Senin, 26 Desember 2011

Persahabatan Mati Lampu


Oleh Imron Supriyadi

Suatu ketika, di tahun 2002, saya lupa bulan apa. Di Er-Te saya sedang mendapat giliran mati lampu. Dan sebelumnya, PLN memang sudah memberitahu tentang giliran mati lampu ini, sekalipun, tidak jarang pemberitahuan itu melenceng dari jadwal. Nah, menurut jadwal giliran, seharusnya malam itu di Er-te saya tidak mendapat giliran mati lampu. Oleh karena meleset dari jadwal itulah, kemudian beberapa warga uring-uringan, marah-marah, kesal dan lain sebagainya.


Tetapi di sisi lain, saya juga melihat, beberapa warga keluar dari rumah, menuju warung membeli lilin, ada juga yang tandhang atau mencari sahabat ke rumah tetangga. Saya melihat, mereka kemudian berkumpul, sambil menunggu hidupnya lampu, dengan ngobrol dan bercengekarama seadanya.

Saya tidak tahu persis, anda masuk di bagian mana. Apakah anda masuk di kelompok yang marah-marah dan kesal, atau masuk kelompok orang yang biasa saja menghadapi mati lampu.
Nah, dari peristiwa mati lampu, sebenarnya ada nilai yang mungkin selama ini tidak pernah kita pikirkan, tetapi justeru muncul di saat mati lampu. Mungkin, selama ini kita selalu disibukkan oleh bermacam aktifitas kantor atau pekerjaan keseharian. Sehingga, sepulang dari kantor, anda tidak pernah melakukan silaturahmi ke para tetangga, karena sudah terlalu lelah dengan pekerjaan satu hari penuh. Demikian juga, oleh karena kita sering berbelanja di Supermarket, anda pun sangat jarang membeli lilin di warung tetangga, yang mungkin membutuhkan keuntungan dari tangan kita.

Inilah yang saya katakan, dari mati lampu, ada nilai dan pesan sosial yang mungkin selama ini kita lupakan. Sebab, dari mati lampu, dalam masing-masing warga tiba-tiba muncul semangat kebersamaan untuk berkumpul dengan tetangga, berbagi kesejahteraan dengan warung sebelah dengan membeli lilin, atau bahkan kita pun memiliki emosi yang serupa, yaitu kekesalan terhadap musuh yang sama yaitu : mati lampu.( baca; kegelapan).

Kenapa di saat mati lampu kemudian kita berkumpul, mengerubungi lilin atau lampu minyak? Atau kenapa pula di saat mati lampu kita kemudian lebih memilih mencari teman ngobrol, ketimbang tidur-tiduran di dalam kamar sendirian? Apalagi alasannya, kalau bukan karena anda, saya dan kita tidak menginginkan adanya kegelapan.

Tetapi, semangat kebersamaan dan menyatu dalam satu gerakan emosi, dalam kisah mati lampu, tidak pernah kita petik, untuk kemudian tetap kita lestarikan dalam kedirian kita. Selama ini tidak menginginkan rumah kita gelap, tetapi kita sering berdiam diri di rumah masing-masing yang berpagar tinggi, atau di kamar masing-masing tanpa berfikir, kalau sebenarnya kita membutuhkan sahabat, yaitu orang lain. Setelah kegelapan itu hadir di depan mata, kita baru tersadar, bahwa kita sedang berada dalam kegelapan dan tidak ingin sendirian.

Mati lampu, ternyata bukan sekedar mendorong kita untuk sebatas marah terhadap PLN, tetapi ada nilai dan pesan sosial yang mesti diajarkan pada hati dan pikran kita, yaitu semangat kebersamaan, untuk melawan kegelapan. Apakah kegelapan di rumah kita, kegelapan di dalam dada kita, di dalam hati nurani kita atau bahkan kegelapan dalam sistem bangsa dan ketatanegaraan kita. Mestikah kita membiarkan kegelapan, jika kita bisa membeli lilin dan mengumpulkan kayu bakar dalam satu “ikatan api” kebersamaan untuk melawan kegelapan? **


Palembang, 2002

Jangan Usir Ayam Di Ruang Tamu


Oleh Imron Supriyadi

Saya atau juga anda, mungkin lebih sering memilih mengusir ayam dari dalam rumah, ketimbang membiarkannya. Setiap orang, selalu tidak rela jika ada seekor ayam masuk ke dalam rumah. Di teras pun, saya atau juga anda akan cepat-cepat mengusir dengan kasar, tanpa mengetahui tujuan ayam masuk ke rumah kita. Kenapa kita selalu cenderung mengusir ayam dari dalam rumah? Sebab yang pasti, karena kita, selalu berprasangka buruk terhadap ayam yang masuk ke rumah kita. Prasangka itu muncul, karena kebanyakan kita, tidak pernah tahu data ghaib dari Tuhan tentang apa niat ayam masuk ke dalam rumah.

Oleh sebab itu, kita selalu khawatir, jangan-jangan ayam itu akan berak sembarangan, dan mengotori lantai. Kenyataan perilaku ayam yang selalu berak sembarangan di lantai rumah kita, kemudian menjadi satu persangkaan buruk bagi setiap ayam. Padahal, anda atau juga saya tidak mau dikatakan, semua manusia itu jelek. Sama juga ayam, kalau saja kita mengetahui bahasa ayam, maka ayam pun akan protes kalau dikatakan, semua ayam itu jelek.

Tentang ayam ini saya punya kisah sendiri. Tahun 2002, satu hari menjelang Hari Raya Idul Adha, saya berkunjung ke rumah Kiai Abdul Madjid di Tanjung Enim. Seperti tuan rumah pada umumnya, Kiai Majid begitu hormat menyambut saya. Semula saya diam. Saya hanya mendengarkan perbincangan sederhana, antara Kiai Madjid dengan tamu yang datang lebih dulu dari pada saya.

Di tengah asyiknya perbincangan, seekor ayam masuk ke ruang tamu, persis di tempat kami sedang berbincang. Semula saya akan mengusir ayam itu. Tetapi dicegah oleh Kiai Madjid. Ayam itu kemudian berjalan tanpa beban ketakutan. Sementara Kiai Madjid masih berbincang dengan tamu, saya mengamati ayam, sambil di benak saya bertanya-tanya kenapa Kiai Madjid melarang saya mengusir ayam dari ruang tamunya?

Perlahan-lahan, ayam betina yang masuk ke dalam ruang tamu dibiarkan saja. Merasa tidak diusik, ayam ini tiba-tiba mendekat, persis di samping Kiai Majid duduk. Ia memosisikan diri, seperti hendak bertelur di sebuah sarang.

Sembari mengepulkan asap rokok-nya, Kiai Majid hanya melirik, gerangan apa yang akan dilakukan oleh ayamnya ini. Saya juga ikut mengamati. Kiai Majid tak sedikitpun mengusik ulah ayam yang ada di sampingnya. Tak lama kemudian, ayam ini melompat dari atas kursi, dan keluar rumah.

Kiai Majid tersenyum puas, di saat melihat satu butir telur ada di samping duduknya. Ternyata, tidak selamanya, ayam masuk ke dalam rumah akan mengotori dan mengeluarkan tinja. Terbukti, ayam Kiai Majid memberi satu butir telur bukan tinja.

Perilaku ayam Kiai Majid, paling tidak telah menyadarkan kita pada nilai kemanuisaan kita, yang sering mendahulukan prasangka buruk dari pada prasangka baik kepada orang lain. Secara sadar atau tidak, ayam Kiai Majid, telah mengingatkan kita, untuk memupuk berpikir positif atau dalam bahasa agamanya khusnuzhon, berbaik sangka kepada siapapun, termasuk juga pada ayam. Sebab, selama kita mendahulukan sikap buruk sangka, maka selama itu pula kita akan disiksa oleh perasaan kita sendiri.

Dari kisah ini, saya hanya akan menyampaikan pesan dari ayam Kiai Majid, kalau ayam saja bisa memberikan yang terbaik bagi manusia, berupa telur, kenapa kita, yang jelas-jelas manusia, tidak atau bahkan lupa untuk memberi yang terbaik kepada sesama. Padahal, Tuhan sudah menyatakan, Tidaklah engkau akan sampai pada kebaktian atau ketaatan yang sempurna, sebelum engkau memberikan sesuatu yang terbaik..” Mungkin, kita memang harus lebih banyak belajar lagi dari ayamnya Kiai Majid.

Tanjung Enim, Idul Adha 1423 H / 2002

Dialog Sungai

Oleh Imron Supriyadi

Suatu ketika, saya dan teman-teman se-profesi, menyusuri Sungai Musi Palembang. Sekalipun melibatkan unsur pimpinan menejemen, tetapi, perjalanan ini, sifatnya, berjalan santai. Ibarat orang sedang mencari angin, diluar tempat kerja, tanpa schedule, tanpa jam dan batas waktu yang jelas. Katanya, acara jalan-jalan ini sebagai salam kesan dan pesan dari salah satu pimpinan kami yang akan meninggalkan Palembang. Tetapi justeru inilah, yang mebuat saya dan teman-teman, dapat dengan bebas--untuk memaknai perjalanan, dengan segala penglihatannya, baik secara dhohir, maupun batin.
Jam sepuluh pagi menjelang siang, kami berangkat dari Dermaga Benteng Kuto Besak. Terus menyusuri beberapa perkampungan pinggir Sungai Musi, ke arah Pulau Kemaro. Sejak awal keberangkatan, saya sengaja berada diatas atap perahu. Sehingga, saya bisa menikmati alam secara bebas tanpa sekat apapun.
Suatu ketika, perahu yang saya tumpangi berlintasan dengan sebuah perahu kecil tanpa mesin, yang banyak disebut orang dengan sampan. Diatas sampan itu, ada dua orang yang sedang menggayuh dayung. Dan ketika sampan itu tinggal beberapa meter akan berlintasan dengan kami, seketika itu juga si pengemudi perahu mesin yang kami tumpangi, tiba-tiba menurunkan gas. Dengan sendirinya, kecepatan perahu kami berkurang. Dan beberapa detik kemudian, setelah berlalunya sampan itu, si pengemudi, kembali menarik gas-nya dan kecepatannya kembali normal.
Melihat peristiwa ini, ada tanda tanya yang kemudian muncul di benak saya. Karena saya awam terhadap “pergaulan” air, maka saya tanyakan pada awak perahu. Saya turun dan mendekati tukang perahu.
“Mas, kenapa waktu waktu kita berpapasan dengan sampan tadi, parahu kita harus direm gasnya?” tanya saya kepada si tukang perahu.
“O, Itu memang sudah biasanya seperti itu, Pak. Setiap kali ada perahu besar atau perahu mesin yang berlintasan dengan perahu kecil, yang lebih besar harus mengurangi gasnya. Kalau tidak direm gas-nya, nanti sampan kecil itu bisa oleng kena ombak perahu besar, bisa-bisa sampan itu terbalik dan karam,” jawab si tukang perahu.
Kisah ini memberi satu pelajaran lagi bagi hati dan pikiran kita. Ternyata, diatas air ada etika dan hukum tidak tertulis yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara pengemudi perahu mesin dengan sampan. Kenyataan “pergaulan sampan dan perahu mesin” menggambarkan betapa berharganya sebuah kesepakatan tidak tertulis, tetapi justeru dapat membentuk satu kesantunan peradaban air. Kenapa saya sebut sebuah kesantunan? Karena pergaulan sebagaimana perahu mesin dan sampan, hampir sangat jarang ditemui dalam pergaulan di darat.

Kalau meminjam bahasa Budayawan Emha Ainun Nadjib, mungkin saya, atau anda sering melihat bagaimana peradaban kendaraan di darat, yang lebih mengutamakan pada kesadaran gas dari pada kesadaran rem. Tetapi, diatas Sungai Musi, justeru sebaliknya, mengedepankan kesadaran rem, dari pada kesadaran gas.
Kesadaran rem seorang pengemudi perahu yang kami tumpangi, sekaligus mewakili keinginan penumpang, yaitu keinginan selamat secara bersama-sama, dan berharap untuk tidak tenggelam ke dalam Sungai Musi. Kesadaran untuk saling menyelamatkan antar satu sama lain inilah, yang saat ini seakan mulai pudar. Kalaupun ada, paling-paling hanya kesepakatan untuk saling menyelamatkan dari jeruji penjara.
Mungkin, karena kita tidak belajar dari kesantunan peradaban sungai ini, kemudian yang muncul dari kedirian kita adalah kegersangan. Muara kecil dalam diri kita yang bernama “hati nurani”, tak pernah kita dialiri oleh kesantunan air, sehingga, dalam keseharian, kita memilih untuk saling mendahukukan emosional kita, merasa ingin menang sendiri, atau merasa paling benar sendiri, lantas mengantarkan kita pada kecenderungan, untuk selalu memandang rendah dan salah pada orang lain.
Kenyataan ini, tentu sebagai akibat dari kealpaan kita untuk berdialog dengan air. Air, tak pernah lagi kita ajak bersentuhan dengan muka kita dan hati kita. Komunikasi dengan siraman air rohani, juga sering kita putuskan. Air muka persahabatan pun sering kita libas dengan persoalan materi. Bahkan, air mata pengakuan kesalahan, tak lagi kita tumpahkan dihadapan Tuhan.
Kalau tukang perahu dan sampan saja bisa belajar dari peradaban dan kesantunan aliran air Sungai Musi, kenapa kita tidak?**


Palembang, 2002