Rabu, 15 Desember 2010

AYAM MATI DI MEJA PRESIDEN



Oleh Imron Supriyadi

“Salah satu tugas pokok Nabi Muhammad SAW di muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak (makarimal akhlaq),” itulah secuil kalimat awal yang sempat saya kutip dari Kiai Gombloh, salah satu guru ngaji saya di Tanjung Enim. Tetapi, untuk melakukan penyempurnaan akhlak, Muhammad tidak kemudian merubah sifat dasar manusia, yang cenderung menyerupai hewan.
“Lho, kok menyerupai hewan,?” tanya saya heran.
“Manusia punya rasa haus dan lapar, hewan juga punya. Manusia punya nafsu, hewan juga punya. Manusia punya rasa kantuk, hewan juga punya. Apakah itu sifat hewan yang sama dengan manusia?” Kiai Gombloh bertanya sambil meyakinkan saya ketika itu.
Tetapi menurutnya, yang disempurnakan Muhammad bukan sifat dasar manusia ini. Bukan juga fisik. Sebab kalau fisik, pada dasarnya manusia ini mahuk yang kotor.
“Tetapi, manusia kan diciptakan dengan sempurna? Kenapa kiai katakan manusia itu kotor?” sergah saya penasaran.
“Hidung yang mancung ini, isinya cuma tai hidung. Kalau pilek yang keluar ingus. Kemudian mata kita yang bersinar ini, kalau bangun tidur hanya mengeluarkan tai mata, rembes atau belek. Mulut kita yang indah ini, kalau bangun tidur hanya mengeluarkan iler, yang baunya sangat tidak enak. Dan dubur (anus) kita yang setiap hari kita bersihkan hanya mengeluarkan tinja. Dan kalau kamu mau sadar, kita ini juga lahir dari tempat pembuangan kotoran,” jelas Kiai.
Matanya mengamati saya untuk meyakinkan kalau saya benar-benar paham dengan ucapannya. Saya mangut-mangut.
Bermula dari inilah, menurut Kiai Gombloh, Muhammad diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak adalah pakaian. Akhlak adalah ruh dalam diri manusia, yang menjadi penentu, apakah manusia akan menjadi mahluk mulia atau sebaliknya terjerumus dalam kubangan dosa dan kehinaan.
“Akhlak itu pakaian,?” tanya saya lirih. Kiai mendengar keraguan batin saya.
“Kalau kamu tidak percaya, sekarang kamu keluar dari ruangan ini, dan berdiri di tempat orang ramai dengan tidak memakai baju selembar pun. Maka saat itulah kamu akan sadar, kalau saat itu kamu akan tahu perbedaan manusia dengan hewan. Dan kamu akan tahu kalau akhlak adalah sama dengan pakaianmu,” tegasnya.
Tetapi, ketika manusia berusaha menyempurnakan akhlaknya, selalu dihadapkan pada dua pilihan, antara halal dan haram, dan berbagai rayuan dunia yang menggiurkan syahwat kebintangan. Tidak jarang, sebagian manusia yang kemudian terjerembab dan jatuh ke dalamnya. Jadilah manusia kembali pada kehinaan. (asfalasaa filin)
“Supaya manusia kembali pada kemuliaan, bagaimana?”
“Ya, itu tadi, manusia harus dipoles dengan akhlak Al-Quran, supaya manusia ini bisa kembali kepada fitrahnya manusia yang pada awalnya suci dan bersih!”
“Untuk berjuang mempertahankan kemuliaan ini, kamu harus banyak belajar dengan ayam yang bisa naik ke meja presiden,” kata Kiai Gombloh sambil tertawa.
Saya sedikit bingung dengan ucapannya. Sebab dari awal berbincang soal akhlak, tiba-tiba Kiai Gombloh menyuruh saya belajar dengan ayam.
“Ayam kiai?” tanya saya makin penasaran.
Ia hanya mengangguk.
“Perjuangan ayam untuk bisa naik ke meja presiden, sangat panjang perjalannya. Tetapi itu dilakukan untuk memposisikan dirinya agar menjadi mahluk yang mulia di mata presiden,” kata kiai tanpa membaca pikiran saya yang makin bingung.
“Sama seperti kita. Untuk mempertahankan akhlak dan kemuliaan di hadapan Allah, kita juga memerlukan perjuangan yang tidak mudah. Perlu kesabaran. Siap dilempar-lemparkan kesana kemari. Bersedia menerima kenikmatan dan musibah. Sanggup menahan diri dari godaan duniawi. Siap menaggung kepedihan, kesengsaraan hidup dan lain sebagainya,” katanya.
“Sekali saja kita terjerumus dalam gelimang tipuan duniawi, dan tidak sabar terhadap kebijakan dari langit, kita akan kembali menjadi mahluk yang kotor tadi,” tegasnya.
“Ayam juga begitu. Untuk menjadi mahluk yang mulia di mata presiden, ayam itu sanggup ditangkap oleh tukang ayam. Kemudian kakinya diikat. Setelah tiba waktunya, ayam itu juga harus siap disembelih. Pedih. Sakit dan berdarah-darah”
“Tidak cukup sampai disitu. Setelah disembelih, dimasukkan dalam air panas. Kemudian dicabuti bulu-bulunya. Ditelanjangi habis, persis ketika ayam itu baru menetas dari telurnya. Ia juga seperti manusia ketika lahir, tidak ada sesuatu apapun yang menempel di badannya, kecuali kesucian!”
Saya menunggu lanjutan kalimatnya. Belum jelas kemana hubungan antara perjuangan kemuliaan ayam dan kemuliaan manusia.
“????”
Saya terdiam sesaat. Saya masih terus menunggu kesimpulan dari akhir cerita ayam dari Kiai Gobloh.
“Setelah semua dilucuti, ayam juga harus siap dipotong-potong. Perutnya dibelah. Semua organ tubuhnya dikeluarkan. Disayat dan dibersihkan. Sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian, ayam juga harus bersedia dilumuri dengan bumbu. Ada garam, lada, ketumbar, bawang merah, bawang putih dan sedikit cabe. Kamu bisa bayangkan, kalau kita luka kecil saja, bila dilumuri garam akan sangat pedih, lalu bagaimana dengan ayam yang dilumat habis dalam wajan dengan bumbu dapur?”
Saya merenung sejenak, sambil membayangkan bagaimana pedihnya luka di tubuh ayam yang harus dilumuri garam dan cabe.
“Tidak sampai disitu perjuangan ayam. Setelah dilumuri bumbu dapur, ayam harus menjalani proses akhir sebelum sampai pada kemuliaannya. Ayam harus digoreng dengan minyak panas, atau juga direbus dengan air mendidih, sampai dagingnya empuk.”
“Setelah perjuangan yang pedih ini selesai, barulah ayam diletakkan di tempat yang bersih, untuk kemudian disajikan di meja presiden. Sampailah ayam pada posisi yang mulia, meskipun harus ditebus dengan kematian. Tetapi, kalau ayam tidak berjuang keras, kemudian saat dia hidup melompat ke meja presiden, bukan kemuliaan yang ia dapat tetapi justeru pengusiran dari meja presiden. Kenapa? Karena ayam itu dianggap kurang ajar dan merusak citra presiden,” Kiai Gombloh kembai tertawa.
“Tetapi dengan tebusan kematian, ayam itu demikian puas karena perjuangannya telah sampai pada kemuliaan. Selain sampai di meja presiden, ayam itu bisa dinikmati oleh siapa saja, kemudian mengajarkan pada kita untuk bersyukur karena tubuh kita mendapat tambahan protein hewani dari perjuangan kematian ayam yang sampai di meja presiden atau di meja makan kita”
Bila ayam saja siap berkorban sampai pada titik kematian untuk menjadikan dirinya sebagai mahluk yang mulia, lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita juga sudah sudah menyiapkan diri untuk berjuang keras mempertahankan akhlaq demi sebuah kemuliaan di mata Sang Pencipta, sebagaimana ayam yang berjuang menuju meja presiden?

BTN Krg. Asam
Tanjung Enim, 9 April 2009




Tidak ada komentar: