Cerpen Imron Supriyadi
Enam bulan terakhir,Mirdan, teman sekost saya sedang dipusingkan oleh persoaalan rezeki, berupa setumpuk uang yang tiba - tiba datang dari berbagai sumber yang tak pernah diduga sebelumnya. Mungkin ini yang sering disebut para kiai Min haitsu layahtasih, rezeki yang datang tak disangka sebelumnya.
Namun yang jelas, rezeki yang didapat oleh teman saya itu bukan hasil rampokan, hasil pungli dan pula dari penyalahgunaan dana instansi tanpa prosedur yang jelas demi kepentingan pribadi. Kenapa saya berani mengatakan demikian? Karena saya yakin benar dengan integritas Mirdan dalam persoalan uang dan uang. Keyakinan saya berawal dari pergaulan saya dan Mirdan yang telah sepuluh tahun hidup dirumah kontrakan.
Bukan sekali dua kali saja Mirdan mendapat peluang untuk meraup jutaan uang dari beberapa oknum untuk menggolkan anaknya agar dapat bekerja diperusahaan atau instansi tertentu. Tapi berkali - kali pula Mirdan dan hanya tersenyum kecil lantas berucap.
"Maaf, sudah terlampau banyak dosa yang pernah saya lakukan. Bagaimana mungkin saya harus menerima dosa yang lain, sementara dosa yang kemarin saja belumtentu terbayar oleh perbuatan baik yang pernah dan sedang saya lakukan".
Sebenarnya, Mirdan bukan seorang pejabat tinggi yang memiliki otoritas tertentu bagi setiap karyawan di sebuah perusahaan atau instansi. Teman saya itu hanya seorang tukang rokok yang hidupnya tak lepas dari razia Tibum, pengusiran kaki lima atau tagihan retribusi bulanan sebagai uang sewa di mana ia berjualan. Kalaupun kini Mirdan menjadi sarjana , itu bukan lantaran kehendak hatinya yang ingin menyandang gelar sebelum namanya disebut atau ditulis dalam sebuah bloknote, tapi hanya memenuhi keinginan orangtuanya yang tak sempat mengenyam pendidikan formal. Berangkat dari sana , sebagai anak satu - satunya harapan orangtuanya, Mirdan menguras diri demi membahagiakan ayah dan ibunya.
Lantas bagaimana dengan orang - orang sekitar kontrakan yang tiba - tiba percaya bahwa Mirdan mampu menggolkan seberkas lamaran? Entah bagaimana proses terjadinya ketika teman saya itu memiliki kekuatan dari matanya, seperti seekor kucing yang hendak menundukkan tikus.
Ada semacam kekuatan tersembunyi dari balik lensa matanya, sehingga bukan seorang cukong saja yang kemudian gagal memaksa penduduk untuk membebaskan tanah dengan harga minim, tap seekor ular pun cepat - cepat beranjak pergi dari hadapannya ketika teman saya itu menatapnya tajam.
Bukan saya yang mengusir ular itu, tapi karena naluri kebinatangannya sehingga ular itu pergi. Meski hanya binatang, tapi tetap memiliki naluri untuk tidak mau diganggu, apalagi digusur tempat tinggalnya. Mereka juga butuh ketenangan hidup, kemerdekaan untuk berkomunikasi antar binatang, apalagi kita yang tidak saja mempunyai naluri, akal tapi juga dikaruniai hati nurani, kalaupun manusia semacam kita kemudian meninggalkan akal sehat dan ahti nurani, itu sama halnya kita telah menjadi ular yang tak lagi punya naluri", ujar Mirdan pada saya menyembunyikan keistimewaan yang dimilikinya.
Selalu dan selalu begitu jawabannya. Tapi bagaimanapun, tunduknya cukong atau perginya ular dari hadapan Mirdan langsung saja merebak di setiap telinga para tetangga, atas dasar itu menurut dugaan saya, keistimewaan yang dipunyai Mirdan dapat memudahkan seberkas lamaran kerja setiap instansi. Tapi itulah Mirdan, meski diiming - iming dengan bonus jutaan rupiah di luar ongkos kemudahan yang musti disumbangkan kapada siempunya otoritas, teman saya itu terus saja menolak". Saya takut tidak dapat memenuhi amanat sampean", ucapnya merasa keberatan mendapat kepercayaan dari beberapa warga.
Kali ini giliran Mirdan yang ketiban rezeki yang pasti halalan thoyyiba, halal dan baik. Saya sendiri juga tak mengetahui persisnya bagaimana tiba - tiba seseorang mengantarkan rezeki itu kerumah kontrakan saya. Tapi jelas gepokan uang itu bukan hasil dari sumbangan sukarela setengah mekso (Sususemek) atau hasil dari sumbangan sukarela dengan jeritan (Susudejer).
Anehnya kedatanga rezeki itu bukan membuat Mirdan bahagia, tapi justru menjadikan teman saya itu bingung mencari jalan keluar akan dikemanakan uang sebanyak itu, tanpa harus mendepositokan lantas hidup dari bunga - bungaan.
Kebingungan Mirdan itu tak lepas dari penyakit yang selama ini diidapnya. Teman saya itu punya penyakit tak boleh kaget (terkejut).
Apapun persoalannya, jika sesuatu itu terjadi mendadak, teman saya itu justru seperti setengah beras setengah gula alias setengah waras setengah gila, sulit untuk berpikir jernih, akhirnya bingung meskipun tidak separah Kang Suram, menjadi porkas, putar otak rencana kaya akhirnya sinting. Meski dihatinya tetap bersyukur atas karunia itu, tapi akibat kekayaannya itu Mirdan jadi sering melamun. Tentu bukan melamunkan sesuatu yang tidak bakal terjadi, namun mencoba konsentrasi untuk mengembalikan pikiran jernihnya dengan harapan uang yang didapatnya itu bisa menjernihkan batinnya, bukan memperkeruh aliran darahnya. Hingga suatu ketika teman saya itu keluar dari rumah kontrakan, menitipkan gepokan uang itu pada saya.
Menyalahgunakan kepercayaan itu sama halnya mengasingkan diri dari kekerabatan, sekaligus telah membunuh hati nurani", kata Mirdan ketika saya keberatan mendapat kepercayaan itu.
Ia pun pergi, menerobos keremangan malam yang makin gulita.
Aneh ditengah persaingan hidup yang demikian ketat, dimana orang selalu suntuk mengejar niali rupiah.
Dipinggir sungai Mirdan duduk termenung. Beragam perasaan bergelayut. Bagaimana kalau uang itu kutaburkan di sungai ini--lantas tersebar lantas tersebar mengikuti aliran sungai? Ah, tidak mungkin! Pasti para pencari ikan di sungai ini bermalas - malasan setelah mendapat uang sebanyak itu. Pasti mereka tak mau lagi hidup dalam kenyataan. Atau mereka bakal saling bunuh demi mendapatkan uang yang kutaburkan. Ah, akan terlalu banyak mayat yang akan tenggelam disungai ini, toh sudah banyak korban akibat perebutan jutaan rupiah.
Tapi…apakah ini tidak menguntungkan sipenggali kubur? Lantas akankah pengangguran ini berkurang dengan munculnya banyak mayat di desa ini? Ini sama halnya aku telah membeli mayat!.
Di sebuah surau yang kecil di dapatinya satu keprihatinan. Demi uang, para warga desa sanggup meninggalkan ketertundukan mereka pada si Pembuat Hidup.
Ya, Tuhan hanya karena uangkah mereka harus meninggalkan rumahMu dalam sepi? Inikah kenyataan yang telah kau catat di buku taqdirMu? Adakah keistimewaan bagiku atas jutaan rupiah yang kini kuterima? Setetes air mata itu terus mengalir hingga meleleh dilehernya.
Pada sebuah rumah, Mirdan mendapat seorang gadis duduk dibalik jendela. Ada sebongkah penderitaan batin yang tersemburat pada gadis itu. Mirdan menatap tajam." Itu gadis piningit. Gadis pingitan. Kalau kisanak mau melamarnya harus menyediakan uamg lima juta. Mereka kan keluarga terpandang di desa ini", ujar seseorang orang yang kebetulan lewat setelah ditanya Mirdan.
Serendah itukah harga sebuah kehormatan? Bisik Mirdan lirih. Dalam perjalanannya, Mirdan menjumpai sepuluh wanita piningit yang berstatus sama dengan keluarga satu dan lainnya. Ada segumpal keceriaan yang tiba - tiba menyusup di hati Mirdan. Seakan ia menemukan jalan pemecahan dengan jutaan rupiah yang dimilikinya kini. Lima puluh juta untuk gadis piningit, gadis piningit lima puluh juta, lima juta untuk satu gadis piningit, lalu kali sepuluh…
Saya tak menduga sebelumnya ketika Mirdan lalu mengajak saya untuk melamar sepuluh gadis piningit itu. Lantas mau kau apakan dengan sepuluh gadis itu? Pikir saya. " Tak khawatir, semua sudah kupersiapkan sebuah tempat yang dapat menampung mereka", kata Mirdan menepis kegundahan saya berhadapan dengan para mertua.
Malam kian kelam. Udara malam mulai menembus setiap kamar para gadis piningit yang telah resmi menjadi isteri Mirdan. Sementara saya dan para mertua masih menunggu apa yang dilakukan terhadap kesepuluh gadis piningit itu.
Satu persatu Mirdan keluar masuk kamar para gadis itu, hingga kamar yang ke sepuluh. Saya makin bingung saat Mirdan membawa sepuluh lingkaran membentuk kalung yang dililit dengan gepokan uang. Tepat pada ujung lingkaran itu, selain tertulis label lima juta ada sebuah amplop kecil yang disengaja diselipkan.
Di depan para mertua ia undang kesepuluh gadis piningit itu. Mereka berjajar menatap masing - masing orang tuanya. Saya tetap saja duduk ditempat semula. Satu persatu, lingkaran - lingkaran yang terlilit uang itu dikalungkan pada setiap gadis piningit. Tapi dari sorot mata para gadis itu tergambar lolongan panjang sangat sulit terucap. Ada segumpal pemberontakan batin yang tak kesampaian. Malam ini dan seterusnya aku tak mungkin mendapat cinta mereka dengan paksa! Ini penindasan! Pikir Mirdan protes pada dirinya sendiri.
Sejak itu Mirdan benar - benar membebaskan kesepuluh gadis piningit itu, sekaligus mengembalikan mereka pada orang tuanya. Hanya lilitan uang dan untaian kata yang sempat dititipkan pada orang tuanya.
Putri - putrimu adalah simbol keagungan cinta. Mereka hanya dapat bahagia dengan lelaki yang dicintainya. Mereka adalah calon ibu di alam jagad ini,bukan untuk diperjualbelikan dengan 5 juta. Kini kukembalikan putri-putrimu dengantulus tanpa noda yang menyertainya. Bebaskan mereka dari keterpasungan batin. Biarkan mereka menghirup udara cintanya demi memenuhi anugerah Tuhan Sang Pemberi Cinta. **
Palembang, 1998
Dimuat di Harian Sumatera Ekspres 1998
Dimuat di Harian Sumatera Ekspres 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar