Cerpen Imron Supriyadi
Harga kopi merangkak naik. Warga Desa Sukaningrat bersuka ria. Sebagian warga ada yang mengadakan acara khusus di rumahnya dengan membaca Suroh Yasin sebagai bentuk syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa. Gelak tawa dan suka cita ini sekaligus mengembalikan semangat warga Desa Sukaningrat untuk kembali merawat kebun kopi yang beberapa tahun mereka lakukan tanpa harapan.
Raut wajah sumringah dan menebar senyum petani kopi Desa Sukaningrat telah menghibur mereka, setelah dalam kurun waktu 10 tahun mereka didera oleh anjloknya harga kopi. Pasca kepemimpinan Presiden Habibie harga kopi sempat terpuruk hingga Tiga Ribu Rupiah per kilogramnya.
Banyak warga Desa Sukaningrat yang kemudian harus banting setir menyulap kebunnya dengan menanami Palawija. Tetapi keuntungannya tidak sebanding dengan hasil kopi. Mereka akhirnya hanya hidup segan mati tak mau.
Derai air mata petani kopi kini telah usai. Mereka pantas tersenyum lega. Setiap warga bisa menikmati hasil antara 15 juta dalam setiap satu hektarnya. Sementara, warga Desa Sukaningrat mayoritas memiliki lahan kopi lebih dari 3 hektar. Sungguh, ini menjadi jawaban kesabaran yang mereka tahan selama bertahun-tahun.
Dari hasil kopi, ada sekitar 40 warga yang kemudian menunaikan ibadah haji ke Kota Makkah Mukarromah. Ritual keagamaan mereka lakukan saat mereka pulang kembali ke Desa Sukaningrat. Tidak disangka, dalam waktu relatif singkat, di Desa Sukaningrat yang dikenal rawan kriminalitas kini berubah menjadi “Desa Santri” Betapa tidak? Adanya 40 orang yang kemudian menulis di depan namanya dengan “haji” menjadi simbol ketokohan seseorang, terutama dalam bidang agama. Mereka merasa banga dengan gelar itu.
“Apa? Ketokohan?! Penguasaan ilmu agama?!” Abah mencibir pada gelar itu. “Saya tidak akan menggunakan gelar haji, meskipun saya sudah 2 kali pergi ke Makkah, jauh sebelum 40 orang itu berangkat ke Makkah,” Abahku protes keras
dengan rencana pertemuan 40 haji yang baru saja pulang di Balai Desa.
“Lim, coba kamu pikir! Gelar haji itu bukan gelar istimewa. Pergi ke Makkah bukan hanya sekedar ingin mendapat gelar haji setelah pulang ke Indonesia! Tapi gelar haji sebuah pertanggungjawaban moral, bagaimana sikap muslim dalam menyikapi hidup ini dengan lebih bijak, lebih arif dan lebih manusiawi setelah mereka pulang!” suara Abah makin meninggi.
Wajahnya menunjukkan kekecewaan terhadap sebagian haji yang hanya bangga dengan gelarnya. Dadanya serasa penuh. Kalau sampai meledak, mungkin dapat menghempaskan semua isi rumah. Tangannya mengepal menekan permukaan meja. Emosinya seperti menyalur kebeberapa sudut meja. Air teh tadi sore juga ikut bergetar. Abah seperti seperti dendam Ikan Paus terhadap Ikan Hiu yang memakan anaknya. Dalam posisi itu, sebaiknya aku harus menjauh. Tapi kalau itu aku lakukan aku bisa menjadi sasaran amarahnya.
“Kalau setiap orang pulang dari Makkah digelari haji, kenapa jutaan orang muslim yang syahadat, shalat, zakat, puasa tidak disebut Bapak Syahadat, Tuan Shalat Hasan! Yang terhormat Bapak Zakat Hasan dan Bapak Puasa Hasan! Yang ada Haji Hasan! Kenapa hanya haji yang mereka letakkan di depan nama mereka?!"
“Mungkin karena Haji harus mengeluarkan uang banyak, sehingga mereka…!”
“Brak!” Abah menggebrak meja. Aku terkejut. Aku jadi sasaran kali itu.
“Lim, dengar oleh kamu. Uang yang diserahkan itu untuk biaya transportasi dan keperluan di Makkah, bukan untuk membeli haji!” Abah menatapku tajam.
“Abah mau minum air putih?” kataku meredakan emosinya. Abah tak menolak saat kemudian aku menuangkan air putih dan menyodorkan di hadapannya. Syukur Alhamdulillah, Abah kemudian menenggak air putih sampai tak tersisa setetespun. Melihat caranya minum, Abah seperti orang yang baru saja menahan puasa tiga hari tiga malam. Untung gelas yang dipegang tidak remuk oleh getaran emosinya.
“Astaghfirullahaladziiim,” beberapa kali Abah mengucap istighfar, mohon ampunan kepada Tuhan. Ia sadar kalau emosinya telah mengundang syetan di ballik jantungnya. Ia menengadahkan kedua tangannya keatas. Aia setengah menyesal.
Ia sodorkan lagi gelas kosong padaku. Kutuangkan lagi. Untuk kali kedua, Abah menenggak air putih sampai tak tersisa. Ia menghela napas. Aku lega. Air putih itu ternyata telah sedikit mengurangi ketegangan otot syaraf di kepala Abah. Mungkin tidak salah jika aku mulai lagi dengan perdebatan yang lebih dingin. Kucoba mencari kalimat rendah, agar emosi Abah tak naik lagi.
“Bah, menurutku, kita tidak mungkin bisa merubah tradisi itu, Bah,” kataku pelan. Aku berharap dengan kalimat ini tidak menaikkan spaning. “Bukan di kampung ini saja, Bah. Tetapi di semua pelosok tanah air Indonesia ini, gelar haji seakan menjadi gelar istimewa. Setiap haji kemudian diberi hak untuk memimpin kegiatan keagamaan, walaupun sebenarnya mereka tidak menguasai. Dari menjadi imam shalat, berdoa, sampai menjadi khotib jumat,” kataku setengah mengamini pendapat Abah.
“Nah, itu yang Abah maksud, Lim,” pancinganku kena kali ini. Abah tak pula terlalu emosi. Kali ini bicaranya lebih dingin dari sebelumnya. Nadanya rendah. Kecerdasan emosional Abah baru mulai tampak. Detak jantungku juga reda.
“Penguasaan ilmu agama, alim atau tidak alim itu bukan diukur dari gelar haji. Sebab mereka berangkat ke Makkah untuk memenuhi panggilan Allah, bukan untuk mendapat gelar haji. Setelah pulang, bukan berarti kemudian mereka harus diangung-agungkan. Tapi itulah Lim, bisa kau lihat sendiri, kan? Saat ini masih banyak orang menyandang gelar haji, tapi masih juga korupsi. di Makkah, mereka melempar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syetan. Tetapi setelah pulang ke Indonesia, mereka berkawan lagi dengan syetan,” Abah seperti ustadz sedang berceramah di masjid.
“Tapi kenapa gelar haji di Indonesia ini seperti sesuatu yang sakral, Bah,” aku memperlebar pembicaraan.
“Belanda sudah lama meninggalkan kita. Jadi negeri ini tidak perlu mewarisi tinggalan Belanda itu!,” kalimat Abah melenceng jauh dari pertanyaanku. Aku bertanya soal haji, mengapa Abah bercerita tentang Belanda. Sesaat aku diam. Abah menatapku. Ia kemudian tertawa lebar. Aku makin tidak mengerti. Abah tahu persis kalau aku sedang bingung kali itu.
“Belanda?!” aku bertanya pelan. Aku masih menunggu ucapan lanjutan dari mulut Abah. Kali kedua Abah tertawa lebar. Mulutnya masih mengepulkan asap rokok. Ia bangkit. Kali ini Abah duduk lebih dekat. Ia raih bahu kiriku. Seperti ada pesan serius yang akan ia sampaikan. Mataku mengikuti gerakan Abah, sampai ia duduk di dekatku.
“Lim, berapa lama Belanda menjajah kita?”
“Kalau menurut sejarah di buku 350 tahun,” jawabu pendek.
“Lalu berapa lama negeri ini dijajah oleh bangsa asing?”
“Maksud Abah?” aku makin penasaran.
“Belanda, Jepang menjajah kita dihitung oleh sejarah dengan bilangan angka. Tetapi penjajahan bangsa asing setelah itu tak terhitung dengan urutan matematika,” aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan Abah.
“Penjajahan 350 tahun dan Jepang 3 tahun. Itu penjajahan yang berbentuk fisik. Mortir, bom dan mesiu, dor..dor..tembak!, itu yang 350 tahun, Lim,” Abah menjelaskan dengan gaya teaterikal. Ia peragakan bagaimana para pejuang menembak mati Belanda. Abah seperti sedang kembali pada masa lalunya, saat bergerilya bersama Panglima Jenderal Sudirman melawan Kolonial Belanda dan Jepang.
“Lantas apa hubungannya haji dengan Balanda, Bah?” aku mengembalikan tema pembicaraan yang menurutku melenceng jauh.
“Walaupun kata orang kita sudah lepas dari penjajah, tapi sebenarnya sampai saat ini kita masih terjajah, Lim. Penjajahan sekarang tidak bisa dihitung dengan angka-angka,” Abah masih menceritakan penjajah. Lantas bagaimana hubugannya dengan haji? Aku berpikir keras untuk mencari titik temu antara haji dan Belanda.
“Penjajahan pemikiran dan ideologi, sampai saat ini masih begitu mengakar. Kita lepas dari mortir, bom Belandadan Jepang! Tapi perilaku, pola pikir dan cara pandang, tata budaya kita masih seperti Belanda. Dan salah satu warisan itu bernama, Haji!” Abah bicara sangat dekat dengan telingaku. Ia seakan menekankan kalimat “haji” sebagai inti pokok persoalan yang ingin ia sampaikan padaku.
“Haji!?” aku masih penasaran.
“Yap! gelar haji adalah warisan feodalis Belanda,” tegas Abah tanpa ragu.
“Jutaan orang Islam pergi ke Kota Makkah menunaikan ibadah haji. Tetapi hanya Indonesia saja yang kemudian digelari haji oleh masyarakat. Di Negara lain, mana ada gelar haji, Lim!” Abah melebarkan bibirnya hingga tampak sebagian giginya yang hitam kuning-kuningan akibat terlalu lama Abah mengisap nikotin.
“Abah kok jadi ngelantur?”
“Masyarakat kita yang ngelantur, akhirnya salah kaprah dengan gelar haji,” kata Abah ringan. Aku menunggu argumentasi Abah tentang tuduhan haji sebagai warisan Belanda. Tapi Abah masih diam memandangku. Abah makin mengaduk-aduk otakku kali itu. Aku masih penasaran.
“Pendapat Abah ini bisa membuat orang marah, Bah. Sebab sampai saat ini hampir tidak ada yang tahu kalau haji itu warisan Belanda,” aku memancing argumentasi Abah. Ingin aku segera mendegar penjelasan Abah. Sebab ini adalah kabar baru yang tak pernah kudapat sebelumnya.
“Itulah pentingnya belajar sejarah, Lim. Tapi berapa banyak masyarakat kita yang peduli dengan sejarah? Malah sebaliknya, sebagian orang sedang berusaha membunuh dan memutarbalikkan sejarah. Soeharto dengan penumpasan PKI, sedang membunuh sejarah perjuangan Soekarno, dengan tuduhan Soekarno terlibat PKI. Bagaimana mungkin Soekarno melakukan kudeta terhadap dirinya sendiri, sementara dia sedang dalam posisi sebagai presiden seumur hidup? Kalau mau, Soekarno kan bisa saja memecat para jenderal yang tidak satu jalan dengan dia, tidak mesti dibunuh! PKI yang dituduh sebagai otak pemberontakan, mengapa dia tidak siap saat dilakukan penangkapan oelh Soeharto!? Mestinya, dengan jumlah 3 juta anggotanya, PKI bisa melakukan perlawanan. Tapi ini tidak, Lim!?” kalimat Abah makin tidak fokus. Abah makin liar. Kalau dibiarkan, akan menaikkan spaning Abah. Wajahnya sudah mulai serius. Sebentar lagi Abah akan kembali ke masa lalunya. Dendam terhadap Belanda itu bisa meledak di rumah ini seketika. Gawat!
“Bah, Abah tu cuma minum teh dan air putih. Tapi kenapa Abah jadi seperti orang mabuk. Sampai-sampai cerita PKI-lah, Sorekarno-lah. Yang kita bahas ini Haji! Haji, Bah!” aku makin kesal dengan Abah yang makin tidak jelas. Tapi dengan kalimat ini aku ingin mengambalikan ingatan Abah.
“E, iya. Sori. Abah terlalu ngelantur. Tadi apa? Haji?”
“Iya Haji itu warisan Belanda. Jadi Belanda sengaja menerapkan strategi politik struktural feodalistik dengan gelar-gelar ningrat dan gelar haji,” Abah kembali pada kesadarannya.
“Kenapa Belanda melakukan itu, Bah?”
“Ini untuk memudahkan Belanda dalam memetakan para tokoh, siapa tokoh-tokoh yang berpengaruh. Kalau diantara mereka melakukan pembelotan bersama rakyat terhadap pemerintah Kolonial Belanda, dengan mudah Belanda menciduk dan mengasingkan mereka. Makanya, beberapa tokoh agama di negeri ini yang menggali ilmu ke Mesir, Kairo dan sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah, setelah pulang disambut oleh Belanda dengan penobatan gelar haji. Anehnya, masyarakat kita menerima saja. Mereka tidak berpikir kalau gelar ini adalah perangkap Balanda. Ya, sama dengan gelar ningrat. Siapa yang mendapat gelar haji atau gelar ningrat, dalam setiap pertemuan akan menjadi tamu kehormatan. Keturunan mereka diberi hak untuk ikut sekolah Belanda. Setiap bulan mereka mandapat semacam gaji bulanan sebagai bentuk penghargaan. Ini kata mereka!” api kebencian terhadap Belanda itu mulai meranjak ke ubun-ubun Abah. Mata Abah mulai membulat seperti purnama. Tapi sinarnya tidak terang kekuning-kuningan. Ia memerah seperti matahari yang hendak tenggelam diufuk barat.
“Bah! Abah!” seseorang memanggil dari luar. Aku bersyukur. Suara itu kemudian membuyarkan api dendam yang hampir membara.
“Nanti malam, Abah diminta mengukuhkan haji di Balai Desa,” Udin bicara tak melihat suasana emosi Abah.
Abah memandang Udin serius. Udin jadi kikuk. Bibirnya gagap seperti tersangka sedang diperbal polisi. Bola matanya melompat-lompat kearah Abah dan kearahku secara bergantian. Udin menunggu jawaban Abah. Tak ada suara dari bibirnya. Abah melangkah lebar meninggalkan kami. Aku dan Udin hanya saling pandang. Kami tidak mengerti dengan sikap Abah. Sesaat kami berbincang seadanya mengisi suasana yang gagu. Tak lama Abah kembali. Selembar kertas diserahkan pada Udin. Ada tulisan besar di atasnya; “Atas nama kebencian terhadap Belanda, saya gelari anda sebagai Haji Feodal!” (*)
BTN Krg. Asam - Tanjung Enim,
21 September 2008 M
21 Ramadhan 1429 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar