Senin, 27 Desember 2010

SAKIT ITU NIKMAT


Oleh Imron Supriyadi
Pada suatu sore, Annisa (5 tahun), putri sulung saya jatuh terjerembab. Lutut kakinya lecet tergesek aspal. Tangannya juga bernasib serupa. Kulit arinya terkelupas. Ada bercak darah yang seketika mengembun dari pori-porinya. Tidak terlalu parah memang. Tetapi luka lecet di kedua lutut anak saya cukup beralasan jika dia harus menangis karena menahan rasa sakit. Untuk ukuran orang tua, luka itu memang tak seberapa. Tetapi bagi sebagian anak seusia anak saya sangat mungkin hal demikian itu memaksanya harus menangis.
Tangisnya kian meledak saat saya kemudian keluar menyambutnya. Dia menganggap saya akan langsung memanjakan dan menggendongnnya. Tangannya menjuntai ke arah saya. Tetapi saya tidak langsung menerima permintaan itu. Kian meraunglah suara tangis anak saya.
“Sakit, kan?! Itulah hasilnya kalau jalan tidak hati-hati. Siapa yang salah?” tanya saya memancing argumentasi anak saya, untuk tidak menyalahkan orang lain ketika dia terjatuh.
“Ca..caa…,” katanya terbata-bata menyebut nama panggilan akrabnya.
Selesai saya obati, anak saya terlelap bersama rasa nyeri lutut dan tangannya. Saya kemudian meninggalkan anak saya di dalam kamar sendirian, setelah sebelumnya saya mencium keningnya.
Demikian indah rasa sakit itu, ketika kemudian mengantarkan anak saya bisa tidur siang. Jika tanpa ada kejatuhan, anak saya akan menolak untuk diperintah tidur siang. Jatuhnya anak saya adalah bahasa langit yang kemudian menyadarkan saya, betapa keinginan baik dari orang tua yang ditolak mentah-mentah oleh anak, kemudian diambil alih kewenangannya oleh Tuhan, dengan cara “sakit dan jatuh” lebih dulu, baru kemudian anak saya bersedia berbaring dan terlelap.
Dalam skenario langit, Tuhan telah sedemikian banyak menciptakan jutaan rasa sakit yang acap kali kita anggap cobaan, teguran atau bahkan laknat. Tetapi sedemikian sombongkah kita jika kemudian menganggap rasa sakit yang menimpa kita sebut sebagai cobaan. Sudah berapa banyakkah kita berlaku adil atas karunia-Nya, sehingga kita menganggap rasa sakit itu sebagai cobaan? Seberapa taatkah kita? Lalu teguran. Seberapa salah yang telah kita lakukan sehingga kita menganggap rasa sakit yang kita derita sebagai teguran? Pernahkah kita kemudian melakukan perhitungan (muhasabah diri) atas segala kelalaian kita yang telah melakukan dosa ritual, dosa sosial dan dosa struktural dalam system tatanegaraan kita, jika kemudian kita menyebut rasa sakit itu sebagai teguran? Lalu laknat. Bukankah Tuhan Maha Pengampun? Pantaskah Tuhan melakukan laknat terhadap mahluk ciptaan-Nya sendiri hanya lantaran kesalahan yang sebenarnya kesalahan itu sendiri adalah bagian proses untuk mengantarkan mahluk-Nya menemukan kebenaran?
Apapun julukan kita terhadap rasa sakit, tetap saja akan menjadi indah ketika rasa sakit itu bukan dijadikan sebagai keluhan, penderitaan apalagi halangan untuk tetap saya berterima kasih atas semua “bonus gratis” dalam hidup, yang Tuhan sendiri memerintahkan kita hanya untuk “mengabdi” tak ada lain. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk mengeluh, mengumpat apalagi menghujat terhadap rasa sakit. Sebab dengan rasa sakit kita akan sangat paham betapa nikmatnya sehat. Dengan rasa sakit kita makin banyak tahu tentang sakit-sakit lain yang mungkin selama ini diderita oleh banyak orang, sementara kita memilih mentertawakannya. Dengan rasa sakit itu, Tuhan sedang memanusiakan kita, agar kita tersadar kalau sebenarnya kita ternyata hanya bisa mengeluh saat ditimpa rasa sakit, dan akan tertawa, bahkan terjerumus dalam kelalaian saat kita sehat. Maka nikmatilah rasa sakit itu, sehingga dengan sakit itu kita akan lebih memahami Tuhan sedang menyapa kita, meski sapaan itu dengan rasa sakit. Demikian pula, sore itu, ketika anak saya jatuh sebenarnya bukan sedang melukai anak saya, tetapi sebaliknya Tuhan sedang mengasihi anak saya, memaksa anak saya untuk lelap sebentar demi keberlangsungan tenaganya di esok hari.**

Palembang, 5 Agustus 2010

Sabtu, 25 Desember 2010

Sedang Tuhan Pun Bisa Mati


Cerpen Imron Supriyadi

Siapa bilang Tuhan tak bisa mati! Tuhan bisa saja mati.! Tuhan sering dibunuh oleh semua. Bukan saja aku, tetapi, kau dan kita! Ya semua telah melakukan pembunuhan Tuhan. Bukan seorang kiai. Bukan seorang bhiksu dan pastor. Bukan pula seorang suster, sampai seorang birokrat dan para kaum gembel, semua juga melakukan pembunuhan Tuhan. Maka Tuhan pun bisa mati. Kalau dulu Nietcshe mempermaklumkan kematian Tuhan. Kini, aku mengatakan, Tuhan pun bisa mati.
Tuhan sering terbunuh oleh kita. Bahkan kita sengaja membunuhNya. Kemarin, Warman teman kerjaku menceritakan bagaimana Tuhan telah tergadai oleh sepiring nasi. Lalu ditempat lain, Tuhan diperjual-belikan sebanding dengan harga kangkung. Tuhan sudah bisa ditawar. Tuhan dihargai murah. Tuhan diperdaya, dengan dalih mempertahankan hidup.
Belum lagi puluhan pedagang lainnya, turut melakukan hal yang sama. Mereka membuang, dan menginjak Tuhan di hadapan para pembeli dengan terang-terangan. Pada sebuah kedai malam, tempat berkerumunnya para perempuan dan laki-laki, kembali Tuhan diperdaya. Tuhan dibutakan sama sekali. Dan proses pembunuhan Tuhan pun kembali terjadi. Tuhan benar-benar ditiadakan, sekalipun ketiadaan itu adalah Tuhan. Tawa dan canda membawa mereka semakin mengubur Tuhan. Larangan bukan lagi yang mesti ditakuti. Semua mereka jalani, tanpa lagi melihat Tuhan. Dan di dalam kamar remang, Tuhan pun terselip di balik kasur. Terlibas oleh dengus napas yang memburu hingga pagi tiba.
Dalam gedung pemerintah, tempat berkumpulnya orang-orang yang mengaku mewakili rakyat. Ada seribu lagi cara orang-orang membunuh Tuhan. Ketika sebuah pabrik dilaporkan melakukan pencemaran. Maka, ratusan orang pun berduyun-duyun membawa nama Tuhan ke gedung itu. Katanya, demi lestarinya bumi Tuhan. Maka berteriaklah orang-orang tadi. Begitu juga orang-orang yang suka berkerumun di gedung pemerintah itu. Mereka bicara lantang. Seakan Tuhan berada di samping kanan kiri mereka. Lalu mengatas-namakan pelestarian lingkungan, demi terjaganya sungai titipan Tuhan, mereka memperdebatkan, sampai tak ada ujung pangkalnya. Esoknya, surat kabar bicara, limbah pabrik dianggap selesai. Bumi Tuhan kembali dinyatakan bersih dari pencemaran.
Mulut-mulut pun terbeli oleh segepok rupiah. Maka suara Tuhan pun tergadai lagi. Kerusakan dianggap perbaikan. Perbaikan diangap mengganggu stabilitas pabrik. Mereka lalu membuat Tuhan menjadi Tuli. Orang-orang telah membutakan Tuhan dari ketidak-butaan. Maka, mereka juga telah membuat Tuhan menjadi mati. Tuhan telah Mati dalam kedirian mereka. Mati dalam detak jantungnya, sehingga Tuhan bisa seenaknya dipanggil dan diusir kapan saja. Tuhan tak ubahnya seperti seorang pembantu. Ia dipanggil ketika dibutuhkan. Lalu diusir ketika tidak lagi dibutuhkan. Tuhan hanya sekedar barang pelengkap. Tak ada yang berarti apa-apa. Ternyata Tuhan benar-benar mati. Mereka telah membunuhNya.
Pada sebuah mihrab masjid, atau di gereja dan vihara. Bukan saja para kiai, pastor, dan bhiksu, mereka juga sama melakukan pembunuhan Tuhan. Kujumpai orang-orang yang mengaku moralis itu, berjibaku dengan kediriannya manusia yang paling dekat dengan Tuhan. Kiai, dengan ceramah dan petuah-petuahnya, menidurkan kaumnya menjadi kaum yang suka menghitung pahala. Para kiai sudah mengajari umatnya, mengukur ibadah dengan angka-angka. Ibadah ritual sudah bisa dihitung dengan material. Demikian pula pastor, dan bhiksu. Melakukan pendekakan diri kepada Tuhan, tanpa mempertanyakan dimana ia tinggal, dan berapa jumlah orang lagi yang masih merasakan lapar dan haus. Bukan kiai, pastor dan bhiksu, mereka semua membunuh Tuhan, sambil mereka asyik melakukan onani spiritual. Seolah sorga telah menjadi milik mereka.
Tetapi, malam kemarin, Malaikat mengabariku. Katanya, "Pada saatnya nanti, di hadapan Tuhan, banyak manusia yang terbalik. Ada ulama, kiai, pastor dan bhiksu masuk neraka. Tetapi tidak sedikit para preman dan maling masuk sorga."
Ketika para kaum moralis itu bertanya, maka Tuhan pun menjawab, "Kalian adalah manusia-manusia egois. Kalian merasa, bahwa hanya kalian saja yang berhak atas sorga. Bukan! Bukan sama sekali. Sebab, ketaatan bukan saja memuji dan memujaku sepanjang hari. Hei, kalian semua, para kiai, bhiksu dan pastor, ternyata dalam ketataan, kalian telah mengesampingkan semua keadaan yang namanya lapar, kehausan keterbelakangan, dan ketertindasan. Kenapa kalian hanya diam dengan keadaan seperti itu? Kenapa kalian tidak perjuangkan juga, sebagaimana kalian berjuang untuk mendapatkan sorga?"
Semua begong. Dan tertunduk malu. Sebuah kekuatan asing tiba-tiba menarik mereka dengan kasar. Hanya lengkingan saja yang terdengar. Kemudian suara gemuruh meningkahinya. Lalu, kematian Tuhan pun terjdi di berbagai kantor pemerintah, swasta dan kantor agama sekalipun. Sekelompok orang berduyun-duyun melamar di lembaga agama. Katanya, mereka berniat untuk lebih dekat dengan Tuhan. Dengan berbagai cara, mereka lalu masuk.ke dalamnya, setelah sebelumnya mereka juga harus menggadaikan Tuhan dalam diri mereka dengan harga 15 sampai 20 juta rupiah. Di sebuah kantor agama, tempat orang banyak bertanya tentang Tuhan. Tempat berkumpulnya orang-orang yang mengaku dekat dengan Tuhan. Di sana, masih juga ada pembunuhan Tuhan.
Tapi sebenarnya zat Tuhan takkan pernah mati. Ia akan tetap hidup. Soalnya, akankah Tuhan tetap hidup dalam kedirian kita? Bisakah kita terus mempertahankan Tuhan tetap bersemayam dalam kerohanian kita? Atau kita juga bagian dari orang-orang yang sering membunuh Tuhan?**

Palembang, 2001



Neo Lysistrata


Cerpen Imron Supriyadi

Minggu terakhir, Pak Kardi, Boss di sebuah perusahaan yang bergerak di periklanan, sedang merasakan puncak kesuksesan. Betapa tidak, dalam enam bula terakhir, perusahaan yang dipimpinnya berhasil meraup untung diatas target. Kalau dibahasakan dengan istilah yang ngetrend, perusahaan Pak Kardi sedang mendapat surplus. Tentu saja, kesuksesan Pak Kardi ini, tidak lepas dari dukungan semua pihak, baik karyawan ataupun kepercayaan klien yang sudah banyak mempercayai pada Pak Kardi untuk membuat iklan.

Suatu ketika, Perusahaan Pak Kardi mendapat tawaran untuk membuat iklan yang aagak syuur. Pesanan iklan ini, sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan perempuan, tetapi, pihak klien meminta agar Pak Kardi bisa menampilkan iklan ini dengan sosok perempuan cakep dengan gaya sedemikian rupa. Tentu saja sebagai daya tarik publik.
“ Jika iklan ini berhasil, you bisa teken kontrak lebih panjang lagi, Pak”, Begitu janji manis klien Pak Kardi ketika mengadakan negosasi dikantornya.
Tentu saja, kesempatan ini tidak disia – siakan oleh Pak Kardi. Dalam waktu singkat, Pak Kardi sudah mendapat ide, sekaligus seorang perempuan yang akan menjadi tokoh utama dalam iklan itu. Berkat kerja tim yang sudah terlati, perusahaan Pak Kardi berhasil membuat iklan dengan gaya yang khas. Hampir tidak ada kesan mengadopsi dartiproduk lainnya. Iklan ini, ternyata bukan saja ditayangkan dilayar televisi, namun diterbitkan juga oleh beberapa media dalam dan luar negeri. Dengan simbol seorang perempuan yang berpose setengah bugil, iklan ini kemudian mencuat menjadi iklan yang digemari oleh semua kalangan. Bahkan seorang anak dibawah umurpun sempat hapal dengan joke – joke dalam iklan itu.
Akhirnya, Pak Kardi mendapat selamat dari beberapa klien dan koleganya. Bahkan, hari – hari berikutnya, perusahaan Pak Kardi tak henti – hentinya mendapat tawaran untuk pembuatan iklan. Tapi resikonya, dalam beberapa hari belakang, Pak Kardi memang harus kerja ekstra dibanding hari sebelumnya. Konsekuensinya, Pak Kardi juga harus pulang larut. Bahkan, kadang – kadang Pak Kardi terpaksa tidur dikantor.
Pada suaru malam, Pak Kardi baru saja pulang dari kerja. Pak Kardi tampak lusuh. Guratan diwajahnya, menggambarakan dirinya sedang begitu lelah. Dalam benaknya, terbnayang sambutan Tina, istri tercintanya dengan senyum ramah dan ciuman mesra. Tapi apa yang terjadi ? Semua bertolak belakang, dengan apa yang dibayangkan.
“ Ini hasil kerjamu selama beberapa hari kau tak pulang kerumah ! Rupanya Papa sudah puas dengan berbagai model, ya!”, Serang Tina seketika, sembari melempar sebuah surat kabar ke hadapan suaminya itu.
Pak Kardi sempat terkejut. Sebab, selama ini, yang ia ketahui, istrinya hanya tahu bahwa Pak Kardi bekerja sebagai pimpinan perusahaan yang bergerak di bidang periklanan. Tentang bentuk,produk dan iklan apa Pak Kardi tak pernah cerita tentang itu.
“ Tenang – tenang, Ma. Ia hanya seorang photo model, bukan seburuk yang kau bayangkan itu, Ma!.
“ Alaah, laki – laki ! Dimana saja juga sama ! Jawabnya selalu begitu. Enggak, deh, Ma. Swer, deh, hanya kau yang aku cinta, percayalah, Ma”.
“ Hemh ! Dasar laki – laki !”. Begitu sinis jawab Tina.
Malam itu, Pak Kardi, tak berhasil juga membujuk Tina istrinya untuk memahami hasil kerjanya. Bahkan , sampai sepertiga malam terakhir, Pak Kardi tak mendapat jatah seks dari Tina. Nah, mati lho, begitu kata haiti Tina, ketiak Tina mengelak untuk diajak bercinta malam itu.
Pagi hri, rumah Pak Kardi tampak ramai puluhan wartawan media,wartawan foto dan wartawan elektronik . Semua pekerja pers itu memenuhi rumah Pak Kardi. Menik, anak perempuan satu – satunya dari keluarga itu sudah tahu apa yang akan diperbuat oleh Tina, mamanya.
Hari itu, Tian dan Menik sekongkol untuk bersedia diekspose dengan setengah bugil. Sama seperti ketika Pak Kardi meng – ekspose pra model dibeberapa surat kabar. Sesaat para wartawan terperanjat. Sebab spesialisasi wartawan yang hadir beragam. Ada wartawan ekonomi, ada wartawan Hankam dan ada juga wartawan yang senang menjadi humasnya Pemda. Dan menunggu press release.
“ Mas – mas wartawan nggak usah ragu. Ini sudah kesepakatan saya dan anak saya, kok ! “’ Begitu kata istri Pak Kardi menjelaskan kepada para wartawan, yang tampak heran.
Beragam gaya, dan pakaian dikenakan setengah bugil. Jepretan – jepretan foto sudah tak terhitung lagi. Demikian juga Menik, ia secara bergilirandifoto berbagai gaya.
” Tante, posisis tante bisa agak menunduk lagi?” Celetuk wartawan, yang belakangan adalah wartawan yang suka gituan.
“ Oh, bisa – bisa. Bgaimana ? Beginbi?, begini?, atau begini?, Kata Tina tak malu – malu lagi berganti – ganti gaya, sembari mem[perlihaykan bagian – bagian tubuhnya yang sebenarnya hanya hak suaminya.
Bermacam gaya juga dilakukan oleh Menik, anak perempuan Pak Kardi. Ia tak kalah erotisnya dengan Mamanya yang masih genit. Tapi menurut bisik – bisik para wartawan, gaya Menik lebih memikat ketimbang Mamanya.
“ Wah ya sudah pasti, Menik kan masih a-be-ge, lagi mengkel – mengkelnya”, Seloroh wartawan lainnya tak kalah ngeresnya.
Hampir setengah hari para wartawan berada di rumah Pak Kardi, . Hanya untukmemotret Tina dan Menik.
“ Eh, Mas wartawan, tolong ya, gambar saya dibuat kaya begini ya, biar agar syuur, gitu, oke! “, ujar Tina, sembari menunjukkan model iklan yang diproduksi oleh perusahaan Pak Kardi suaminya.
“ Gampang, itu bisa diatur”, jawab wartawan itu enteng.
Malam mejelang, Pak Kardi pulang. Tina dan Menik menyambut dingin. Bahkan, Pak Kardi tak menemukan siapapun dirumah itu, kecuali hanya pembantu yang membukakan pintunya. Beberapa malam itu, Pak Kardi sudah menangkap sesuatu hal yang kurang enak di rumah itu.
“ Menik!…Menik!” Pak Kardi memanggil anak peempuannya. Tak ada sahutan apapun dari dalam kamar Menik.
Pak Kardi makin penasaran dengan situasi itu. Beberapa kali, ia mengetuk pintu kamar Menik, tapi ia tak berhasil menekan Menim untuk keluar dari kamarnya.
Dan betapa kagetnya, ketiak Pak Kardi masuk kamar pribadinya. Ia tak juga menemukan istrinya dikamarnya.
Pak Kardi kembali melangkah mendekati kamar Menik.
‘’ Heh! Apa – apaan kalian! Kalu mau protes jangan begitu dong caranya. Semua kan bisa dibicarakan. Kalu kalian mau protes ya harus prosedural, struktural dan konstitusional, jangan ngamar begitu”, Ujar Pak Kardi yang sudah menduga, isteri dan anaknya telah sekongkol.
Sesaat, Pak Kardi harus mengaruk – garuk kepalanya yang tidak gatal. Sebentar – sebentar mondar – mandir didepan kamar Menik. Sesaat menyalakan rokok untuk membuang gelisah dan kekesalan. Tapi Pak Kardi tak juga menemukan jalan keluarnya, bagaimana harus menarik dua orang yang ada di dalam kamar.
Sampai menjelang pagi, Menik dan Mamanya, tidak juga keluar dari kamrnya. Sementara, terpaksa Pak Kardi harus tidur di sofa ruangan tamu malam itu. Ia tidur tanpa selimut, sekaligus tidak juga ditemani oleh Tina isterinya.
Pagi hari, sepertinya, Pak Kardi sudah tak bisa lagi menahan emosi dadanya yang penuh sejak semalam. Belum lagi, pagi itu, Pak Kardi membaca sebuah surat kabar pagi itu, dengan dua prifil perempuan sekaligus dengan pose setengah bugil. Kedua wajah itu benar – benar sudah ia kenali. Siapa lagi kalau bukan anak dan isterinya.
Kali ini, Pak Kardi benar – benar kebakaran jenggot. Ia tak mendugas sama sekali kalau anak dan isterinya telah bersekongkol melakukan foto setengan bugil di depan kamera untuk publikasi. Pak Kardi benar – benar terhempas batinya. Ia merasa ditampar!
Seolah, keberadaannya sebagai suami tidak lagi dihargai.
Amarahnya muncul. Beberapa kali, Pak Kardi menggedor – gedir pintu dengan harapan, tina dan Menik akan segera keluar dan mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Pak Kardi menggedor pintu lebih keras lagi. Tentu saja, gedoran pintgu sempat mengganggu ketenangan Tina dan Menik, yang sebenarnya sudah bangun sejak pagi tadi.
Sesaat kemudian, pintu terbuka. Menik dan Tina langsung menyongsong Pak Kardi dengan kalimat – kalimat yang kurang bersahabat.
‘’ Sekarang apa maumu, Pa!? Apa maumu ?! Ayo jawab!?”, Kata Tina menantang. Tangannya bertolak pinggang. Seakan, ia sedang menghadapi musuh untuk segera bertarung.
Menik hanya berlindung dibelakang Mamanya.
Melihat itu, Pak Kardi merasa terpojok oleh Tina dan Menik. Ia pun bangkit . wajahnya menatap tajam kearah Tina dan Menik. Matanya melotot ke arah anak dan isterinya secara bergantian. Pagi itu, Pak Kardi memang harus mengembalikan posisinya sebagai suami dan seorang Bapak bagi anaknya.
Apa yang telah kalian lakukan dalam koran ini, heh’’, Ujar Pak Kardi sembari memperlihatkan gambar perempuan berpose setengah bugil ke hadapaan mereka. Mereka berdua hanya mencibir sinis. Karena mereka sudah pasti tahu mengapa itu harus terjadi. Kalu sebelumnya Tina yang menyodorkan koran kepad Pak Kardi, kali ini, giliran Pak Kardi yang menyodorkan kehadapan Tina.
‘’ Nih, lihat! Ini!’’, Kata Pak Kardi kesal, ketiak melihat Tina dan Menik hanya saling pandang.
‘’ Trus, sekarang semua sudah terjadi, lalu apa ayang ingin Papa lakukan pada aku da Menik, ayo lakukan saja !”, Tina kembali menantang.
‘’ Ini merusak nama baik, Ma.. nama baik !!….”
‘’ hmh ! Nama baik ! Nama baik macam apa yang Papa makd\sud. Nama kali ini bukan lagi waktunya untuk bicara nama baik, Pa ! Papa yang lebih dulu mencemarkan nama baik perempuan yang telah melahirkan kaum laki – laki ! ‘’, Kata Tina sedikit argumentatif.
Sampai di ujung siang, persoalan tak juga selesai. Pak Kardi tetap mempertahankan prinsipnya. Iklan dengan perempuan setengah bugil - nya terus di- ekspose oleh Pak Kardi dan cru. Tentu saja demi keuntungan bisnis. Seminggu setelah kejadian itu, Pak Kardi menjumpai kabar yang lebih buruk lagi tentang anak dan isterinya. Tina dan Menik tampil lebih bugil dari sebelumnya. INI PROTES DARI KAMI, begitu judul besar yang tertulis diatasa cover surat kabar mingguan. Pak Kardi benar – benar tertampar oleh ulah nak dan isterinya hari itu..
‘’Pak, ada model baru yang bisa kita berdayakan di promo kita, Pak, “ Ujara karyawan Pak Kardi yang sama sekali tidakmengetahui jika kedua perempuan itu adalah anak dan isteri Pak Kardi.
‘’ Iyya, Pak, kayaknya model ini tampil lebih berani dari model – model yang kita tampilkan !’, Ujar yang menimpali.
Pak Kardi diam. Ia hanya tersandar lemas di sofa panjang. Drama Lysistrata, sepertinya sedangan menghujam diri Pak Kardi. Liysistrata, sebuah kisah aksi mofok seks para kaum perempuan, ketika para suaminya tak bersedia menghentikan perang. Berkat protes kaum perempuan itu, akhirnya perang berhenti. Mungkin ini Lysistrata buat Pak Kardi . Ya, Neo Lysistrata.**

Palembang, Demang L, daun. 10 Agustus 2000
Sriwijaya Pos, Minggu 26 September 2000






Ketika Iblis Membentangkan Sajadah


Cerpen Imron Supriyadi

Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum’at. Saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk. Ia masuk dari segala penjuru. Masuk lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lobang pembuangan air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga. Masuk ke dalam syaraf mata. Masuk ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah.

“Hai, Blis!”, Panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu.
Iblis merasa terusik.
“Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!”, Jawab Iblis Ketus.
“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci. Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!”, Kiai mencoba mengusir.
“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru”.
Kiai tercenung.
“Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu”.
“Dengan apa?”
“Dengan sajadah!”.
“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”
“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!”
“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru, Blis”.
“Bukan itu saja Kiai”.
“Lalu?”
“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar”.
“Untuk apa?”
“Supaya, Saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai!”
“Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar, maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam ke-renganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah.
Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus.
Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar, seenaknya saja membentangkan sajadahnya. Tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang.
Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil, membentangkan saja sajadahnya. Sehingga, sebagian sajadah yang lebar, tertutupi sepertiganya. Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
“Nah, lihat itu Kiai!”, Iblis memulai dialog lagi.
“Yang mana?”
“Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka”.
Iblis lenyap. Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.
Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan membuktikan apa yang dikatakan Iblis.
Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya, diatas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil, kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa. Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi diatas, ketimbang menerima dibawah. Diatas sajadah, orang sudah beberbut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas. Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat, harus lebih diatas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah, yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa. Diatas sajadah, Iblis telah menjagari orang selalu menguasai orang lain.
“Astaghfirullahal ‘adziiiim”, Ujar Kiai pelan.
**
Ba’da Subuh. Orang-orang sudah beranjak dari Masjid. Mereka menuju ke rumahnya masing-masing. Dan beberapa menit, atau beberapa jam kemudian, masing-masing orang sudah disibukkan oleh pekerjaan keseharian. Apalagi kalau bukan untuk mempertahankan hidup. Masjid menjadi lengang dari jamaah. Sementara, Iblis tetap duduk bersimpuh di depan mihrab. Ia begitu khusyuk. Seolah, Iblis sedang bertaqorrub kepada Tuhan. Dalam keheningan, isak tangis Iblis terdengar samar. Sesekali, Iblis menyeka air matanya yang ber-urai.
Tak lama kemudian, Kiai datang. Iblis tak menghiraukan kedatangan Kiai. Sesaat, ia memperhatikan Iblis itu. Tetapi kemudian, Kiai mengalihkan pandangannya ke hadapan sajadah, dan melakukan sholat sunnah.
Usai sholat, Kiai kembali memperhatikan gerak-gerik Iblis, yang masih tetap khusyuk. Dan tidak berapa lama, Iblis mengusap mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia baru selesai melakukan ritual ke-agamaan. Matanya masih sembab. Karena sejak pagi tadi, Iblis itu menangis.
“Blis, Aku ini heran”, Kata Kiai setelah duduk di sebelah Iblis.
“Kenapa, Kiai?”
“Kau ini aneh. Kau kan mahluk yang diusir dari Sorga oleh Tuhan. Tetapi, hari ini, Kau menangis sejadi-jadinya di hadapan Tuhan”.
Mata Iblis berbinar. Ia merasa berhasil menarik perhatian Kiai.
“Saya hanya berusaha, Kiai. Siapa tahu, dengan tangisan ini, saya dan kawan-kawan bisa mendapat pengampunan”.
“Tetapi, bagaimana bisa Kau menangis, sementara, selama ini Kau sudah menanam kebencian terhadap Tuhan?”
“Ah, Kiai bisa saja. Tangisan ini kan konsekuensi dari pangakuan dosa saya”.
Kiai tercenung sesaat.
“Tapi, Blis. Selama ini, saya tidak pernah bisa menangis dalam beribadah?”
“Ya, mungkin, anda belum khsusyuk”.
Kiai tersentak.
Selama ini, orang desa selalu meng-elu-elukan beribadahnya Kiai. Tetapi, hari itu, Kiai dikatakan oleh Iblis, Kiai tidak khusyuk beribadah. Ini pukulan berat bagi Kiai. Tetapi, sekalipun dadanya sesak, Kiai tetap mencoba bijak.
“Kalau boleh tahu, kenapa Kau bisa menangis?”, Kata Kiai mengatur emosi.
“Ya, karena saya pernah melakukan dosa”, Jawab Iblis enteng.
“Dosa yang bagaimana?”
“Dosa apa saja. Bisa membunuh, minum-minuman keras, atau juga berzina”.
Kiai kembali tersentak.
Sebab, seumur hidup-nya, Kiai ini belum pernah melakukan dosa yang disebut Iblis.
“Apakah, kalau saya belum pernah melakukan dosa yang Kau sebut tadi, kemudian, saya tidak bisa menangis setiap sehabis sholat?”
“Wah, ya jelas. Kalau sudah melakukan dosa, kan ada penyesalan. Nah, baru kemudian, Kiai bisa menangis pada saat beribadah atau setiap sehabis sholat”, Kata Iblis mulai membuat jebakan.
“Tapi, saya tidak berani berzina. Itu larangan Tuhan. Itu dosa besar?”
“Membunuh!”, Iblis memberi alternatif.
“Wah, apalagi membunuh! Saya ini penakut!”
“Ya, kalau begitu, minum-minuman keras saja. Ini yang paling ringan”.
Kiai tercenung lagi.
“Bagaimana? Kalau Kiai Setuju, nanti malam, saya akan jemput Kiai. Saya akan tunjukkan bagaimana, Kiai harus mulai melakukan dosa, agar nanti, kalau Kiai sholat, Kiai bisa menangis seperti saya”.
**
Waktu Isyak berlalu. Iblis dan Kiai keluar dari Masjid. Orang-orang sekitar hanya menatap heran, ketika ada warga baru yang sudah demikian akrab dengan Kiai mereka. Tapi, tak seorang pun yang berani melarang. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Sementara, Iblis sudah membawa Kiai menembus malam.
Pada sebuah Kedai, agak jauh dari perdusunan, tempat Kiai tinggal. Banyak Laki-laki dan perempuan berkumpul di situ. Kata-kata kotor, dan suara manja perempuan kampung yang siap melayani para lelaki, makin jelas terdengar. Bermacam botol minuman keras tersedia di Kedai itu.
“Bagaimana Kiai?”
“Aduh, gila Kau, Blis!”
“Mau minum apa?”, Tanya Iblis ketika keduanya sudah duduk.
“E…e….”
“Tidak perlu gugup Kiai. Nanti juga terbiasa!”
Dua buah botol dipesan. Iblis menatap Kiai. Kiai tampak ragu. Sementara, Iblis sudah menuangkan minuman ke dalam gelas, yang ada di hadapan Kiai.
“Ayolah, Kiai. Setelah minum ini, saya yakin, Kiai bisa lebih khusyuk, dan bisa menangis, ketika nanti Kiai sholat”.
Sedikit demi sedikit, Kiai terkena rayuan Iblis. Tak berapa lama, Kiai sudah mabuk berat. Iblis beri kode pada salah satu perempuan. Salah satu perempuan, kemudian membawa Kiai ke satu rumah, tepat di belakang Kedai.
Langit gelap. Mata Kiai juga menjadi gelap. Sementara, desah napas Kiai dan perempuan itu menjadi satu gerakan erotis yang menegangkan. Keringat bercucuran. Detak jantung keduanya berdegup kencang. Petikan ayat, hadits dan mutiara hikmah, tak lagi mampu membentengi hasrat Kiai. Yang ada hanya napas yang memburu.
Sepertiga malam terakhir, Kiai terbangun. Di sebelahnya, ada perempuan tergolek tanpa busana. Kia terkejut. Ia jadi blingsatan. Ia coba ucapkan kata Istighfar, tetapi, lidahnya kelu. Beberapa kali, Kiai mencoba sebut nama Tuhan. Tapi ia gagal. Ada ketakutan yang tiba-tiba menyusup. Kiai tak sempat lagi, mengingat rentetan kejadian, yang telah membawanya ke tempat itu.
Matanya menjadi gelap. Hatinya juga tersumbat. Sebuah pisau pemotong buah di atas meja ia hunjamkan ke perut perempuan itu. Seketika, jeritan dan lengkingan kesakitan perempuan itu membangunkan warga sekitar. Warga sudah berbondong-bondong. Menggedor dan berkerumun mengitari tempat Kiai dan perempuan itu tidur.
Pagi tiba. Kiai sudah berada di tiang gantungan. Sementara, dari kejauhan, Iblis tertawa lebar.
“Kurang ajar kau Iblis. Kau telah menipuku!” Teriak Kiai protes.
“Kiai, tak ada gunanya Kau memprotes. Kau sudah masuk dalam jeratanku. Kau harus menjalani hukuman berat”.
“Coba Kau selamatkan aku dari tiang gantungan ini, Blis!”
Iblis tertawa. Kali ini lebih lebar.
“Kalau Kiai ingin selamat dari tiang gantungan itu, bersaksilah atas namaku. Lalu tundukkan muka pada ku. Itu sebagai pengakuan Kiai, bahwa Kiai telah mau dan rela menjadi hambaku!”
“Aku adalah hamba Tuhan! Aku bukan hambamu!”
“Tapi pada posisi seperti sekarang, yang dibutuhkan Kiai bukan Tuhan, tetapi aku, yang telah membawa Kiai ke tiang gantungan. Maka segeralah tundukkan muka dan bersaksilah atas namaku!”
Kiai terdiam. Kepalanya tertunduk.
Tetapi, iblis tetap Iblis. Ia tak pernah menyelamatkan Kiai dari tiang gantungan. Iblis lenyap. Kembali pada alam-nya. Ia berlari membawa kemenangan. Dan besok atau lusa, Iblis akan kembali membentangkan sajadah**

lpm ukhuwah-iain rf-Palembang,
30 November 2001


Kerbau Desa Peralihan


Cerpen Imron Supriyadi

Aku hanya seekor Kerbau. Wujud dan bentuk tubuhku, sama dengan Kerbau yang lain. Nama tempat tinggalku Dusun Peralihan. Sebuah Desa, yang terletak di kawasan Tropis, pinggir selat Sunda.Tentang kapan aku lahir, sampai kini, aku sendiri juga bingung. Memang, sejauh ini, sudah banyak para peneliti yang mencoba merunut sejarah, asal-muasalku. Ada yang bilang, aku ini berasal dari negeri Belanda.


Ada juga pendapat, bahwa aku muncul ketika Desa Peralihan dilanda banjir. Dan ketika itu aku hadir dari tempat yang tidak diketahui tempatnya, lalu menjadi tumbal, sebagai se-saji, pencegah banjir. Karena, menurut warga desa, banjir yang menimpa, adalah simbol kemarahan Dewa. Oleh sebab iitu, sejak aku berhasil meng-hentikan banjir, maka sejak itu pula. Aku dipercaya sebagai Dewa penolong. Dan warga pun –menyembah-nyembah aku. Bahkan, ketika aku berak, orang segera berbondong-bondong, berebut memunguti tinjaku, lalu menyimpan-nya di dalam lemari es. Besok pagi, akan dijadikan se-suhunan, sebagaimana mereka menyembah Tuhan.

Pasca kemerdekaan, binatang sepertiku, tiba-tiba dilarang untuk dipelihara. Lurah Desa Peralihan, akan marah besar, ketika salah satu warganya, mencoba memelihara Kerbau sepertiku.
“Sejak hari ini, saya melarang dengan keras pemeliharaan kerbau. Sebab, Kerbau adalah binatang yang susah diajak kompromi. Binatang ini, tidak mengetahui tempat yang bersih. Tempat mandinya lumpur. Dan kalau ini terus dipelihara, jelas akan merusak citra Desa Peralihan di Kabupaten Sukamenang”, Ujar Lurah Desa Peralihan, dalam sebuah pidato resmi, di Balai Desa.
“Sekarang, yang mesti kita pelihara, adalah upaya melestarikan lingkungan yang hijau. Oleh sebab itu, saya mengajak dan mengharuskan, agar warga Desa Peralihan, segera mengganti Kerbau dengan memelihara tanaman. Nah, untuk menyeragamkan, tanaman ini, Bapak-bapak dan Ibu-ibu harus memelihara pohon Wuringin”.
“Dan perlu dikethaui, saudara-saudara. Pohon Wuringin ini, menurut nenek moyang kita, bisa membawa berkah di kemudian hari. Dan dulu, sebelum kita lahir, Pohon ini merupakan se-sembahan para leluhur. Oleh sebab itu, jika warga tidak bersedia memelihara pohon ini, sama saja, telah membunuh warisan leluhur”, Jelas Lurah Desa Peralihan, seperti pakar sejarah dadakan.
Larangan ini sempat menimbulkan protes warga.
“Ini tidak bisa diterima. Larangan Pak Lurah, jelas melanggar Hak Asasi pemeliharaan binatang”. Kata seorang warga.
“Betul, sesembahan kita, selama ini bukan pohon. Larangan ini, jelas melanggar kebebasan kita untuk memeluk agama, atau kepercayaan. Ini tidak fair”, Celetuk yang lain, menimpali sebelumnya.
“Ini tidak bisa kita diamkan!” Sela yang lainnya lagi.
**

“Pelarangan ini, jelas bentuk penindasan baru!. Kita tidak bisa menerima begitu saja dengan petuah Lurah itu. Kita harus melawannya!”, Kata seorang aktifis, di hadapan warga, yang merasa keberatan dengan pelarangan itu.
Sejak Lurah Desa Peralihan mengumandangkan pelarangan warga memelihara-ku, Desa Peralihan menjadi Desa yang dihimpit oleh rasa ketakutan, terutama dengan ancaman Lurah, yang akan memenjarakan kepada siapapun yang ketahuan memelihara binatang sepertiku.
.Persoalan baru pun muncul. Warga Desa Peralihan mulai terpecah. . Satu pihak, bagi yang ketakutan ancaman Lurah, mereka berbondong-bondong untuk menjual-ku ke pasar, lalu menggantinya dengan membeli Pohon Wuringin di koperasi, yang dikelola oleh keponakan Lurah Desa Peralihan. Tetapi, bagi warga yang protes, mereka mencoba tetap memeliharaku, tetapi, dengan cara diam-diam. Segala ancaman dan teror terus bermuncullan, terutama bagi warga yang mencoba memeliharaku.
Dan dalam lima tahun pertama, aku benar-benar dilibas oleh Lurah Desa Peralihan. Aku benar-benar hilang dari Desa Peralihan. Warga Desa Peralihan, sebagian besar sudah memilih memelihara Pohon Wuringin, ketimbang memeliharaku. Bahkan, di setiap halaman rumah, tikungan jalan dan pinggir sawah, sudah berjajar pohon Wuringin. Sementara, warga yang berseberangan dengan Lurah Desa Peralihan, masih tetap memeliharaku, sekalipun, mereka harus dalam ketakutan. Pada kesempatan itu, Lurah Desa Peralihan mengumbar senyum kemenangan. Ia merasa, menjadi orang yang paling berhasil merubah kepercayaan Desa Peralihan. Aku yang selama ini menjadi se-sembahan bagi warga Desa Peralihan, kini sudah menjadi sampah. Orang sudah mulai meng-agung-agungkan Pohon Wuringin. Inilah nasib kerbau sepertiku. Aku harus diinjak oleh kewenangan Lurah Desa peralihan, dengan mengganti simbol kebesaran Desa peralihan dengan Pohon Wuringin.
Dalam satu malam, aku hanya merintih, bersama para warga Desa Peralihan yang masih setia memeliharaku. Tetapi, memang berat, untuk tetap mempertahankanku sebagai kepercayaan warga. Satu bulan lalu, ada puluhan orang, diculik oleh satuan keamanan desa, antek-antek Lurah Desa Peralihan, gara-gara, mereka ketahuan melakukan upacara ritual yang masih meng-agung-agung-kanku. Dan puluhan orang itu, nasibnya belum jelas rimbanya. Entah, berapa banyak lagi korban berjatuhan, jika warga Desa Peralihan ini, tetap setia memeliharaku, sebagai se-sembahan.
Dukungan Lurah Desa Peralihan makin bertambah, ketika Pohon Wuringin yang telah menjadi se-sembahan itu, benar-benar membawa perkembangan desa. Sudah lebih dari tiga kali, Desa Peralihan mendapat santunan dan piagam penghargaan, sebagai desa swasembada dari Kabupaten Sukamenang. Belum lagi, Lurah Desa Peralihan juga membentuk beberapa Lembaga, yang di-ketuai oleh warga yang Pro Lurah Desa Peralihan. Tidak ada yang lain. Melalui Lembaga-lembaga itu, pelarangan pemeliharaan Kerbau terus dilakukan di beberapa Desa lain, se-kabupaten Sukamenang. Makin kuatlah posisi Lurah Desa Peralihan. Oleh sebab itu, dalam setiap kesempatan, Lurah Desa Peralihan, selalu menceritakan tentang berbagai keberhasilannya dalam setiap programnya, khususnya program penanaman Pohon Wuringin.
Lambat laun, Warga Desa Peralihan meninggalku. Meninggalkan Kerbau yang dulu sempat menjadi se-suhunan warga desa. Aku hanya menjadi barang yang tak ada artinya lagi. Sekelompok warga yang mencoba bertahan tetap memeliharaku, banyak yang berlari, menukarkan-ku dengan bibit Pohon Wuringin. Aku makin terpojok. Suara-suara dari kelompok pemelihara-ku sudah menjadi kelompok pinggiran, yang di-klaim melawan kekuasaan Lurah Desa Peralihan. Siapa melawan, risikonya masuk bui. Inilah yang menimbulkan ketakutan para warga.
Tahun ketujuh, kekuasaan Lurah Desa Peralihan, sepertinya, memang harus diselesaikan. Aku harus membawa citra-ku kembali. Dalam beberapa waktu, bersama warga Desa Peralihan yang masih setia memliharaku, berkumpul menyusun barisan. Aku kumpulkan barisan kerbau. Sementara, diluar pasukan Kerbau, aku juga mengumpulkan barisan binatang lain, yang merasa sakit hati dengan kesewenangan Lurah Desa Peralihan. Semua mahluk menyusun kekuatan. Bahkan, mahluk oportunis, seperti Bunglon, juga bergabung.
“Saudara-saudara, tugas kita adalah merobohkan semua pohon Wuringin di Desa Peralihan, atau di beberapa Desa se-kabupaten Sukamenang. Jangan ada yang pisah dari barisan. Sebab, Pohon-pohon itu, juga dijaga oleh beberapa Srigala, Singa, Harimau dan Ular. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan menjadi bangkai, atau dimakan. Kita tidak boleh mati konyol. Kita harus mati terhormat!”, Aku berpidato, menandingi Lurah Desa Peralihan.
Selama tiga bulan lebih, gerakan merobohkan pohon Wuringin perlahan berhasil. Hingga, akhirnya, pohon Wuringin tumbang. Sekalipun, masih ada akar-akar yang belum tercerabut. Darah dan nyawa tidak lagi terhitung. Dan akhirnya, Lurah Desa Peralihan pun mengaku kekuatan Koalisi Kerbau, bersama binatang dan para pemeliharanya. Kemenangan pun diraih. Dan Aku kembali menjadi se-sembahan warga Desa Peralihan dan desa lain se-kabupaten Sukamenang. Setiap warga kembali meng-elu-elukan kembalinya aku sebagai Dewa, sekaligus menjadi penguasa. Tetapi, Kerbau tetap saja, kerbau, aku tak bisa berbuat banyak. Hanya sekedar simbol ke-agungan, yang di-sembah-sembah. Dan ketika warga Desa Peralihan terhempas dengan masa paceklik, aku tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya mengoek, layaknya kerbau yang ada di kandang. Orang-orang pun kembali mengingat masa kejayaan Lurah Desa Peralihan. Kerbau, ya tetap saja Kerbau. Dalam Desa peralihan, sepertinya, Kerbau sepertiku tidak bisa berbuat banyak. Sementara, Pohon Wuringin lambat laun mulai menjalar kembali ke perut bumi, yang setiap waktu akan bersemi kembali Dan kebesaran “kerbau” yang ku-sandang, tak banyak bisa berbuat. Sebab, kewibawaanku, kharismaku, hanya warisan nenek moyang**

Palembang, 17 Nov 2001


Dear, Mr 5 Juta


Cerpen Imron Supriyadi

Enam bulan terakhir,Mirdan, teman sekost saya sedang dipusingkan oleh persoaalan rezeki, berupa setumpuk uang yang tiba - tiba datang dari berbagai sumber yang tak pernah diduga sebelumnya. Mungkin ini yang sering disebut para kiai Min haitsu layahtasih, rezeki yang datang tak disangka sebelumnya.

Namun yang jelas, rezeki yang didapat oleh teman saya itu bukan hasil rampokan, hasil pungli dan pula dari penyalahgunaan dana instansi tanpa prosedur yang jelas demi kepentingan pribadi. Kenapa saya berani mengatakan demikian? Karena saya yakin benar dengan integritas Mirdan dalam persoalan uang dan uang. Keyakinan saya berawal dari pergaulan saya dan Mirdan yang telah sepuluh tahun hidup dirumah kontrakan.
Bukan sekali dua kali saja Mirdan mendapat peluang untuk meraup jutaan uang dari beberapa oknum untuk menggolkan anaknya agar dapat bekerja diperusahaan atau instansi tertentu. Tapi berkali - kali pula Mirdan dan hanya tersenyum kecil lantas berucap.

"Maaf, sudah terlampau banyak dosa yang pernah saya lakukan. Bagaimana mungkin saya harus menerima dosa yang lain, sementara dosa yang kemarin saja belumtentu terbayar oleh perbuatan baik yang pernah dan sedang saya lakukan".
Sebenarnya, Mirdan bukan seorang pejabat tinggi yang memiliki otoritas tertentu bagi setiap karyawan di sebuah perusahaan atau instansi. Teman saya itu hanya seorang tukang rokok yang hidupnya tak lepas dari razia Tibum, pengusiran kaki lima atau tagihan retribusi bulanan sebagai uang sewa di mana ia berjualan. Kalaupun kini Mirdan menjadi sarjana , itu bukan lantaran kehendak hatinya yang ingin menyandang gelar sebelum namanya disebut atau ditulis dalam sebuah bloknote, tapi hanya memenuhi keinginan orangtuanya yang tak sempat mengenyam pendidikan formal. Berangkat dari sana , sebagai anak satu - satunya harapan orangtuanya, Mirdan menguras diri demi membahagiakan ayah dan ibunya.
Lantas bagaimana dengan orang - orang sekitar kontrakan yang tiba - tiba percaya bahwa Mirdan mampu menggolkan seberkas lamaran? Entah bagaimana proses terjadinya ketika teman saya itu memiliki kekuatan dari matanya, seperti seekor kucing yang hendak menundukkan tikus.
Ada semacam kekuatan tersembunyi dari balik lensa matanya, sehingga bukan seorang cukong saja yang kemudian gagal memaksa penduduk untuk membebaskan tanah dengan harga minim, tap seekor ular pun cepat - cepat beranjak pergi dari hadapannya ketika teman saya itu menatapnya tajam.
Bukan saya yang mengusir ular itu, tapi karena naluri kebinatangannya sehingga ular itu pergi. Meski hanya binatang, tapi tetap memiliki naluri untuk tidak mau diganggu, apalagi digusur tempat tinggalnya. Mereka juga butuh ketenangan hidup, kemerdekaan untuk berkomunikasi antar binatang, apalagi kita yang tidak saja mempunyai naluri, akal tapi juga dikaruniai hati nurani, kalaupun manusia semacam kita kemudian meninggalkan akal sehat dan ahti nurani, itu sama halnya kita telah menjadi ular yang tak lagi punya naluri", ujar Mirdan pada saya menyembunyikan keistimewaan yang dimilikinya.
Selalu dan selalu begitu jawabannya. Tapi bagaimanapun, tunduknya cukong atau perginya ular dari hadapan Mirdan langsung saja merebak di setiap telinga para tetangga, atas dasar itu menurut dugaan saya, keistimewaan yang dipunyai Mirdan dapat memudahkan seberkas lamaran kerja setiap instansi. Tapi itulah Mirdan, meski diiming - iming dengan bonus jutaan rupiah di luar ongkos kemudahan yang musti disumbangkan kapada siempunya otoritas, teman saya itu terus saja menolak". Saya takut tidak dapat memenuhi amanat sampean", ucapnya merasa keberatan mendapat kepercayaan dari beberapa warga.
Kali ini giliran Mirdan yang ketiban rezeki yang pasti halalan thoyyiba, halal dan baik. Saya sendiri juga tak mengetahui persisnya bagaimana tiba - tiba seseorang mengantarkan rezeki itu kerumah kontrakan saya. Tapi jelas gepokan uang itu bukan hasil dari sumbangan sukarela setengah mekso (Sususemek) atau hasil dari sumbangan sukarela dengan jeritan (Susudejer).
Anehnya kedatanga rezeki itu bukan membuat Mirdan bahagia, tapi justru menjadikan teman saya itu bingung mencari jalan keluar akan dikemanakan uang sebanyak itu, tanpa harus mendepositokan lantas hidup dari bunga - bungaan.
Kebingungan Mirdan itu tak lepas dari penyakit yang selama ini diidapnya. Teman saya itu punya penyakit tak boleh kaget (terkejut).
Apapun persoalannya, jika sesuatu itu terjadi mendadak, teman saya itu justru seperti setengah beras setengah gula alias setengah waras setengah gila, sulit untuk berpikir jernih, akhirnya bingung meskipun tidak separah Kang Suram, menjadi porkas, putar otak rencana kaya akhirnya sinting. Meski dihatinya tetap bersyukur atas karunia itu, tapi akibat kekayaannya itu Mirdan jadi sering melamun. Tentu bukan melamunkan sesuatu yang tidak bakal terjadi, namun mencoba konsentrasi untuk mengembalikan pikiran jernihnya dengan harapan uang yang didapatnya itu bisa menjernihkan batinnya, bukan memperkeruh aliran darahnya. Hingga suatu ketika teman saya itu keluar dari rumah kontrakan, menitipkan gepokan uang itu pada saya.
Menyalahgunakan kepercayaan itu sama halnya mengasingkan diri dari kekerabatan, sekaligus telah membunuh hati nurani", kata Mirdan ketika saya keberatan mendapat kepercayaan itu.
Ia pun pergi, menerobos keremangan malam yang makin gulita.
Aneh ditengah persaingan hidup yang demikian ketat, dimana orang selalu suntuk mengejar niali rupiah.
Dipinggir sungai Mirdan duduk termenung. Beragam perasaan bergelayut. Bagaimana kalau uang itu kutaburkan di sungai ini--lantas tersebar lantas tersebar mengikuti aliran sungai? Ah, tidak mungkin! Pasti para pencari ikan di sungai ini bermalas - malasan setelah mendapat uang sebanyak itu. Pasti mereka tak mau lagi hidup dalam kenyataan. Atau mereka bakal saling bunuh demi mendapatkan uang yang kutaburkan. Ah, akan terlalu banyak mayat yang akan tenggelam disungai ini, toh sudah banyak korban akibat perebutan jutaan rupiah.
Tapi…apakah ini tidak menguntungkan sipenggali kubur? Lantas akankah pengangguran ini berkurang dengan munculnya banyak mayat di desa ini? Ini sama halnya aku telah membeli mayat!.
Di sebuah surau yang kecil di dapatinya satu keprihatinan. Demi uang, para warga desa sanggup meninggalkan ketertundukan mereka pada si Pembuat Hidup.
Ya, Tuhan hanya karena uangkah mereka harus meninggalkan rumahMu dalam sepi? Inikah kenyataan yang telah kau catat di buku taqdirMu? Adakah keistimewaan bagiku atas jutaan rupiah yang kini kuterima? Setetes air mata itu terus mengalir hingga meleleh dilehernya.
Pada sebuah rumah, Mirdan mendapat seorang gadis duduk dibalik jendela. Ada sebongkah penderitaan batin yang tersemburat pada gadis itu. Mirdan menatap tajam." Itu gadis piningit. Gadis pingitan. Kalau kisanak mau melamarnya harus menyediakan uamg lima juta. Mereka kan keluarga terpandang di desa ini", ujar seseorang orang yang kebetulan lewat setelah ditanya Mirdan.
Serendah itukah harga sebuah kehormatan? Bisik Mirdan lirih. Dalam perjalanannya, Mirdan menjumpai sepuluh wanita piningit yang berstatus sama dengan keluarga satu dan lainnya. Ada segumpal keceriaan yang tiba - tiba menyusup di hati Mirdan. Seakan ia menemukan jalan pemecahan dengan jutaan rupiah yang dimilikinya kini. Lima puluh juta untuk gadis piningit, gadis piningit lima puluh juta, lima juta untuk satu gadis piningit, lalu kali sepuluh…
Saya tak menduga sebelumnya ketika Mirdan lalu mengajak saya untuk melamar sepuluh gadis piningit itu. Lantas mau kau apakan dengan sepuluh gadis itu? Pikir saya. " Tak khawatir, semua sudah kupersiapkan sebuah tempat yang dapat menampung mereka", kata Mirdan menepis kegundahan saya berhadapan dengan para mertua.
Malam kian kelam. Udara malam mulai menembus setiap kamar para gadis piningit yang telah resmi menjadi isteri Mirdan. Sementara saya dan para mertua masih menunggu apa yang dilakukan terhadap kesepuluh gadis piningit itu.
Satu persatu Mirdan keluar masuk kamar para gadis itu, hingga kamar yang ke sepuluh. Saya makin bingung saat Mirdan membawa sepuluh lingkaran membentuk kalung yang dililit dengan gepokan uang. Tepat pada ujung lingkaran itu, selain tertulis label lima juta ada sebuah amplop kecil yang disengaja diselipkan.
Di depan para mertua ia undang kesepuluh gadis piningit itu. Mereka berjajar menatap masing - masing orang tuanya. Saya tetap saja duduk ditempat semula. Satu persatu, lingkaran - lingkaran yang terlilit uang itu dikalungkan pada setiap gadis piningit. Tapi dari sorot mata para gadis itu tergambar lolongan panjang sangat sulit terucap. Ada segumpal pemberontakan batin yang tak kesampaian. Malam ini dan seterusnya aku tak mungkin mendapat cinta mereka dengan paksa! Ini penindasan! Pikir Mirdan protes pada dirinya sendiri.
Sejak itu Mirdan benar - benar membebaskan kesepuluh gadis piningit itu, sekaligus mengembalikan mereka pada orang tuanya. Hanya lilitan uang dan untaian kata yang sempat dititipkan pada orang tuanya.
Putri - putrimu adalah simbol keagungan cinta. Mereka hanya dapat bahagia dengan lelaki yang dicintainya. Mereka adalah calon ibu di alam jagad ini,bukan untuk diperjualbelikan dengan 5 juta. Kini kukembalikan putri-putrimu dengantulus tanpa noda yang menyertainya. Bebaskan mereka dari keterpasungan batin. Biarkan mereka menghirup udara cintanya demi memenuhi anugerah Tuhan Sang Pemberi Cinta. **

Palembang, 1998
Dimuat di Harian Sumatera Ekspres 1998

Dalam Perjalanan Pulang


Cerpen Imron Supriyadi

Pukul 21.30 Wib lebih sedikit, saya dan Minah, isteri saya keluar darikeramaian undangan. Untuk sampai ke depan pintu gerbang rumah itu, sesekali saya dan Minah harus bersalaman, atau paling tidak melempar senyum pada para undangan, yang rata - rata belum saya kenal. Seharusnya, sayaa dan Minah bahagia,ketika Darwin, salah satu penduduk baru dikompek itu memberi kehormatan bagi manusia semacam kami untuk bertemu dengan para eksekutif rekanan dan kolega Darwin malam itu. Tapi entahlah, di tengah keceriaan para undangan yang hadir, saya danMinah justru merasakan kekakuan, yang membuat kami ingin segera meninggalkan rumah itu.
"Mas, para undangan tadi, orang kaya semua?" Tanya Minah setelah kami sudah lima puluh meter keluar dari rumah Darwin.
"Mungkin ", Jawab saya pendek.
"Lho kok mungkin!" Minah keheranan.
"Ya, memang begitu! Dalam hidup ini kan memang tidak ada tidak ada yang pasti. Semuanya serba mungkin. Mungkin kaya, mungkin miskin. Yang pasti hanya satu, kamatian. Itu pun masih masih serba mungkin, mungkin hari ini, besok atau mungkin tahun depan".
" Jadi pakaian para undangan itu, belum memastikan kalau mereka orang kaya, begitu?!" Ujar Minah, sembari menarik lengan saya, ketika saya selangkah lebih maju di depannya.
" Mungkin!"
" Kok mungkin terus, Mas?!" Minah agak kesal.
Saya tidak langsung menjawab, sebab suara saya tak mungkin mengimbangi derum mesinmobil yang tiba - tiba melintas di jalan itu.
" Ya, kalau bukan mungkin, lantas apa?!" Ucap saya meningkahiderum mesin mobil yang makin terdengar samar.
" Kamu tahu enggak, Min. Pakaian mereka, senyum para undangan, dan kemewahan dirumah Darwin itu, banyak kesemuan hidup yang tidak pasti. Makanya aku bilang mungkin tadi, Min".
Sejenak, Minah menoleh pada saya, lalu matanya kembali pada trotoar jalan yang sebagian banyak termakan oleh arus air yang tak tertampung di got akibat bertumpuknya sampah. Saya tahu, Minah mungkin masih sulit menerjemahkan ucapan saya, sehingga beberapa saat isteri saya itu harus diam.
" Tapi aku kurang yakin, jika para undangan itu bukan orang kaya. Sebab, dari cara berpakaian dan nada bicaranya saja sudah menunjukkan bahwa mereka kumpulan orang - orang yang berkecukupan".
Minah mencoba berargumen, meskipun baru kali itu ia bertemu dan berkumpul atau berjabat tangan dengan para eksekutif.
" Itu karena kamu memandang denganpandangan dhahir. Belum tentu pakaian yang dikenakan, kemewahan yang mereka adakan itu sebagai wujud dari kehidupan nyata bagi mereka. Mungkin stelanan jas itu dapat dari meminjam tetangga, dari studio tailor, dari pinjaman kantor, atau mungkin harus berhutang dengan jaminan sertifikat tanah. Itu sekedar kostum, bukan bentuk kenyataan dari kehidupan mereka."
" Begitu berani Mas mengatakan demikian?!" Minah menimpali.
" Ya! Karena sudah terlalu banyak orang lebih memilih hidup dengan membungkus diri dengan kepalsuan, menyelimuti diri dengan jubah - jubah,menghiasinrona wajahnya dengan bermacam topeng, sehingga dengan semua itu, mereka tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi kendaran dari nasu merka sendiri, sementara, hati nurani, akal pikiran, alat pengendali nafsu, justru mereka tinggal jauh di belakang, demi mendapat kebahagiaan sepintas".
Para undangan terlihat masih sibuk dalam kelompok lobinya masing - masing, sementara kami semakin jauh meninggalkan acara menuju biskota yang antri menjemput penumpang. Mungkin hanya kami yang terlihat berpakaian seadanya dibanding dengan para undangan lainnya. Mungkin perasaan percaya diriku membuat acara ini tak berbeda dengan acara atau selamatan dikampungku dahulu. Tapi, justru kewajaran ini membuat tak mau menipu diri. Di dalam biskota, saya dan Minah terus berbicara tentang kesan - kesan selama mengikuti acara. Berulangkali saya terus mencoba untuk tetap bertahan lebih lama lagi selama mengikuti acara selamatan dirumah Darwin, tapi, begitulah kenyataannya kami harus lebih dahulu meninggalkan para undangan untuk pulang kerumah kembali ke habitat kami yang sebenarnya.
" Mas, aku tadi malu - malu dan minder sekali, tapi setelah mendengar penjelasan, Mas. Minah pikir, apa yang mesti membuat kita malu, apalagi minder. Toh, kita tidak mencuri, bahkan kita juga undangan meskipun dengan pakaian yang sangat sederhana. Justru, kita berdosa kalau kita minder……..", Minah terus berbicara dengan semangat penuh percaya diri. Saya mengangguk membenarkan pembicaraan Minah, sesekali saya menggaris bawahi setiap pembicaraan Minah. Semangat dan percaya diri inilah yang menjadi dayak tari utamanya, hingga ketika hendak memutuskan untuk segera menikah walaupun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan baik secara mental maupun materi, karena setiap saat harus berhadapan dengan pihak keluarganya yang tidak menyetujui hubungan kami terus berlanjut mengingat saya dinilai tidakcukup layak untuk menghidupi keturunan Raden Mas dan Raden Ayu dari Minah. Tapi, Minah memilh taqdirnya dengan penuh percaya diri.
" Sudah sampai…., Mas !", Minah mengagetkan lamunan.
Tanpa saya sadari, ternyata saya sempat melamun, terbayang masa - masa saat mengambil keputusan untuk segera menikah dengan Minah yang penuh liku - liku dan tantangan. Tapi , disitulah kenangan yang paling manis yang sulit untuk dilupakan.
Kami tepat di mulut Gang Swadaya menuju rumah kami yang hanya berjarak seratus meter dari jalan besar. Sebenarnya jarak antara rumah kami dan rumah Darwin tidak begitu jauh, bahkan dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Tapi , semenjak banyak berdiri bangunan bertingkat dan kompleks - kompleks dengan pagar beton yang menutup jalan kecil membuat para pejalan kaki harus mengikuti arah jalan raya atau mengikuti rute biskota yang lebih banyak berputar - putar keliling kompleks baru sampai pada tujuan.
" Dulu, kita tak perlu repot seperti ini. Tapi, semejak kampung sawah berubah komlek perumahan elite dan berdiri kompleks pertokoan kita jadi mutar - mutar kayak kipas angin", coleteh Minah, tanpa keluh dan sedikti manja.
" Ya, begitulah hidup yang sesungguhnya terjadi. Bukan sesungguhnya yang diingin. Perlombaan materi justru banyak memakan banyak korban. Penduduk kampung sawah yang lahan rumahnya tergusur, kini entah tersebar kemana - mana. Mereka tersingkir oleh derap pembangunan…..", jawabku pelan sambil merangkul pundak Minah.
" Kalau begitu, mereka korban pembangunan",
" Betul, karena mereka tidak berdaya. Mereka tidak mempunyai akses terhadap kebutuhAn strategis sehingga tak mempunyai hak sama sekali terhadap kepentingan mereka sendiri di tengah laju pembangunan. Bahkan lahan kebutuhan fisik merekapun dirampas atas nama pembangunan".
Tanpa terasa kami telah sampai di rumah kontrakantempat kami tinggal. Saya langsung merebahkan diri usai berganti pakaian, sementara Minah sibuk membenahi rumah, lalu bersiap untuk tidur setelah selesai berbenah diri.
Malam semakin larut untuk menidurkan kami, tapi kota tak pernah larut dalam kebisingan. Tinggal menunggu cerita untuk esok dalam episode kepalsuan, penindasan atau cerita tentang penggusuran rumah kumuh untuk pertokohan, supermaket atau perumahan elite. Mungkin esok daerah tempat tinggal kami yang menjadi agenda penggusuran.

Dimuat
diHarian Sumatera Ekspres, 30 Januari 1999.

Cinta Bukan Perawan


Cerpen Imron Supriyadi

Hampir setipa malam Minggu, rumah kost saya, menjadi pangkalan beberapa orang. Ada Dosen, mahasiswa, seniman, WTS, aktifis, dan lain-lain. Semua kumpul. Pertemuan ini, tidak terjadwal. Tetapi hampir setiap malam minggu, rumah kost saya tidak pernah sepi oleh kawan-kawan, yang kadang-kadang hanya mampir untuk ngopi, lalu pergi tanpa ucapan terima kasih.
Malam itu, ada perdebatan yang cukup menarik. Persoalan perawan dan cinta, sedang menjadi diskusi. Semua berjalan saling timpal. Sesekali muncul ketegangan. Sesekali juga muncul ketidak-seriusan. Semua berjalan tanpa moderator. Yang menjadi moderator, hanya kecerdasan emosional masing-masing.
Mulanya, saya menceritakan, bahwa ada seorang laki-laki, yang baru saja menikah. Dan pagi harinya, Laki-laki itu, mengusir dan mengembalikan isterinya kepada orang tuanya, karena ketahuan isterinya tidak lagi perawan. Yang terjadi, adalah perceraian, sehari setelah pernikahan. Pernikahan hanya berjalan satu malam.
“Wah, gila! Itu bukan tipe laki-laki yang menghargai cinta”, Tukas Kenthus, menyela pembicaraan saya.
“Entar dulu, Thus. Ini cerita belum selesai, main potong saja Kau”, Sela Mat Solor kesal.
“Lanjut Lim!, Kata Mat Solor menyuruh saya meneruskan ceritanya.
“Terpaksa, isterinya harus pulang ke rumah orang tuanya. Dan sampai sekarang, dia menjadi janda kembang di desa”.
“Nah, enak juga tuh janda kembang. Yok kita kesana”, Sela Kathing, tanpa beban.
Cerita saya hanya sampai disitu. Dan cerita saya ini kemudian menimbulkan perdebatan.
“Bagaimanapun, aku tidak setuju dengan cara laki-laki itu”, Ujar Kenthus, seperti tidak tahan menahan emosi.
“Kalau aku sepakat. Bagaimana akan mencintai, kalau isteri kita tidak lagi perawan. Ini akan mengecewakan kaum laki-laki",”Tukas yang lain.
“Emangnya, dari mana dia tahu kalau isterinya tidak parawan?” tanya Benjo lugu.
“Lhah, kau ini gimana Njo. Kalau saat hubungan intim tidak mengeluarkan darah, ya tentu saja sudah tidak lagi perawan. Makanya, sering-sering bergaul dengan manusia, Njo, jangan Ngubeg di Pesantren aja…”.
“Lor, kau jangan bawa-bawa pesantren di sini. Ini nggak ada kaitannya dengan perdebatan malam ini“, Ujar Benjo agak tersinggung.
“Iya deh, maafkan saya Pak Kiai”. Mat Solor meledek.
Kali ini Benjo memilih diam.
“Tapi, Njo, keluar darah pada malam pertama, itu juga bukan jaminan, apakah perempuan itu perawan atau tidak. Solor itu terlalu sempit”, Kata Likun, anak Fakultas kedokteran, yang baru getol-getolnya berdisikusi.
“Perawan, itu bisa saja pecah, gara-gara olah raga, atau jatuh. Dan pada malam pengantin, bisa saja tidak mengeluarkan darah”. Tambah Likun menjelaskan pada Benjo.
“Kun, biar Benjo cari info sendirilah. Itu tak perlu Kau jelaskan. Semua orang juga sudah tahu”. Mat Solor agak kesal, karena persoalan jadi mentah, oleh pertanyaan Benjo yang lugu.
“Tapi bener, Kun. Itu perlu Kau jelaskan. Tidak keluarnya darah pada malam pertama, itu bukan menjadi tuduhan, bahwa perempuan itu tidak perawan. Ini cuma akal bulus laki-laki saja”, Ujar Munthul, WTS Kampung baru.
“Jadi itu Njo, Kau dengar kan?” Solor menimpali.
Benjo hanya bersungut tidak setuju dengan cara Mat Solor.
“Kalau aku begini. Seandainya, perempuan itu mengaku sebelum menikah, aku masih bisa toleran”, Sonop memulai lagi diskusi.
“Wah, bagaimana kau bisa bilang begitu, Nop? Di dunia ini, hampir setiap laki-laki, meng-idamkan perawan!” Sela Mat Solor.
“Ya, boleh saja meng-idamkan perawan, tapi kan aku nggak salah, kalau aku lebih menghargai kejujurannya, dari pada harus membuang-nya, hanya lantaran perempuan itu tidak perawan?!”.
“Jadi kau lebih mencintai kejujuran dari pada keperawanan?”.
“Ya!” Tegas Sonop. “Justeru akan lebih menyakitkan bagi perempuan, jika hanya lantaran dia tidak perawan, lalu laki-laki itu membuangnya”.
“Setuju aku Nop, dengan Kau !” Timpal Munthul merasa dibela.
“Bahkan, aku sangat menghargai dengan Mbak Munthul, dengan mengaku jujur, dia seorang WTS, ketimbang diam-diam, tetapi tidak lagi perawan”.
“Bagus, Nop”. Timpal Munthul lagi.
“Wah, malam ini, Kau bakal dapat jatah ranjang dengan Munthul. Nop…”
Gelak tawa seketika menggelegak, memecah keseriusan malam.
“Kampang, Kau Lor. Kawan ya kawan, tidur semalam harus bayar, dong. Emangnya, aku ini milik negara apa?”
“Tapi bener. Kalau laki-laki meng-idamkan perawan, sementara laki-laki itu sudah tidur dengan banyak perempuan, itu kan cuma egois-nya laki-laki. Belum lagi sudah meniduri pacarnya yang dulunya masih perawan. Itu ego…”, Ujar Munthul lagi.
“Tapi, ya nggak bisa begitu dong…”, Sela Benjo.
“Lha, Iya…” Munthul tak mau kalah. “Laki-laki banyak yang sudah meniduri perempuan. Sementara, dia masih ingin mendapat perempuan yang masih suci, perawan dan ting-ting. Apa itu bukan egosi?!”
“Ya, kalau saya kan belum, Mbak..? Benjo memprotes.
“Sekarang saja Kau masih di Pesantren. Kalau sudah keluar, aku nggak jamin, Kok!
“Sabar, Njo, ini hanya diskusi”, Saya mencoba menenangkan Benjo, yang sepertinya, malam itu banyak tersinggung.
Maklum, selain umurnya masih relatif muda, Benjo memang orang yang sensitif.
“Kalau Kau Kun?! Tanya Saya pada Markun, yang sedari tadi hanya sibuk main game.
“Ha, …apa…? Markun gugup.
“Wah, Jaka Sembung bawa golok, nggak nyambung goblok!”
“Kacus, Kau! Aku kan nggak ikut-ikutan. Lanjut sajalah”.
“Tapi, pacarmu itu udah nggak perawan, Kun!” Mat Solor memancing Markun.
“Ya, biarin aja, memang aku yang paling dulu nidurin dia. Kenapa mesti pusing”.
Yang lain bengong. Markun kembali main game.
“Nah, sekarang, gimana dengan kasus, perempuan yang dipulangkan, gara-gara tidak perawan tadi?” Solor mengembangkan topik pembicaraan.
“Kalau aku, mestinya perempuan menuntut ke pengadilan!”: Sela yang lain.
“Alaah, Sekarang mana ada pengadilan yang adil. Keadilan hanya untuk orang-orang berduit..”
“Iya bener, pengadilan kayak pisau. Kalau ke bawah, tajam. Tapi kalau ke atas tumpul”.
“Ya, itu kan hanya ikhtiar..”
“Kalau aku, tidak akan mengusir atau me-mulangkan perempuan itu ke rumah orang tuanya..”
“Lalu…?” Mat Solor penasaran dengan pendapat saya.
“Ya, tetap aku jadikan isteri”.
Yang lain menatap saya. Mereka sedang menunggu lanjutan kata-kata saya. Sebab, saya mungkin agak berbeda dalam menyikapi persoalan ini.
“Kalau dipulangkan ke orang-tuanya. Yang pasti, kita, sebagai laki-laki, akan mendapat sebutan laki-laki goblok. Kenapa kita tidak selektif memilih perempuan. Kenapa sebagai laki-laki tidak berhasil mengorek keterusterangan perempaun calon isteri kita se-detil mungkin.”
“Ya, bagaimana bisa dia terus terang. Pasti takutlah perempuan itu. Jangan-jangan akan ditinggal pergi, setelah mengaku”. Ujar Kathing, yang baru beberapa menit ikut bergabung.
“Ya bisa-bisa kita. Masak sih, dengan kecintaan kita, perempuan itu tidak bisa kita suruh terus terang? Dan kedua, kalau perempuan itu di-pulangkan hanya lantaran tidak lagi perawan, seluruh keluarga akan malu. Masyarakat yang menjadi tamu, lambat laun akan segera tahu. Keluarga kita malu, perempuan itu malu. Dan semua telah mempermalukan diri sendiri”.
“Wah, Lu ideal-banget”, Solor menyela.
“Ini kan pendapat. Kau boleh saja tidak setuju, Lor. Jangan potong aku dulu”.
“Iya deh, aku tahu, ini kan rumah kost-mu. Entar aku nggak boleh tidur sini, gara-gara aku nggak setuju dengan pendapatmu…”
Kembali, gelak tawa memecah keseriusan.
“Dan buat aku, memaknai cinta bukan pada perawan dan tidak perawan. Janda sekalipun, kalau memang aku cinta, kenapa harus kutolak. Aku justeru tidak jujur pada diri sendiri, ketika aku pungkiri panggilan nuraniku, untuk mengatakan cinta pada janda sekalipun, misalnya”.
“Ah, itu kan karena kau juga sudah tidak lagi perjaka, Lim”, Sela yang lainnya lagi.
“Tapi nggak bisa begitu. Sekalipun aku masih perjaka, aku tetap pada pendirianku. Bahwa Cinta bukan identik dengan keperawanan”.
“Cinta ya cinta. Cinta adalah anugerah dari Tuhan, yang tidak mesti harus dinodai dengan persengketaan, apalagi dengan persoalan perawan atau tidak perawan”.
“WTS sekalipun!?” tanya Solor.
“Mungkin. Lebih baik punya isteri mantan WTS bermental perawan, dari pada perawan bermental WTS”.
Sudah Jam tiga pagi. Mbak Munthul sudah pergi jam dua belas tadi, untuk melayani para laki-laki yang tega menghianati cinta isterinya di rumah. Beberapa kawan juga sudah mendengkur. Mereka tidur tak beraturan. Mereka membawa mimpinya masing-masing. Mungkin ada juga yang mimpi tidur dengan perawan.**

Palembang, 18 Nov 2001

BUMI KETIGA


Cerpen Imron Supriyadi

Aku tergeragap. Sebuah kilat cahaya telah memecah bongkahan batu besar, tempat selama ini aku tidur di dalamnya. Sulit kuterjemahkan melalui kamus apapun. Sebab, ia datang begitu cepat, sebelum aku sempat membeli kamus dan membukanya dari halaman ke halaman. Mungkin jika kilatan cahaya itu sudah reda,besok atau lusa, akan kutanyakan pada ahli meteorologi, agar aku tidak terus – menerus kebingungan seperti sekarang.

Paling tidak, hari itu, aku mendapat bahan penelitian baru yang selama ini belum terdata oleh lembaga penelitian manapun. Ini adalah pengetahuan baru tentang ilmu bumi. Tapi aku ragu. Atau inikah yang disebut sebagai peristiwa alam yang akan mengantarkan manusia kealam baru ? Bumi ketiga ? Ah, terlalu lancang aku mendahului inisiatif Tuhan. Tapi…
“ Plar, palr!” kilatan itu makin menjadi – jadi. Bongkahan – bongkahan batu itu kini pecah berkeping – keping, dengan berbagai bentuk, yang aku sendiri sulit untuk mengelompokkan menjadi satu, sehingga ia terkumpul dalam beberapa etalase, sesuai dengan jenis dan bentuknya; apakah ia batu marmer, batu akik, pualam, intan atau emas sekalipun. Mungkin anaximandros, anaximenes dan ahli astronomi akan segera membuat teori baru jika mereka turut menyaksikan peristiwa menggemparkan ini. atau bahkan, mereka akan segera membuat ralat besar – besar di berbagai media massa, untuk meluruskan teori kejadian alam yang pernah mereka tulis dalam ratusan buku.
Tapi, itu bukan urusanku. Toh, semua teori yang pernah mereka cetuskan sudah terlalu lama mendarah daging, sehingga akan tidak segampang itu menerima kejadian baru untuk disusun menjadi satu disiplin ilmu, atau dirangkum menjadi sebuah buku. Sedang ‘ teori’ Tuhan melalui wahyu saja memakan waktu yang tidak sebentar untuk diakui kebenarannya. Apalagi teori mahluk yang tidak mungkin mengungguli keilmuan Tuhan. Mudah – mudahan, dalam satu kesempatan nanti akan kutemui Tuhan….
Gemuruh longsoran bebatuan yang terpecah oleh kilatan cahaya itu, makin menggumpal, menggelinding dari perbukitan, menuju kedataran rendah, tanp mencari tempat – tempat yang tersembunyi. Seperti daratan kering yang sudah seratus tahun tak tersiram air. bongkahan – bongkahan yang menjadi kerikil terus memapas kilatan cahaya. Secara perlahan, dari pecahan – pecahan yang seakan terburai dari perut bumi, berubah menjadi warna dan panorama baru. Dari ribuan pori – pori yang sulit diukur diagramnya. Itu, terjelma aneka bentuk kehidupan, yang aku sendiri menerka, bahwa aku sedang dalam kebangkitan baru. Aku seperti terbangun oleh sapaan Tuhan, sama ketika Ashabul Kahfi juga dihidupkan Tuhan 309 tahun ia terbaring dalam goa. Atau seperti Nabi Yunus yang hidup kembali setelah sekian tahun berada dalam perut ikan.
Oh, kucoba untuk menepis cahaya itu, agar sinarnya tak begitu menyilaukan. Kuambil selembar daun kering untuk melindungi sengatan yang makin menyebar di sekelilingku. Aku terus gagal. Kilatan cahaya itu terus berputar – putar bagaikan sinar laser dalam sebuah panggung pementasan. Ia menyorot kemana – kemana, tanpa sedikitpun aku punya kemampuan untuk mengarah cahaya itu.
“Cukup, cukup! Jangan kau hina aku dengan sinarmu! Aku makin kewalahan dengan pancaran yang benderang itu. Bermacam tempat kuraih, agar ia dapat tertampung. Tapi semua nihil. Sesekali, sinar itu singgah dalam tempat – tempat kosong. Tapi sedetik kemudian, ia kembali menjalar kemana – mana, tak ubahnya seperti udara yang selalu menempati ruang – ruang kosong dalam setiap bentuk. Ia masuk dalam botol, cangkir, kotak, kantong baju sampai ke semua lekuk bumi. Tapi tak sesiapa bisa menghalauinya. Ia akan terus berjalan bersama udara.,….
“ Tidak bisakah kau berhenti barang sebentar ?”
Aku kian kebingungan mencari tempat berlindung.
“ Kenapa mahluk sejenismu menjadi bingun dengan kedatanganku ? Ada suara menggema dari balik cahaya itu. “ Bukankah kalian semua yang mengharapkan aku segera hadir disini?”.
Suara itu terus memantul kesegala arah. Aku menjadi gagap untuk menjawabnya. Sebab, sebelum ini, aku hanya tertidur pulas dalam sebongkah batu besar yang bisu. Seakan, aku sudah berada pada alam kematian panjang. Seperti tak ada angin, cahaya atau petir sekalipun yang dapat membangkitkanku dari pusara yang membantu.
Aku makin tak bisa mengendalikan arah cahaya itu. Ia bergerak sesukanya. Membakar semua kebisuan yang gagu. Dalam sebuah bejana, ia menyatu dengan udara, lalu menjelma menjadi air. Berselubung dalam setiap dengus nafas, membasahi pori – pori bumi dengan genangan keringat. Menyusup ke lapisan tanah yang paling bawah, memandikan bumi dengan ribuan mata air, melukis permukaan alam dengan kilauan merah. Cahaya itu telah mencurahkan air mata dan darah. Tak ada yang perlu dipersalahkan . Toh aku dan mahluk sejenisku telah berada dalam wilayah itu. Tak mungkin lagi wahyu turun untuk membuat program transmigrasi ke bumi ke empat.
Cahaya, angin dan udara terus menyatu dalam irama yang sama. Air pun terus bergulung diantara kilatan – kilatan cahaya. Aku, dan mahluk sejenisku makin terasa malu atas ketidak siapan tempat untuk menampung semua itu. Begitu panjang aku terlelap sehingga sama sekali aku tak pernah merasa terlatih untuk membuat bejana – bejana penampungan, yang bisa menempatkan lautan cahaya.
Bumi pekat. Namun, kilatan cahaya itu tak termakan oleh kepekatanannya. Ia berjalan, merambah memasuki setiap rumah, yang setiap penghuninya menjadi gusar, akan kemana cahaya itu diarahkan. Titik – titik embun terus menggelembung dikening para tetangga, menggambarkan ketidakberdayaannya menatap kilauan cahaya. Aku hanya menatap iba. Tak sesuatu pun yang bisa keperbuat sementara, cahaya makin menerpa ke setiap raga. Ke setiap gedung – gedung bertingkat, keujung mercusuar, kemenara pagoda, sampai kesudut desa.
Pagi buta. Petang menjelang, sampai gulita menggulung siang, aku masih menatap cahaya dengan gamang. Aku mengais cuilan – cuilan kerikil yang tersisa kemarin siang. Tapi yang terpantul hanya goresan luka. Dalam sebuah peta, puluhan, bahkan ratusan wajah kehilangan cinta. Dalam hatinya tertoreh sebuah kata: masih adakah cinta disana ? Tak seseiapa yang menjawab, desau angin terhantar, hanya membawa bau anyir darah, dan kabar kematian.
Cahaya masih berada di atas mega. Namun sinarnya takkan terhenti sampai disini. Ia kini bukan saja menjadi air, tetapi juga duri – duri tajam, pedang, sabit, celurit dan segala bentuk rupa yang makin sulit terjamahkan dengan logika. Ia terus bergerak, menembus setiap jendela, menghujam pada semua bejana, meskipun aku dan mahluk sejenisku tetap tak punya kemampuan untuk berjalan beriringan bersama cahaya. Entah, esok, lusa dan sampai kapan, aku dan kami semua terus berada dalam bumi ketiga yang gagap. Kini hanya satu jawaban; besok sebelum subuh tiba, aku akan berlari untuk menjumpai Tuhan, dan belajar dari keagungan-Nya, agar aku tidak terus berkepanjangan merasa bodoh berjalan bersama cahaya….

Lahat, 16 April 1999
Sriwijaya Post, Minggu 13 Juni 199


Rabu, 15 Desember 2010

AYAM MATI DI MEJA PRESIDEN



Oleh Imron Supriyadi

“Salah satu tugas pokok Nabi Muhammad SAW di muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak (makarimal akhlaq),” itulah secuil kalimat awal yang sempat saya kutip dari Kiai Gombloh, salah satu guru ngaji saya di Tanjung Enim. Tetapi, untuk melakukan penyempurnaan akhlak, Muhammad tidak kemudian merubah sifat dasar manusia, yang cenderung menyerupai hewan.
“Lho, kok menyerupai hewan,?” tanya saya heran.
“Manusia punya rasa haus dan lapar, hewan juga punya. Manusia punya nafsu, hewan juga punya. Manusia punya rasa kantuk, hewan juga punya. Apakah itu sifat hewan yang sama dengan manusia?” Kiai Gombloh bertanya sambil meyakinkan saya ketika itu.
Tetapi menurutnya, yang disempurnakan Muhammad bukan sifat dasar manusia ini. Bukan juga fisik. Sebab kalau fisik, pada dasarnya manusia ini mahuk yang kotor.
“Tetapi, manusia kan diciptakan dengan sempurna? Kenapa kiai katakan manusia itu kotor?” sergah saya penasaran.
“Hidung yang mancung ini, isinya cuma tai hidung. Kalau pilek yang keluar ingus. Kemudian mata kita yang bersinar ini, kalau bangun tidur hanya mengeluarkan tai mata, rembes atau belek. Mulut kita yang indah ini, kalau bangun tidur hanya mengeluarkan iler, yang baunya sangat tidak enak. Dan dubur (anus) kita yang setiap hari kita bersihkan hanya mengeluarkan tinja. Dan kalau kamu mau sadar, kita ini juga lahir dari tempat pembuangan kotoran,” jelas Kiai.
Matanya mengamati saya untuk meyakinkan kalau saya benar-benar paham dengan ucapannya. Saya mangut-mangut.
Bermula dari inilah, menurut Kiai Gombloh, Muhammad diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak adalah pakaian. Akhlak adalah ruh dalam diri manusia, yang menjadi penentu, apakah manusia akan menjadi mahluk mulia atau sebaliknya terjerumus dalam kubangan dosa dan kehinaan.
“Akhlak itu pakaian,?” tanya saya lirih. Kiai mendengar keraguan batin saya.
“Kalau kamu tidak percaya, sekarang kamu keluar dari ruangan ini, dan berdiri di tempat orang ramai dengan tidak memakai baju selembar pun. Maka saat itulah kamu akan sadar, kalau saat itu kamu akan tahu perbedaan manusia dengan hewan. Dan kamu akan tahu kalau akhlak adalah sama dengan pakaianmu,” tegasnya.
Tetapi, ketika manusia berusaha menyempurnakan akhlaknya, selalu dihadapkan pada dua pilihan, antara halal dan haram, dan berbagai rayuan dunia yang menggiurkan syahwat kebintangan. Tidak jarang, sebagian manusia yang kemudian terjerembab dan jatuh ke dalamnya. Jadilah manusia kembali pada kehinaan. (asfalasaa filin)
“Supaya manusia kembali pada kemuliaan, bagaimana?”
“Ya, itu tadi, manusia harus dipoles dengan akhlak Al-Quran, supaya manusia ini bisa kembali kepada fitrahnya manusia yang pada awalnya suci dan bersih!”
“Untuk berjuang mempertahankan kemuliaan ini, kamu harus banyak belajar dengan ayam yang bisa naik ke meja presiden,” kata Kiai Gombloh sambil tertawa.
Saya sedikit bingung dengan ucapannya. Sebab dari awal berbincang soal akhlak, tiba-tiba Kiai Gombloh menyuruh saya belajar dengan ayam.
“Ayam kiai?” tanya saya makin penasaran.
Ia hanya mengangguk.
“Perjuangan ayam untuk bisa naik ke meja presiden, sangat panjang perjalannya. Tetapi itu dilakukan untuk memposisikan dirinya agar menjadi mahluk yang mulia di mata presiden,” kata kiai tanpa membaca pikiran saya yang makin bingung.
“Sama seperti kita. Untuk mempertahankan akhlak dan kemuliaan di hadapan Allah, kita juga memerlukan perjuangan yang tidak mudah. Perlu kesabaran. Siap dilempar-lemparkan kesana kemari. Bersedia menerima kenikmatan dan musibah. Sanggup menahan diri dari godaan duniawi. Siap menaggung kepedihan, kesengsaraan hidup dan lain sebagainya,” katanya.
“Sekali saja kita terjerumus dalam gelimang tipuan duniawi, dan tidak sabar terhadap kebijakan dari langit, kita akan kembali menjadi mahluk yang kotor tadi,” tegasnya.
“Ayam juga begitu. Untuk menjadi mahluk yang mulia di mata presiden, ayam itu sanggup ditangkap oleh tukang ayam. Kemudian kakinya diikat. Setelah tiba waktunya, ayam itu juga harus siap disembelih. Pedih. Sakit dan berdarah-darah”
“Tidak cukup sampai disitu. Setelah disembelih, dimasukkan dalam air panas. Kemudian dicabuti bulu-bulunya. Ditelanjangi habis, persis ketika ayam itu baru menetas dari telurnya. Ia juga seperti manusia ketika lahir, tidak ada sesuatu apapun yang menempel di badannya, kecuali kesucian!”
Saya menunggu lanjutan kalimatnya. Belum jelas kemana hubungan antara perjuangan kemuliaan ayam dan kemuliaan manusia.
“????”
Saya terdiam sesaat. Saya masih terus menunggu kesimpulan dari akhir cerita ayam dari Kiai Gobloh.
“Setelah semua dilucuti, ayam juga harus siap dipotong-potong. Perutnya dibelah. Semua organ tubuhnya dikeluarkan. Disayat dan dibersihkan. Sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian, ayam juga harus bersedia dilumuri dengan bumbu. Ada garam, lada, ketumbar, bawang merah, bawang putih dan sedikit cabe. Kamu bisa bayangkan, kalau kita luka kecil saja, bila dilumuri garam akan sangat pedih, lalu bagaimana dengan ayam yang dilumat habis dalam wajan dengan bumbu dapur?”
Saya merenung sejenak, sambil membayangkan bagaimana pedihnya luka di tubuh ayam yang harus dilumuri garam dan cabe.
“Tidak sampai disitu perjuangan ayam. Setelah dilumuri bumbu dapur, ayam harus menjalani proses akhir sebelum sampai pada kemuliaannya. Ayam harus digoreng dengan minyak panas, atau juga direbus dengan air mendidih, sampai dagingnya empuk.”
“Setelah perjuangan yang pedih ini selesai, barulah ayam diletakkan di tempat yang bersih, untuk kemudian disajikan di meja presiden. Sampailah ayam pada posisi yang mulia, meskipun harus ditebus dengan kematian. Tetapi, kalau ayam tidak berjuang keras, kemudian saat dia hidup melompat ke meja presiden, bukan kemuliaan yang ia dapat tetapi justeru pengusiran dari meja presiden. Kenapa? Karena ayam itu dianggap kurang ajar dan merusak citra presiden,” Kiai Gombloh kembai tertawa.
“Tetapi dengan tebusan kematian, ayam itu demikian puas karena perjuangannya telah sampai pada kemuliaan. Selain sampai di meja presiden, ayam itu bisa dinikmati oleh siapa saja, kemudian mengajarkan pada kita untuk bersyukur karena tubuh kita mendapat tambahan protein hewani dari perjuangan kematian ayam yang sampai di meja presiden atau di meja makan kita”
Bila ayam saja siap berkorban sampai pada titik kematian untuk menjadikan dirinya sebagai mahluk yang mulia, lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita juga sudah sudah menyiapkan diri untuk berjuang keras mempertahankan akhlaq demi sebuah kemuliaan di mata Sang Pencipta, sebagaimana ayam yang berjuang menuju meja presiden?

BTN Krg. Asam
Tanjung Enim, 9 April 2009




SERIBU AYAM UNTUK TUHAN


Cerpen Imron Supriyadi


Fajar baru menyingsing. Matahari belum sempat menyembul dari persembunyiannya. Ia seakan tak kuasa melawan mendung yang redup pagi itu. Berbeda dengan embun tipis yang menyelinap diantara lapisan ozon yang turun ke bumi. Dengan lembut, titik embun merasuk ke setiap pori-pori mahluk Tuhan. Memasuki lobang hidung langsung ke paru-paru. Sesaat ia berada dalam denyut nadi, menyebar keseluruh tubuh. Dalam hitungan detik kemudian keluar menjadi zat Co2. Kesegaran seketika terasa menyebar ke seluruh tubuh, menggerakkan kaki, tangan dan bibir untuk kemudian mengucapkan alhamdulillahirobbil ’alamiin.

Diatas mega-mega, mendung kian menggumpal. Tapi seribu wajah dari warga Kampung Bukit Asam tetap menyemburat keceriaan. Diantara mereka telah berbanjar panjang di dalam masjid. Suara Takbir, Tahmid dan Tahlil terdengar bersahutan dari para jamaah mengiringi tibanya Hari Raya Idul Adha. Gemuruhnya seperti suara lebah madu yang pulang dari petualangannya. Dari arah lain, suara senada dari corong speaker masjid dan musholla yang tak jauh dari kampung Bukit Asam turut meningkahinya.
Sementara di halaman masjid hanya ada tiga ekor kambing yang siap menjadi hewan kurban pagi itu. Pemandangan yang tak sebanding dengan jumlah jamaah yang membludak sampai di halaman masjid. Bukan hanya jamaah, puluhan mobil mewah juga terparkir. Sepeda motor tak lagi terhitung jumlahnya. Tapi hanya tiga ekor kambing yang tertambat di sebuah kayu. Rona wajahnya pasrah dalam ketaatan tergambar jelas di setiap detak jantung tiga kambing itu. Sesekali mereka ingin lepas dari tali yang mengikat. Ada suara kerinduan untuk segera mempersembahkan diri demi ketaatan pada Sang Pencipta. Tak ada tangisan. Tak ada penyesalan. Yang ada kesungguhan kebaktian pada diri setiap kambing, untuk kemudian pasrah demi sebuah penghambaan mahluk terhadap Sang Kholiq.
Tiga ekor kambing, bagi sebuah kampung miskin bisa saja menjadi permakluman. Bahkan sebuah kelebihan. Tapi bagi kampung Bukit Asam menjadi totontonan lucu, di tengah perlombaan materi, yang hanya akan selesai setelah masuk pintu kubur. Rumah mewah berbanjar panjang, menunjukkan kampung Bukit Asam bukan permukiman kumuh apalagi rumah liar. Setiap rumah berpagar besi, yang satu meternya seharga 1 juta rupiah. Belum lagi lantai rumahnya, deretan keramik dari depan sampai belakang sudah cukup untuk membeli lima ekor sapi. Tak puas dengan itu, setiap rumah ada sebuah mobil berkelas dan dua buah sepeda motor. Tak ada yang kurang secara materi. Tetapi di halaman masjid kampung Bukit Asam hanya ada tiga ekor kambing. Jauh dari cukup untuk dibagikan kepada 100 kaum fakir miskin dan anak yatim. Meskipun, menurut Kiai Madjid, pemotongan hewan kurban tak ada hubungannya antara kaum fakir miskin dan orang yang berpunya. Yang ada hari itu adalah sebuah kewajiban setiap hamba Tuhan untuk mengorbankan hewan, memotong sebagian hartanya guna menuju kebaktian yang hakiki.
Gema takbir terus berkumandang. Puluhan bahkan ratusan jamaah mengenakan pakaian putih-putih. Sebagian perempuan mengenakan perhiasan. Mungkin diantara mereka juga ada yang imitasi. Sayang, juntaian jilbab yang seharusnya menutupi kemewahan materi, tapi tidak untuk kali itu. Malah sebaliknya, sebagian perempuan secara sengaja mengeluarkan kalung dan gelang melingkari leher dan tangan di luar baju panjang yang membungkusnya. Gambaran ini sangat kontras dengan jumlah kambing yang tertambat di halaman masjid. Tidak sebanding antara kemewahan materi dan pengorbanan untuk sebuah pengabdian pada Pencipta mahluk.
Tapi ini adalah potret buram di kampung kami; kampung Buki Asam. Kiai Mansur sebagai sesepuh kampung Asdas turut prihatin dengan kondisi itu. Kampung Asdas adalah gambaran nyata betapa di tengah pertambangan besar di Indonesia, masih ada seonggok kampung miskin terisolir secara ekonomi, sosial dan budaya di pinggir komplek warga Bukit Asam. Tapi Kiai Mansur tak bisa banyak berbuat. Ia bukan Superman atau Robinhood yang menghalalkan merampok warga Bukit Asam untuk kemudian membagikan hasil rampokan untuk kaum fakir dan miskin.
”Tidak mungkin kita melakukan shalat dengan sarung hasil curian,” Kiai Mansur berkata di suatu ketika.
Gema takbir seketika berubah gemuruh suara ’amin’ ratusan makmum di dalam dan di luar masjid. Tak lama kemudian suara khotib dari Palembang yang dibayar mahal berapi-api mengumandangkan isi khutbah.
”Sebagai orang yang beriman, kita mendapat panggilan suci melalui Idul Adha. Ini adalah moment penting untuk menumbuhkembangkan semangat berkorban, sebagaimana Nabi Ibrahim yang merelakan Nabi Ismail untuk disembelih, demi persembahan kepada Tuhan!...”
Ratusan jamaah terkesima dengan ulasan sang ustadz. Suasana tampak hikmat dan ta’dzim. Sementara, Kiai Mansur yang berada di barisan belakang tampak biasa-biasa saja. Bukan tidak tertarik. Tetapi Kiai Mansur masih berpikir mencari jalan keluar terhadap daging korban yang sebentar lagi akan dibagikan, sementara di kampung Bukit Asam hanya ada tiga ekor kambing.
Tak sempat permisi, Kiai Mansur beranjak dari barisan jamaah. Ada sebagian jamaah yang memandang heran. Tapi tak dihiraukannya. Di samping masjid, ia berdiri sejenak. Memandangi tiga ekor kambing yang sebentar lagi akan menghadap Tuhan. Satu persatu dielus kepala dan punggungnya. Setitik air mata Kiai Mansur menetes. Ada kebanggaan menjadi kambing yang siap mengorbankan nyawanya demi ketaatan dan kebaktian sempurna. Sementara Kiai Mansur hanya menjadi sosok lemah yang tak mampu berbuat banyak terhadap suasana Idul Adha pagi itu.
Kiai Mansur kali ini sudah berbisik pada beberapa kelompok remaja masjid yang menunggu parkir. Tidak jelas pembicaraannya. Tetapi beberapa remaja yang mendapat bisikan kemudian masuk masjid, sebagian lagi menyebar menuju arah yang berbeda. Tak lama kemudian jamaah sudah berhambur keluar. Ini pertanda pemotongan hewan akan semakin dekat. Masih ada waktu dua jam bagi Kiai Mansur untuk berpikir, tentang bagaimana membagikan daging kepada para pemegang kupon hewan kurban.
Beberapa karyawan perusahaan bersalaman dengan Kiai Mansur. Jamaah lain juga melakukan hal sama. Tetapi pandangan Kiai Mansur kosong. Yang terpikir di benaknya hanya tiga ekor kambing untuk 100 kupon. Bagaimana mungkin tiga ekor kambing akan dibagi menjadi 100 bagian? Hatinya bertanya pelan.
Beberapa orang remaja masjid berlari mendekati Kiai Mansur. Ada pembicaraan serius antara keduanya. Kiai Mansur seperti memberi komando ke beberapa remaja masjid. Salah satunya meminjam mobil. Kiai Mansur mengeluarkan beberapa lembar kertas uang. Tak jelas tujuannya. Yang pasti ada sekitar tujuh remaja masjid yang kemudian berangkat dengan mobil pick-up. Kiai Mansur terpaku melihat keberangkatan mereka.
“Saudara-sudara, penyembelihan hewan kurban akan dilakukan pukul sembilan. Diharapkan, kepada panitia kurban dan petugas penyembelihan hadir tepat pada waktunya,” pemberitahuan itu membuat Kiai Mansur agak gelisah. Tinggal satu jam lagi harus ada daging tambahan. Tetapi sampai ia termenung belum juga ada kabar yang mengobati kegelisahannya.
Hanya beberapa saat, dari arah berlawanan tiga mobil masuk ke halaman masjid. Jamaah yang masih bercengkrama di serambi dan di halaman masjid heran. Tiga mobil seketika membongkar ratusan bahkan ribuan ayam. Kakinya sudah diikat, supaya tidak berlari. Kiai Mansur tersenyum puas. Ia memberi aba-aba kepada beberapa orang untuk membantu menurunkan ayam dari atas mobil.
“Kiai! Apa-apaan ini!?” Ustadz Zam sedikit marah.
“Ini bukan apa-apa, tapi ayam, ustadz.” Kiai Mansur menjawab sekenanya.
“Iya, tapi untuk apa?” Zam makin penasaran.
Jamaah yang lain ikut nimbrung mengerumuni Kiai Mansur. Ada seribu tanya yang tergambar di wajah para jamaah. Yang lain takut atau segan.
”Kiai mau mengganti kurban kambing dengan kurban ayam? Ini secara fiqhiyah melanggar aturan!” Ham, seorang karyawan perusahaan yang baru belajar agama mencoba menjelaskan kedudukan ayam dan kambing dalam ilmu fiqih.
Kiai Mansur hanya tersenyum.
“Semuanya diturunkan. Atur yang rapi!” Kiai Mansur memberi arahan pada beberapa tukang ayam.
“Kiai, untuk apa ayam sebanyak ini?” tanya yang lain.
“Untuk dipotong!” jawab Kiai sekenanya.
”Untuk hewan kurban, maksud Kiai?!” tanya lainnya heran.
”Wah, ini sudah melanggar hukum agama. Kiai kan tahu kalau yang boleh untuk kurban hanya kambing, sapi atau onta, hewan lain tidak boleh!”
”Tapi memotong dan membagikan daging ayam pada hari raya Idul Adha tidak dilarang agama!” tukasnya tanpa beban.
“Iya, tapi ini akan menimbulkan salah penafsiran bagi sebagian warga, Kiai. Nanti warga menganggap ayam bisa menjadi pengganti kambing atau sapi?!” Zam makin gusar dengan ulah Kiai Mansur.
”Pengorbanan itu bukan dilihat dari jenis binatangnya. Tapi kesungguhan seorang hamba untuk mengorbanan harta yang dimiliki!”
”Berarti kiai ingin mengganti kambing dengan ayam-ayam ini sebagai hewan kurban, begitu?!”
“Itu kan mulut kamu yang bilang. Kalian tidak tahu kan isi hati saya, ayam ini untuk apa? Jadi ndak usah ribut soal ayam-ayam ini. Nanti kalian juga akan tahu,” Kiai Mansur tak mau menjelaskan secara detil.
Sebagian jamaah dan panitia kurban bingung. Tak ada yang bisa mencegah Kiai Mansur dengan ribuan ayam-ayamnya.
Diiringi dengan takbir, tahmid dan tahlil, penyembelihan dimulai. Darah segar mengucur dari tiga leher kambing. Sementara, Kiai Mansur dan beberapa tenaga tukang ayam juga melakukan hal yang sama. Sebagian lagi menyediakan air panas untuk membersihkan bulu ayam. Tak satu pun panitia kurban yang membantu Kiai Mansur. Hanya sekelompok remaja masjid dan beberapa tukang ayam yang melakukan pembersihan ayam. Ada dua blok di halaman masjid. Blok pertama mengolah kambing. Blok kedua mengolah ayam. Keduanya memotong-motong daging hewan yang berbeda.
Hanya sekitar dua jam, pembersihan dan pemotongan hewan selesai. Ribuan ayam sudah terbagi menjadi seratus kantong plastik. Sementara, tiga ekor kambing hanya terbagi menjadi 50 kantong plastik. Beberapa panitia berbisik. Tak jelas pembicaraan mereka. Tapi intinya mereka sedang berpikir tentang 50 kupon yang tidak bisa terlayani oleh pembagian tiga ekor kambing. Kiai Mansur hanya melihat dari kejauhan.
Teriakan, ejekan dan hujatan seketika terdengar. Semuanya tertuju ke panitia kurban. Sesekali ada yang emosi. Melempar gelas bekas air kemasan.
”Oi, awak gaji besak, kurban cuma tiga ekor kambing!”
“Lagaknyo bae kayo, kurban sikok kambing be ndak sanggup. Berentilah jadi karyawan perusahaan!”
“Pacak ngajak berkurban, tapi diri dewek ndak kurban! Pacak nian mbudike wong miskin!”
“Puih!” seseorang meludah di depan panitia.
Tak ada yang berkutik.
Kiai Mansur mendekati kerumunan orang.
”Kiai, gimana kami yang tidak kebagian ini? Kami ini nak makan daging jugo, bukan kamu be!”
Kiai Mansur hanya senyum.
”Tenang, semua akan kebagian. Tapi saya bertanya dulu. Kalau seandainya kalian tidak dapat daging kambing, kemudian saya ganti dengan daging ayam, mau menerima atau tidak?”
Seketika warga yang belum kebagian daging bersorak.
“Jadi, Kiai, dari pada dak makan daging!”
”Ndak apo-apo Kiai, yang penting anak kami pacak makan daging!”
“Daging kambing atau ayam samo bae, yang penting halal!”
Macam-macam jawaban warga. Bukan hanya 50 orang yang kebagian daging ayam pagi itu. Tetapi lebih dari dari itu. Tak ada desak-desakan. Mereka antri dengan teratur. Ada rona berbinar di wajah mereka. Sementara panitia kurban hanya terpaku melihat kejadian itu.
Suasana kemudian hening setelah warga bubar. Mereka sudah siap memasak daging di rumahnya masing-masing. Walau hanya daging ayam, tetapi perasaan mereka tetap seperti mendapat daging kambing. Hati Kiai Mansur lega melepas mereka pergi.
“Hari ini saya bukan sedang mengganti hewan kurban dengan ayam. Tetapi saya sedang menyamakan perasaan bahagia antara umat satu dan lainnya. Meski daging yang mereka masak bukan daging kambing atau sapi, tetapi perasaan mereka tetap terjaga dalam kebahagiaan meskipun hanya menerima daging ayam. Semuanya sama-sama daging mahluk Allah”
”Kedua, ini pelajaran bagi sebagian warga untuk bersedia berkurban yang mereka punya. Idul Kurban, tidak ada hubungannya antara si kaya dan si miskin. Jadi tidak baik bila kemudian dengan alasan keterbatasan uang, lalu membenarkan kita untuk tidak mengeluarkan hewan kurban. Saya juga bukan sedang mengganti hewan kurban dengan ayam, bukan sama sekali! Tetapi saya ingin mengajak mereka untuk sadar, betapa Nabi Ibrahim merelakan harta termahal, yaitu anaknya sendiri Nabi Ismail untuk disembelih demi ketaatannya kepada Sang Khaliq. Kalau dari sekian banyak warga tidak mampu kemudian bersedia iuran untuk membeli ayam sebagai bentuk pengorbanan pada hari raya ini, apalagi kalian yang jelas-jelas gajinya melebihi dari penghasilan mereka?”
”Jadi ayam-ayam tadi...?”
”Iya, sebagian uangnya dari saya. Sebagian lagi hasil iuran mendadak dari sebagian warga tidak mampu, yang belum sanggup mengeluarkan hewan kurban, tetapi mereka siap berkurban walau hanya sedikit. Nilai pengorbanan bukan dilihat besar kecilnya bentuk benda. Tetapi kesungguhan seorang hamba untuk berkurban demi kataatannya kepada Sang Pencipta. Itu yang akan menjadi nilai lebih dari seorang hamba di hadapan Tuhan”
Beberapa jamaah hanya saling pandang. Ada seberkas cahaya Ilahi yang masuk ke setiap relung hati mereka. Bibirnya terkatup rapat. Tetapi hati mereka mengucap ampun kepada Sang Khaliq. Kiai Mansur beranjak dari hadapan mereka. Sampai akhirnya ia hilang di belokan di masjid.(*)

BTN. Krg. Asam - Tanjung Enim,
Idul Adha 1429 H / 8 Desember 2008 M