Rabu, 15 Desember 2010
SERIBU AYAM UNTUK TUHAN
Cerpen Imron Supriyadi
Fajar baru menyingsing. Matahari belum sempat menyembul dari persembunyiannya. Ia seakan tak kuasa melawan mendung yang redup pagi itu. Berbeda dengan embun tipis yang menyelinap diantara lapisan ozon yang turun ke bumi. Dengan lembut, titik embun merasuk ke setiap pori-pori mahluk Tuhan. Memasuki lobang hidung langsung ke paru-paru. Sesaat ia berada dalam denyut nadi, menyebar keseluruh tubuh. Dalam hitungan detik kemudian keluar menjadi zat Co2. Kesegaran seketika terasa menyebar ke seluruh tubuh, menggerakkan kaki, tangan dan bibir untuk kemudian mengucapkan alhamdulillahirobbil ’alamiin.
Diatas mega-mega, mendung kian menggumpal. Tapi seribu wajah dari warga Kampung Bukit Asam tetap menyemburat keceriaan. Diantara mereka telah berbanjar panjang di dalam masjid. Suara Takbir, Tahmid dan Tahlil terdengar bersahutan dari para jamaah mengiringi tibanya Hari Raya Idul Adha. Gemuruhnya seperti suara lebah madu yang pulang dari petualangannya. Dari arah lain, suara senada dari corong speaker masjid dan musholla yang tak jauh dari kampung Bukit Asam turut meningkahinya.
Sementara di halaman masjid hanya ada tiga ekor kambing yang siap menjadi hewan kurban pagi itu. Pemandangan yang tak sebanding dengan jumlah jamaah yang membludak sampai di halaman masjid. Bukan hanya jamaah, puluhan mobil mewah juga terparkir. Sepeda motor tak lagi terhitung jumlahnya. Tapi hanya tiga ekor kambing yang tertambat di sebuah kayu. Rona wajahnya pasrah dalam ketaatan tergambar jelas di setiap detak jantung tiga kambing itu. Sesekali mereka ingin lepas dari tali yang mengikat. Ada suara kerinduan untuk segera mempersembahkan diri demi ketaatan pada Sang Pencipta. Tak ada tangisan. Tak ada penyesalan. Yang ada kesungguhan kebaktian pada diri setiap kambing, untuk kemudian pasrah demi sebuah penghambaan mahluk terhadap Sang Kholiq.
Tiga ekor kambing, bagi sebuah kampung miskin bisa saja menjadi permakluman. Bahkan sebuah kelebihan. Tapi bagi kampung Bukit Asam menjadi totontonan lucu, di tengah perlombaan materi, yang hanya akan selesai setelah masuk pintu kubur. Rumah mewah berbanjar panjang, menunjukkan kampung Bukit Asam bukan permukiman kumuh apalagi rumah liar. Setiap rumah berpagar besi, yang satu meternya seharga 1 juta rupiah. Belum lagi lantai rumahnya, deretan keramik dari depan sampai belakang sudah cukup untuk membeli lima ekor sapi. Tak puas dengan itu, setiap rumah ada sebuah mobil berkelas dan dua buah sepeda motor. Tak ada yang kurang secara materi. Tetapi di halaman masjid kampung Bukit Asam hanya ada tiga ekor kambing. Jauh dari cukup untuk dibagikan kepada 100 kaum fakir miskin dan anak yatim. Meskipun, menurut Kiai Madjid, pemotongan hewan kurban tak ada hubungannya antara kaum fakir miskin dan orang yang berpunya. Yang ada hari itu adalah sebuah kewajiban setiap hamba Tuhan untuk mengorbankan hewan, memotong sebagian hartanya guna menuju kebaktian yang hakiki.
Gema takbir terus berkumandang. Puluhan bahkan ratusan jamaah mengenakan pakaian putih-putih. Sebagian perempuan mengenakan perhiasan. Mungkin diantara mereka juga ada yang imitasi. Sayang, juntaian jilbab yang seharusnya menutupi kemewahan materi, tapi tidak untuk kali itu. Malah sebaliknya, sebagian perempuan secara sengaja mengeluarkan kalung dan gelang melingkari leher dan tangan di luar baju panjang yang membungkusnya. Gambaran ini sangat kontras dengan jumlah kambing yang tertambat di halaman masjid. Tidak sebanding antara kemewahan materi dan pengorbanan untuk sebuah pengabdian pada Pencipta mahluk.
Tapi ini adalah potret buram di kampung kami; kampung Buki Asam. Kiai Mansur sebagai sesepuh kampung Asdas turut prihatin dengan kondisi itu. Kampung Asdas adalah gambaran nyata betapa di tengah pertambangan besar di Indonesia, masih ada seonggok kampung miskin terisolir secara ekonomi, sosial dan budaya di pinggir komplek warga Bukit Asam. Tapi Kiai Mansur tak bisa banyak berbuat. Ia bukan Superman atau Robinhood yang menghalalkan merampok warga Bukit Asam untuk kemudian membagikan hasil rampokan untuk kaum fakir dan miskin.
”Tidak mungkin kita melakukan shalat dengan sarung hasil curian,” Kiai Mansur berkata di suatu ketika.
Gema takbir seketika berubah gemuruh suara ’amin’ ratusan makmum di dalam dan di luar masjid. Tak lama kemudian suara khotib dari Palembang yang dibayar mahal berapi-api mengumandangkan isi khutbah.
”Sebagai orang yang beriman, kita mendapat panggilan suci melalui Idul Adha. Ini adalah moment penting untuk menumbuhkembangkan semangat berkorban, sebagaimana Nabi Ibrahim yang merelakan Nabi Ismail untuk disembelih, demi persembahan kepada Tuhan!...”
Ratusan jamaah terkesima dengan ulasan sang ustadz. Suasana tampak hikmat dan ta’dzim. Sementara, Kiai Mansur yang berada di barisan belakang tampak biasa-biasa saja. Bukan tidak tertarik. Tetapi Kiai Mansur masih berpikir mencari jalan keluar terhadap daging korban yang sebentar lagi akan dibagikan, sementara di kampung Bukit Asam hanya ada tiga ekor kambing.
Tak sempat permisi, Kiai Mansur beranjak dari barisan jamaah. Ada sebagian jamaah yang memandang heran. Tapi tak dihiraukannya. Di samping masjid, ia berdiri sejenak. Memandangi tiga ekor kambing yang sebentar lagi akan menghadap Tuhan. Satu persatu dielus kepala dan punggungnya. Setitik air mata Kiai Mansur menetes. Ada kebanggaan menjadi kambing yang siap mengorbankan nyawanya demi ketaatan dan kebaktian sempurna. Sementara Kiai Mansur hanya menjadi sosok lemah yang tak mampu berbuat banyak terhadap suasana Idul Adha pagi itu.
Kiai Mansur kali ini sudah berbisik pada beberapa kelompok remaja masjid yang menunggu parkir. Tidak jelas pembicaraannya. Tetapi beberapa remaja yang mendapat bisikan kemudian masuk masjid, sebagian lagi menyebar menuju arah yang berbeda. Tak lama kemudian jamaah sudah berhambur keluar. Ini pertanda pemotongan hewan akan semakin dekat. Masih ada waktu dua jam bagi Kiai Mansur untuk berpikir, tentang bagaimana membagikan daging kepada para pemegang kupon hewan kurban.
Beberapa karyawan perusahaan bersalaman dengan Kiai Mansur. Jamaah lain juga melakukan hal sama. Tetapi pandangan Kiai Mansur kosong. Yang terpikir di benaknya hanya tiga ekor kambing untuk 100 kupon. Bagaimana mungkin tiga ekor kambing akan dibagi menjadi 100 bagian? Hatinya bertanya pelan.
Beberapa orang remaja masjid berlari mendekati Kiai Mansur. Ada pembicaraan serius antara keduanya. Kiai Mansur seperti memberi komando ke beberapa remaja masjid. Salah satunya meminjam mobil. Kiai Mansur mengeluarkan beberapa lembar kertas uang. Tak jelas tujuannya. Yang pasti ada sekitar tujuh remaja masjid yang kemudian berangkat dengan mobil pick-up. Kiai Mansur terpaku melihat keberangkatan mereka.
“Saudara-sudara, penyembelihan hewan kurban akan dilakukan pukul sembilan. Diharapkan, kepada panitia kurban dan petugas penyembelihan hadir tepat pada waktunya,” pemberitahuan itu membuat Kiai Mansur agak gelisah. Tinggal satu jam lagi harus ada daging tambahan. Tetapi sampai ia termenung belum juga ada kabar yang mengobati kegelisahannya.
Hanya beberapa saat, dari arah berlawanan tiga mobil masuk ke halaman masjid. Jamaah yang masih bercengkrama di serambi dan di halaman masjid heran. Tiga mobil seketika membongkar ratusan bahkan ribuan ayam. Kakinya sudah diikat, supaya tidak berlari. Kiai Mansur tersenyum puas. Ia memberi aba-aba kepada beberapa orang untuk membantu menurunkan ayam dari atas mobil.
“Kiai! Apa-apaan ini!?” Ustadz Zam sedikit marah.
“Ini bukan apa-apa, tapi ayam, ustadz.” Kiai Mansur menjawab sekenanya.
“Iya, tapi untuk apa?” Zam makin penasaran.
Jamaah yang lain ikut nimbrung mengerumuni Kiai Mansur. Ada seribu tanya yang tergambar di wajah para jamaah. Yang lain takut atau segan.
”Kiai mau mengganti kurban kambing dengan kurban ayam? Ini secara fiqhiyah melanggar aturan!” Ham, seorang karyawan perusahaan yang baru belajar agama mencoba menjelaskan kedudukan ayam dan kambing dalam ilmu fiqih.
Kiai Mansur hanya tersenyum.
“Semuanya diturunkan. Atur yang rapi!” Kiai Mansur memberi arahan pada beberapa tukang ayam.
“Kiai, untuk apa ayam sebanyak ini?” tanya yang lain.
“Untuk dipotong!” jawab Kiai sekenanya.
”Untuk hewan kurban, maksud Kiai?!” tanya lainnya heran.
”Wah, ini sudah melanggar hukum agama. Kiai kan tahu kalau yang boleh untuk kurban hanya kambing, sapi atau onta, hewan lain tidak boleh!”
”Tapi memotong dan membagikan daging ayam pada hari raya Idul Adha tidak dilarang agama!” tukasnya tanpa beban.
“Iya, tapi ini akan menimbulkan salah penafsiran bagi sebagian warga, Kiai. Nanti warga menganggap ayam bisa menjadi pengganti kambing atau sapi?!” Zam makin gusar dengan ulah Kiai Mansur.
”Pengorbanan itu bukan dilihat dari jenis binatangnya. Tapi kesungguhan seorang hamba untuk mengorbanan harta yang dimiliki!”
”Berarti kiai ingin mengganti kambing dengan ayam-ayam ini sebagai hewan kurban, begitu?!”
“Itu kan mulut kamu yang bilang. Kalian tidak tahu kan isi hati saya, ayam ini untuk apa? Jadi ndak usah ribut soal ayam-ayam ini. Nanti kalian juga akan tahu,” Kiai Mansur tak mau menjelaskan secara detil.
Sebagian jamaah dan panitia kurban bingung. Tak ada yang bisa mencegah Kiai Mansur dengan ribuan ayam-ayamnya.
Diiringi dengan takbir, tahmid dan tahlil, penyembelihan dimulai. Darah segar mengucur dari tiga leher kambing. Sementara, Kiai Mansur dan beberapa tenaga tukang ayam juga melakukan hal yang sama. Sebagian lagi menyediakan air panas untuk membersihkan bulu ayam. Tak satu pun panitia kurban yang membantu Kiai Mansur. Hanya sekelompok remaja masjid dan beberapa tukang ayam yang melakukan pembersihan ayam. Ada dua blok di halaman masjid. Blok pertama mengolah kambing. Blok kedua mengolah ayam. Keduanya memotong-motong daging hewan yang berbeda.
Hanya sekitar dua jam, pembersihan dan pemotongan hewan selesai. Ribuan ayam sudah terbagi menjadi seratus kantong plastik. Sementara, tiga ekor kambing hanya terbagi menjadi 50 kantong plastik. Beberapa panitia berbisik. Tak jelas pembicaraan mereka. Tapi intinya mereka sedang berpikir tentang 50 kupon yang tidak bisa terlayani oleh pembagian tiga ekor kambing. Kiai Mansur hanya melihat dari kejauhan.
Teriakan, ejekan dan hujatan seketika terdengar. Semuanya tertuju ke panitia kurban. Sesekali ada yang emosi. Melempar gelas bekas air kemasan.
”Oi, awak gaji besak, kurban cuma tiga ekor kambing!”
“Lagaknyo bae kayo, kurban sikok kambing be ndak sanggup. Berentilah jadi karyawan perusahaan!”
“Pacak ngajak berkurban, tapi diri dewek ndak kurban! Pacak nian mbudike wong miskin!”
“Puih!” seseorang meludah di depan panitia.
Tak ada yang berkutik.
Kiai Mansur mendekati kerumunan orang.
”Kiai, gimana kami yang tidak kebagian ini? Kami ini nak makan daging jugo, bukan kamu be!”
Kiai Mansur hanya senyum.
”Tenang, semua akan kebagian. Tapi saya bertanya dulu. Kalau seandainya kalian tidak dapat daging kambing, kemudian saya ganti dengan daging ayam, mau menerima atau tidak?”
Seketika warga yang belum kebagian daging bersorak.
“Jadi, Kiai, dari pada dak makan daging!”
”Ndak apo-apo Kiai, yang penting anak kami pacak makan daging!”
“Daging kambing atau ayam samo bae, yang penting halal!”
Macam-macam jawaban warga. Bukan hanya 50 orang yang kebagian daging ayam pagi itu. Tetapi lebih dari dari itu. Tak ada desak-desakan. Mereka antri dengan teratur. Ada rona berbinar di wajah mereka. Sementara panitia kurban hanya terpaku melihat kejadian itu.
Suasana kemudian hening setelah warga bubar. Mereka sudah siap memasak daging di rumahnya masing-masing. Walau hanya daging ayam, tetapi perasaan mereka tetap seperti mendapat daging kambing. Hati Kiai Mansur lega melepas mereka pergi.
“Hari ini saya bukan sedang mengganti hewan kurban dengan ayam. Tetapi saya sedang menyamakan perasaan bahagia antara umat satu dan lainnya. Meski daging yang mereka masak bukan daging kambing atau sapi, tetapi perasaan mereka tetap terjaga dalam kebahagiaan meskipun hanya menerima daging ayam. Semuanya sama-sama daging mahluk Allah”
”Kedua, ini pelajaran bagi sebagian warga untuk bersedia berkurban yang mereka punya. Idul Kurban, tidak ada hubungannya antara si kaya dan si miskin. Jadi tidak baik bila kemudian dengan alasan keterbatasan uang, lalu membenarkan kita untuk tidak mengeluarkan hewan kurban. Saya juga bukan sedang mengganti hewan kurban dengan ayam, bukan sama sekali! Tetapi saya ingin mengajak mereka untuk sadar, betapa Nabi Ibrahim merelakan harta termahal, yaitu anaknya sendiri Nabi Ismail untuk disembelih demi ketaatannya kepada Sang Khaliq. Kalau dari sekian banyak warga tidak mampu kemudian bersedia iuran untuk membeli ayam sebagai bentuk pengorbanan pada hari raya ini, apalagi kalian yang jelas-jelas gajinya melebihi dari penghasilan mereka?”
”Jadi ayam-ayam tadi...?”
”Iya, sebagian uangnya dari saya. Sebagian lagi hasil iuran mendadak dari sebagian warga tidak mampu, yang belum sanggup mengeluarkan hewan kurban, tetapi mereka siap berkurban walau hanya sedikit. Nilai pengorbanan bukan dilihat besar kecilnya bentuk benda. Tetapi kesungguhan seorang hamba untuk berkurban demi kataatannya kepada Sang Pencipta. Itu yang akan menjadi nilai lebih dari seorang hamba di hadapan Tuhan”
Beberapa jamaah hanya saling pandang. Ada seberkas cahaya Ilahi yang masuk ke setiap relung hati mereka. Bibirnya terkatup rapat. Tetapi hati mereka mengucap ampun kepada Sang Khaliq. Kiai Mansur beranjak dari hadapan mereka. Sampai akhirnya ia hilang di belokan di masjid.(*)
BTN. Krg. Asam - Tanjung Enim,
Idul Adha 1429 H / 8 Desember 2008 M
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar