Cerpen Imron Supriyadi
Lepas Ashar, setiap kali aku duduk di serambi masjid, aku selalu menyaksikan puluhan, bahkan ratusan Kelelawar. Maklum, di depan masjid itu, ada sebatang pohon beringin yang cukup besar. Dan diatasnya, bergelantungan buah kecil-kecil, yang sepertinya memang disukai oleh Burung dan Kelelawar. Sehingga wajar saja, jika tiap sore menjelang, hampir semua kelelawar, burung, berkumpul, dan beterbangan, dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk memetik rubuan buah pohon beringin, yang tampak ranum. Kalau saja, aku seekor kelelawar, mungkin aku juga akan ikut berebutan seperti mereka. Mereka datang berbondong-bondong, saling sikat , saling sikut, untuk mendapat buah incarannya.
Menjelang maghrib, jumlah kelelawar makin banyak. Sementara, puluhan burung, malah sebaliknya. Satu persatu, burung-burung yang sebelumnya ikut berebut buah, justeru mulai lenyap.
Besoknya, lepas dluhur, aku masih duduk di serambi masjid. Kali ini, aku tidak lagi menjumpai ratusan kelelawar. Tetapi, di bawah pohon, muncul puluhan binatang lain. Ada Kambing, Kancil, dan beberap binatang darat , binatang melata dan mamalia lainnya.
Sepertinya, tujuan mereka sama. Mereka datang untuk mengais sisa buah pohon beringin yang berserakan di bawah pohon. Sebenarnya, mereka punya keinginan untuk mendapat buah aslinya, dan bukan buah sisa. Tetapi, apa boleh buat, mereka tak punya sayap sebagaimana burung dan kelelawar. Dan mau tidak mau, mereka harus menerima sisa dan makan buah bekas gigitan kelelawar dan puluhan burung.
Untuk beberapa bulan, ratusan binatang darat ini, masih saja menerima, ketika mereka harus makan sisa dari kelelawar dan burung. Tetapi, lama-lama, mereka juga jenuh dan bosan, jika sepanjang hidupnya, harus makan sisa dari kelelawar dan burung. Mungkin bukan saja kambing, kancil, aku juga tidak mau jika harus makan bekas orang. Apalagi, kalau makan sisa kelelawar.
Ketidakpuasan ini, akhinrya dilaporkan ke raja hutan.
“Lapor Sang Raja”, Ujar Kancil di depan Singa.
“Ada apa Kancil?”
“Anu, Sing…E, …”.
“Kenapa kau gugup?”
“Ah, enggak kok. Saya hanya mau laporan. Sebenarnya, ini bukan kemauan saya, tetapi, kemauan semua binatang darat di hutan ini?’
“Maksudmu?”
“Yaaa, ini usulan dari binatang yang tidak bisa terbang macam kita”.
“Hmmm….apa keinginan kalian dan kawan-kawan?”
“Kita ini kan punya hak yang sama, Sing. Jadi, di hutan ini, siapapun juga, setiap binatang, juga memiliki wewenang yang sama untuk memilki keaslian, seperti buah phon beringin yang ada di depan masjid itu”.
“To the point saja, Cil, aku tak punya banyak waktu”.
“Apakah akan selamanya , binatang macam kita, hanya akan makan buah pohon beringin, sisa dari kelelawar dan burung?”.
“Lalu?”
“Ya, keinginan saya dan kawan-kawan sih, bagaimana kalau Singa si raja hutan, bisa memperjuangkan hak-hak kami, yang selama ini, hanya dapat makanan sisa. Ini kan diskriminatif. Sementara, kita sering bicara pemerataan dan persamaan hak”.
Sejenak, Singa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Raja hutan ini, tampak mulai berpikir.
“Bagaimana Sing?” Sela Kancil tidak sabar.
“Cil, sebenarnya, aku sih mau-mau saja memperjuangkan
keinginan kawan-kawan. Tapi, semua ini mesti dirapatkan dulu dengan majelis hutan. Tidak bisa usulanmu ini, selesai dalam satu hari. Belum lagi, para pengawal kerajaan hutan ini, juga harus berkirim surat ke beberapa pejabat terkait, untuk diajak musyawarah tentang hal ini”.
“Ya, nggak apa-apa. Tapi jangan lama-lama”.
“Tapi semua ini perlu birokrasi, Cil”.
“Lha, birokrasi itu kan diciptakan untuk memudahkan, bukan untuk menyulitkan?”
“Ah, kau ini makin pintar saja, Cil?”
Kancil jadi kikuk.
“Tapi, Sing, kawan-kawan sudah tidak betah lagi, makan sisa-sisa kelelawar dan burung”.
Paginya, Singa menggelar rapat khusus. Rapat dipimpin oleh Harimau.
“Saudara-saudaraku, para binatang darat, melata dan mamalia, yang kami hormati”, Harimau membuka rapat.
“Dalam surat edaran yang kami kirim satu hari lalu, tentu saudara, sudah mengetahui, apa tujuan kita di sini berkumpul. Yaitu membahas usulan Kancil dan kawannya, agar binatang sebangsa kita, tidak selalu makan buah sisa dari kelelawar. Dan pagi ini, rapat saya buka. Dan silakan, saudara memberi masukan atas gagasan ini”.
“Mohon bicara pimpinan sidang”, Srigala membuka pembicaraan.
“Apa usulmu, Sri?”
“Saya bukan usul, tapi keberatan!”
Majelis sejenak diam. Mata para binatang tertuju pada Srigala.
“Bagi saya, usulan agar binatang sebangsa kita tidak lagi mendapat sisa dari kelawar, itu tuntutan yang tidak masuk akal. Kita ini kan tidak punya sayap. Lagi pula, saya juga tidak pernah doyan yang namanya buah pohon beringin, saya ini makan daging kerbau, daging banteng…”
“Interupsi pimpinan sidang!”, Kambing menyela pembicaraan.
“Interupsi diterima, silakan, mBing!”
“Pernyataan Srigala itu terlalu pribadi. Apa yang dikatakan itu, tidak lebih hanya menyangkut kepentingan individu, karena Srigala tidak pernah makan buah,! atau jangan-jangan, Srigala sudah melakukan konspirasi dengan para kelelawar dan burung…!”
“ Itu tuduhan yang mengada-ada!” Srigala Protes.
“Tenang..tenang…”, Pimpinan sidang menenangkan suasana rapat yang mulai tegang.
“Ada usulan lain?”
“Kalau saya begini”, Kucing hutan mencoba memberi gagasan. “Persoalan makan sisa dari kelelawar ini kan sudah lama. Kalau kita akan protes, kenapa kita tidak protes dengan Tuhan saja, kenapa kita diciptakan tanpa sayap”.
“Konret! Konret…”. Teriak binatang yang lain.
“Ya, maksud saya, kenapa kita tidak nyatakan perang saja, dengan bangsa burung dengan kelelawar. Siapa yang menang, nanti bisa menguasai pohon beringin, sekaligus bisa memiliki buahnya”.
“Mohon bicara pimpinan sidang!” Kancil angkat bicara. “Usulan Kucing hutan terlalu ekstrim. Kenapa kita tidak lebih dulu melakukan pendekatan kultural saja. Yang perlu dilakukan pendekatan ersuasif, bukan represif. Sebab, kalau kita menyatakan perang, ini sama artinya, kita akan saling bunuh, sesama kita. Yang jadi korban, mungkin bukan para pejabat di ruang sidang ini, tetapi, binatang kecil, yang mungkin mereka tidak bersalah. Saya tidak setuju! Ini sama saja kita melakukan pembinasaan hak masyarakat kelelawar dan burung. Sekali lagi, perang hanya dimililki oleh militer. Dan kita bukan militer!”
Perdebatan terus berlangsung seru. Ketegangan, adu argumen dan beragam kepentingan muncul dalam ruang sidang pansus. Tetapi, keputusan, akhirnya diambil dengan cara voting. Dan gagasan Kucing hutan, lebih mendominasi. Dengan sendirinya, keputusan akhir adalah melakukan perang dengan bangsa kelelawar dan burung.
“Payah, kucing hutan, terlalu banyak bergaul dengan para buaya, anak-anak singa dan anak harimau. Makanya dia usulannya ya represif”. Ujar Kancil menggerutu.
“Ya wajar kan, kucing hutan dengan singa, harimau, itu kan punya selera yang sama. Belum lagi, kucing hutan kan sering mencarikan daging buat singa, harimau dan buaya. Ya sudah tentu, dalam rapat tadi, bangsa kita yang kecil kalah. Saya tadi kan sudah bilang, sidang ini jangan diputuskan dengan voting. Kalau voting pasti kita kalah. Konspirasi mereka terlalu kuat”, Ujar kambing hutan yang juga kecewa.
Tapi apa boleh buat. Semua sudah menjadi keputusan sidang pansus. Mau tidak mau, semua binatang harus menerima. Sementara, semut, kadal, ulat, hanya ancang-ancang mencari tempat bersembuyi, kalau-kalau saja, perang benar-benar terjadi.
Di balik itu, ternyata, masyarakat kelelawar dan burung sudah dapat bocoran. Merekapun melakukan rapat singkat, mengatur strategi.
“Kenapa tidak kita tolak saja. Ini pasti akan banyak membawa korban”. Kata Burung Jalak keberatan dengan istilah perang.
“Ya tidak bisa. Ini sudah keputusan mereka. Kita harus hadapi”, Ujar Gagak seakan sudah siap berperang dengan binatang darat.
Mereka pun mengatur taktik sedemikian rupa. Dan mulai hari itu, mulai di data, semua binatang yang bakal masuk dalam pasukan perang. Kelompok binatang tebang, dipimpin oleh Burung Elang. Sementara, dari pihak binatang darat, melata dan mamalia dipimpin langsung oleh Harimau.
Pendaftaran dimulai. Di balik kesibukan panitia menerima pendaftaran. Pimpinan Kelelawar menyusup ke kawasan binatang darat.
“Saya kelelawar, ingin mendaftarkan diri, bergabung dengan kalian”, Ujar Kelelawar di hadaoan Harimau.
“Lho, ya tidak bisa. Kau kan masuk dalam binatang yang terbang”.
“Tapi, saya punya kesamaan dengan kalian. Saya ini kan beranak. Jadi sekalipun saya binatang terbang macam burung, tetapi, saya binatang mamalia juga. Sama seperti kalian”.
Harimau berpikir sejenak. Ia berbisik dengan panitia yang lain.
“Tapi bagaimana di kelompokmu? Apa tidak akan di protes?”
“Ah, itu kan urusan saya. Tenang saja, mereka tidak bakal tahu, kalau saya ikut bergabung di sini”.
Sementara, di kelompok bangsa burung, kelelawar, juga didaftar sebagai pasukan inti. Dan bangsa burung pun tidak protes. Sebab, kelelawar memang masuk dalam binatang yang terbang.
Tepat hari jadi berperang, masing-masing kelompok belum masuk ke arena perang. Keduanya masih menunggu kedatangan satu pasukan. Apalagi kalau bukan kelompok kelelawar.
Kegelisahan ini, mendorong Harimau mengutus Kancil untuk menunda perang, karena masih menunggu pasukan kelelawar.
“Maaf, saya utusan dari bangsa binatang darat, meminta agar perang ini ditunda sesaat. Sebab kami masih menunggu, pasukan kelelawar”.
“Ha!” Semua binatang bangsa burung terkejut.
“Kenapa?” Tanya Kancil heran.
“Kami juga sedang menunggu pasukan kelelawar”.
Mendengar laporan itu, baik kelompok Elang dan kelompok Harimau menjadi geram. Keduanya merasa dipermainkan oleh kelelawar. Sebab, sampai dua hari, meraka kemudian harus mencari kelelawar. Kedua kelompok ini, tidak kurang kalah pintar. Mereka menghadang, di tempat biasa kelelawar mengambil makanan. Dimana lagi kalau bukan di kawasan pohon beringin.
Tepat, kelelawar sedang pesta pora, memakan buah pohon beringin yang sedang dipersengketakan.
“Turun kau kelelawar!” Bentak Gagak hitam geram.
Semua kelelawar ketakutan. Perlahan, meraka turun.
“Kurang ajar Kau kelelawar! Kau sudah menangguk keuntungan, di tengah kericuhan ini. Kau sudah menodai bangsa binatang yang terbang. Kau mau enak sendiri. Dan membiarkan kami perang! Cuih!”
“Sekarang begini, kawan-kawan!” Elang, mencoba memberi penjelasan ke semua bangsa binatang. “Kali ini, Kelelawar telah melakukan kesalahan. Sekalipun dia menyelamatkan kita dari peperangan, sekarang kita tahu, watak kelelawar. Ternyata, kelelawar, hanya akan mencari keuntungan, di balik perseteruan kita. Ideologi kelelawar, yang mau cari keuntungan dari kerusuhan ini, harus dibunuh. Ini mentalitas yang sama sekali tidak bisa diterima oleh siapapun. Sebab, siapa saja yang bermental seperti kelelawar, pasti akan membuat keonaran, tetapi di balik semua itu, dia akan mengambil keuntungan, demi kepentingan pribadi dan kelompoknya”.
“Yang terpenting adalah, kita bagun kesadaran universal, dan bukan kesadaran sektarian kayak kelelawar”, Teriak Kancil.
“Lalu hukuman apa yang akan ditimpakan kepada kelelawar?”, Tanya Kambing hutan.
“Nah, karena kita ada dua kelompok, hukuman ini bisa diberikan dari kedua belah pihak”, Harimau memberi jalan keluar.
“Oke, sekarang dari pihak binatang darat dulu”.
“Baik, kalau begitu, kami sepakat, menghukum kelelawar, tidak boleh keluar siang. Dia hanya boleh keluar malam saja”, Ujar Singa mewakili binatang darat, melata dan mamalia.
“Dari kami, hukumannya, kelelawar, harus tidur tergantung dengan kaki diatas”, Ujar Elang mewakili bangsa burung dan biantang yang terbang.
Mulai hari itulah, Kelelawar, hingga sekarang, hanya keluar malam, dan setiap tidur, dia harus bergantung dengan kaki diatas.
Tetapi, sepertinya, hukuman ini, tak memudarkan bangsa kelelawar, untuk menyebar ideologinya. Hingga sekarang, negeri ini, masih banyak dihuni oleh manusia-manusia yang punya ideologi kelelawar. Mencari keuntungan dari kerusuhan dan konflik sesama, demi keuntungan pribadi. Dasar negeri kelelawar. Mestinya, mereka juga harus dihukum seperti kelelawar. (*)
DL.Daun – Palembang, akhir Juni 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar