Senin, 27 Desember 2010

SAKIT ITU NIKMAT


Oleh Imron Supriyadi
Pada suatu sore, Annisa (5 tahun), putri sulung saya jatuh terjerembab. Lutut kakinya lecet tergesek aspal. Tangannya juga bernasib serupa. Kulit arinya terkelupas. Ada bercak darah yang seketika mengembun dari pori-porinya. Tidak terlalu parah memang. Tetapi luka lecet di kedua lutut anak saya cukup beralasan jika dia harus menangis karena menahan rasa sakit. Untuk ukuran orang tua, luka itu memang tak seberapa. Tetapi bagi sebagian anak seusia anak saya sangat mungkin hal demikian itu memaksanya harus menangis.
Tangisnya kian meledak saat saya kemudian keluar menyambutnya. Dia menganggap saya akan langsung memanjakan dan menggendongnnya. Tangannya menjuntai ke arah saya. Tetapi saya tidak langsung menerima permintaan itu. Kian meraunglah suara tangis anak saya.
“Sakit, kan?! Itulah hasilnya kalau jalan tidak hati-hati. Siapa yang salah?” tanya saya memancing argumentasi anak saya, untuk tidak menyalahkan orang lain ketika dia terjatuh.
“Ca..caa…,” katanya terbata-bata menyebut nama panggilan akrabnya.
Selesai saya obati, anak saya terlelap bersama rasa nyeri lutut dan tangannya. Saya kemudian meninggalkan anak saya di dalam kamar sendirian, setelah sebelumnya saya mencium keningnya.
Demikian indah rasa sakit itu, ketika kemudian mengantarkan anak saya bisa tidur siang. Jika tanpa ada kejatuhan, anak saya akan menolak untuk diperintah tidur siang. Jatuhnya anak saya adalah bahasa langit yang kemudian menyadarkan saya, betapa keinginan baik dari orang tua yang ditolak mentah-mentah oleh anak, kemudian diambil alih kewenangannya oleh Tuhan, dengan cara “sakit dan jatuh” lebih dulu, baru kemudian anak saya bersedia berbaring dan terlelap.
Dalam skenario langit, Tuhan telah sedemikian banyak menciptakan jutaan rasa sakit yang acap kali kita anggap cobaan, teguran atau bahkan laknat. Tetapi sedemikian sombongkah kita jika kemudian menganggap rasa sakit yang menimpa kita sebut sebagai cobaan. Sudah berapa banyakkah kita berlaku adil atas karunia-Nya, sehingga kita menganggap rasa sakit itu sebagai cobaan? Seberapa taatkah kita? Lalu teguran. Seberapa salah yang telah kita lakukan sehingga kita menganggap rasa sakit yang kita derita sebagai teguran? Pernahkah kita kemudian melakukan perhitungan (muhasabah diri) atas segala kelalaian kita yang telah melakukan dosa ritual, dosa sosial dan dosa struktural dalam system tatanegaraan kita, jika kemudian kita menyebut rasa sakit itu sebagai teguran? Lalu laknat. Bukankah Tuhan Maha Pengampun? Pantaskah Tuhan melakukan laknat terhadap mahluk ciptaan-Nya sendiri hanya lantaran kesalahan yang sebenarnya kesalahan itu sendiri adalah bagian proses untuk mengantarkan mahluk-Nya menemukan kebenaran?
Apapun julukan kita terhadap rasa sakit, tetap saja akan menjadi indah ketika rasa sakit itu bukan dijadikan sebagai keluhan, penderitaan apalagi halangan untuk tetap saya berterima kasih atas semua “bonus gratis” dalam hidup, yang Tuhan sendiri memerintahkan kita hanya untuk “mengabdi” tak ada lain. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk mengeluh, mengumpat apalagi menghujat terhadap rasa sakit. Sebab dengan rasa sakit kita akan sangat paham betapa nikmatnya sehat. Dengan rasa sakit kita makin banyak tahu tentang sakit-sakit lain yang mungkin selama ini diderita oleh banyak orang, sementara kita memilih mentertawakannya. Dengan rasa sakit itu, Tuhan sedang memanusiakan kita, agar kita tersadar kalau sebenarnya kita ternyata hanya bisa mengeluh saat ditimpa rasa sakit, dan akan tertawa, bahkan terjerumus dalam kelalaian saat kita sehat. Maka nikmatilah rasa sakit itu, sehingga dengan sakit itu kita akan lebih memahami Tuhan sedang menyapa kita, meski sapaan itu dengan rasa sakit. Demikian pula, sore itu, ketika anak saya jatuh sebenarnya bukan sedang melukai anak saya, tetapi sebaliknya Tuhan sedang mengasihi anak saya, memaksa anak saya untuk lelap sebentar demi keberlangsungan tenaganya di esok hari.**

Palembang, 5 Agustus 2010

Tidak ada komentar: