Sabtu, 25 Desember 2010
Sedang Tuhan Pun Bisa Mati
Cerpen Imron Supriyadi
Siapa bilang Tuhan tak bisa mati! Tuhan bisa saja mati.! Tuhan sering dibunuh oleh semua. Bukan saja aku, tetapi, kau dan kita! Ya semua telah melakukan pembunuhan Tuhan. Bukan seorang kiai. Bukan seorang bhiksu dan pastor. Bukan pula seorang suster, sampai seorang birokrat dan para kaum gembel, semua juga melakukan pembunuhan Tuhan. Maka Tuhan pun bisa mati. Kalau dulu Nietcshe mempermaklumkan kematian Tuhan. Kini, aku mengatakan, Tuhan pun bisa mati.
Tuhan sering terbunuh oleh kita. Bahkan kita sengaja membunuhNya. Kemarin, Warman teman kerjaku menceritakan bagaimana Tuhan telah tergadai oleh sepiring nasi. Lalu ditempat lain, Tuhan diperjual-belikan sebanding dengan harga kangkung. Tuhan sudah bisa ditawar. Tuhan dihargai murah. Tuhan diperdaya, dengan dalih mempertahankan hidup.
Belum lagi puluhan pedagang lainnya, turut melakukan hal yang sama. Mereka membuang, dan menginjak Tuhan di hadapan para pembeli dengan terang-terangan. Pada sebuah kedai malam, tempat berkerumunnya para perempuan dan laki-laki, kembali Tuhan diperdaya. Tuhan dibutakan sama sekali. Dan proses pembunuhan Tuhan pun kembali terjadi. Tuhan benar-benar ditiadakan, sekalipun ketiadaan itu adalah Tuhan. Tawa dan canda membawa mereka semakin mengubur Tuhan. Larangan bukan lagi yang mesti ditakuti. Semua mereka jalani, tanpa lagi melihat Tuhan. Dan di dalam kamar remang, Tuhan pun terselip di balik kasur. Terlibas oleh dengus napas yang memburu hingga pagi tiba.
Dalam gedung pemerintah, tempat berkumpulnya orang-orang yang mengaku mewakili rakyat. Ada seribu lagi cara orang-orang membunuh Tuhan. Ketika sebuah pabrik dilaporkan melakukan pencemaran. Maka, ratusan orang pun berduyun-duyun membawa nama Tuhan ke gedung itu. Katanya, demi lestarinya bumi Tuhan. Maka berteriaklah orang-orang tadi. Begitu juga orang-orang yang suka berkerumun di gedung pemerintah itu. Mereka bicara lantang. Seakan Tuhan berada di samping kanan kiri mereka. Lalu mengatas-namakan pelestarian lingkungan, demi terjaganya sungai titipan Tuhan, mereka memperdebatkan, sampai tak ada ujung pangkalnya. Esoknya, surat kabar bicara, limbah pabrik dianggap selesai. Bumi Tuhan kembali dinyatakan bersih dari pencemaran.
Mulut-mulut pun terbeli oleh segepok rupiah. Maka suara Tuhan pun tergadai lagi. Kerusakan dianggap perbaikan. Perbaikan diangap mengganggu stabilitas pabrik. Mereka lalu membuat Tuhan menjadi Tuli. Orang-orang telah membutakan Tuhan dari ketidak-butaan. Maka, mereka juga telah membuat Tuhan menjadi mati. Tuhan telah Mati dalam kedirian mereka. Mati dalam detak jantungnya, sehingga Tuhan bisa seenaknya dipanggil dan diusir kapan saja. Tuhan tak ubahnya seperti seorang pembantu. Ia dipanggil ketika dibutuhkan. Lalu diusir ketika tidak lagi dibutuhkan. Tuhan hanya sekedar barang pelengkap. Tak ada yang berarti apa-apa. Ternyata Tuhan benar-benar mati. Mereka telah membunuhNya.
Pada sebuah mihrab masjid, atau di gereja dan vihara. Bukan saja para kiai, pastor, dan bhiksu, mereka juga sama melakukan pembunuhan Tuhan. Kujumpai orang-orang yang mengaku moralis itu, berjibaku dengan kediriannya manusia yang paling dekat dengan Tuhan. Kiai, dengan ceramah dan petuah-petuahnya, menidurkan kaumnya menjadi kaum yang suka menghitung pahala. Para kiai sudah mengajari umatnya, mengukur ibadah dengan angka-angka. Ibadah ritual sudah bisa dihitung dengan material. Demikian pula pastor, dan bhiksu. Melakukan pendekakan diri kepada Tuhan, tanpa mempertanyakan dimana ia tinggal, dan berapa jumlah orang lagi yang masih merasakan lapar dan haus. Bukan kiai, pastor dan bhiksu, mereka semua membunuh Tuhan, sambil mereka asyik melakukan onani spiritual. Seolah sorga telah menjadi milik mereka.
Tetapi, malam kemarin, Malaikat mengabariku. Katanya, "Pada saatnya nanti, di hadapan Tuhan, banyak manusia yang terbalik. Ada ulama, kiai, pastor dan bhiksu masuk neraka. Tetapi tidak sedikit para preman dan maling masuk sorga."
Ketika para kaum moralis itu bertanya, maka Tuhan pun menjawab, "Kalian adalah manusia-manusia egois. Kalian merasa, bahwa hanya kalian saja yang berhak atas sorga. Bukan! Bukan sama sekali. Sebab, ketaatan bukan saja memuji dan memujaku sepanjang hari. Hei, kalian semua, para kiai, bhiksu dan pastor, ternyata dalam ketataan, kalian telah mengesampingkan semua keadaan yang namanya lapar, kehausan keterbelakangan, dan ketertindasan. Kenapa kalian hanya diam dengan keadaan seperti itu? Kenapa kalian tidak perjuangkan juga, sebagaimana kalian berjuang untuk mendapatkan sorga?"
Semua begong. Dan tertunduk malu. Sebuah kekuatan asing tiba-tiba menarik mereka dengan kasar. Hanya lengkingan saja yang terdengar. Kemudian suara gemuruh meningkahinya. Lalu, kematian Tuhan pun terjdi di berbagai kantor pemerintah, swasta dan kantor agama sekalipun. Sekelompok orang berduyun-duyun melamar di lembaga agama. Katanya, mereka berniat untuk lebih dekat dengan Tuhan. Dengan berbagai cara, mereka lalu masuk.ke dalamnya, setelah sebelumnya mereka juga harus menggadaikan Tuhan dalam diri mereka dengan harga 15 sampai 20 juta rupiah. Di sebuah kantor agama, tempat orang banyak bertanya tentang Tuhan. Tempat berkumpulnya orang-orang yang mengaku dekat dengan Tuhan. Di sana, masih juga ada pembunuhan Tuhan.
Tapi sebenarnya zat Tuhan takkan pernah mati. Ia akan tetap hidup. Soalnya, akankah Tuhan tetap hidup dalam kedirian kita? Bisakah kita terus mempertahankan Tuhan tetap bersemayam dalam kerohanian kita? Atau kita juga bagian dari orang-orang yang sering membunuh Tuhan?**
Palembang, 2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar