Sabtu, 25 Desember 2010
Cinta Bukan Perawan
Cerpen Imron Supriyadi
Hampir setipa malam Minggu, rumah kost saya, menjadi pangkalan beberapa orang. Ada Dosen, mahasiswa, seniman, WTS, aktifis, dan lain-lain. Semua kumpul. Pertemuan ini, tidak terjadwal. Tetapi hampir setiap malam minggu, rumah kost saya tidak pernah sepi oleh kawan-kawan, yang kadang-kadang hanya mampir untuk ngopi, lalu pergi tanpa ucapan terima kasih.
Malam itu, ada perdebatan yang cukup menarik. Persoalan perawan dan cinta, sedang menjadi diskusi. Semua berjalan saling timpal. Sesekali muncul ketegangan. Sesekali juga muncul ketidak-seriusan. Semua berjalan tanpa moderator. Yang menjadi moderator, hanya kecerdasan emosional masing-masing.
Mulanya, saya menceritakan, bahwa ada seorang laki-laki, yang baru saja menikah. Dan pagi harinya, Laki-laki itu, mengusir dan mengembalikan isterinya kepada orang tuanya, karena ketahuan isterinya tidak lagi perawan. Yang terjadi, adalah perceraian, sehari setelah pernikahan. Pernikahan hanya berjalan satu malam.
“Wah, gila! Itu bukan tipe laki-laki yang menghargai cinta”, Tukas Kenthus, menyela pembicaraan saya.
“Entar dulu, Thus. Ini cerita belum selesai, main potong saja Kau”, Sela Mat Solor kesal.
“Lanjut Lim!, Kata Mat Solor menyuruh saya meneruskan ceritanya.
“Terpaksa, isterinya harus pulang ke rumah orang tuanya. Dan sampai sekarang, dia menjadi janda kembang di desa”.
“Nah, enak juga tuh janda kembang. Yok kita kesana”, Sela Kathing, tanpa beban.
Cerita saya hanya sampai disitu. Dan cerita saya ini kemudian menimbulkan perdebatan.
“Bagaimanapun, aku tidak setuju dengan cara laki-laki itu”, Ujar Kenthus, seperti tidak tahan menahan emosi.
“Kalau aku sepakat. Bagaimana akan mencintai, kalau isteri kita tidak lagi perawan. Ini akan mengecewakan kaum laki-laki",”Tukas yang lain.
“Emangnya, dari mana dia tahu kalau isterinya tidak parawan?” tanya Benjo lugu.
“Lhah, kau ini gimana Njo. Kalau saat hubungan intim tidak mengeluarkan darah, ya tentu saja sudah tidak lagi perawan. Makanya, sering-sering bergaul dengan manusia, Njo, jangan Ngubeg di Pesantren aja…”.
“Lor, kau jangan bawa-bawa pesantren di sini. Ini nggak ada kaitannya dengan perdebatan malam ini“, Ujar Benjo agak tersinggung.
“Iya deh, maafkan saya Pak Kiai”. Mat Solor meledek.
Kali ini Benjo memilih diam.
“Tapi, Njo, keluar darah pada malam pertama, itu juga bukan jaminan, apakah perempuan itu perawan atau tidak. Solor itu terlalu sempit”, Kata Likun, anak Fakultas kedokteran, yang baru getol-getolnya berdisikusi.
“Perawan, itu bisa saja pecah, gara-gara olah raga, atau jatuh. Dan pada malam pengantin, bisa saja tidak mengeluarkan darah”. Tambah Likun menjelaskan pada Benjo.
“Kun, biar Benjo cari info sendirilah. Itu tak perlu Kau jelaskan. Semua orang juga sudah tahu”. Mat Solor agak kesal, karena persoalan jadi mentah, oleh pertanyaan Benjo yang lugu.
“Tapi bener, Kun. Itu perlu Kau jelaskan. Tidak keluarnya darah pada malam pertama, itu bukan menjadi tuduhan, bahwa perempuan itu tidak perawan. Ini cuma akal bulus laki-laki saja”, Ujar Munthul, WTS Kampung baru.
“Jadi itu Njo, Kau dengar kan?” Solor menimpali.
Benjo hanya bersungut tidak setuju dengan cara Mat Solor.
“Kalau aku begini. Seandainya, perempuan itu mengaku sebelum menikah, aku masih bisa toleran”, Sonop memulai lagi diskusi.
“Wah, bagaimana kau bisa bilang begitu, Nop? Di dunia ini, hampir setiap laki-laki, meng-idamkan perawan!” Sela Mat Solor.
“Ya, boleh saja meng-idamkan perawan, tapi kan aku nggak salah, kalau aku lebih menghargai kejujurannya, dari pada harus membuang-nya, hanya lantaran perempuan itu tidak perawan?!”.
“Jadi kau lebih mencintai kejujuran dari pada keperawanan?”.
“Ya!” Tegas Sonop. “Justeru akan lebih menyakitkan bagi perempuan, jika hanya lantaran dia tidak perawan, lalu laki-laki itu membuangnya”.
“Setuju aku Nop, dengan Kau !” Timpal Munthul merasa dibela.
“Bahkan, aku sangat menghargai dengan Mbak Munthul, dengan mengaku jujur, dia seorang WTS, ketimbang diam-diam, tetapi tidak lagi perawan”.
“Bagus, Nop”. Timpal Munthul lagi.
“Wah, malam ini, Kau bakal dapat jatah ranjang dengan Munthul. Nop…”
Gelak tawa seketika menggelegak, memecah keseriusan malam.
“Kampang, Kau Lor. Kawan ya kawan, tidur semalam harus bayar, dong. Emangnya, aku ini milik negara apa?”
“Tapi bener. Kalau laki-laki meng-idamkan perawan, sementara laki-laki itu sudah tidur dengan banyak perempuan, itu kan cuma egois-nya laki-laki. Belum lagi sudah meniduri pacarnya yang dulunya masih perawan. Itu ego…”, Ujar Munthul lagi.
“Tapi, ya nggak bisa begitu dong…”, Sela Benjo.
“Lha, Iya…” Munthul tak mau kalah. “Laki-laki banyak yang sudah meniduri perempuan. Sementara, dia masih ingin mendapat perempuan yang masih suci, perawan dan ting-ting. Apa itu bukan egosi?!”
“Ya, kalau saya kan belum, Mbak..? Benjo memprotes.
“Sekarang saja Kau masih di Pesantren. Kalau sudah keluar, aku nggak jamin, Kok!
“Sabar, Njo, ini hanya diskusi”, Saya mencoba menenangkan Benjo, yang sepertinya, malam itu banyak tersinggung.
Maklum, selain umurnya masih relatif muda, Benjo memang orang yang sensitif.
“Kalau Kau Kun?! Tanya Saya pada Markun, yang sedari tadi hanya sibuk main game.
“Ha, …apa…? Markun gugup.
“Wah, Jaka Sembung bawa golok, nggak nyambung goblok!”
“Kacus, Kau! Aku kan nggak ikut-ikutan. Lanjut sajalah”.
“Tapi, pacarmu itu udah nggak perawan, Kun!” Mat Solor memancing Markun.
“Ya, biarin aja, memang aku yang paling dulu nidurin dia. Kenapa mesti pusing”.
Yang lain bengong. Markun kembali main game.
“Nah, sekarang, gimana dengan kasus, perempuan yang dipulangkan, gara-gara tidak perawan tadi?” Solor mengembangkan topik pembicaraan.
“Kalau aku, mestinya perempuan menuntut ke pengadilan!”: Sela yang lain.
“Alaah, Sekarang mana ada pengadilan yang adil. Keadilan hanya untuk orang-orang berduit..”
“Iya bener, pengadilan kayak pisau. Kalau ke bawah, tajam. Tapi kalau ke atas tumpul”.
“Ya, itu kan hanya ikhtiar..”
“Kalau aku, tidak akan mengusir atau me-mulangkan perempuan itu ke rumah orang tuanya..”
“Lalu…?” Mat Solor penasaran dengan pendapat saya.
“Ya, tetap aku jadikan isteri”.
Yang lain menatap saya. Mereka sedang menunggu lanjutan kata-kata saya. Sebab, saya mungkin agak berbeda dalam menyikapi persoalan ini.
“Kalau dipulangkan ke orang-tuanya. Yang pasti, kita, sebagai laki-laki, akan mendapat sebutan laki-laki goblok. Kenapa kita tidak selektif memilih perempuan. Kenapa sebagai laki-laki tidak berhasil mengorek keterusterangan perempaun calon isteri kita se-detil mungkin.”
“Ya, bagaimana bisa dia terus terang. Pasti takutlah perempuan itu. Jangan-jangan akan ditinggal pergi, setelah mengaku”. Ujar Kathing, yang baru beberapa menit ikut bergabung.
“Ya bisa-bisa kita. Masak sih, dengan kecintaan kita, perempuan itu tidak bisa kita suruh terus terang? Dan kedua, kalau perempuan itu di-pulangkan hanya lantaran tidak lagi perawan, seluruh keluarga akan malu. Masyarakat yang menjadi tamu, lambat laun akan segera tahu. Keluarga kita malu, perempuan itu malu. Dan semua telah mempermalukan diri sendiri”.
“Wah, Lu ideal-banget”, Solor menyela.
“Ini kan pendapat. Kau boleh saja tidak setuju, Lor. Jangan potong aku dulu”.
“Iya deh, aku tahu, ini kan rumah kost-mu. Entar aku nggak boleh tidur sini, gara-gara aku nggak setuju dengan pendapatmu…”
Kembali, gelak tawa memecah keseriusan.
“Dan buat aku, memaknai cinta bukan pada perawan dan tidak perawan. Janda sekalipun, kalau memang aku cinta, kenapa harus kutolak. Aku justeru tidak jujur pada diri sendiri, ketika aku pungkiri panggilan nuraniku, untuk mengatakan cinta pada janda sekalipun, misalnya”.
“Ah, itu kan karena kau juga sudah tidak lagi perjaka, Lim”, Sela yang lainnya lagi.
“Tapi nggak bisa begitu. Sekalipun aku masih perjaka, aku tetap pada pendirianku. Bahwa Cinta bukan identik dengan keperawanan”.
“Cinta ya cinta. Cinta adalah anugerah dari Tuhan, yang tidak mesti harus dinodai dengan persengketaan, apalagi dengan persoalan perawan atau tidak perawan”.
“WTS sekalipun!?” tanya Solor.
“Mungkin. Lebih baik punya isteri mantan WTS bermental perawan, dari pada perawan bermental WTS”.
Sudah Jam tiga pagi. Mbak Munthul sudah pergi jam dua belas tadi, untuk melayani para laki-laki yang tega menghianati cinta isterinya di rumah. Beberapa kawan juga sudah mendengkur. Mereka tidur tak beraturan. Mereka membawa mimpinya masing-masing. Mungkin ada juga yang mimpi tidur dengan perawan.**
Palembang, 18 Nov 2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar