maka persoalan-persoalan akan membutuhkan pendekatan yang lebih interdisipliner.

Barangkali tidak berlebihan apabila sastra dinantikan sebagai sebuah agen yang mampu mengkonstruksi identitas, yang akan mampu untuk ikut menjawab tantangan mengenai persoalan identitas manusia**

*) Elisa Dwi Wardani, Dosen Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma **) Artikel ini kerja sama Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma dengan KR.