Senin, 11 Januari 2010

Surat Untuk Saeri

Cerpen Imron Supriyadi

Sore selepas ashar, saya masih duduk di bangku panjang, di depan rumah kontrakan saya, dimana dulu saya dan Saeri, teman akrab saya bidup bersama, senasib sepenanggungan. Namun karena roda waktu yang demikian cepat, tak terasa bahwa sebenarnya teman karib saya itu sudah empat tahun meninggalkan saya disini. Mungkin karena keterbatasan daya penglihatan saya, sehingga jarak pandang saya dan Saeri harus terhalang oleh puluhan perkampungan, ratusan tembok tinggi, jutaan rerumputan, atau mungkin terlalu panjangnya kelokan jalan antara lahat dan Kotabumi. Saya tidak tahu persisnya, tiba – tiba Saeri sudah menjadi seorang Bapak. Ya, bapak yang sudah seharusnya menanggung amanat untuk tidak merelakan anaknya terjerumus kedalam jurang kebiadaban zaman. Bagaimana lucu dan mungilnya buah hati Saeri , sampai saya kembali terduduk di atas bangku panjang ini. seperti ketika kami masih bersama, semuanya hanya terlintas dalam bayang. Tak dapat saya gambarkan , jika nanti saya juga mendapat titipan Tuhan yang sama; anak.
Sampai adzan Mahgrib menggema, kerinduan untuk kembali bercengkeramah dengan Saeri masih bergelayut menembusi setiap batin saya, yang kian hari kian ditempa beragam bentuk kenyataan. Mungkin saatnya saya harus mengobati rindu ini, meski hanya mengarungi lautan tinta, bersama desau angin yang mudah – mudahan dapat menyampaikan salam saya kepada Saeri dan keluarganya di Kotabumi.
Saeri , satu kata tertulis diatas kertas folio mengawali surat itu, Entah apa yang harus saya katakan kepada Tuhan, jika nanti tiba – tiba Tuhan bertanya ; bentuk musibah apalagi yang masih kuat kau terima? Ataukah daerah mana lagi yang kuberi pelajaran dengan kerusuhan.
Sungguh ! Ri, mungkin saya gelagapan untuk menjawab jika nanti pertanyaan itu sampai kepada saya. Sebab kenyataan pahit dari perjalanan hidup saya sudah cukup menyayat. Bahkan, jika berwujud pisau, sudah merobek jantung saya, mengobrak abrik usus dan lambung saya. Tapi, Ri, setiap malam saya terus bertafakur bertaqrrub kepada-Nya, meminta, agar kenyataan - kenyataan pahit segera usai. Dalam setiap kesempatan itu pula, saya selalu memohon, agar jangan dulu Tuhan mencabut nafas saya. Sebab, saya sadar, Ri, mungkin segala sesuatu yang telah atau akan menimpa saya, lebih merupakan teguran dari pada cobaan buat saya. Alangkah sombongnya saya, jika kenyataan pahit itu sebagai cobaan. Toh, sudah pasti belum mampu membayar hutang saya terhadap jasa – jasa Tuhan. Ini bukan pesimis, Ri! Tapi sebuah kesadaran dari batin saya yang paling dalam, bahwa saya telah banyak mempermainkan Tuhan. Kenapa tidak? Hari ini saya minta pengampunan dosa, tapi besok, lusa saya kembali membuat dosa baru, yang kadang - kadang nilai dosanya lebih besar ketimbang sebelumnya. Tapi, Ri, bagaimanpun jauh dan lamanya kita berpisah, saya masih ingat dengan keyakinan terhadap ampunan Tuhan , seperti yang pernah kamu katakan kepada saya empat tahun silam. Menjelang tidur, saya sering mengutip ceramah yang pernah kamu sampaikan di masjid Wathoiniyah Telatang Lahat : Hidup harus optimis ! jangan takut gagal, jika kegagalan itu justru akan lebih mendewasakan dalam menyikapi hidup.
Beragam kata yang pernah teruntai dalam kultum itu, sedikit banyak telah memberikan kekuatan tersendiri buat saya. Buat kejiwaan saya. Nurani saya. Atau bahkan sikap hidup saya, ketika saya harus kehilangan semuanya. Mungkin ratusan, bahkan ribuan turut menyaksikan peristiwa duka yang menimpa saya, ketika oktober lalu rumah kontrakan saya habis terbakar. Hanya bangku panjang yang tengah saya duduki ini saya sempat saya selamatkan. Paling tidak, bangku ini menjadi saksi bahwa saya dulu pernah mempunyai teman karib yang bernama Saeri, yang dengan papan – papan bekas telah sanggup menarik orang sekitar kontrakan untuk beberapa saat duduk, sembari menikmati gandum goreng dirumah kita. Kalaupun saya harus mengatakan rumah kontrakan ini juga rumah kita bersama, itu tidak lain karena saya masih ingat bahwa kamu paling suka mencari rumah kontrakan yang murah, sama seperti yang kutempati sekarang.
Ri, satu hal yang makin saya merasa terhempas, adalah munculnya berbagai kebohongan, maraknya ketidak jelasan hidup didalam negeri ini, atau hilanganya seuntai bunga yang pernah saya siram sepanjang hari, bahkan sepanjang tahun. Terbakarnya rumah kontrakan, ternyata melulu lantakkan semua kejujuran, semua cita dan cinta yang pernah bersemai. Semuanya hilang bersama pengapnya negeri, bersama banyaknya slogan dan verbalitas yang mungkin terus memanjang.
Belum sempat saya melanjutkan goresan itu, seseorang mengetuk pintu. Saya kenal betul dengan desah suara itu, Santi sepupu pemilik kontrakan.
“ Kak Im, minta uang listrik dan air”, Santi menagih pajak rutin PLN dan PAM. Sudah saya duga sebelumnya , Santi tidak ada kepentingan lain untuk datang kecuali sekedar menagih iuran bulanan itu.
“ Besok pagi ,Dik. Akan saya antar kerumah”, saya menjawab sekenanya, sembari berpikir akan kemana mencari uang pinjaman, sebatas melunasi kewajiban saya sebagai penghuni kontrakan. Sengaja pintu depan tidak saya tutup rapat, dengan harapan ada saja teman yang mampir seperti biasanya. Kesempatan itu, mudah - mudahan dapat sedikit memperoleh pinjaman atau bantuan sekedarnya.
Denting gitar para remaja tetangga rumah kontrakan tak begitu saya hiraukan. Toh mereka juga tidak tahu jika ketika itu saya memotar otak untuk mencari jalan keluar untuk memenuhi kewajiban pada tuan rumah. Prek! Masa bodoh ! paling – paling selepas isak akan ditegur Pak Er Te. Saya kembali ke kamar, menjumpai kembali pena dan kertas yang sempat saya tinggal.
….Ri, saya kembali menulis. Yang sampai sekarang saya tidak mengerti ada maksud apa Tuhan menyampaikan pesan pada saya harus dengan beragam kegetiran yang berlarut – larut. Saya tahu, Ri, kalau pengalaman batin seperti saya alami ini tak pernah didapat dibangku kuliah perguruan tinggi manapun. Bahkan jika saya diperbolehkan mengadakan tawar – menawar dengan Tuhan sebelum saya lahir, akan saya katakan ; Tuhan! Mungkin dulu lebih baik kau jadikan saya ini menjadi sebuah bukit atau tanah saja, sehingga saya tidak akan merasakan kepahitan hidup seperti manusia! Atau kau jadikan saya ini sebagai angin, agar saya banyak berjasa pada setiap bentuk kehidupan!.
Ini mustahil, Ri! Mustahil! Toh Tuhan sudah bicara lain terhadap perputaran sejarah hidup saya. Meskipun saya tahu persis, bahwa Tuhan Maha Demokratis. Maha Pemberi kebebasan terhadap setiap hamba. Tapi bagaimanapun, saya memang harus kembali menelanjangi diri, bahwa sebenarnya sayalah yang harus terus - menerus mengenali jalan saya, lantas berbenah diri, untk kemudian menerima ketentuan Tuhan, setelah sebelumnya saya harus menempuh jalan, sebagai tanda ikhtiar seorang mahluk lemah semacam saya.
Ri, kalaupun saya harus menuangkan segala bentuk kenyataan ini pada kamu, bukan berarti saya bermaksud mengeluh dengan kebijakan Tuhan terhadap nasib saya. Tapi melalui surat yang saya kirim ini, saya mencoba kembali untuk membaca diri saya , bercermin pada muara batin, tempat dimana semua keputusan akan saya lakukan, tanpa harus merugikan saya, juga para tetangga saya, selain itu, saya tidak bermaksud mengganggu aktivitas kamu, yang sudah pasti disibukkan oleh berbagai watak dan sifat para murid sekolah. Paling tidak, saya hanya ingin kamu mengerti, bahwa saya tidak ingin menambah berbagai kepedihan di tengah zaman yang sudah terkoyak oleh bermacam kerusuhan atau fluktuasi ekonomi yang belum jelas ujungnya. Sungguh! Saya hanya berkeinginan berbagi rasa dan mengabarkan, sebelum negeri ini pengap dan basah oleh ratusan tetesan darah di berbagai daerah, jauh sebelumnya, saya teman karib yang pernah hidup bersama kamu, sudah lebih dulu merasakan kepenatan hidup, memeras darah untuk sebuah kejujuran, meskipun banyak orang menilai bahwa kenyataan itu terlalu pribadi. Itu bukan urusan saya, Ri. Terserah bagaimana orang akan menilai. Namun yang pasti, saya telah merasakan runtutan kebohongan, ketidak mampuan manusia untuk lebih bersikap rendah hati ditengah keangkuhan diri. Dan korbannya adalah saya, atau bahkan orang orang lain yang sebelumnya telah sengaja dikorbankan untuk sebuah kebohongan.
Terakhir, saya sampaikan bahwa saya sama sekali bukan sedang menyalahkan satu pihak, atau mengkambing hitamkan seseorang yang sidah hitam, atau punya keinginan mencela. Toh saya dan kamu punya cermin kecil di bilik jantung. Yaitu nurani. Hanya itulah yang mudah – mudahan dapat mengantarkan saya atau siapapun orangnya pada kejernihan batin. Dari kejernihan inilah, Ri, saya kemudian menemukan kembali satu bunga yang bersemi dari sebuah muara. Muara itu adalah air jernih, yang mata airnya dari alam pedesaan, lalu mengalirkan sidar kejujuran, ketulusan dan ketidak engganan untuk selalu mengalir pada sebuah tangan tergadah. (*)

Telatang lahat,2 Januari 1999 Sumek, Jumat, 26 maret 1999

Tidak ada komentar: