Oleh Imron Supriyadi
Suatu ketika, saya dan teman-teman se-profesi, menyusuri Sungai Musi Palembang. Sekalipun melibatkan unsur pimpinan menejemen, tetapi, perjalanan ini, sifatnya, berjalan santai. Ibarat orang sedang mencari angin, diluar tempat kerja, tanpa schedule, tanpa jam dan batas waktu yang jelas. Katanya, acara jalan-jalan ini sebagai salam kesan dan pesan dari salah satu pimpinan kami yang akan meninggalkan Palembang. Tetapi justeru inilah, yang mebuat saya dan teman-teman, dapat dengan bebas--untuk memaknai perjalanan, dengan segala penglihatannya, baik secara dhohir, maupun batin.
Jam sepuluh pagi menjelang siang, kami berangkat dari Dermaga Benteng Kuto Besak. Terus menyusuri beberapa perkampungan pinggir Sungai Musi, ke arah Pulau Kemaro. Sejak awal keberangkatan, saya sengaja berada diatas atap perahu. Sehingga, saya bisa menikmati alam secara bebas tanpa sekat apapun.
Suatu ketika, perahu yang saya tumpangi berlintasan dengan sebuah perahu kecil tanpa mesin, yang banyak disebut orang dengan sampan. Diatas sampan itu, ada dua orang yang sedang menggayuh dayung. Dan ketika sampan itu tinggal beberapa meter akan berlintasan dengan kami, seketika itu juga si pengemudi perahu mesin yang kami tumpangi, tiba-tiba menurunkan gas. Dengan sendirinya, kecepatan perahu kami berkurang. Dan beberapa detik kemudian, setelah berlalunya sampan itu, si pengemudi, kembali menarik gas-nya dan kecepatannya kembali normal.
Melihat peristiwa ini, ada tanda tanya yang kemudian muncul di benak saya. Karena saya awam terhadap “pergaulan” air, maka saya tanyakan pada awak perahu. Saya turun dan mendekati tukang perahu.
“Mas, kenapa waktu waktu kita berpapasan dengan sampan tadi, parahu kita harus direm gasnya?” tanya saya kepada si tukang perahu.
“O, Itu memang sudah biasanya seperti itu, Pak. Setiap kali ada perahu besar atau perahu mesin yang berlintasan dengan perahu kecil, yang lebih besar harus mengurangi gasnya. Kalau tidak direm gas-nya, nanti sampan kecil itu bisa oleng kena ombak perahu besar, bisa-bisa sampan itu terbalik dan karam,” jawab si tukang perahu.
Kisah ini memberi satu pelajaran lagi bagi hati dan pikiran kita. Ternyata, diatas air ada etika dan hukum tidak tertulis yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara pengemudi perahu mesin dengan sampan. Kenyataan “pergaulan sampan dan perahu mesin” menggambarkan betapa berharganya sebuah kesepakatan tidak tertulis, tetapi justeru dapat membentuk satu kesantunan peradaban air. Kenapa saya sebut sebuah kesantunan? Karena pergaulan sebagaimana perahu mesin dan sampan, hampir sangat jarang ditemui dalam pergaulan di darat.
Kalau meminjam bahasa Budayawan Emha Ainun Nadjib, mungkin saya, atau anda sering melihat bagaimana peradaban kendaraan di darat, yang lebih mengutamakan pada kesadaran gas dari pada kesadaran rem. Tetapi, diatas Sungai Musi, justeru sebaliknya, mengedepankan kesadaran rem, dari pada kesadaran gas.
Kesadaran rem seorang pengemudi perahu yang kami tumpangi, sekaligus mewakili keinginan penumpang, yaitu keinginan selamat secara bersama-sama, dan berharap untuk tidak tenggelam ke dalam Sungai Musi. Kesadaran untuk saling menyelamatkan antar satu sama lain inilah, yang saat ini seakan mulai pudar. Kalaupun ada, paling-paling hanya kesepakatan untuk saling menyelamatkan dari jeruji penjara.
Mungkin, karena kita tidak belajar dari kesantunan peradaban sungai ini, kemudian yang muncul dari kedirian kita adalah kegersangan. Muara kecil dalam diri kita yang bernama “hati nurani”, tak pernah kita dialiri oleh kesantunan air, sehingga, dalam keseharian, kita memilih untuk saling mendahukukan emosional kita, merasa ingin menang sendiri, atau merasa paling benar sendiri, lantas mengantarkan kita pada kecenderungan, untuk selalu memandang rendah dan salah pada orang lain.
Kenyataan ini, tentu sebagai akibat dari kealpaan kita untuk berdialog dengan air. Air, tak pernah lagi kita ajak bersentuhan dengan muka kita dan hati kita. Komunikasi dengan siraman air rohani, juga sering kita putuskan. Air muka persahabatan pun sering kita libas dengan persoalan materi. Bahkan, air mata pengakuan kesalahan, tak lagi kita tumpahkan dihadapan Tuhan.
Kalau tukang perahu dan sampan saja bisa belajar dari peradaban dan kesantunan aliran air Sungai Musi, kenapa kita tidak?**
Palembang, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar