Kamis, 15 Oktober 2009

RONDA UNTUK SI TUAN POLAN


Cerpen Imron Supriyadi
Matahari baru saja tenggelam di ufuk barat. Jam menunjukkan pukul 17. 00 WIB. Aku baru saja masuk rumah. Di ruang keluarga berukuran 4 x 6 m2, anak dan isteriku sedang asyik menonton televisi.
”Ayah aru alek awe ya?”, Caca, anakku menyambut riang, dengan bahasa masih cadel. Maklum, Caca baru berumur 1 tahun 8 bulan.
”Ada jadwal ronda untuk ayah”, Kata isteriku, sambil menyodorkan lembaran beserta lampirannya. Kubaca kalimat per kalimat. Di akhir lampiran jadwal, Camat, Lurah, Danramil, Kapolsek, Kepala Lingkungan dan ketua RT tertera di lembaran itu. Tidak tangung-tanggung. Semua unsur Muspika kecamatan membubuhkan tanda tangan. Aku tidak tahu persis, apa birokrasi di kecamatan tempat aku tinggal memang seperti ini? Sebagai orang baru, aku memang masih buta dengan situasi birokrasi di perkampungan seperti sekarang. Atau karena beberapa instansi terkait tidak mengerti adminstrasi, siapa yang mesti tanda tangan? Kalau hanya sekedar jadwal ronda tingkat RT, mestikah semua unsur Muspika bertanda tangan? Entahlahlah. Aku juga tidak ingin mencari jawabannya. Toh, aku tidak punya kewenangan mengatur mereka. Sesaat, aku hanya ada perasaan lucu saja, ketika melihat berkas jadwal ronda, yang dibubuhi tanda tangan semua unsur Muspika. Kali ingin tampil beda ya? Betapa kepercayaan dan kepedulian masyarakat kita, sudah sedemikian rapuh, sehingga untuk membangun kepercayaan sebuah program harus dibubuhi tanda tangan seluruh aparat pemerintah? Tidak cukupkah ketua RT dan Lurah, atau kepala lingkungan setempat?
Kondisi birokrasi di perkampungan seperti tempat aku tinggal sekarang, memang jauh berbeda dengan kota yang sebelumnya aku singgahi selama 15 tahun. Di perkampungan yang jauh dari pusat kota tempat aku tinggal, terkesan masih feodalistik. Semua unsur, sejak dari ketua pengurus masjid sampai Camat, harus mengetahui program kelompok masyarakat yang hendak dilakukan. Sampai program sekolah, setingkat Taman Kanak-Kanak (TK), harus melibatkan Camat setempat. Termasuk jadwal ronda di tingkat RT saja, semua unsur Muspika seolah wajib tanda tangan. Aduh, feodalis banget!
Mungkin, di tahun mendatang, di kampungku juga harus ada aturan main, bagi warga yang hendak membuang hajat ke kamar kecil, sebelumnya mesti izin lebih dulu dan meminta tanda tangan kepada ketua RT dan jajarannya. Sehingga, air seni atau tinja yang keluar bisa dipertanggungjawabkan kepemilikannya.
Adzan maghrib berkumandang. Tapi aku tidak berjamaah di masjid. Sebab, di rumah aku berkewajiban menjadi imam bagi anak dan isteriku. Untuk beberapa kalangan, masjid mungkin tempat satu-satunya untuk menggali pahala menuju sorga. Tapi buatku tidak. Masjid bukanlah bangunan menjulang tinggi yang dilengkapi dengan kubah mengkilat yang diatasnya ada tulisan ”Allah”. Tetapi masjid adalah dimana kita bersujud, tempat dimana kita menundukkan kepala dan membentangkan sajadah, semua itu adalah masjid. Termasuk di rumah kontrakanku sekarang. Kami lebih memilih mendirikan masjid di dalam rumah. Di rumah kontrakan kami, atau di dalam rumah sanubari kami.
”Malam ini, ayah mulai ronda”, Isteriku mengingatkan.
Aku tak begitu peduli. Aku lebih asyik bercengkrama dengan Caca dan boneka kesayagannya. Tapi, masih juga aku sahuti;
”Malam ini aku minta ganti saja. Bilang sama Pak RT, aku banyak kerjaan. Malam ini aku harus menyelesaikan surat menyurat ke Kabupaten tentang usulan subsidi guru”.
”Oi, Yah. Ini pertama kali. Ndak lemak samo tetanggo. Apo uji wong agek”, isteriku protes.
”Mereka itu tidak tahu dengan kesibukanku. Yang mereka tahu, aku ini kerja sejak pagi, pulang sore, kemudian malam istirahat. Tentang pekerjaan lain pada malam hari di kantor, mereka jelas tak mau tahu”.
”Justeru karena itu, Yah, makanya ayah harus ronda!” iseriku mendesak.
”Bayar sajalah sepuluh ribu sebagai uang denda”, Kataku ringan.
Isteriku mungkin merasa tidak enak dengan sikapku. Ia khawatir, kalau-kalau orang-orang sekitar akan menilai negatif terhadapku, hanya karena aku tak memenuhi jadwal ronda malam itu. Apalagi kami termasuk warga baru.
”Aku atau ayah yang ke Pak RT?”
”Bunda sajalah. Aku malas”.
Karena rumah Pak RT letaknya hanya tiga rumah dari rumah kontrakanku, maka sebentar saja, isteriku sudah kembali.
”Hari ini boleh idak ronda. Tapi jadwal berikutnya harus ronda”, isteriku berpidato lagi.hhhh! ia tampa kesal.
**
Satu pekan berlalu. Tiba saatnya aku kembali mendapat jadwal ronda. Kali ini, aku benar-benar berada di luar kota. Sehingga, aku punya alasan untuk tidak ronda malam itu. Tepat malam jatah aku harus ronda, aku masih di Tangerang untuk urusan yayasan tempat aku bekerja. Terpaksa, hari itu isteriku harus kembali ke rumah Pak RT, untuk minta izin, sekaligus membayar uang denda 10 ribu rupiah.
”Ayah ndak ronda lagi malam kemarin. Ndak lemak kalau bayar terus. Sekali-sekali ronda, ndak rugi kan?.
”Iya..ya...malam berikutnya aku ronda. Malam kemarin kan aku masih di Tangerang, jadi ya ndak bisa ronda”. Argumentasiku sekali ini telak. Isteriku terdiam.
Sejak pergantian ketua Rt baru ini, di kampungku memang sedang digalakkan ronda malam. Katanya untuk meningkatkan keamanan masyarakat. Tapi menurut cerita banyak orang, hampir 25 tahun lebih, di kampungku tempat aku tinggal sekarang, tidak pernah terjadi pencurian. Padahal, potensi pencurian di kampungku sangat banyak peluangnya. Betapa tidak? Di beberapa ruas jalan, atau di lapangan sepak bola, hampir tiap malam ada puluhan sapi yang berkeliaran, atau berkumpul di sebuah kubangan untuk bercengkrama sebangsa mereka. Kalau berniat mencuri satu sapi saja, rasanya tidak terlalu sulit. Toh, sapi di kampungku dilepas begitu saja. Hanya beberapa warga saja yang bersedia mengadangkan di rumah. Itu pun setelah ada pemberlakuan Perda hewan ternak.
Tapi tingkat kesibukan buruh tambang seperti di kampungku, seakan sudah banyak menyita energi dan pikiran. Belum lagi di desak oleh jadwal kerja rutin perusahaan, dari siang, pagi sore dan malam. Sehingga tumpukan kelelahan ini, kemudian tak memberikan kesempatan warga setempat untuk melakukan sesuatu diluar profesionalitas mereka sebagai buruh tambang. Termasuk menuntut hak-hak buruh yang acap kali ditindas-pun juga enggan. Apalagi mencuri. Kalaupun harus mencuri, paling-paling sambil pulang membawa bongkahan batubara yang masih mentah, untuk bahan bakar di rumah. Tapi itupun tak bisa dikatakan mencuri. Sebab, Batubara yang dibawa ke rumah, rata-rata bukan Batubara kelas Antrasit, batubara kelasnya paling bagus kualitasnya. Yang mereka bawa Batubara ”sampah” yang sudah tidak layak produksi. Maka siapapun boleh mengambil untuk bahan bakar di rumah. Ini juga katanya kok!
Situasi aman seperti di kampungku, rasanya tidak perlu ada ronda malam. Tetapi baru satu tahun tinggal di rumah kontrakan, dalam sistem pemerintahan tingkat RT-ku secara tiba-tiba, terjadi restrukturisasi. Persis seperti reshuffle yang dilakuan pemerintahan SBY dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Tetapi, karena ini hanya pergantian pengurus RT, jadi tak banyak menimbulkan perdebatan di kalangan warga, apalagi di partai politik.
Minggu, 13 Mei 2007. Tiba saatnya aku dapat jatah ronda. Malam ini aku harus mencari alasan untuk tidak ronda lagi. Sebab, isteriku malam ini pasti akan kembali menyerangku. Tapi, apa mungkin aku beberkan sedetil-detilnya, kenapa selama ini aku menolak untuk ronda? Aku memutar otak beberapa kali, mencari argumentasi untuk menangkal serangan isteriku.
”Jangan lupo, malam ini ayah ada jadwal ronda”.
Tepat dugaanku. Isteriku menyerang lagi.
Aku diam. Acara televisi yang menyiarkan Indonesian Movie Awards 2007, sepertinya lebih menarik, ketimbang mendebatkan persoalan ronda malam.
“Yah, la jam berapo ini. Berangkatlah ronda!”.
Aku masih diam.
“Ndak lemak yah. Kito ni warga baru disini. Kalau di Palembang, mungkin idak apo. Wong masih ngerti dengan kesibukan ayah. Kalau disini ndak biso yah”.
Aku bangkit. Lembaran jadwal ronda dan surat dari Kabupaten yang ditembuskan ke Kelurahan kusodorkaan kepada isteriku.
Isteriku hanya menatap tajam.
”Tolong Bunda baco surat perintah ronda ini, dari awal sampai akhir”.
”Ngapo memang?”
”Baco dulu. Baru aku jelaske”.
Karena isteriku sudah baca sebelumnya. Sebentar saja langsung berkomentar.
”Ndak katek yang aneh. Isinyo cuma pemberitahuan dari kabupaten ke semua kelurahan dan RT untuk melakukan ronda malam”.
Aku merapat dengan isteriku.
”Cubo Bunda baco jelas-jelas, kemudian pahami kalimat surat ini”.
”Sehubungan dengan akan dilangsungkannya Pilkada di Kabupaten 2008, maka bersama ini kami memerintahkan kepada seluruh kecamatan, kelurahan sampai di tingkat desa dan RT, untuk melaksanakan ronda malam. Tujuannya untuk mengamankan dan menjaga stabillitas menjelang Pilkada....”.
”Bunda Paham?!”
”Yo!. Ronda ini dilakukan karena menjelang Pilkada 2008”.
”Betul. 100 untuk Bunda. Inilah yang menyebabkan aku enggan ikut ronda”.
”??????”, Isteriku mengernyitkan kening. Sorotnya matanya masih menyimpan seribu tanya, apa hubungan ronda malam dengan keenggananku ikut jadwal ronda.
”Bunda. Ini kan jelas. Ronda ini dilakukan bukan berdasar pada kesadaran kultural. Tetapi struktural. Bupati minta kepada rakyat. Bukan Rakyat minta kepada Bupati. Artinya, ronda ini hanya untuk mengamankan Pilkada. Kalau untuk mengamankan dan menyuseskan Pilkada, ya otomatis untuk menjaga pejabat agar aman dari amuk masa bagi yang tidak setuju dengan Kepala Daerah yang terpilih”.
”Jadi”?
”Ya, program ronda ini bukan untuk mengamankan masyarakat, tapi untuk pejabat yang terlibat langsung atau tidak dalam proses Pilkada nanti”.
”Jadi menurut Ayah, perintah ini salah?”
”Bukan salah. Tapi belum benar. Sebab, program apapun yang dikeluarkan pemerintah kabupaten dan dibawahnya, seharusnya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pejabat”.
”Tapi dalam Pilkada kan melibatkan rakyat secara langsung?!”
”Ya pada saat menjelang Pilkada seperti ini, rakyat dilibatkan. Setelah terpilih, apa rakyat ditoleh lagi? Kan tidak. Persis dengan para anggota dewan kita itu lho. Sebelumnya, waktu jadi ustadz, ayat kursi yang dibaco. Setelah jadi anggota dewan, kursinyo be yang dibawa, ayatnyo entah kemano”.
”Sekarang di kampung kita, masyarakat disuruh ronda malam. Katanya untuk mengantisipasi adanya provokator. Katanya, agar masyarakat tidak resah. Sebenarnya, yang resah itu bukan rakyat, tapi para pejabat yang punya kepentingan untuk memperbutkan kursi kepala daerah. Kalau rakyat, ayah pikir tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti ini”.
”Wah, masyarakat kita jadi komunitas yang apolitis dong!”
”Itu hak. Selama sikap dan mentalitas pengelola negeri ini lebih banyak meminta kepada rakyat, dan bukan memberi, maka rakyat akan tetap apolitis. Termasuk meminta rakyat untuk ronda malam, agar mereka bisa tidur nyenyak, sampai Pilkada tiba, ini juga membuat muak rakyat. Seharusnya pejabat yang ronda malam, agar rakyat bisa aman dari lapar. Aman dari jeratan tingginya harga beras dan tidur nyenyak...”.
”Alasan itu, yang membuat ayah menolak ronda malam?”
”Yap!”. Pendek saja aku menjawab.
”Kalau itu alasannya, berarti ayah tidak mungkin akan mengikuti jadwal ronda ini. Ngomong be malas, yah”.
”Bukan itu masalahnya, Bunda”.
”Jadi?!”
”Selama, perintah ronda ini hanya untuk mengamankan pejabat. Dengan mengucap bismilah, ayah 100 persen menolak. Sebab, yang perlu pengamanan, kesejukan, kesejahteraan itu rakyat, bukan pejabat. E, sekarang malah ngemis ke rakyat, minta pengamanan dengan ronda malam. Mestinya tunaikan dulu kewajibannya sebagai pejabat : melayani rakyat. Bukan malah sebaliknya, minta dilayani. Makanya, sebelum Bupati dan jajarannya merubah isi surat itu, ayah tetap tolak untuk ronda. Sebab ayah bukan anjing pejabat, yang siap menjaga siang dan malam tidurnya si tuan Polan”.
Isteriku agak kesal malam itu.
Acara Indonesian Movie Awards 2007 sudah usai. Caca juga sudah tidur 30 menit lalu. Kudekap isteriku erat. Hujan diluar masih mengguyur. Detak jantung isteriku jadi tidak teratur. Aku tahu bahasa itu. Kubisikkan ditelinganya ; Sekarang, lebih baik kita ronda berdua saja. Apalagi diluar hujan. (*)

Tanjung Enim, 13 Mei 2007

Tidak ada komentar: