Cerpen Imron Supriyadi
Seekor belut. Kata orang, aku ini seperti ular. Badanku panjang. Bedanya, kalau ular, memiliki kulit yang bervariasi. Sedang aku, lebih didominasi oleh warna cokelat tua. Dan sisi paling bawah dari badanku agak kekuning-kuningan. Kepalaku seperti peluncur dalam permainan catur. Kata John, orang sebelahku, mahluk seperti aku sulit yang sulit dipegang, apalgi ditangkap. Bukan apa-apa. Sebab, sekujur tubuhku memang mengandung lendir yang sangat licin. Dengan lendir di sekujur tubuhku, aku bisa leluasa untuk berkelit. Memutar badan, ke kanan dan ke kiri. Atau memutar, sehingga aku bisa lepas dari jeratan apapun. Sehingga, tidak semua orang bisa menangkapku. Selihai seorang pawang binatang, mungkin, tidak akan semudah itu bisa menjeratku. Sekalipun, sesekali, aku ditangkap, lalu dibantai lalu digoreng.
Bahkan di Magelang atau di Yogyakarta, aku sudah menjadi komoditi non migas. Dijual di berbagai toko. Dibungkus sedemikian rupa. Lalu ditempel dengan harga bersaing. Tetapi, sekali lagi. Aku tetap saja seekor belut.
Sampai kini, aku juga masih menjadi belut. Tak tahu persisnya, kapan aku mulai berada di Indonesia. Konon, aku berasal dari negeri cina. Bahkan, menurut teman-temanku, di negeri Tionghoa ini, aku dibudidayakan. Diternakkan, dan diperjual belikan. Hingga akhirnya, aku sampai di Indonesia. Di negeri Pancasila ini, aku ditumbuh kembangkan di wilayah Yogyakarta, Magelang dan sekitarnya. Di dua kota ini, aku kemudian berkembang di setiap kawasan sawah. Bagi para pembajak sawah, akan selalu bertemu dengan aku. Dan pada malam hari, tidak jarang, para warga sekitar, sering mencari dan memburuku untuk lauk di meja makan. Kata, salah satu pakar belut, aku ini punya gizi tinggi. Sekalipun, aku masih kalah dengan gizi sapi atau ayam.
Di dua kota ini, aku sudah masuk di super market atau pasar swalayan. Kadang aku dibuat keripik, atau semacam peyek. Dan tidak jarang, aku juga banyak dijumpai di hotel-hotel kawasan Yogyakarta dan Magelang. Bahkan, aku kini sudah menjadi komoditi ekspor non migas. Tetapi, di kota lain, seperti Palembang. Aku justeru menjadi mahluk yang kurang digemari. Sebab, pamorku masih kalah dengan ikan seluang, Betok, ataupun ikan Patin. Tetapi, kurang gemarnya warga palembang untuk menjadikanku sebagai bahan tambahan ekonomi Sumsel, tidak membuatku merasa terusir dari Palembang. Teman-teman sebangsaku di air dan di lumpur, cukup toleran dengan kehadiranku. Kami tak kenal pembedaan perlakuan. Kalau pun harus bertengkar, itu hanya sebagai warna hidup dalam komunitas kami.
Aku hanya seekor belut. Aku hidup dalam ketergantungan cuaca. Pada musim hujan tiba, aku sering muncul di pojok-pojok selokan. Atau muncul di permukaan sawah. Bahkan tak jarang, aku muncul juga di bawah rumah panggung yang permukaanya lembab. Hadirnya aku di bawah kolong, kadang-kadang menjadi incaran para mahasiswa yang kebetulan kost, tempat aku bersembuyi. Kalau senja menjelang, para mahasiswa mengintai rumahku, lalu memasukkan kail penjerat. Untuk kemudian, aku akan dijadikan lauk pada malam harinya. Katanya sih, untuk membantu tambahan gizi. Paginya, aku sudah berubah menjadi tinja, setelah sebelumnya, aku harus bercampur aduk dengan segala makanan di perut. Tetapi, aku masih saja seekor belut, yang hanya bisa hidup di tempat-tempat basah atau sedikit lembab, mengandung air. Kalau musim kemarau tiba, aku segera membenamkan diri ke dalam perut bumi. Menyembunyikan diri, sambil menunggu musim hujan tiba. Hanya sesekali aku keluar ke permukaan. Ya, hanya sekedar membantu pernapasan, demi kelangsungan hidup di dalam tanah. Tapi celakanya, aku juga tidak jarang tertangkap oleh para pencaribelut. Sebab, di kawasan Magelang, paling tidak satu Minggu sekali, apalagi jika purnama tiba. Banyak para pencari ikan yang kemudian mengalihkan buruan. Siapa lagi kalau bukan aku yang menjadi sasaran. Tersiksa memang, tetapi itulah caraku untuk mentaati hukum alam. Karena Tuhan telah menciptakanku menjadi belut. Seperti juga kambing punya cara sendiri untuk mentaati titah Tuhan. Setiap hari raya Kurban, setiap kambing harus bersedia untuk dipotong, sebagai bentuk kedekatan manusia pada Sang Pencipta.
Aku masih tetap seekor belut. Aku hidup seperti mahluk yang lain. Tetapi, aku tak pernah menjalani perkawinan seperti hewan lain, kecuali bekicot, atau hewan sejenisku. Kapan saja, dimana saja, aku bisa saja melakukan persenggamaan. Tak perlu harus menunggu lawan jenis untuk mendekatiku--lalu melakukan persenggamaan, seperti halnya manusia. Aku adalah hewan hermaprodit. Memiliki dua kelamin. Jadi, aku tak mesti susah-susah jika aku sedang menginginkan naluri kebinatanganku. Bagiku, hubungan badan bukan semata-mata hanya untuk mengumbar naluri hewani. Namun, bagiku, persenggemaan kewajiban. Dan ini adalah fitrah setiap mahluk hidup. Secara simbolis, Tuhan telah menciptaku dengan dua kelamin. Itu artinya, kami juga tidak kenal dengan perzinaan. Hanya manusia saja yang kadang-kadang tidak bisa menahan ekor kebinatangannya, lalu tanpa sadar, manusia sering meniru-niru caraku, atau tidak jarang mereka juga memposisikan sebagai binatang hermaprodit. Melakukan persenggamaan dengan dirinya sendiri. Ah, dasar manusia!
Aku hanya seekor belut. Sulit ditangkap. Pintar berkelit. Jika aku dalam jeratan, aku akan mengecilkan badan. Ini adalah caraku untuk lepas dari dekapan. Diatas wajan penggorengan pun, aku masih menggeliat. Aku memang pintar mencari celah untuk berlari dari ranjau. Setiap ada rencana penagkapan, akan kugunakan segala cara, untuk lepas dari perangkap. Bahkan diatas wajan penggorengan pun, aku masih mencoba menggeliat, untuk melompat dari panasnya minyak dan bara api. Memang, ini adalah pekerjaan sia-sia. Tetapi, selagi ada kemampuan untuk berlari, aku akan terus berkelit, berputar, mengecilkan badan, membelit atau juga menggigit. Kecuali, jika Tuhan sudah memintaku untuk kembali.
Aku hanya seekor belut. Bisa dikata, aku juga hewan yang mudah kompromi. Dalam air, aku bisa renang, dalam arus besar sekalipun. Apalagi dalam riak-riak yang kecil. Dalam setiap cara aku bisa bermain. Tetapi, tidak pada setiap cuaca aku bisa hidup. Sebab, sekali lagi, aku hanya hewan yang hidup di tempat yang basah. Jadinya, aku tak pernah bermain di tempat yang kering. Aku tahu, cuaca kemarau yang kering, hanya akan melemahkanku, atau bisa juga akan membunuhku. Makanya, aku memilih tempat yang basah, ya paling tidak pada tempat yang lembab, supaya aku tetap bisa survive.
Aku hanya seekor belut. Aku bisa bermain culas. Bis lebih culas dari seekor Kancil. Aku juga bisa menipu. Bisa lebih pintar dari labi-labi atau kura-kura yang sering menipu menjadi batu. Aku licin. Lebih licin dari ular, ikan, lintah atau pacet. Dalam setiap gerakan tipu, aku sulit terperangkap oleh jeratan. Sebab, aku pintar bermain. Bisa berteman dengan semua jenis ikan sungai. Kalau sudah terpojok, aku juga sering menggunting dalam lipatan, demi kelangsungan hidup di komunitasku. Itulah aku, yang kini tetap menjadi belut.
Aku hanya seekor belut. Kemarin, aku tertangkap. Dibantai. Perutku dibedah. Seluruh isi dikeluarkan. Dicuci dan digarami. Pedih!
“Boleh saja kalian membantaiku, namun, aku akan tetap ada”.
Ayah bengong mendengar suara itu.
“Siapa yang berkata barusan?”
Ayah bertanya-tanya.
“Aku!”
“Siapa?”
“Aku, belut yang ada dalam ember!”
“Tak mungkin. Tak mungkin. Kau sudah mati!”
“Ya aku memang sudah mati. Tetapi cara hidupku, dan semua kepintaranku bermain dalam arus apapun, sudah menjelma kepada setiap manusia!”
“Manusia yang mana? Aku tidak!”
“Aku ada dalam tubuh para poitisi!”
“Lalu?”
“Para ekonom, bisnisman, preman, bisa para petinggi negara dan...”
“Blek..blek!..”
Sebuah benda keras kembali memukulku. Aku mengeliat.
“Kau pukul aku? Tak ada artinya. Sebab aku tetap seekor belut”
“Blek...blek!”, Kali ini Ayah memukul lebih keras.
Aku mati. Dan mungkin, aku hanya hidup dalam setiap watak setiap mahluk. Termasuk juga manusia. Keculasan, pintar berkelit, mencuri lendir pelicin, mudah kompromi, dengan setan sekalipun. Selagi itu menguntungkan aku. Kenapa? Sebab aku seekor belut. **
Angkatan45-Palembang, Januari 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar