Minggu, 28 April 2019

Fenomena Suhita: Kebangkitan Sastra Pesantren?

Jagad media sosial, terutama linimasa Facebook akhir-akhir ini diramaikan oleh apresiasi novel “Hati Suhita” karya Khilma Anis. Mereka yang berminat memperoleh novel tersebut sampai harus rela antri pre-order, sebab stock selalu ludes. Sejak awal terbitnya, telah cetak ulang hingga tiga kali dalam satu bulan, dan tidak tanggung-tanggung, sampai sekarang konon tembus 40 ribu lebih ekslempar.

Khilma mengisahkan duka lara seorang perempuan hafidzah (penghafal Alquran) bernama Alina Suhita yang dijodohkan nikah dengan Abu Raihan Al-Birruni, seorang putra tunggal Kiai Hannan. Pasutri hasil perjodohan ini banyak menyembunyikan kepalsuan; di luar terlihat mesra, romantis, baik-baik saja, tapi di dalam bilik kamarnya, justru saling diam, pisah ranjang sejak ijab kabul.

Apa yang sebenarnya terjadi? Gus Birru, pangilan akrab Abu Raihan Al-Birruni, digambarkan oleh penulis lulusan Pesantren Tambakberas Jombang ini adalah seorang yang berhati keras karena pengaruh jiwa aktivis saat kuliah di Jogja, tidak ikhlas menikahi Alin (Alina Suhita).

Gus Birru tidak rela menyalurkan hasratnya sebagaimana lazimnya pasutri yang baru menikah, dan itu bertahan sampai tujuh bulan, Alin tetap sebagai istri sahnya yang masih perawan.

Dalam situasi itulah, hati dan pikiran Alin terus berkecamuk, tersiksa, merasa bersalah dan tidak berguna. Sebab, ternyata bukan hanya soal hubungan yang mati rasa dengan Gus Birru, tapi juga, Alin mengetahui kalau suaminya itu menjalin “hubungan gelap” dengan perempuan lain—Ratna Rengganis namanya—meski sekadar saling berbalas ucapan, kirim puisi via WA, dan sesekali keduanya bertemu langsung sebagai sesama aktivis sosial, sehingga terlihat klop, memperoleh chemistry yang pas.

Alin sedih setengah tiang. Ia pasrah pada nasib. Di novel ini, Khilma memang terlanjur, entah sadar atau tidak, menokohkan Alin sebagai istri yang pasif-inferior di hadapan suaminya yang aktif-superior, mempertahankan relasi subjek-objek, melanggengkan ketidakadilanan gender. Terlihat pada sikap Alin yang pasrah nderek glinding kepada kehendak takdir, atau saat menggambarkan Rengganis yang dianggap cantik lantaran wajahnya oval, pipi kemerahan berlesung, mulut mungil laksana buah ceri (hlm. 15).


Yang bisa dilakukan oleh Alin untuk menghibur diri dengan cara baca Alquran, mengkhusyukkan doa, dan menyibukkan bantu urus santri di pesantren milik mertuanya. Alin dipersepsikan setengah lugu, sabar, namun tetap berusaha mikul duwur mendem jero (menunjukkan kelebihan, menutupi kekurangan) walau hatinya hancur.

Alin bertekad untuk tidak larut dalam kesedihan. Ia mensugesti dirinya sebagai Dewi Suhita, sumber nama Alina Suhita, pemberian kakek dari trah ibunya. Dewi Suhita adalah seorang perempuan tangguh yang pernah memimpin kerajaan Majapahit. Perempuan hebat yang tegar saat kepemimpinannya terjadi perang Paregreg.

Meski novel ini happy ending, buah doa dan kesabaran, akhirnya Gus Birru jatuh ke pelukan Alin dengan penuh dramatis layaknya sinetron dan film remaja layar tancap. Alin telah terkoyak bahagia karena telah melepas ikhlas kesuciannya kepada Gus Birru yang seiring waktu luluh dan keduanya saling mencintai.

Untuk mengekspresikan momen bahagia pasutri itu (Alin dengan Gus Birru) setelah tujuh bulan menikah tapi sama-sama mempertahankan ego seksual, Khilma melarutkan pembacanya lewat deskripsi erotis atas nama Alin.

“Air mataku menitik menanggung haru. Mas Birru memberikan seluruh kehangatan yang dia punya untuk menebus kebekuan kami selama ini. Dia mengajakku terbang ke surga. Pelan dan semakin dalam. Suamiku ini memberi kenikmatan tiada tara. Semakin lama semakin indah. Kami berdua mereguk kenikmatan paripurna… Kami bermandi peluh di tengah udara yang begitu dingin” (hlm. 377-378).

Sampai di sini, sebagai novel berlatar tradisi Islam, Khilma terlihat berani memvulgarkan adegan “plus-plus” itu. Tapi boleh jadi, di sinilah satu di antara beberapa kekuatan-utamanya. Khilma menepis ketabuan, ia justru melampiaskan kebebasannya. Modal bagus untuk karir kepenulisan setelah sebelumnya ia juga sukses menerbitkan dua karya; Jadilah Purnamaku, Ning (2008) dan Wigati: Lintang Manik Woro (2017)—sampai cetakan ketujuh.


Khilma termasuk penulis muda berbakat, meski ia tidak boleh jumawa, dan harus terus berproses belajar banyak hal. Kesalahan teknis banyak terjadi di novel ini, dan itu luput dari perhatian editor. Misalnya, menulis kata “Ummik” (bukan nama orang, tapi panggilan untuk “ibu”, ummi), tidak hanya dalam dialog sebagai logat bahasa, tapi ternyata juga ditulis dalam narasi cerita; kadang menulis istilah “tak”, tapi di halaman lain banyak menggunakan “ta’”, sering mengulang kalimat yang sama seperti “sejurus kemudian”, dan lain sebagainya. Mungkin remeh, tapi sebagai pembaca sangatlah terganggu, seolah baru belajar bahasa Indonesia yang benar dan baik.

Di kancah dunia sastra, terutama yang berlatar alur khas pesantren, Khilma bisa menjadi pelapis satu tingkat di bawah Abidah El Khalieqy yang sukses lewat karyanya, Perempuan Berkalung Surban (2009). Dan tidak mustahil, Khilma akan senasib dengan Abidah, novel Hati Suhita layak difilmkan. Semoga suatu saat terwujud.

sumber : https://alif.id

JURNALISTIK WAJIB MASUK DALAM KURIKULUM




Oleh Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis di Tanjung Enim Sumsel)

Tiga bulan menjelang pergantian tahun, (Oktober–Desember 2006), di Berita Pagi, muncul wacana yang disampaikan beberapa tokoh, tentang beberapa materi, yang diusulkan untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sekolah. Misalnya, materi kesehatan reproduksi (kespro), pendidikan anti korupsi sampai pentingnya keseimbangan pendidikan agama dan teknologi di setiap pesantren juga menjadi tema yang sedang hangat diperbincangkan. 

Mengiringi usulan beberapa pihak tersebut, sepertinya materi ke-jurnalistik-kan (kewartawanan) atau yang lebih dikenal dengan persuratkabaran (Pers), menjadi suatu keharusan, jika kemudian juga diusulkan menjadi salah satu materi yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Tentu, usulan ini bukan sebuah kelatahan, atau sekedar ikut-ikutan dengan para pengusul sebelumnya. Namun berdasar pada upaya membangun dan pengembangan kecerdasan siswa di masa mendatang. 

Mengarang sebagai embrio
Mata pelajaran Jurnalistik, secara tidak langsung sebenarnya sudah diterapkan pada era 80-an, melalui mengarang. Mengarang dapat dikategorikan dalam karya jurnalistik Human Interest atau Feature Traveling, (catatan perjalanan) jika secara kebetulan, seorang murid menulis tentang “Liburan di rumah nenek”, dengan mengungkap fakta-fakta yang ditemui di rumah nenek. Tetapi saat itu, mengarang tidak menjadi mata pelajaran khusus, namun tergabung dalam pelajaran bahasa dan sastra (Bahasa Indonesia). Memasuki tahun 2000-an atau bahkan jauh sebelum itu (pasca 80-an), mengarang secara perlahan mulai ditinggalkan. Akibatnya, mengarang terjebak dalam like and dislike (suka dan tidak suka). Ada kecenderungan, mengarang akan sangat bergantung siapa guru yang mengajar Bahasa Indonesia. Jika sang guru “tertarik” dengan dunia mengarang, maka salah satu soal essay-nya adalah mengarang. Demikian pula sebaliknya. 

Dalam konteks ke-kinian, mata pelajaran Jurnalistik ini hanya akan diperoleh bagi mahasiswa Akademi Komunikasi, atau yang secara kebetulan mengambil program Jurnalistik. Di IAIN Raden Fatah Palembang, akan ditemui di Fakultas Dakwah jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Bagi Fakultas Ushuluddin, mata kuliah Jurnalistik hanya menjadi mata kuliah wajib pilihan, bukan mata kuliah wajib. Demikian juga di Fakultas Tarbiyah. 

Akibat pemberian mata kuliah Jurnalistik yang terkesan “sepintas” ini, mengakibatkan “pengendapan intelektual” yang berdasa warsa, tanpa tersosialisasi melalui karya jurnalistik. Ironisnya, muatan intelektual seorang sarjana sangat banyak tidak dapat tersebar luas, hanya lantaran sang sarjana tidak bisa menuliskan isi otaknya ke dalam lembaran kertas. Kenapa ini terjadi? Karena mereka tidak serius belajar jurnalistik. 

Berdasar pada realitas diatas, di tengah kompetisi global seperti sekarang, embrio jurnalistik yang jauh sebelumnya sudah lahir dan diterapkan melalui “mengarang”, dapat dikembangkan kembali dengan memasukan mata pelajaran Jurnalistik dalam kurikulum sekolah. Tentu pada praktiknya nanti, disesuaikan dengan jenjang pendidikannya masing-masing. 

Jurnalis orang “istimewa” ?
Jurnalistik, memang bukan mata pelajaran atau mata kuliah yang istimewa. Tetapi, tidak jarang dengan kemampuannya melakukan aktifitas jurnalistik, orang kemudian menjadi “istimewa” di depan publik. Sebab, memiliki ke-ahlian jurnalistik (menulis-red) baik menulis opini, essay, kolom, cerpen, novel dan sejenisnya, setiap orang akan dapat menembus lintas batas, yang belum tentu semua orang dapat menembusnya. Dengan kata lain, siap menjalankan naluri jurnalistik, berari siap berkawan dengan siapa saja, sejak kelas gembel sampai tingkat presiden sekalipun.

Dalam tulisan ini, paling tidak ada beberapa alasan, kenapa jurnalistik “wajib” masuk dalam kurikulum sekolah. Antara lain, Pertama, Mendorong pengembangan daya imajinasi dan intuisi siswa. Daya hayal dan naluri batin merupakan salah satu modal penting dalam proses pencerdasan murid, baik dalam konteks akademis atau non akademis. Ada kecenderungan, siswa yang memiliki daya hayal dan intuisi yang “lebih”, biasanya mempunyai “pengetahuan lain” diluar mata pelajaran di sekolah. Sehingga, secara sosial siswa yang demikian, lebih punya peluang untuk “menggauli” semua kalangan, ketimbang siswa yang hanya menjadi ”anak kampus tulen”. Keingintahuannya terhadap sesuatu biasanya diatas rata-rata, dibanding dengan siswa lainnya. Kuatnya keingintahuan inilah yang kemudian mendorong siswa tersebut untuk terus mencari dan menggali segala sesuatu yang mungkin diluar pelajaran sekolah. 

Kedua, Jurnalistik dapat menubuhkembangkan daya kritis dan kepekaan sosial. Secara teori, memang tidak ada bab khusus yang membahas tentang daya kritis dalam konteks kejurnalistikan. Tetapi, biasanya seseorang yang sudah “nyandu” dengan aktifitas jurnalistik (kewartawanan), mempunyai kepekaan dan daya kritis yang lebih dari yang lain. Sehingga tidak jarang, jika di beberapa sekolah, siswa yang mengelola majalah dinding (mading) lebih “pintar” dari yang sama sekali tidak bersentuhan dengan organisasi. Kenapa? Karena ada tuntutan mencari informasi yang terbaru, sehingga tidak akan selalu puas dengan apa yang telah diperoleh hari itu. 

Ekses lain yang bakal muncul adalah, jika ada kebijakan sekolah yang tidak populis, seperti kenaikan SPP yang tidak rasional, mereka (siswa pengelola mading) tidak akan segan-segan menulis atau membuat karikatur sebagai sindiran kepada pihak sekolah. Satu hal ini, yang sepertinya akan sulit diterima pihak sekolah. Sebab, tradisi di negeri ini, guru selalu benar, dan murid selalu salah. Namun sebagai bentuk pendidikan moralitas demokrasi di setiap sekolah, logika seperti itu seharusnya sudah dibuang ke tong sampah, untuk kemudian membudayakan tradisi kritik antara murid dan guru. 

Ketiga, Menumbuhkembangkan kejujuran. Naluri jurnalistik diakui atau tidak dapat mendorong terbentuknya “kata hati” yang jernih. Atau kalau meminjam istilah Aa Gym manajemen qolbu. Siswa yang telah “menggeluti” dunia jurnalistik, acapkali “tampil beda” di tengah kawan sebayanya. Bukan karena ingin dipuji, tetapi itulah gerak hati yang tengah diikutinya. Termasuk, jika suatu ketika terjadi aksi protes di sekolah. Sama sekali bukan karena dibayar oleh guru atu pihak lain, namun berdasar pada fakta, adanya kebijakan yang salah di sekolah tersebut. Minimal, jika tidak ada pembelaan secara kolektif, siswa tersebut akan menuliskan tentang realitas yang dilihat dan dirasakannya. Baik melalui puisi, koolom atau tulisan apa saja, sebagai bentuk protes terhadap keadaan yang menurutnya tidak tepat. 

Keempat, Mendorong siswa untuk membaca. Membaca akan bertambah wawasan. Ini hukum sebab akibat. Karena membaca orang akan bertambah wawasan. Tidak membaca, orang akan berkuranbg wawasannya. Begitulah jurnalistik. Keinginan kuat untuk melakukan aktifitas jurnalistik (menulis-red), mau tidak mau seorang siswa akan terdorong untuk membaca. Kenapa? Karena ia harus menulis dengan data yang benar dan mengolah sumber informasi lainnya. Dengan sendirinya, selama proses kejurnalistikan dilakukan, maka sepanjang itu siswa tersebut akan terus membaca dan bertambah wawasannya. Seorang guru mana yang tidak ingin siswanya mempunyai kecerdasan “lebih” dari siswa sekolah lainnya? 

Meringankan beban orang tua
Kelima, Pasive incame. Jika kegiatan jurnalistik sudah menjadi kebiasaan, atau bahkan menjadi kebutuhan, maka ada konsekuensi logis dari keseriusan itu. Apalagi kalau bukan perolehan materi (pasive incame) dalam usia muda. Apakah bisa begitu ? Kenapa tidak? Saat ini, tidak asing lagi jika dibeberapa televisi, radio dan koran memberitakan tentang munculnya cerpenis dan novelis cilik. Dalam usia 9 tahun, sudah mempunyai 5 novel yang tersebar di toko-toko buku di Indonesia. Bisa dipastikan, setiap buku yang terjual si penulis akan mendapat royalty (keuntungan uang) dari setiap penjualan. Apakah itu bukan pasive incame, yang akan meringankan beban orang tua untuk biaya hidup selanjutnya? Jika aktifitas jurnalistiknya dalam usia muda sudah “menghasilkan”, soal uang kuliah tentu bukan masalah lagi. Tinggal saja, para guru dan orang tua memberi semnagat, agar komitmennya melakukan kegiatan jurnalistiknya tidak terhenti di tengah jalan. 

Keenam, Prestise sekolah. Seorang guru, atau bahkan sekolah dengan sendirinya akan mendapat acungan jempol dari berbagai pihak, jika salah satu siswanya menjadi seorang novelis, kolumnis atau menjadi penulis yang andal. Minimal, secara politis, nama baik Kepala Sekolah, guru dan jajaran sekolah akan meningkat di kalangan publik. Jika ini terjadi, sekolah dan pengelolanya, tinggal menangguk “keuntungan” nama baik tersebut. Sudah pasti nama sekolah akan mendapat prestise yang “lebih” di mata wali murid.

Ketujuh, kebebasan berekspresi. Dalam teori psikologi, usia muda paling tidak suka dikekang. Psikolog. Prof. Dr. Hj. Zakiah Derajat menyebutkan, usia muda adalah masa pancaroba. Masa pencarian jati diri. Sehingga para pendidiklah (orang tua dan guru), yang wajib memberi arahan, bukan kekang-an. Dengan masuknya jurnalistik dalam kurikulum, akan sangat sesuai dengan perkembangan psikologi remaja, yaitu masa pertumbuhan dalam berekspresi. Minimal, dengan munculnya mata pelajaran jurnalistik di sekolah, akan memberi ruang bagi siswa untuk berkreasi secara bebas, dan menembus “dunia lain” di dalam atau diluar sekolah, sesuai daya imajinasi dan intuisi siswa tersebut. 

Kendala
Pada praktiknya, usulan ini memang akan mendapat tangapan pro dan kontra. Itu soal biasa. Sebab, tidak akan semua pihak setuju, tetapi tidak juga semua pihak tidak setuju.Yang setuju juga masih terbagi, setuju ikut arus yang menguntungkan dan setuju siap bekerja keras. Atau yang tidak setuju, karena sama sekali tidak mengerti, atau tidak ingin direpotkan oleh kurikulum baru. Kelompok ini biasanya memakai logika “ada kurikulum baru atau tidak, yang penting setiap bulan gajian. Titik”. 

Kendala lain adalah, belum adanya rujukan dari pusat. Dalam sistem birokrasi di Indonesia, dalam konteks Ke-pendidikan memang ada hierarki yang “wajib” diikuti. Namun mengandalkan segala sesuatu dari pusat Jakarta, tentu ini pendapat yang musti diluruskan. Sebab, Jakarta bukan satu-satunya rujukan yang terbaik. Justeru sebaliknya, di daerah inilah masih ada nilai-nilai kearifan yang mesti ditumbuhkembangkan, untuk kemudian diusulkan sebagai rujukan ke tingkat pusat. Apa salah, jika Dinas Pendidikan Nasional Sumatera Selatan mengusulkan mata pelajaran jurnalistik dimasukkan dalam kurikulum? Tidak mustahil. Semua sangat mungkin. Jika masih juga gagal, toh masing-masing sekolah mempunyai otoritas untuk memasukkan mata pelajaran jurnalistik menjadi muatan lokal. Masalahnya kemudian, bukan pada rumitnya birokrasi itu, melainkan dari kita; mau atau tidak? 

Tanggungjawab bersama
Gagasan perlunya mata pelajaran Jurnalistik masuk dalam kurikulum, menjadi tanggungjawab semua pihak. Wartawan sebagai pendorong melalui media, kepala Dinas Pendidikan Nasional dengan otoritasnya, guru dan kepala sekolah melalui komitmennya, walimurid mengalang massa, untuk kemudian mendorong terwujudnya mata pelajaran jurnalistik sebagai bagian dari kurikulum di sekolah.

Sebagai persiapan, semua pihak yang memiliki kompetensi dan komitmen dalam bidang jurnalistik berkumpul, untuk kemudian menyusun kurikulum, sesuai dengan jenjang pendidikannya masing-masing. Pada pertemuan inilah, sistem pengajaran dan sylabus mata pelajaran jurnalistik digali, dibahas, diperdebatkan, dikembangkan dan diterapkan dalam kurikulum sekolah. 

Tindak lanjut
Memasukkan jurnalistik dalam kurikulm sekolah, tentu bukan jaminan, siswa akan kemudian menjadi penulis andal. Semua membutuhkan proses. Semua perlu waktu. Dan untuk semua itu membutuhkan komitmen dari para pendidik dan dari siswa itu sendiri. Sebab, salah satu diantaranya putus di tengah jalan, maka jurnalistik ini hanya akan menjadi “cerita sejarah”, sebagaimana yang menggejala di beberapa perguruan tinggi. Mereka pernah mengambil mata kuliah Jurnalistik, tetapi mereka tidak bisa mendapat tambahan royalty dari aktifitas jurnalistiknya. 

Mengantisipasi kemungkinan buruk sebagaimana yang terjadi di beberapa perguruan tinggi, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh sekolah, atau Yayasan yang menaungi institusi pendidikan, agar siswa mempunyai komitmen untuk tetap melakukan kegiatan jurnalistiknya. 

Tahun 2007 Balai Bahasa Palembang, menggagas program “Bengkel Sastra”. Program ini, menjaring bakat dan minat beberapa sekolah, untuk kemudian dibina oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidangnya masing-masing. Ada kelompok Cerpen, Teater, Puisi, Musikalisasi Puisi dll. Ini hanya contoh kecil saja. Tetapi paling tidak, gagasan itu dapat diadopsi, dan diterapkan dalam konteks ke-jurnalistikkan di sekolah. 

Praktiknya nanti, sesuai dengan sifat ilmu jurnalistik yang praktis aplikatif, (jika tidak dipraktikkan akan hilang), maka pembentukan kelompok pertemuan mingguan melalui kegiatan ektrakurikuler menjadi penting artinya. Dari pertemuan-pertemuan inilah, untuk komitmen masing-masing siswa akan terjaga, sehingga semangat menulis secara perlahan akan terbangun dengan sendirinya. Jika metode ini dapat berjalan secara rutin, dalam rentang waktu 3 – 6 bulan, akan muncul penulis-penulis muda berbakat, yang kelak bukunya siap diterbitkan oleh sekolah dan dijual di setiap toko buku di Indonesia. Semoga, jurnalistik menjadi ‘napas’ dalam kehidupan setiap siswa, sehingga jurnalistik akan menjadi “urat nadi intelektual” di setiap sekolah. Insya Allah.(*) 

Tanjung Enim, 3 Januari 2007