Kamis, 18 Agustus 2011

"Cerita Tiga Kata” Benny Arnas, Cerpen Koran Paling Mutakhir “Pada Sebuah Pagi” : Kajian Feminisme dalam Sastra Indonesia

Oleh Muhammad Azhari
Memahami cerpen “Pada Sebuah Pagi” karya Benny Arnas, bertema perempuan sebagai salah cerita pendek terpilih yang dimuat di Harian Pagi Sumatera Ekspres, Minggu 17 Juli 2011, menandai babak baru dalam penulisan prosa fiksi populer di media massa cetak di Indonesia yang sarat dengan atmosfer “tawar menawar” terhadap realitas ruang dan waktu. Fenomena yang tersirat di antara tiga kata seakan melengkapi dan memperkukuh eksperimen penulis terhadap kecenderungan paling mutakhir dalam penulisan cerita pendek menjadi cerita (sangat) pendek.


Dalam konteks cerita, temanya identik dengan dunia tawar-menawar. Tak jarang, “perempuan” kerap menawar barang—sekalipun mempunyai harta lebih—dan sudah mencapai harga minimal. Jika tidak menawar, perempuan akan dianggap melawan kodrat dan budaya menerima segala bentuk penindasan. “Ibu muda menawarnya. 2500 saja, katanya. Gadis kecil bertahan. Ibu muda menyeringai. Wajahnya beringsut masam. Aku minta setengah. Setengah porsi saja. Katanya tanpa menoleh. 1.750, ’kan, tegasnya. Gadis kecil diam. Ia malas berdebat. Ia tersenyum saja. Ia membuat pesanan.” (Arnas, Sumatera Ekspres, 17 Juli 2011) .

Benny Arnas, penulis buku Bulan Celurit Api, cerpenis yang tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan, mencoba mengangkat isu gender kembali ke dalam cerpennya. Di samping itu, teori-teori yang berkaitan dengan praktik penulisan perempuan yang digagas Helene Cixous terhadap tubuh perempuan melalui patriarki pun menjadi tema utama dalam feminisme. Menurut Woolf (dikutip Sofia, 2010:13), diartikan sebagai sebuah teori mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Terdapat delapan teori feminis (Arivia, 2003:152--154 dalam Sofia, 2010:13-14), yakni feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme liberal, feminisme psikoanalisis, feminisme eksistensialisme, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan global, serta feminisme ekofeminisme.

Sementara itu, Ratna (2004:184) mengemukakan bahwa feminisme lahir pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya A Room of One’s Own (1929). Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman) yang berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Secara lebih luas, feminisme adalah gerakan wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan. Secara lebih sempit, khususnya sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami, karya sastra, baik dalam kaitan-kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi pembaca.

Pada perkembangan selanjutnya, dekonstruksi pun diterapkan dalan kajian feminisme. Maka dari itu, berkembang pula istilah androcentric (berpusat pada laki-laki), phallocentric (berpusat pada [kelamin] laki-laki), androtext (teks yang ditulis lak-laki), gynotext (teks yang ditulis perempuan), dan gynocritic (kritik sastra feminis oleh kaum perempuan).

Berkenaan dengan teori feminisme, Helene Cixous menolak phallocentric dan menyatakan bahwaperempuan memiliki geografi kenikmatan seksual yang lebih banyak dan lebih luas dari laki-laki. Dalam teorinya, Cixous memusatkan kajian feminisme pada aspek oposisi biner dan praktik penulisan perempuan dengan tubuh. Oposisi biner yang dimaksud Cixous merupakan menunjukkan salah satu bagian yang dianggap penting, satunya lagi tidak. Pada novel ini yang menjadi oposisi biner itu adalah tokoh Ibu Muda (kikir) dan Gadis Kecil (dermawan).

Pada cerpen ini, sejak awal kita diperkenalkan dengan dua tokoh paling penting dan sangat berpengaruh dalam penceritaan, yaitu Ibu Muda dan Gadis Kecil. Keduanya dari kalangan berbeda. Ibu Muda adalah tokoh intelektual yang hidup berkecukupan, sedangkan Gadis Kecil hanya pedagang makanan di sebuah kedai kecil. Ibu Muda memesan makanan kepada Gadis Kecil untuk menjaga staminanya dalam sebuah penelitian. Gadis Kecil yang berupaya bertahan hidup, akhirnya membantu Ibu Muda. Ibu Muda menawar harga makanan yang dipesan sampai harga minimal. Setelah kenyang, Ibu Muda beralasan bahwa dirinya lupa membawa uang, namun Gadis Kecil mengikhlaskan makanan yang dilahap habis oleh Ibu Muda itu.

”Tidak apa, Bu. Gadis kecil tersenyum. Tidak usah panik. Tidak perlu bayar. Kata-katanya sangat halus. Namun terasa menusuk” (Arnas, Sumatera Ekspres, 17 Juli 2011).

Kalimat itu menggambarkan kemualiaan hati Gadis Kecil kepada orang yang sangat membutuhkan dan patut dikasihani, Ibu Muda. Sebelumnya, Gadis Kecil sudah ditekan oleh Ibu Muda dengan menawar makanan yang dijualnya.
Betapa takjubnya Ibu Muda mendengar pernyataan Gadis Kecil. ”Mungkin Ibu diutus-Nya (Tuhan). Saya bisa beramal. Saya sangat bersyukur. Ia ke belakang. Meninggalkan ibu muda.” (Arnas, Sumatera Ekspres, 17 Juli 2011).

Sepenggal cerita kemanusiaan yang tergambar dalam cerpen tersebut dipaparkan dengan bahasa yang singkat; hanya tiga kata. Itu menandakan bahwa pentingnya bersedekah karena hidup di dunia memang sangat singkat, seperti yang ditawarkan Benny Arnas dalam cerpennya. Dari gaya penulisannya, langkah-langkah Benny sejalan dengan teori menulis fiksi yang dikemukakan Asep Samboja (2007:31), di antaranya: (1) pemilihan tokoh yang menjadi tulang punggung cerita; (2) tokoh Ibu Muda yang semakin bermasalah, sehingga tokoh akan semakin unik dan cerita semakin menarik; (3) topik memperjuangkan sesuatu sehingga menjadi gereget; serta (4) inventarisasi topik menunjukkan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan orang lain, dengan masyarakat, dengan alam, dengan dirinya sendiri; serta orisinalitas ide ”cerita tiga kata” dikemukakan pertama kali oleh Benny Arnas.

Sejumlah sastrawan ternama seperti Umar Kayam, AA Navis, Kuntowijoyo, hingga Pramoedya Ananta Toer, dobrakan penting dalam sastra sangat ditunggu. Maman S. Mahayana pernah mengklaim bahwa Hari Minggu adalah hari cerpen Indonesia, di mana bangsa ini sangat menikmati temuan-temuan mutakhir dalam penulisan kreatif. Inilah mungkin masa-masa pencerahan akan lahirnya sastrawan muda yang diharapkan dapat membawa dan mengenalkan budaya bangsa pada dunia.

Sejarah sastra di Indonesia, setiap periode memiliki nama dan gaya penciptaan tersendiri, sebagai persetubuhan antara sastra daerah, sastra Indonesia, dan sastra dunia. Cerpen masih menjadi karya primadona yang mendapatkan tempat di hati pembaca. Dalam hal ini, Nurgiyantoro (1995:10) mengemukakan, cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.

Cerpen memiliki tempat khusus di koran-koran, khususnya di rubrik Citra Budaya Sumatera Ekspres. Sekian ratus cerpen lahir dari tangan para cerpenis setiap minggu, namun hanya seperbagian berhasil dimuat dalam rubrik koran. Kehadiran cerpen di sebuah koran merupakan bentuk fasilitasi yang menarik dari redaksi, dengan memformulasikan antara fakta (berita) dan fiksi (cerita). Menjelajahi koran, pembaca dimanjakan selalu bersinggungan dengan fakta berupa berita.. Kecenderungan cerpen di koran yang harus beriringan dengan peristiwa di dalamnya. Di tengah kondisi pers sebagai industri, kebebasan eksperimentatif dan eksploratif estetik cerpenis terus diasah untuk diselaraskan dengan space dan iklan, termasuk penyesuaian tema, peristiwa, maupun bahasa.**

Penulis adalah Editor, Penulis, dan Aktor Teater di Palembang



Daftar Pustaka

Arnas, Benny. Cerita Pendek ”Pada Sebuah Pagi; Cerita Tiga Kata”. Harian Pagi
Sumatera Ekspres, Minggu 17 Juli 2011.

Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tekni Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Samboja, Asep. 2007. Cara Mudah Menulis Fiksi. Jakarta: Bukupop.

Sofia, Adib. 2010. Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo.
Yogyakarta: Citra Pustaka.

3 komentar:

cafe mengatakan...

terima kasih reviewnya...novel ini memang bagus.
http://kafebuku.com/jatuh-dari-cinta/

Unknown mengatakan...

ada yg tahu gak?
Benny Arnas itu sumber penghasilannya dari menulis atau dia bekerja dan "menulis" hanyalah sbg penghasilan sampingan?

Unknown mengatakan...

ada yg tau gk?
Benny Arnas itu sumber penghasilannya murni dari "menulis" atau mwnulis hanya sbg pekerjaan sampingan?
misal: "dia karyawan swasta yg juga berprofesi sbg penulis atau sperti apa?