foto : net |
Dalam dua pekan terakhir Negeri Mesir, setelah sekian lama menjadi ‘air yang tenang’ kini bergolak. Kisruh dan keruh. Sampai hari ini, hampir separo lebih dari masyarakat dunia perhatiannya tersedot ke negeri itu. Ketenangan Mesir kini berubah menjadi lautan darah, doa dan air mata. Dua kubu antara pendukung dan anti Presiden Mubarak saling serang. Dua kepentingan sedang saling tarik menarik. Sistem pemerintahan tak berfungsi.
Dan semua yang selama ini dilarang menjadi boleh. Sejumlah negara, termasuk Indonesia yang memiliki warga dan mahasiswa di Mesir terpaksa harus dipulangkan, demi keamanan jiwa mereka. Mesir yang selama ini banyak dirindukan sebagian mahasiswa, kini berubah menjadi negeri yang mengerikan.
Tetapi apapun yang terjadi, pergolakan Mesir tetap saja menyimpan banyak hal yang patut kita catat sebagai bahan renungan bersama.
Bukan pada gerakan menumbangkan pemerintahan Mubarak. Sebab menurut saya, kalau dalam konteks politik gerakan anti pemerintah, peristiwa reformasi Indonesia 1998 yang kemudian menggulingkan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998, sudah lebih dari cukup untuk menjadi pelajaran politik bagi sejumlah pihak, termasuk negara-negara Asia lainnya.
Tetapi dengan pergolakan Mesir, Pertama ; telah membuat sejumlah pejabat negeri ini ikut peduli terhadap nasib Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di negeri itu, sampai di tingkat presiden. Duta Besar (Dubes) Indonesia di Mesir yang selama ini mungkin tidak pernah terdengar ‘suaranya’ kemudian menjadi mediator antara warga Indonesia yang memiliki keluarga di Mesir dengan sejumlah jurnalis di Indonesia.
Ada suara dan sikap peduli yang didorong paksa oleh realitas Mesir, sehingga Dubes Indonesia di Mesir harus memfungsikan diri sebagai ‘bapak’ dari sekian banyak mahasiswa dan orang tua Indonesia yang memiliki keluarga di Mesir.
Kedua; seorang Presiden SBY dalam kasus ini ikut andil dengan sikap solidaritas memulangkan ribuan WNI di Mesir dengan memfasilitasi ribuan WNI sampai ke kampung halaman. Sebuah bentuk kepedulian yang cukup responsif bagi seorang Presiden yang segera mungkin menyelamatkan jiwa WNI di Mesir.
Tentu aksi solidaritas ini bukan datang begitu saja. Sikap ini ada kondisi yang memaksa SBY harus melakukan sesuatu demi keselamatan WNI di Mesir. SBY jelas tidak ingin dikatakan Presiden yang tidak peduli terhadap keselamatan warganya di sebuah negara yang sedang carut marut, sebagaimana Mesir saat ini.
Terlambat satu menit saja mengambil sikap terhadap WNI di Mesir, dalam sekejap, Presiden SBY akan menjadi ‘bulanan-bulanan’ media di Indonesia.
Tetapi Prsiden SBY bukan pejabat kacangan. Bahkan, Jepang sudah menyebut SBY sebagai ‘Presiden Politik’ yang intelek dan cerdas. Berbagai penghargaan dari dunia internasional juga berdatangan. Presiden SBY dianggap sebagai sosok pemimpin yang telah mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap negeri Pancasila ini.
Kepedulian Presiden SBY terhadap ribuan WNI di Mesir sudah tentu patut disikapi dengan aplaus positif. Meskipun sebelumnya, mantan Pangdam II Sriwijaya ini sempat diguncang oleh sinisme sejumlah pihak, ketika ada pernyataan; selama menjabat Presiden sudah tujuh tahun gajinya tidak mengalami kenaikan.
Terakhir, putra kelahiran Pacitan 9 September 1949 ini kembali diterpa angin negatif dalam kasus buku SBY yang menyebar di sejumlah sekolah. Jauh sebelum itu, kasus Bank Century dan Monarki Yogyakarta, juga sempat mengguncang istana.
Tetapi lagi-lagi harus diakui, Presiden SBY merupakan Presiden yang penuh siasat dan taktik. Latar belakang militer, menjadi sejarah yang telah mengakar dalam tubuh seorang SBY. Rebut dan Kuasai atau terus berjuang sampai ajal menjemput, merupakan darah militer yang sudah demikian kuat mengalir dalam tubuh SBY.
Kita bisa menengok ke belakang, betapa sebagian pejabat dan rakyat Indonesia menolak George W Bush datang ke Indonesia ketika itu. Parlemen sempat akan menggear hak angket terhadap kunjungan Bush. Tetapi apa yang terjadi,
Presiden Negara Adidaya Amerika Serikat itu tetap saja melenggang, dan parlemen kita bisa ‘bungkam’ serubu bahasa. Kalau SBY bukan jenderal yang pintar, sangat sulit menekan parlemen menjadi komunitas ‘mulut bisu’ dalam kunjungan Bush ke negeri ini. Sehingga musuh dalam konteks apapun akan dapat teratasi dengan ‘cerdas’ oleh SBY.
Tetapi pergolakan Mesir bukan musuh bagi SBY atau juga bagi kita. Sikap peduli pemerintah Indonesia merupakan ‘pahala’ dari langit untuk Presiden SBY dalam membangun aksi solidaritas dan nasionalisme. Sebab diakui atau tidak, kalau sekiranya Mesir tidak begolak, tidak sedikit WNI yang memutuskan tetap tinggal dan menjadi warga negara Mesir. Tetapi ketika kebijakan langit menciptakan Mesir menjadi lautan jeritan, darah dan air mata,
WNI di Mesir berbondong-bondong ingin pulang ke Indonesia. Ada spontanitas semangat nasionalisme yang ketika itu muncul. Kerinduan untuk tenang dan sejuk di kampung Indonesia, meski penuh dinamika korup, negeri ini tetap menjadi tumpuan hati bagi sejumlah WNI di Mesir.
Kata pepatah ; lebih baik makan kangkung di rumah sendiri, dari pada makan dagnig di negeri orang. Tenryata pergolakan Mesir sedikit banyak telah mengembalikan ruh WNI terhadap kepemilikan Indonesia. Meski sesaat tetapi itu lebih baik dari pada tidak.
Persis seperti kasus Manohara, yang dipaksa membangkitkan nasionalismenya terhadap Indonesia, setelah dalam ‘cengkeraman paksa’ dari putra mahkota di Malaysia. Ketika itu, keluarga Manohara sedemikian gencar melakukan kampanye simpatik agar sebagian bangsa ini, ikut memperjuangkan pembebasan Manohara dari putra mahkota di Malaysia. Secara spontanitas, muncul kesadaran kolektif di negeri ini untuk mempertahankan nasionalisme melalui kasus Manohara.
Ketiga; silaturahim internasional. Mesir adalah miniatur dari sejumlah perintah dari langit untuk mengembalikan keeratan silaturrahim, bagi warga Mesir di sejumlah negara. Ada sikap kebersamaan dalam menciptakan musuh bersama, yaitu Mubarak harus segera turun dari kursi presiden. Pergolakan Mesir menjadi luapan emosi kebersamaan (silaturahim) warga Mesir yang tinggal di luar negeri Mesir. Aksi solidaritas secara moral terus berkumandang dan menggelora di jalan-jalan di belahan dunia.
Bagi Indonesia, Mesir menjadi mediator silaturahim nasional, terutama bagi WNI yang selama ini belum sempat pulang kampung. Tetapi dengan Mesir bergolak, ada peluang yang sengaja dicipatakn oleh ‘pemegang otoritas kebijakan bumi’ agar WNI di Mesir harus pulang dan sujud kepada keluarga dan orang tua mereka yang sekian lama telah terpisah.
Demikian keringnya rohani silaturahim kita terhadap negara, terhadap keluarga, terhadap orang tua, baik bagi WNI dan warga Mesir, sehingga untuk membangkitkan dan menggelorakan silaturahim pada setiap kita, juga pada setiap warga Mesir, Tuhan harus menciptakan pergolakan Mesir lebih dulu. Kalau saja Mesir tidak bergolak, mungkin warga Mesir di sejumlah negara tidak menjadi luapan kebersamaan seperti yang terjadi di sejumlah negara.
Pun bagi WNI. Kalau saja Mesir tidak bergolak, sangat mungkin kepulangan mereka ‘menghadap’ orang tua dan berkumpula dengan keluarga di negeri ini, tidak akan secepat yang saat ini terjadi. Akan banyak hal yang menjadi pertimbangan, kuliah belum selesai, kontrak kerja masih panjang, izin tinggal di Mesir belum habis dan masih banyak lagi alasan lain yang sangat tidak memungkinkan WNI pulang secepat seperti saat ini.
Demikian halnya pada seorang Presiden SBY. Pergolakan Mesir telah membangkitkan spontanitas kepedulian dan aksi simpatik pada ribuan WNI di Mesir yang jiwanya terancam. Begitu terlupanya sejumlah pejabat negeri ini pada sikap peduli dan silaturahim internasional akiba siduk oleh urusan dalam negeri, sehingga kepedulian dan solidaritas itu harus dipaksa melalui pergolakan Mesir. Mesir adalah merupakan bentuk paksaan dari langit, agar kita dan semua kembali pada sikap saling peduli antar sesama, meski kita berada di tempat dan posisi yang berbeda.
Keempat; TKI juga perlu dipulangkan. Jauh sebelum Mesir terguncang oleh realitas politik, ada komunitas WNI lain yang menurut saya menempati posisi prioritas untuk sesegera mungkin untuk dipulangkan sebagaimana WNI di Mesir, yaitu; nasib dua juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Negeri Jiran.
Saya pikir, pergolakan batin mereka sudah lebih panjang dan dahsyat ketimbang WNI di Mesir. Problem yang diderita TKI saat ini, menurut saya tidak lebih kronis dari nasib WNI di Mesir. Sebab, deretan kasus yang menimpa TKI di negeri Jiran, bukan hanya mengancam perut mereka, tetapi juga jiwa, keluarga dan masa depan mereka di Indonesia.
Kalau kemudian kita menyimak data kasus TKI yang pulang ke Indonesia penuh luka dan sebagian lagi tanpa nyawa, mestikah kepedulian seorang Presiden SBY hanya tertuju pada nasib WNI di Mesir? Bukankah TKI di negeri Jiran yang punya nasib tragis juga meski diselamatkan? Kalau Malaysia saja ada sekitar 2 juta TKI, lantas berapa banyak lagi TKI di negeri lain yang memiliki potensi untuk tidakdimanusiakan oleh majikan mereka? Haruskan menunggu ada luka dan kematian TKI baru muncul aksi solidaritas sebagaimana kasus-kasus sebelumnya?
Menurut saya, bentuk kepedulian bagi WNI akibat pergolakan Mesir tetap saja menjadi bagian penting, tetapi nasib TKI di negeri Jiran tidak juga bisa diabaikan begitu saja. Sebab, derita mereka sudah berdasa warsa, sehingga mereka juga wajib mendapat kepedulian lebih dari WNI di Mesir.
Presiden SBY tidak harus menunggu ada pergolakan serupa yang menimpa di Malaysia, baru kemudian mengambil sikap tegas terhadap upaya pemulangan TKI di negeri Jiran itu, seperti sikap peduli yang dilakukan pemerintah RI pada WNI di Mesir.
Sebab pergolakan batin jutaan TKI di negeri Jiran itu menjadi perjalanan panjang yang akan terus menyejarah yang menaykitkan, jika tidak sesegara mungkin diakhiri. Kalau hanya dengan alasan TKI mendatangkan devisa negara sebesar 6,3 triliun per tahun, menurut saya pemerintah lebih cerdas bisa menyiasati dengan membuat cara lain untuk mengganti ‘jual beli manusia’ versus TKI dengan pola dan usaha lain di dalam maupun di luar negeri yang lebih manusiawi. Kita mengutuk adanya praktik traficking (jual beli manusia) tetapi kita juga membiarkan ‘jual beli’ TKI ke sejumlah negara.
Sangat mungkin, sejumlah pihak akan membantah kalau pengiriman TKI menjadi bagian traficking. Sebab, yang selama ini dianggap traficking adalah ‘bisnis manusia’ yang tidak mendapat legalitas formal sebagaimana PJTKI yang jumlahnya ribuan di Indonesia. Bagaimana mungkin tidak saya sebut bagian traficking, kalau ternyata PJTKI di Indonesia dan penyalur di sejumlah negara masih juga ‘memakan’ keringat dari para TKI?
Menurut mereka, taguhan paksa dari jasa TKI itu sebagai profesional fee jasa penyaluran? Boleh saja dikatakan seperti itu, tetapi profesional fee tidak dengan cara menindas, nenipu atau bahkan melasukan pasport dan lainnya. Tetapi faktanya, hanya demi sejumlah rupiah, dan mendukung memasukkan devisa negara, sejumlah PJTKI siap berbuat apa saja, asal ‘jual beli manusia’ versus TKI mendapat legalitas formal dari pemerintah. Ini sama persis dengan larangan pemerintah membuka kompleks prostitusi (pelacuran), tetapi membiarkan ‘pelacuran intelektual’ seperti jual beli skripsi terus terjadi di ribuan kampus di negeri ini.
Oleh sebab itu, terhadap nasib TKI di negeri Jiran, menurut saya masih sangat banyak peluang yang bisa dilakukan jika memang pemerintah memiliki political will dan political action dalam upaya mengentaskan jutaan TKI dari keterkungkugan para juragan atau majikan.
Membiarkan nasib TKI tetap seperti saat ini, sama halnya kita dan pemerintah Indonesia sedang mengakui di mata internasional, kalau negeri ini adalah negeri eksportir babu alias negeri para pembantu. Kalau pemerintah Indonesia bisa mengalokasikan anggaran tunjangan perumahan dan fasilitas bagi ratusan anggota dewan dengan triliunan rupiah, dari tingkat pusat dan daerah, mengapa tidak ada niat baik untuk mengalokasikan anggaran untuk membangun perusahaan yang kelak mampu menampung TKI yang dipulangkan ke negeri ini?
Menurut saya, masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh untuk memberi ruang bagi TKI di negeri Jiran yang dipulangkan. Diantaranya adalah, merubah deal politik antara pemerintah dan investor. Dari tingkat Presiden sampai Bupati, argumentasinya adalah bukan hanya didasari menambah pendapatan negara, atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten dan Kota, tetapi berapa jumlah tenaga pengangguran eks TKI yang dapat diserap di perusahaan, juga menjadi posisi tawar bagi setiap investor yang akan menanamkan sahamnya di Indonesia.
Sehingga, secara perlahan jutaan TKI yang mengadu nasib di negeri tetangga itu lambat laun dapat berkurang untuk kemudian diberdayakan sebagai tenaga kerja di sejumlah perusahaan yang disediakan pemerintah dari pusat dan daerah. Tidak ada yang tidak bisa, kalau kita memang mau melakukan dan mencobanya. Masalahnya kemudian adalah, tinggal pemerintah Indonesia mau atau tidak. **
Palembang, 5 Februari 2011
Penulis adalah Pelaku Sastra, Ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Palembang, redaktur Dapunta.com
Sumber Tulisan : http://www.dapunta.com/mesir-anarki-mesir-peduli.html