Cerpen Imron Supriyadi
Aku masih tertunduk di depan cermin, menekuri tentang diri yang telah beralih rupa. Wajahku bukan lagi simbol dari sebuah kewibawaan, seperti ketika aku masih bertengger sebagai Presiden di pabrik terbesar. Saat itu, kekuasaanku sampai keluar lintas batas darat Sabang sampai Merauke. Senyum khas yang kumiliki, kini bukan lagi sebagai keramahan, yang setiap orang berjumpa, di situlah mereka harus sedikit menundukkan badan sebagai penghormatan terhadapku. Tuan Firjaw, begitu banyak orang memanggilku. Keluasan wilayah kekuasaanku, kini justru membenamkan aku ke dalam air comberan.
Petuahku yang dalam kurun waktu puluhan tahun sebagai ucapan ‘dewa kebenaran “, kini tak lagi mampu menjadi pengharum setiap perkampungan dunia. Malah sebaliknya, semua ucapanku, sudah menjadi barang busuk, yang setiap orang akan segera menutupi telinga dan hidung, agar tak mendengar dan mencium hawa mulut atau cipratan ludah yang keluar dari lipatan bibirku. Seluruh penghuni perdusunan, sepertinya memang benar – benar muntah setelah sebelumnya perutnya mual dalam beberapa menit ketika wajahku dipampang oleh wartawan di surat kabar dan televisi.
Sore kemarin, kucoba untuk berhias diri. Kubeli kosmetik ternama dengan harga miliaran rupiah hasil tunjanganku. Dari parfum kelas ratusan ribu sampai seharga se-unting daun kemangi yang harganya turut melonjak, ikut menjadi ramuan. Aku ingin kembali menjadi Tuan Firjaw yang dulu menjadi pewangi bagi setiap penghuni, yang dulu selalu di-elu-elukan jasa dan pengabdianku.
Sembari melumuri dan memandikan diri dengan perasaan daun kemangi, dalam batin, aku hanya berucap;
“Tuhan, seandainya aku tahu, kekuasaanku akan membawa petaka dalam perjalanan hidupku, aku akan memilih kemiskinan sebagai tiang dalam rumahku. Kalau saja aku mengetahui semua ini akan menimpaku, aku akan menjadi tanah atau gunung, yang hanya akan patuh dan tunduk dengan semua perintah dan kekuasaan-Mu”
Aku bersimpuh, menatap kembali cermin kecil yang berada dibalik nuraniku. Sesaat aku tersadar, bahwa ruang kecil, tempat berkumpulnya nurani itu telah lama tidak kusinggahi. Padahal, dari sanalah seharusnya semua kebijakan itu diputuskan. Semestinya, memang tempat itu yang menjadi sumber atau mata air dari semua kebijaksanaanku. Tapi begitu lama aku meninggalkan ruang kecil itu.
“Oh, hati nurani, kini memang aku harus kembali menyusuri dari awal untuk memasuki wilayah itu. Meskipun aku, sekujur tubuhku, keringatku, darahku telah berlumur air air got yang berbau”.
Sekali lagi aku bersimpuh. Aku tak mampu lagi menterjemahkan air mata yang tiba – tiba masih mau keluar dari muara kecil di mukaku yang makin keriput. Sulit kupilah, mana air mata penyesalan, mana air mata kepedihan dan air mata taubat. Semuanya berkumpul menjadi satu genangan, yang setiap penghuni negeri ini tak mau lagi kena cipratannya, meskipun para pengikutku masih ada sebagian yang menunggu kehadiranku kembali, meski aku harus menjelma dan menyulusup dalam tubuh lain.
Beberapa bulan kucoba untuk tetap bertahan diatas penghinaan dan cercaan massa yang tak kunjung pudar. Kukumpulkan kembali gumpalan daging yang sempat tercecer. Ada yang di permukaan air comberan. Ada yang menjadi satu dengan tumpukan sampah. Dengan susah payah kerenggut seluruh kekuatanku yang masih tersisa. Daging dan serat-serat tubuhku yang berserakan, kembali kurangkai. Lalu, kusewa darah para preman untuk membantu dalam menebar keharuman, sehingga kebusukan itu akan segera beralih pada muara yang lain.
“Brooooot!” Kuberaki Banyuwangi dengan darah dukun santet. Mayat terkapar. Ratusan dukun santet menebar kebusukan baru. Anyir darah diatas aspal Banyuwangi tercium ke setiap sudut perdusunan. Aku terkekeh girang. Tanpa sadar, sebenarnya aku telah kembali meninggalkan kemuliaan muara nurani. Sebuah pertikaian baru segera bermula. Para penghuni negeri memendam beragam kebencian, meskipun mereka juga bingung tentang siapa yang mesti dibenci. Permainan kembali mencuat, terangkat di surat kabar dan kamera elektronik, menyebar keseluruh pelosok negeri.
Aku makin tertawa lebar saat pengikutku berhasil mengumpulkan puluhan orang gila yang sudah berlumur darah kambing hitam. Sedikit banyak, bau busukku lambat laun mulai reda, berpindah pada bau anyir darah dari Banyuwangi. Percekcokan antar bagian mulai terlihat. Sebuah pemandangan apik jika ini terus berkelanjutan, harapku dilubuk hati kelam.
Pergolakan darah dukun santet makin merambah kebeberapa kota. Sehingga aku punya waktu istirahat untuk memoles diri dengan cairan perasaan air kemangi, atau istirahat mandi pagi dengan parfum yang kubeli dengan harga miliaran itu. Sembari menyaksikan peperangan antar bagian, di setiap canel teve, kuundang seorang mantan kepala sekolah untuk segera menyusun administrasi baru sebagai kelanjutan dari permainan Banyuwangi.
Sore kian beranjak malam. Orang – orang sekitar terus sibuk dengan persoalannya masing – masing, sambil membersihkan puing – puing kerusuhan yang beberapa waktu lalu terjadi. Perlahan, bau busuk nafasku sedikit reda. Kali itu, rasanya ingin kuucapkan terima kasih pada sekumpulan orang gila yang telah menutupi bau busukku dengan darah kambing hitam. Mereka cukup berjasa dalam permainan ini. Tapi sayang, aku tak lagi berwenang memberi penghargaan putra terbaik bangsa dengan piagam bintang maha putera. Biarlah, toh mereka juga orang gila. Bagaimanapun piagam penghargaan juga tak akan menyembuhkan kegilaan mereka. Justru akan berbahaya jika mereka sadar bahwa mereka aku pecundangi. Jika ini terjadi sangat mungkin bau keringatku akan semakin busuk dari bulan sebelumnya.
Luka menganga telah merobek sudut negeri. Bau anyir darah, sepertinya tak mungkin aku akhiri sampai disini. Semuanya harus berlanjut sampai bau air comberan di tubuhku bisa kembali bau harum, meskipun hanya sebatas harumnya ketek WTS kelas teri.
Dari atap rumahku, kupantau kejadian – kejadian disetiap ujung gang, perkampungan, sampai di depan rumahku, yang ternyata masih terkepung oleh penjaga setia, meskipun aku tak tahu persisnya apakah mereka juga merasakan bau busuk keringatku atau tidak.
“Tuan Firjaw !”, mantan kepala sekolah itu tiba – tiba muncul tepat berada di bawah saat aku bertengger di atas rumah.
“Tuan jangan dulu memunculkan diri. Kondisi seperti sekarang belum cukup aman untuk memunculkan strategi baru. Turunlah! Istirahatlah kembali!.
“Istirahat itu urusan gampang! Apa yang kau katakan tentang genangan darah di Banyuwangi beberapa waktu yang lalu?.
“Beres Tuan! Semua sudah saya sampaikan kepada para wartawan bahwa kejadian itu hanya kriminal biasa. Tenang saja, Tuan! Semuanya sudah berjalan sesuai dengan skenario!”.
“Lantas apa rencanamu sekarang?” Aku menagih janji pada mantan kepala sekolah itu, setelah aku turun dari atap rumah.
“Saya memiliki beberapa pasukan ninja. Dan mereka bisa kita berdayakan, untuk permainan baru”.
Aku tenang sesaat.
“Bagus! Ternyata idemu tetap cermelang meskipun kau hanya mantan kepala sekolah”, Kataku memuji ide jitu yang dilontarkan orang terdekatku itu.
Pasukan ninjapun bergentayangan. Mereka membuat permainan baru di tengah kecemasan para penghuni negeri terhadap kondisi yang belum tenang. Kabar teror, telepon gelap terhadap para kiai memulai operasi ninja. Sehingga hampir seluruh perkampungan dilanda ketidaktenangan yang berkepanjangan. Satu - persatu gerakan ninja menumpahkan anyir darah. Lagi, mayat terkapat tanpa identitas. Cras! Cras! Pedang menyambar, darah tercurah, keringat telah menjadi darah.
Aku makin lupa diri dengan permainan ini. Ini harus berkelanjutan! Sebab, permainan ini, akan memancing surat kabar, sehingga mereka akan tersumbat, tidak lagi mencium bau busuk darah dan keringatku lagi.
Satu menit baru saja aku menarik nafas lega. Sebuah guncangan kembali menggegerkan pagar di sekitar rumahku. Aku terkesiap. Aku bangkit, menyingkap horden jendela. Tak kuduga, sekelompok orang masih tetap mencium bau busuk darah dan keringatku. Aku jadi nanar. Keringat dingin mengucur. Ia membasahi setiap lekuk tubuhku. Sesekali kuusap. Lalu kusemprot dengan parfum sekujur tubuh. Tapi bau busuk tetap saja menyengat keluar rumah. Tak ada jalan lain, mereka pasti kembali membenamkan aku ke air comberan.
“Ah, ternyata, daging dan sekujur tubuhku memang benar – benar telah membusuk! Ucapku, sembari berlari menuju kamar kecil.
Mungkin di sini, aku akan lebih aman. Mudah – mudahan mereka akan kesulitan membedakan bau busuk keringatku dengan bau busuk tinja”, Kataku sambil melumuri badan dengan tinja – tinja yang tersisa. Kini, orang akan susah membedakan aku dengan warna dan bau tinja. (*)
Rumah Kontrakan di Jl. Letnan Yasin - Palembang, 25 Mei 1998
(Tiga hari setelah Jatuhnya Rezim Soeharto 21 Mei 1998)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar