Kamis, 15 Oktober 2009

TEOLOGI MATI LAMPU


Oleh Imron Supriyadi
Suatu ketika, di Er-Te saya sedang mendapat giliran mati lampu. Dan sebelumnya, PLN memang sudah memberitahu tentang giliran mati lampu ini, sekalipun, tidak jarang pemberitahuan itu melenceng dari jadwal. Nah, menurut jadwal giliran, seharusnya malam itu di Er-te saya tidak mendapat giliran mati lampu. Oleh karena meleset dari jadwal itulah, kemudian beberapa warga uring-uringan, marah-marah, kesal dan lain sebagainya.
Tetapi di sisi lain, saya juga melihat, beberapa warga keluar dari rumah, menuju warung membeli lilin, ada juga yang tandhang kerumah tetangga, dan berkumpul, sambil menunggu hidupnya lampu, sambil ngobrol dan bercengekarama.
Saya tidak tahu persis, anda masuk di bagian mana. Apakah anda masuk ke kelompok yang marah-marah dan kesal, atau masuk kelompok orang yang biasa saja menghadapi mati lampu.
Nah, kalau kita mau jujur, dari peristiwa mati lampu, sebenarnya ada nilai yang mungkin selama ini tidak pernah kita pikirkan, tetapi justeru muncul di saat mati lampu. Mungkin, selama ini kita selalu disibukkan oleh bermacam aktifitas kantor atau pekerjaan keseharian. Sehingga, sepulang dari kantor, anda tidak pernah melakukan tandhang atau silaturahmi ke para tetangga, karena sudah terlalu lelah dengan pekerjaan satu hari penuh. Demikian juga, oleh karena kita sering berbelanja di Supermarket, anda pun sangat jarang membeli lilin di warung tetangga, yang mungkin membutuhkan keuntungan dari tangan kita.
Inilah yang saya katakan, dari mati lampu, ada nilai yang mungkin selama ini kita lupakan. Sebab, dari mati lampu, dalam masing-masing warga tiba-tiba muncul semangat kebersamaan untuk berkumpul dengan tetangga, berbagi kesejahteraan dengan warung sebelah dengan membeli lilin, atau bahkan kita pun memiliki emosi yang serupa, yaitu kekesalan terhadap musuh yang sama yaitu : mati lampu.( baca; kegelapan). Kenapa di saat mati lampu kemudian kita berkumpul, mengerubungi lilin atau lampu minyak? Atau kenapa pula di saat mati lampu kita kemudian lebih memilih mencari teman ngobrol, ketimbang tidur-tiduran di dalam kamar sendirian? Apalagi alasannya, kalau bukan karena anda, saya dan kita tidak menginginkan adanya kegelapan.
Tetapi, semangat kebersamaan dan menyatu dalam satu gerakan emosi, dalam konteks mati lampu, tidak pernah kita petik, untuk tetap kita lestarikan dalam kedirian kita. Kita sering merasa, selama ini tidak menginginkan rumah kita gelap, tetapi kita sering berdiam diri di kamar masing-masing. Setelah kegelapan itu hadir di depan mata, kita baru tersadar, bahwa kita sedang berada dalam kegelapan.
Mati lampu, ternyata bukan sekedar mendorong kita untuk sebatas marah terhadap PLN, tetapi ada nilai yang mesti dikdepankan, semangat kebersamaan, untuk melawan kegelapan. Apakah kegelapan di rumah kita, kegelapan di dalam dada kita, di dalam hati nurani kita atau bahkan kegelapan dalam sistem bangsa dan ketatanegaraan kita. Mestikah kita membiarkan kegelapan, jika kita bisa membeli lilin dan mengumpulkan kayu bakar dalam satu “ikatan api” kebersamaan untuk melawan kegelapan?**

Palembang, 2002

Tidak ada komentar: