Sabtu, 25 Desember 2010

Kerbau Desa Peralihan


Cerpen Imron Supriyadi

Aku hanya seekor Kerbau. Wujud dan bentuk tubuhku, sama dengan Kerbau yang lain. Nama tempat tinggalku Dusun Peralihan. Sebuah Desa, yang terletak di kawasan Tropis, pinggir selat Sunda.Tentang kapan aku lahir, sampai kini, aku sendiri juga bingung. Memang, sejauh ini, sudah banyak para peneliti yang mencoba merunut sejarah, asal-muasalku. Ada yang bilang, aku ini berasal dari negeri Belanda.


Ada juga pendapat, bahwa aku muncul ketika Desa Peralihan dilanda banjir. Dan ketika itu aku hadir dari tempat yang tidak diketahui tempatnya, lalu menjadi tumbal, sebagai se-saji, pencegah banjir. Karena, menurut warga desa, banjir yang menimpa, adalah simbol kemarahan Dewa. Oleh sebab iitu, sejak aku berhasil meng-hentikan banjir, maka sejak itu pula. Aku dipercaya sebagai Dewa penolong. Dan warga pun –menyembah-nyembah aku. Bahkan, ketika aku berak, orang segera berbondong-bondong, berebut memunguti tinjaku, lalu menyimpan-nya di dalam lemari es. Besok pagi, akan dijadikan se-suhunan, sebagaimana mereka menyembah Tuhan.

Pasca kemerdekaan, binatang sepertiku, tiba-tiba dilarang untuk dipelihara. Lurah Desa Peralihan, akan marah besar, ketika salah satu warganya, mencoba memelihara Kerbau sepertiku.
“Sejak hari ini, saya melarang dengan keras pemeliharaan kerbau. Sebab, Kerbau adalah binatang yang susah diajak kompromi. Binatang ini, tidak mengetahui tempat yang bersih. Tempat mandinya lumpur. Dan kalau ini terus dipelihara, jelas akan merusak citra Desa Peralihan di Kabupaten Sukamenang”, Ujar Lurah Desa Peralihan, dalam sebuah pidato resmi, di Balai Desa.
“Sekarang, yang mesti kita pelihara, adalah upaya melestarikan lingkungan yang hijau. Oleh sebab itu, saya mengajak dan mengharuskan, agar warga Desa Peralihan, segera mengganti Kerbau dengan memelihara tanaman. Nah, untuk menyeragamkan, tanaman ini, Bapak-bapak dan Ibu-ibu harus memelihara pohon Wuringin”.
“Dan perlu dikethaui, saudara-saudara. Pohon Wuringin ini, menurut nenek moyang kita, bisa membawa berkah di kemudian hari. Dan dulu, sebelum kita lahir, Pohon ini merupakan se-sembahan para leluhur. Oleh sebab itu, jika warga tidak bersedia memelihara pohon ini, sama saja, telah membunuh warisan leluhur”, Jelas Lurah Desa Peralihan, seperti pakar sejarah dadakan.
Larangan ini sempat menimbulkan protes warga.
“Ini tidak bisa diterima. Larangan Pak Lurah, jelas melanggar Hak Asasi pemeliharaan binatang”. Kata seorang warga.
“Betul, sesembahan kita, selama ini bukan pohon. Larangan ini, jelas melanggar kebebasan kita untuk memeluk agama, atau kepercayaan. Ini tidak fair”, Celetuk yang lain, menimpali sebelumnya.
“Ini tidak bisa kita diamkan!” Sela yang lainnya lagi.
**

“Pelarangan ini, jelas bentuk penindasan baru!. Kita tidak bisa menerima begitu saja dengan petuah Lurah itu. Kita harus melawannya!”, Kata seorang aktifis, di hadapan warga, yang merasa keberatan dengan pelarangan itu.
Sejak Lurah Desa Peralihan mengumandangkan pelarangan warga memelihara-ku, Desa Peralihan menjadi Desa yang dihimpit oleh rasa ketakutan, terutama dengan ancaman Lurah, yang akan memenjarakan kepada siapapun yang ketahuan memelihara binatang sepertiku.
.Persoalan baru pun muncul. Warga Desa Peralihan mulai terpecah. . Satu pihak, bagi yang ketakutan ancaman Lurah, mereka berbondong-bondong untuk menjual-ku ke pasar, lalu menggantinya dengan membeli Pohon Wuringin di koperasi, yang dikelola oleh keponakan Lurah Desa Peralihan. Tetapi, bagi warga yang protes, mereka mencoba tetap memeliharaku, tetapi, dengan cara diam-diam. Segala ancaman dan teror terus bermuncullan, terutama bagi warga yang mencoba memeliharaku.
Dan dalam lima tahun pertama, aku benar-benar dilibas oleh Lurah Desa Peralihan. Aku benar-benar hilang dari Desa Peralihan. Warga Desa Peralihan, sebagian besar sudah memilih memelihara Pohon Wuringin, ketimbang memeliharaku. Bahkan, di setiap halaman rumah, tikungan jalan dan pinggir sawah, sudah berjajar pohon Wuringin. Sementara, warga yang berseberangan dengan Lurah Desa Peralihan, masih tetap memeliharaku, sekalipun, mereka harus dalam ketakutan. Pada kesempatan itu, Lurah Desa Peralihan mengumbar senyum kemenangan. Ia merasa, menjadi orang yang paling berhasil merubah kepercayaan Desa Peralihan. Aku yang selama ini menjadi se-sembahan bagi warga Desa Peralihan, kini sudah menjadi sampah. Orang sudah mulai meng-agung-agungkan Pohon Wuringin. Inilah nasib kerbau sepertiku. Aku harus diinjak oleh kewenangan Lurah Desa peralihan, dengan mengganti simbol kebesaran Desa peralihan dengan Pohon Wuringin.
Dalam satu malam, aku hanya merintih, bersama para warga Desa Peralihan yang masih setia memeliharaku. Tetapi, memang berat, untuk tetap mempertahankanku sebagai kepercayaan warga. Satu bulan lalu, ada puluhan orang, diculik oleh satuan keamanan desa, antek-antek Lurah Desa Peralihan, gara-gara, mereka ketahuan melakukan upacara ritual yang masih meng-agung-agung-kanku. Dan puluhan orang itu, nasibnya belum jelas rimbanya. Entah, berapa banyak lagi korban berjatuhan, jika warga Desa Peralihan ini, tetap setia memeliharaku, sebagai se-sembahan.
Dukungan Lurah Desa Peralihan makin bertambah, ketika Pohon Wuringin yang telah menjadi se-sembahan itu, benar-benar membawa perkembangan desa. Sudah lebih dari tiga kali, Desa Peralihan mendapat santunan dan piagam penghargaan, sebagai desa swasembada dari Kabupaten Sukamenang. Belum lagi, Lurah Desa Peralihan juga membentuk beberapa Lembaga, yang di-ketuai oleh warga yang Pro Lurah Desa Peralihan. Tidak ada yang lain. Melalui Lembaga-lembaga itu, pelarangan pemeliharaan Kerbau terus dilakukan di beberapa Desa lain, se-kabupaten Sukamenang. Makin kuatlah posisi Lurah Desa Peralihan. Oleh sebab itu, dalam setiap kesempatan, Lurah Desa Peralihan, selalu menceritakan tentang berbagai keberhasilannya dalam setiap programnya, khususnya program penanaman Pohon Wuringin.
Lambat laun, Warga Desa Peralihan meninggalku. Meninggalkan Kerbau yang dulu sempat menjadi se-suhunan warga desa. Aku hanya menjadi barang yang tak ada artinya lagi. Sekelompok warga yang mencoba bertahan tetap memeliharaku, banyak yang berlari, menukarkan-ku dengan bibit Pohon Wuringin. Aku makin terpojok. Suara-suara dari kelompok pemelihara-ku sudah menjadi kelompok pinggiran, yang di-klaim melawan kekuasaan Lurah Desa Peralihan. Siapa melawan, risikonya masuk bui. Inilah yang menimbulkan ketakutan para warga.
Tahun ketujuh, kekuasaan Lurah Desa Peralihan, sepertinya, memang harus diselesaikan. Aku harus membawa citra-ku kembali. Dalam beberapa waktu, bersama warga Desa Peralihan yang masih setia memliharaku, berkumpul menyusun barisan. Aku kumpulkan barisan kerbau. Sementara, diluar pasukan Kerbau, aku juga mengumpulkan barisan binatang lain, yang merasa sakit hati dengan kesewenangan Lurah Desa Peralihan. Semua mahluk menyusun kekuatan. Bahkan, mahluk oportunis, seperti Bunglon, juga bergabung.
“Saudara-saudara, tugas kita adalah merobohkan semua pohon Wuringin di Desa Peralihan, atau di beberapa Desa se-kabupaten Sukamenang. Jangan ada yang pisah dari barisan. Sebab, Pohon-pohon itu, juga dijaga oleh beberapa Srigala, Singa, Harimau dan Ular. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan menjadi bangkai, atau dimakan. Kita tidak boleh mati konyol. Kita harus mati terhormat!”, Aku berpidato, menandingi Lurah Desa Peralihan.
Selama tiga bulan lebih, gerakan merobohkan pohon Wuringin perlahan berhasil. Hingga, akhirnya, pohon Wuringin tumbang. Sekalipun, masih ada akar-akar yang belum tercerabut. Darah dan nyawa tidak lagi terhitung. Dan akhirnya, Lurah Desa Peralihan pun mengaku kekuatan Koalisi Kerbau, bersama binatang dan para pemeliharanya. Kemenangan pun diraih. Dan Aku kembali menjadi se-sembahan warga Desa Peralihan dan desa lain se-kabupaten Sukamenang. Setiap warga kembali meng-elu-elukan kembalinya aku sebagai Dewa, sekaligus menjadi penguasa. Tetapi, Kerbau tetap saja, kerbau, aku tak bisa berbuat banyak. Hanya sekedar simbol ke-agungan, yang di-sembah-sembah. Dan ketika warga Desa Peralihan terhempas dengan masa paceklik, aku tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya mengoek, layaknya kerbau yang ada di kandang. Orang-orang pun kembali mengingat masa kejayaan Lurah Desa Peralihan. Kerbau, ya tetap saja Kerbau. Dalam Desa peralihan, sepertinya, Kerbau sepertiku tidak bisa berbuat banyak. Sementara, Pohon Wuringin lambat laun mulai menjalar kembali ke perut bumi, yang setiap waktu akan bersemi kembali Dan kebesaran “kerbau” yang ku-sandang, tak banyak bisa berbuat. Sebab, kewibawaanku, kharismaku, hanya warisan nenek moyang**

Palembang, 17 Nov 2001


Tidak ada komentar: