Opini


Paradigma Baru Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran
Oleh Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis dan Pelaku Seni)

Fenomena pengangguran dan kemiskinan seakan tak kunjung henti. Bukan saja di daerah, melainkan sudah menjadi persoalan nasional, yang berdasa warsa. Kemiskinan dan pengangguran, merupakan dua realitas yang keduanya muncul hampir selalu bersamaan. Tetapi, kemiskinan yang kemudian mengakibatkan pengangguran, atau pengangguran yang menimbulkan kemiskinan. Agak sulit menjawabnya, sebab keduanya sering muncul seperti pantun bersahut. Di satu pihak, keluarga menjadi miskin karena anggota keluarganya menganggur, dan di pihak lain, orang menganggur akibat lahir dari keluarga miskin dan tak mempunyai kesempatan mengeyam pendidikan yang layak.

Terlepas dari perdebatan itu, ada beberapa hal yang kemudian secara sadar atau tidak, telah menimbulkan pengangguran. Pertama, disebabkan proses Industrialisasi dan Modernisasi. Proses ini acap kali berakibat pada proyek penggusuran besar-besaran terhadap sebuah komunitas, baik yang berada di desa, atau juga di kota pinggiran. Akibat langsung yang muncul kemudian adalah, ribuan kepala keluarga harus kehilangan mata pencaharian di desa. Kenapa? Karena tanah mereka diserobot sebuah perusahaan besar, atau memang sengaja “dipaksa” harus dijual karena ada tekanan dari sebuah otoritas daerah. Lihat saja, bagaimana kasus pembebasan tanah di Jaka Baring Palembang, menjelang PON ke-16. Ratusan kepala keluarga yang sudah bertahun-tahun tinggal dan menetap di kawasan Jaka Baring, harus terusir akibat proyek besar PON ke-16 di Palembang. Bukan lagi aparat yang melakukan tekanan, melainkan para preman yang seolah sengaja “dibayar” untuk mengusir warga.

Realitas ini sebagai bukti nyata, bahwa industrialisasi dan modernisasi juga turut memberi andil dalam menciptakan kesenjangan sosial. Betapa tidak? Perluasan wilayah pembangunan fisik, sebut saja Pabrik Minyak, Tambang Batubara, Mall, Hyermarket, Hotel dan pusat-pusat pembelajaan besar lainnya, secara langsung atau tidak telah mencerabut “wilayah kerja” pedagang kecil (PK-5), yang sebelumnya dapat menghidupi masyarakat sekitar. Logikanya, dengan perkembangan zaman dan modernisasi, seharusnya masyarakat sekitar yang notabene pemilik wilayah taraf hidupnya makin meningkat, bukan malah sebaliknya. Tetapi apa yang terjadi kemudian, penduduk asli, justeru tergusur di pinggir-pinggir kota tanpa daya. Sementara, mercusuar di tengah kota terus menancapkan taring-taringnya untuk melakukan perluasan bisnisnya.

Kedua, proses Urbanisasi. Penyebab kemiskinan dan pengangguran yang kedua ini, sebenarnya sebagai akibat dari proses industrialisasi dan modernisasi. Karena mereka tidak dapat mengimbangi ketatnya persaingan dalam penguasaan teknologi di beberapa perusahaan, yang memperluas jaringan kerjanya di kawasan pedesaan, sebagian masyarakat kemudian “berlari” menuju ke ke kota-kota besar, dengan harapan mereka dapat hidup lebih layak. Tetapi toh apa yang kemudian terjadi, proses Urbanisasi dari desa ke kota ini justeru berbalik arah. Hidup kaum urban tidak semakin baik, melainkan persoalan sosial di kota-kota besar makin bertambah. Kenapa? Akan bagaimana nasib seseorang jika pergi ke kota tanpa dibekali dengan skill atau keahlian tertentu dan hanya dengan modal nekad?. Bagaimana akan mendapat hidup layak, jika untuk menghidupi dirinya sendiri beum mampu. Ini juga menjadi salah satu penyebab, kenapa jumlah pengangguran dan kemiskinan bertambah.

Situasi meningkatnya jumlah keluarga miskin dan pengangguran inilah, yang kemudian menggelitik beberapa pengamat untuk kemudian mengritisi program masa lalu, yang menurutnya harus direvisi ulang. Tentu tidak harus membuang, namun harus ada semacam evaluasi untuk menjawab, mengapa program pengentasan kemiskinan dan pengangguran sebelumnya ini tidak berjalan secara efektif.

Memang sebuah keprihatinan tersendiri ketika menyimak data Bank Dunia (Word Bank) tentang jumlah masyarakat miskin dan jumlah pengangguran di Indonesia, khususnya di Sumsel. Sebagaimana dilansir media, dua tahun lalu (2005) data Bank Dunia menyebutkan, jumlah orang miskin di negeri ini, sebanyak 110 juta jiwa. Sementara jumlah pengangguran mencapai 40 juta lebih. Di Sumsel tahun 2005 ada sekitar 1, 3 juta atau 21 persen penduduk miskin dan diperkirakan 2007 sudah bertambah 10 persen. Pengangguran pada 2006 mencapai 325. 000-an dan tahun 2007 diperkirakan akan meningkat 5 persen bahkan bisa lebih. Sementara jumlah pengangguran tidak kentara ; (disquesed unemployment), dan setengah pengangguran dan pengangguran bentuk lain, juga belum terdata secara akurat.

Menyimak realitas tersebut, sepertinya memang perlu melakukan evaluasi dan menyolusi terhadap upaya pengurangan jumlah keluarga miskin dan pengangguran ini. Antara lain ;

Merubah deal politik
Ada beberapa alternatif, yang mungkin dapat dilakukan oleh para pemegang kebijakan (Gubernur, Walikota dan Bupati), dalam mempercepat proses pengurangan jumlah keluarga miskin dan jumlah pengangguran.

Kemauan Politik (political will) dan kemauan untuk melakukan perubahan (political action) dari seorang Gubernur, Walikota dan Bupati sepertinya menjadi “kunci” pokok, bagaimana jumlah keluarga miskin dan jumlah pengangguran ini berkurang. Kenapa menjadi kunci? Sebab, diakui atau tidak pemegang kebijakan seperti Gubernur, Walikota dan Bupati, akan berhubungan langsung dengan para investor yang akan menanamkan modalnya di sebuah provinsi atau kabupaten dan kota. Sudah pasti, sebelum tanda tangan kontrak kerja, ada semacam perjanjian, yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU), akta, atau apapun bentuknya, atau sebut saja ada “deal politik” antara Gubernur, Walikota atau Bupati dengan investor. Deal politik bisnis yang selama ini terjadi antara investor dengan para kepala daerah adalah bagaimana investasi yang ditanam dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi, kota atau kabupaten plus rekening gubernur, walikota dan bupati. Logika bisnis memang seperti itu. Otoritas dan kewenangan, seorang Gubernur, Walikota dan Bupati wajib “dibayar” oleh investor sebagai “biaya kemudahan” masuknya investasi.
Tetapi jika kemudian melihat jumlah angka keluarga miskin dan pengangguran saat ini, rasanya tidak arif dan bijak jika para kepala daerah tetap saja akan memegang deal politik seperti itu. Sudah saatnya, jika para kepala daerah merubah deal politik-nya dengan investor, yang sebelumnya berdasar pada berapa persen penghasilan perusahaan dapat menambah PAD, namun ke depan juga pikirkan pula, berapa jumlah pengangguran di Sumsel dapat terserap menjadi tenaga kerja di Perusahaan yang akan dikembangkan tersebut. Bagaimana jika investor menolak menerima Sumber Daya Manusia (SDM) dari Sumsel? Disinilah komitmen seorang Kepala Daerah, seperti Gubernur, Walikota dan Bupati dipertaruhkan, akan berpihak kepada rakyat, atau kepada investor? Sering terjadi, alasan penolakan investor menerima SDM dari Sumsel, karena tingkat kuallitas SDM Sumsel dinilai belum standar. Alasan ini sama sekali tidak berdasar. Sebab, jika sebelumnya deal politik dengan inevstor sudah menyebut jumlah persentase tenaga kerja, maka jauh sebelum perusahaan itu berdiri, manajemen dapat melakukan training terhadap SDM asal Sumsel yang akan diberdayakan, dengan konsekuensi biaya training (cost) menjadi tanggungjawab kedua belah pihak.

Perguruan Tinggi bertanggungjawab
Persoalan lain yang menjadi “mesin cetak” pengangguran adalah Perguruan Tinggi. Bagaimana tidak? Dalam setiap tahun, berapa ratus sarjana diwisuda, tanpa mengetahui akan menjadi apa mereka setelah mendapat Ijazah. Dari kasus seperti inilah, sering muncul seloroh, STTB bukan Surat Tanda Tamat Belajar, tetapi menjadi Sudah Tamat Tambah Binggung, sama persis seperti nasib sarjana yang baru saja diwisuda kemudian binggung mencari kerja.

Kondisi kronis yang melanda para alumnus Perguruan Tinggi (PT) ini, bukan baru terjadi satu atau dua bulan terakhir, melainkan sudah menyejarah. Dari rezim Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono, kurikulum di PT memang tidak praktis aplikatif, atau tidak mendorong mahasiswa dan alumninya, dapat mencipta lapangan kerja, melainkan dididik untuk mencari lapangan kerja. Jika ini yang terjadi, maka jelas PT juga turut menyumbangkan jumlah pengangguran di negeri ini.

Oleh sebab itu, sepertinya PT juga wajib berpikir ulang, agar di masa mendatang, dapat menghasilkan alumnus-alumnus yang memiliki jiwa kewirausahaan (interpreuner), sehigga dalam praktiknya dapat menciptakan lapangan kerja, bukan malah sebaliknya, mencari pekerjaan, sembari menunggu penerimaan PNS.

Perlu Pendampingan
Selain Perguruan Tinggi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga turut bertanggungjawab terhadap meningkatnya jumlah keluarga miskin dan penangguran. Ditengah realitas seperti sekarang, perusahaan wajib ikut andil dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan pengurangan jumlah pengangguran. Secara kasat mata, sejumlah perusahaan sudah sering melakukan bermacam pelatihan, bahkan pinjaman modal. Tetapi dalam banyak kasus, beberapa program pengentasan kemiskinan dan pengurangan melalui pelatihan dan pinjaman modal yang dilakukan BUMN atau BUMD, ternyata belum secara signifikan dapat mengurangi jumlah keluarga miskin dan pengangguran.

Hampir di setiap perusahaan, mempunyai bagian Community Development (Comdev) yang bertugas “membagi-bagikan” dana hibah dan pinjaman kepada masyarakat yang sedang mengelola Usaha Kecil Menengah (UKM), atau bagi lembaga untuk melakukan Pelatihan. Logikanya, semakin banyak perusahaan mengeluarkan dana dari Comdev untuk bantuan usaha kecil, seharusnya jumlah pengangguran dan masyarakat miskin berkurang. Tapi yang terjadi bukan berkurang (terminimalisasi) malah sebaliknya, yang diberi modal bergulir tidak bisa mengembalikan (kredit macet), sementara jumlah proposal pengajuan bantuan terus bertambah. Kenapa ini terjadi? Karena pinjaman modal dan pembinaan hanya sebatas formalitas, dan bukan bermula dari tanggungjawab moral, terhadap bagaimana mengurangi jumlah keluarga miskin dan jumlah pengangguran.

Terbukti, pembinaan pelatihan sebatas pemberian materi keterampilan, dan belum sampai pada training menejemen marketing dan penguatan jaringan pemasaran secara global. Sering muncul analogi ; berilah kailnya, jangan umpannya. Tetapi ketika dihadapkan dengan realitas seperti sekarang, analogi ini kemudian tidak relevan. Sebab, bagaimana seseorang akan memancing, jika ternyata lahan untuk memancing-pun sudah disulap menjadi Mall? Atau seperti kasus di Ogan Komering Ilir (OKI) tahun 1999. Seseorang harus masuk ke dalam sel, hanya lantaran di-kriminalisasikan akibat memancing di sekitar rumahnya. Ada pertanyaan yang kemudian timbul. Memancing di sekitar rumah kenapa harus dianggap mencuri? Karena kawasan air di OKI (Lebak Lebung) ketika itu sudah dikuasai oleh pengemin (cukong) yang kemudian dilegitimasi dengan Peraturan Daerah. Maka yang mesti dilakukan sekarang adalah; Berilah kail plus umpan dan lahannya, sehingga pengangguran dan kemiskinan dapat diminimalisasi.

Kelemahan lain yang menjadi catatan adalah, bermacam bentuk pelatihan dan guliran modal oleh beberaa perusahaan adalah, tidak diimbangi dengan penguatan ideologi pada setiap keluarga miskin atau kepada pengusaha kecil dan menengah. Lemahnya ideologi interpreuner yang tidak pernah disentuh dalam pelatihan, sering berakibat pada patahnya semangat, ketika usahanya macet atau terbentur dengan persoalan pemasaran. Lebih ironis lagi, akibat tidak terdidik secara ideologi dan mental dalam bidang usaha, akhirnya pinjaman lunak dari perusahaan yang seharusnya digunakan sebagai tambahan modal usaha, justeru disalahgunakan. Misalnya, untuk membeli keperluan lain, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan bidang usaha yang sedang ditekuni. Seperti contoh kasus, seorang Bapak, karena sayang anak, sebelum sampai di rumah—setelah sebelumnya mendapat pinjaman, mampir dulu ke pasar, kemudian modal pijaman itu dipotong sebagian untuk membeli sepeda anaknya. Masih tersisa memang, tetapi mentalitas seperti ini, bila terbiar begitu saja, sudah tentu program pengentasan kemiskinan dan pengurangan jumlah angka pengangguran hanya akan sebatas angan, tanpa membuahkan hasil yang maksimal. Sebaiknya, membeli sepeda dapat dilakukan, setelah usahanya mendapat untung. Namun begitulah sebagain mentalitas masyarakat kita. Untuk menunda keinginan saja masih sangat lemah, sehingga tujuan jangka panjang yang seharusnya dapat menjadi tujuan malah terabaikan.
Akibatnya, jika ternyata dalam tahab pertama ini gagal mengembalikan modal, maka sudah pasti kepercayaan Perusahaan sudah berkurang, dan imbasnya, yang bersangkutan tidak akan mendapat bantuan yang keduakalinya.

Strukturisasi perusahaan
Upaya sebuah perusahaan dalam melakukan pendampingan, juga sering terbentur dengan restrukrisasi perusahaan. Acap kali terjadi, berganti pemegang pejabat, maka berubah pula kebijakan. Demikian juga, program sebelumnya harus dimulai dari awal, sesuai dengan keinginan dan selera pemegang otoritas. Persis seperti dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tahun 80-an kita kenal dengan sistem Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Belum selesai CBSA, kemudian ganti menteri. Dengan sendirinya berganti lagi kebijakan. Sekarang muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Beum tuntas KBK, sudah berganti ke KTSP. Dan besok apalagi...?

Mengantisipasi kemungkinan buruk seperti itu, tidak salah jika kedepan, ada upaya pendampingan terhadap keluarga miskin dan peserta training dapat dilakukan secara intensif, sekalipun terjadi pergantian pejabat. Dengan demiian, para peminjam modal selain dapat pembinaan secara terus menerus, mereka bukan saja mendapat keterampilan atau pinjaman modal saja, melainkan juga mendapat pendampingan menejemen, sampai mereka dapat berdikari. Fungsinya, untuk melakukan kontrol out put program tersebut, sehingga yang bersangkutan tidak terkontaminasi oleh “iklim materialisme” yang menyesatkan. (*)

Tanjung Enim, 2008
BIODATA PENULIS *)

Imron Supriyadi. Lahir di Borobudur Magelang Jawa Tengah. Putra tunggal dari Abdul Salam (alm) dan Alfasanah. Alumnus Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang tahun 1998. Aktif menulis sejak 1993 di kampus. Tulisannya, pernah dimuat di media terbitan Palembang dan Jakarta. Pernah menjadi wartawan Harian Pagi Sumatera Espres, Reporter Radio Smart FM Palembang, Kontributor Kantor Berita Radio 68H Jakarta untuk wilayah Palembang, wartawan Majalah Politik “Sindang Merdeka” Palembang dan Manajer Pemberitaan Radio Gema Bukit Asam (RGBA) FM Tanjung Enim. Bergabung di Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Biro Kota Palembang. Buku yang sudah terbit, Kumpulan Cerita Pendek “Sedang Tuhan pun Bisa Mati” (2003) diterbitkan oleh Tenggala Press Tangerang. Saat ini, mengelola Majalah Prestasi Gemilang Palembang, sambil tetap menulis apa saja yang bermanfaat. Sekarang tinggal bersama isteri (Pustrini Hayati, S. Pd.I) dan dua orang anak (Annisatun Nurul Alam & Muhammad Kahfi El Hakim) di Jalan Swadaya Lorong Sukadarma II No. 47.A Palembang. Email : imronsumsel@gmail.com


JURNALISTIK WAJIB MASUK DALAM KURIKULUM
Oleh Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis di Tanjung Enim Sumsel)

Tiga bulan menjelang pergantian tahun, (Oktober–Desember 2006), di Berita Pagi, muncul wacana yang disampaikan beberapa tokoh, tentang beberapa materi, yang diusulkan untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sekolah. Misalnya, materi kesehatan reproduksi (kespro), pendidikan anti korupsi sampai pentingnya keseimbangan pendidikan agama dan teknologi di setiap pesantren juga menjadi tema yang sedang hangat diperbincangkan.

Mengiringi usulan beberapa pihak tersebut, sepertinya materi ke-jurnalistik-kan (kewartawanan) atau yang lebih dikenal dengan persuratkabaran (Pers), menjadi suatu keharusan, jika kemudian juga diusulkan menjadi salah satu materi yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Tentu, usulan ini bukan sebuah kelatahan, atau sekedar ikut-ikutan dengan para pengusul sebelumnya. Namun berdasar pada upaya membangun dan pengembangan kecerdasan siswa di masa mendatang.

Mengarang sebagai embrio
Mata pelajaran Jurnalistik, secara tidak langsung sebenarnya sudah diterapkan pada era 80-an, melalui mengarang. Mengarang dapat dikategorikan dalam karya jurnalistik Human Interest atau Feature Traveling, (catatan perjalanan) jika secara kebetulan, seorang murid menulis tentang “Liburan di rumah nenek”, dengan mengungkap fakta-fakta yang ditemui di rumah nenek. Tetapi saat itu, mengarang tidak menjadi mata pelajaran khusus, namun tergabung dalam pelajaran bahasa dan sastra (Bahasa Indonesia). Memasuki tahun 2000-an atau bahkan jauh sebelum itu (pasca 80-an), mengarang secara perlahan mulai ditinggalkan. Akibatnya, mengarang terjebak dalam like and dislike (suka dan tidak suka). Ada kecenderungan, mengarang akan sangat bergantung siapa guru yang mengajar Bahasa Indonesia. Jika sang guru “tertarik” dengan dunia mengarang, maka salah satu soal essay-nya adalah mengarang. Demikian pula sebaliknya.

Dalam konteks ke-kinian, mata pelajaran Jurnalistik ini hanya akan diperoleh bagi mahasiswa Akademi Komunikasi, atau yang secara kebetulan mengambil program Jurnalistik. Di IAIN Raden Fatah Palembang, akan ditemui di Fakultas Dakwah jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Bagi Fakultas Ushuluddin, mata kuliah Jurnalistik hanya menjadi mata kuliah wajib pilihan, bukan mata kuliah wajib. Demikian juga di Fakultas Tarbiyah.

Akibat pemberian mata kuliah Jurnalistik yang terkesan “sepintas” ini, mengakibatkan “pengendapan intelektual” yang berdasa warsa, tanpa tersosialisasi melalui karya jurnalistik. Ironisnya, muatan intelektual seorang sarjana sangat banyak tidak dapat tersebar luas, hanya lantaran sang sarjana tidak bisa menuliskan isi otaknya ke dalam lembaran kertas. Kenapa ini terjadi? Karena mereka tidak serius belajar jurnalistik.

Berdasar pada realitas diatas, di tengah kompetisi global seperti sekarang, embrio jurnalistik yang jauh sebelumnya sudah lahir dan diterapkan melalui “mengarang”, dapat dikembangkan kembali dengan memasukan mata pelajaran Jurnalistik dalam kurikulum sekolah. Tentu pada praktiknya nanti, disesuaikan dengan jenjang pendidikannya masing-masing.

Jurnalis orang “istimewa” ?
Jurnalistik, memang bukan mata pelajaran atau mata kuliah yang istimewa. Tetapi, tidak jarang dengan kemampuannya melakukan aktifitas jurnalistik, orang kemudian menjadi “istimewa” di depan publik. Sebab, memiliki ke-ahlian jurnalistik (menulis-red) baik menulis opini, essay, kolom, cerpen, novel dan sejenisnya, setiap orang akan dapat menembus lintas batas, yang belum tentu semua orang dapat menembusnya. Dengan kata lain, siap menjalankan naluri jurnalistik, berari siap berkawan dengan siapa saja, sejak kelas gembel sampai tingkat presiden sekalipun.

Dalam tulisan ini, paling tidak ada beberapa alasan, kenapa jurnalistik “wajib” masuk dalam kurikulum sekolah. Antara lain, Pertama, Mendorong pengembangan daya imajinasi dan intuisi siswa. Daya hayal dan naluri batin merupakan salah satu modal penting dalam proses pencerdasan murid, baik dalam konteks akademis atau non akademis. Ada kecenderungan, siswa yang memiliki daya hayal dan intuisi yang “lebih”, biasanya mempunyai “pengetahuan lain” diluar mata pelajaran di sekolah. Sehingga, secara sosial siswa yang demikian, lebih punya peluang untuk “menggauli” semua kalangan, ketimbang siswa yang hanya menjadi ”anak kampus tulen”. Keingintahuannya terhadap sesuatu biasanya diatas rata-rata, dibanding dengan siswa lainnya. Kuatnya keingintahuan inilah yang kemudian mendorong siswa tersebut untuk terus mencari dan menggali segala sesuatu yang mungkin diluar pelajaran sekolah.

Kedua, Jurnalistik dapat menubuhkembangkan daya kritis dan kepekaan sosial. Secara teori, memang tidak ada bab khusus yang membahas tentang daya kritis dalam konteks kejurnalistikan. Tetapi, biasanya seseorang yang sudah “nyandu” dengan aktifitas jurnalistik (kewartawanan), mempunyai kepekaan dan daya kritis yang lebih dari yang lain. Sehingga tidak jarang, jika di beberapa sekolah, siswa yang mengelola majalah dinding (mading) lebih “pintar” dari yang sama sekali tidak bersentuhan dengan organisasi. Kenapa? Karena ada tuntutan mencari informasi yang terbaru, sehingga tidak akan selalu puas dengan apa yang telah diperoleh hari itu.

Ekses lain yang bakal muncul adalah, jika ada kebijakan sekolah yang tidak populis, seperti kenaikan SPP yang tidak rasional, mereka (siswa pengelola mading) tidak akan segan-segan menulis atau membuat karikatur sebagai sindiran kepada pihak sekolah. Satu hal ini, yang sepertinya akan sulit diterima pihak sekolah. Sebab, tradisi di negeri ini, guru selalu benar, dan murid selalu salah. Namun sebagai bentuk pendidikan moralitas demokrasi di setiap sekolah, logika seperti itu seharusnya sudah dibuang ke tong sampah, untuk kemudian membudayakan tradisi kritik antara murid dan guru.

Ketiga, Menumbuhkembangkan kejujuran. Naluri jurnalistik diakui atau tidak dapat mendorong terbentuknya “kata hati” yang jernih. Atau kalau meminjam istilah Aa Gym manajemen qolbu. Siswa yang telah “menggeluti” dunia jurnalistik, acapkali “tampil beda” di tengah kawan sebayanya. Bukan karena ingin dipuji, tetapi itulah gerak hati yang tengah diikutinya. Termasuk, jika suatu ketika terjadi aksi protes di sekolah. Sama sekali bukan karena dibayar oleh guru atu pihak lain, namun berdasar pada fakta, adanya kebijakan yang salah di sekolah tersebut. Minimal, jika tidak ada pembelaan secara kolektif, siswa tersebut akan menuliskan tentang realitas yang dilihat dan dirasakannya. Baik melalui puisi, koolom atau tulisan apa saja, sebagai bentuk protes terhadap keadaan yang menurutnya tidak tepat.

Keempat, Mendorong siswa untuk membaca. Membaca akan bertambah wawasan. Ini hukum sebab akibat. Karena membaca orang akan bertambah wawasan. Tidak membaca, orang akan berkuranbg wawasannya. Begitulah jurnalistik. Keinginan kuat untuk melakukan aktifitas jurnalistik (menulis-red), mau tidak mau seorang siswa akan terdorong untuk membaca. Kenapa? Karena ia harus menulis dengan data yang benar dan mengolah sumber informasi lainnya. Dengan sendirinya, selama proses kejurnalistikan dilakukan, maka sepanjang itu siswa tersebut akan terus membaca dan bertambah wawasannya. Seorang guru mana yang tidak ingin siswanya mempunyai kecerdasan “lebih” dari siswa sekolah lainnya?

Meringankan beban orang tua
Kelima, Pasive incame. Jika kegiatan jurnalistik sudah menjadi kebiasaan, atau bahkan menjadi kebutuhan, maka ada konsekuensi logis dari keseriusan itu. Apalagi kalau bukan perolehan materi (pasive incame) dalam usia muda. Apakah bisa begitu ? Kenapa tidak? Saat ini, tidak asing lagi jika dibeberapa televisi, radio dan koran memberitakan tentang munculnya cerpenis dan novelis cilik. Dalam usia 9 tahun, sudah mempunyai 5 novel yang tersebar di toko-toko buku di Indonesia. Bisa dipastikan, setiap buku yang terjual si penulis akan mendapat royalty (keuntungan uang) dari setiap penjualan. Apakah itu bukan pasive incame, yang akan meringankan beban orang tua untuk biaya hidup selanjutnya? Jika aktifitas jurnalistiknya dalam usia muda sudah “menghasilkan”, soal uang kuliah tentu bukan masalah lagi. Tinggal saja, para guru dan orang tua memberi semnagat, agar komitmennya melakukan kegiatan jurnalistiknya tidak terhenti di tengah jalan.

Keenam, Prestise sekolah. Seorang guru, atau bahkan sekolah dengan sendirinya akan mendapat acungan jempol dari berbagai pihak, jika salah satu siswanya menjadi seorang novelis, kolumnis atau menjadi penulis yang andal. Minimal, secara politis, nama baik Kepala Sekolah, guru dan jajaran sekolah akan meningkat di kalangan publik. Jika ini terjadi, sekolah dan pengelolanya, tinggal menangguk “keuntungan” nama baik tersebut. Sudah pasti nama sekolah akan mendapat prestise yang “lebih” di mata wali murid.

Ketujuh, kebebasan berekspresi. Dalam teori psikologi, usia muda paling tidak suka dikekang. Psikolog. Prof. Dr. Hj. Zakiah Derajat menyebutkan, usia muda adalah masa pancaroba. Masa pencarian jati diri. Sehingga para pendidiklah (orang tua dan guru), yang wajib memberi arahan, bukan kekang-an. Dengan masuknya jurnalistik dalam kurikulum, akan sangat sesuai dengan perkembangan psikologi remaja, yaitu masa pertumbuhan dalam berekspresi. Minimal, dengan munculnya mata pelajaran jurnalistik di sekolah, akan memberi ruang bagi siswa untuk berkreasi secara bebas, dan menembus “dunia lain” di dalam atau diluar sekolah, sesuai daya imajinasi dan intuisi siswa tersebut.

Kendala
Pada praktiknya, usulan ini memang akan mendapat tangapan pro dan kontra. Itu soal biasa. Sebab, tidak akan semua pihak setuju, tetapi tidak juga semua pihak tidak setuju.Yang setuju juga masih terbagi, setuju ikut arus yang menguntungkan dan setuju siap bekerja keras. Atau yang tidak setuju, karena sama sekali tidak mengerti, atau tidak ingin direpotkan oleh kurikulum baru. Kelompok ini biasanya memakai logika “ada kurikulum baru atau tidak, yang penting setiap bulan gajian. Titik”.

Kendala lain adalah, belum adanya rujukan dari pusat. Dalam sistem birokrasi di Indonesia, dalam konteks Ke-pendidikan memang ada hierarki yang “wajib” diikuti. Namun mengandalkan segala sesuatu dari pusat Jakarta, tentu ini pendapat yang musti diluruskan. Sebab, Jakarta bukan satu-satunya rujukan yang terbaik. Justeru sebaliknya, di daerah inilah masih ada nilai-nilai kearifan yang mesti ditumbuhkembangkan, untuk kemudian diusulkan sebagai rujukan ke tingkat pusat. Apa salah, jika Dinas Pendidikan Nasional Sumatera Selatan mengusulkan mata pelajaran jurnalistik dimasukkan dalam kurikulum? Tidak mustahil. Semua sangat mungkin. Jika masih juga gagal, toh masing-masing sekolah mempunyai otoritas untuk memasukkan mata pelajaran jurnalistik menjadi muatan lokal. Masalahnya kemudian, bukan pada rumitnya birokrasi itu, melainkan dari kita; mau atau tidak?

Tanggungjawab bersama
Gagasan perlunya mata pelajaran Jurnalistik masuk dalam kurikulum, menjadi tanggungjawab semua pihak. Wartawan sebagai pendorong melalui media, kepala Dinas Pendidikan Nasional dengan otoritasnya, guru dan kepala sekolah melalui komitmennya, walimurid mengalang massa, untuk kemudian mendorong terwujudnya mata pelajaran jurnalistik sebagai bagian dari kurikulum di sekolah.

Sebagai persiapan, semua pihak yang memiliki kompetensi dan komitmen dalam bidang jurnalistik berkumpul, untuk kemudian menyusun kurikulum, sesuai dengan jenjang pendidikannya masing-masing. Pada pertemuan inilah, sistem pengajaran dan sylabus mata pelajaran jurnalistik digali, dibahas, diperdebatkan, dikembangkan dan diterapkan dalam kurikulum sekolah.

Tindak lanjut
Memasukkan jurnalistik dalam kurikulm sekolah, tentu bukan jaminan, siswa akan kemudian menjadi penulis andal. Semua membutuhkan proses. Semua perlu waktu. Dan untuk semua itu membutuhkan komitmen dari para pendidik dan dari siswa itu sendiri. Sebab, salah satu diantaranya putus di tengah jalan, maka jurnalistik ini hanya akan menjadi “cerita sejarah”, sebagaimana yang menggejala di beberapa perguruan tinggi. Mereka pernah mengambil mata kuliah Jurnalistik, tetapi mereka tidak bisa mendapat tambahan royalty dari aktifitas jurnalistiknya.

Mengantisipasi kemungkinan buruk sebagaimana yang terjadi di beberapa perguruan tinggi, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh sekolah, atau Yayasan yang menaungi institusi pendidikan, agar siswa mempunyai komitmen untuk tetap melakukan kegiatan jurnalistiknya.

Tahun 2007 Balai Bahasa Palembang, menggagas program “Bengkel Sastra”. Program ini, menjaring bakat dan minat beberapa sekolah, untuk kemudian dibina oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidangnya masing-masing. Ada kelompok Cerpen, Teater, Puisi, Musikalisasi Puisi dll. Ini hanya contoh kecil saja. Tetapi paling tidak, gagasan itu dapat diadopsi, dan diterapkan dalam konteks ke-jurnalistikkan di sekolah.

Praktiknya nanti, sesuai dengan sifat ilmu jurnalistik yang praktis aplikatif, (jika tidak dipraktikkan akan hilang), maka pembentukan kelompok pertemuan mingguan melalui kegiatan ektrakurikuler menjadi penting artinya. Dari pertemuan-pertemuan inilah, untuk komitmen masing-masing siswa akan terjaga, sehingga semangat menulis secara perlahan akan terbangun dengan sendirinya. Jika metode ini dapat berjalan secara rutin, dalam rentang waktu 3 – 6 bulan, akan muncul penulis-penulis muda berbakat, yang kelak bukunya siap diterbitkan oleh sekolah dan dijual di setiap toko buku di Indonesia. Semoga, jurnalistik menjadi ‘napas’ dalam kehidupan setiap siswa, sehingga jurnalistik akan menjadi “urat nadi intelektual” di setiap sekolah. Insya Allah.(*)

Tanjung Enim, 3 Januari 2007


REVOLUSI MASJID, SEBUAH KEHARUSAN
Oleh Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis dan aktifis Masjid di Tanjung Enim Sumsel)

Masjid secara bahasa berasal dari kata ”sajada–yasjudu-sajdan-wamasjadan fahuwa saajidun-wadzaka masjudun-usjud-la tasjud-masjidun-misjadun”. Masjid secara umum dipahami tempat bersujud atau tempat orang disujudkan. Dalam terminologi Islam, masjid berarti sebuah bangunan yang berdiri di sebuah tempat, dengan dilengkapi kubbah, dan diatasnya ada tulisan ”Allah”. Dalam catatan sejarah, masjid pada zaman Rasul awal pembuatan masjid hanya dimulai dengan tali pembatas, sehingga orang tak bisa sembarangan melewati tali batas yang sudah dibentanagkan tersebut. Dalam rentang waktu ratusan tahun setelah berdirinya Masjid Nabawi, bangunan masjid kemudian mengalami perkembangan, dengan bermacam bentuk dan desain, tanpa mengurangi standar masjid secara umum. Pada zaman Rasul, masjid bukan saja hanya sebagai tempat untuk melakukan ibadah ritual saja, melainkan masjid juga berfungsi untuk kegiatan sosial lainnya. Bahkan, sebuah diskusi politik, seperti mengatur strategi perang dan pemilihan seorang Khalifah (Presiden sekarang), juga dilakukan di dalam masjid.
Tetapi fungsi masjid ini kemudian mengalami pergeseran. Dimulai dengan sistem dikhotomi (pemilahan) antara ulama dan umara oleh pemerintah Kolonial Belanda, secara perlahan fungsi masjid kemudian hanya menjadi tempat ibuadah ritual, atau untuk acara-acara ke-agamaan. Ketika itu, pemerintahan Belanda yang berkuasa selama 350 tahun menjajah Indonesia, melakukan klasifikasi kelompok masyarakat. Sampai akhirnya kelompok ilmuan dan santri (tokoh agama) pun harus beda wilayah, baik ruang pertemuan atau dalam pengelolaan sebuah negara. Belanda juga membuat sebuah dikhotomi terhadap sistem pendidikan, antara sekolah umum dan sekolah agama (pesantren dan madrasah).

Hingga akhirnya, tanpa disadari oleh bangsa kita, kedua kelomppok pemegang disiplin ilmu ini (Ilmuan dan kaum Santri) lambat laun terpisah dengan sendirinya. Para ilmuan bisa bersama-sama dengan kelompok Belanda, sementara kaum santri di dalam masjid atau di madrasah. Dari sistem inilah, akibatnya sampai berdasa warsa. Bukan hanya pada akhir penjajahan Belanda saja, melainkan sampai saat ini pun, dua kelompok (ilmuan dan santri) sangat jarang, bahkan hampir dapat dikatakan tidak pernah akan bertemu dalam satu forum khusus, sekalipun membicarakan persoalan bangsa.
Fenomena ini kemudian membentuk pola pikir yang dikhotomis terhadap fungsi masjid, antara kegiatan ritual dan kegiatan sosial. Secara umum, masjid yang tersebar di Indonesia ini lebih cenderung menjadi tempat kegiatan ritual (hablummianllah) ketimbang untuk melakukan ibadah sosial (hablumminannaas), sebagaimana ketika zaman nabi dan rasul. Apa yang terjadi kemudian? Masjid tak lebih hanya menjadi sebuah bangunan dan tempat yang sakral, yang didalamnya harus dihuni oleh orang-orang yang ”suci”. Bagi kalangan preman, bajingan tengik seakan tak mempunyai hak masuk dalam masjid. Jika ada salah satu diantara preman yang mendekati masjid, maka pengurus masjid (datuk) penunggu masjid akan segera mengusirnya.
Sikap ”anti preman” bagi setiap masjid ini, sebagai akibat dari sebagian kita yang memandang masjid hanya dengan ”kacamata Kuda”. Fungsi masjid hanya dilihat dari pandangan yang lurus, satu arah tanpa melihat fungsi lain dari masjid itu sendiri. Padahal, sebagaimana yang tertulis sebelumnya, pada zaman Rasul, masjid bukan hanya menjadi tempat shalat, adzan dan iqomah semata, melainkan juga untuk diskusi politik, menyusun strategi perang untuk kemenangan sebuah bangsa.
Di tengah situasi bangsa ini sedang dirundung banyak masalah, sudah seharusnya jika para pengelola masjid sudah memulai melakukan sebuah gerakan perubahan pemikiran, yang saya bahasan dengan ”revolusi masjid”. Bukan revolusi yang selalu di-identikkan dengan anarkis, melainkan revolusi pemikiran secara besar-besaran pada setiap kelompok, aktifis, dan pengelola masjid diamanapun juga. Tujuannya, agar fungsi masjid tidak hanya dipandang dengan ”Kacamata Kuda”, yang melahirkan pemamahan parsial dan terpenggal-penggal terhadap fungsi masjid.
Gagasan seperti ini, bukan bermaksud menafikkan kegiatan ritual ke-agamaan yang saat ini terus berlangsung di setiap masjid. Namun ini sebuah tawaran, agar bagaimana fungsi masjid dapat menjadi sebuah ruang yang bukan hanya untuk kelompok-kelompok tertentu yang cenderung melakukan ”onani spriritual”, tetapi juga dapat berfungsi sosial-transedental. Dengan begitu, masjid bukan hanya sekedar untuk yasinan mingguan, shalat lima waktu, tarawihan dalam bulan ramadhan, tetapi lebih dari itu, masjid juga dapat berfungsi bagaimana semua layanan masyarakat dapat dilakukan di dalam masjid, atau minimal dilingkungan masjid.
Sepertinya memang sudah menjadi keharusan jika kemudian masjid harus menjadi tempat orang berkumpul dalam urusan politik, bisnis, sosial dan kebudayaan. Para ulama, santri , para ilmuan dan seniman, budayawan, sudah saatnya bisa memulai berdiskusi dalam sebuah forum yang sama di dalam masjid untuk membicarakan persoalan bangsa. Dengan upaya ini, minimal akan mengikis terhadap penilaian sebgai kalangan terhadap dikhotomi fungsi masjid. Selain itu, akan meningkatkan pemahaman yang selama ini terpenggal, menjadi utuh dan komprehensif terhadap definisi ibadah, yang sering kali dipadankan dengan ibadah mahdloh. (ibadah khusus) saja. Sementara yang selama ini terjadi, diskusi membahas tentang problematika bangsa ini, kemudian diklaim bukan bernilai ibadah. Kok parsial banget?
Dalam kenyataan seperti sekarang, masjid sudah seharusnya di-desain sedemikian rupa, agar masjid bukan hanya berfungsi untuk ibadah ritual tetapi juga dapat berfungsi sosial. Secara ideal, masjid juga harus menjadi ”ajang” bagi setiap ummat untuk mendapat layanan kesehatan gratis, layanan konsultasi (hukum, agama, rumah tangga, psikologi dll), layanan pemadam kebakaran, layanan ambulance, layanan pendidikan, layanan pendampingan korban tindak kekerasan, layanan pengaduan terhadap pelanggaran HAM, dan layanan bisnis yang syar’i dan manusiawi. Dalam bidang bisnis, masjid juga harus berfungsi sebagai lembaga yang bisa menggairahkan sikap enterpreunership di kalangan remaja masjid, melalui pembentukan koperasi remaja masjid--sekaligus mencarikan jalan keluarnya, bagaimana mem-back-up modal dan pendampingan sampai bisa mandiri. Titik tuju selanjutnya, masjid juga menyediakan ruang atau los-los bisnis bagi masyarakat, yang sebelumnya telah mendapat pelatihan ke-wirausahaan yang dilaksanakan oleh para pengelola masjid.
Tuntutan fungsi masjid seperti ini bukan tidak beralasan. Pertama, untuk memutus panjangnya tali birokrasi dalam sistem di negeri ini. Kedua, tingginya berbagai biaya pendidikan, kesehatan, konsultasi dan lainnya, juga sering menimbulkan keluh kesah masyarakat. Persoalannya bukan karena tidak mampu berobat atau konsultasi, melainkan keterbatasan biaya yang mereka miliki. Sehingga sebagian ummat lebih memilih menahan diri untuk ”tidak”, daripada harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Dalam konteks bisnis, masjid juga dapat memberi peluang bagi para pedagang kakilima untuk mendapatkan ruang yang kondusif, murah dan terjangkau. Ini untuk membantu pedagang kakilima, yang selama ini banyak terbebani oleh tingginya biaya los di Super market, Mall, atau di rumah toko sekalipun.
Menciptakan suasana bisnis dan layanan sosial di lingkungan masjid, paling tidak dapat menciptakan syi’ar Islam yang lebih dinamis. Dengan berkumpulnya ummat di lingkungan masjid, secara langsung atau tidak dapat mengkondisikan mentalitas umat untuk senantiasa dekat dengan masjid, baik secara fisik atau non-fisik. Dengan upaya melakukan revolusi masjid seperti ini, yang datang ke masjid bukan hanya kalangan muslim saja, melainkan non-muslim juga akan berbondong-bondong ke masjid, walaupun hanya sekedar untuk mendapat layanan sosial. Pemikiran seperti ini, sekaligus untuk ”membumikan”—(meminjam istilah Quraisy Syihab), konsep ”Islam rahmatan lil ’alamiin” (Islam hadir dapat menciptakan rahmat bagi lingkungan alam seitarnya), yang sudah pasti lintas agama, umur, suku dan antar golongan. Diharapkan, dengan menejemen revolusi ini, masjid akan menjadi ajang berkumpulnya seluruh ummat, untuk kemudian”rahmat cahaya” masjid itu akan menghunjam ke hati nurani pada setiap kita, bukan saja ketika di masjid, melainkan masjid juga akan terbangun dalam kepribadian.

Remaja Masjid sebagai Potensi
Salah satu kekuatan dalam mendinamisasikan masjid adalah dibentuknya remaja masjid yang dibina dan dikelola secara maksimal dan serius. Jika memungkinkan pengelola masjid bisa memberikan insentif secara profesional kepada para trainer untuk membentuk dan menciptakan remaja masjid yang berkualitas. Ini untuk membendung sebuah kenyataan, remaja masjid selama ini hanya sebatas menjadi penjaga sandal atau tukang pembagi snack ketika ada acara tertentu yang dilakukan oleh beberapa lembaga atau perusahaan di masjid. Akibatnya, remaja masjid cenderung diposisikan di barisan paling belakang. Tukang bersih-bersih, tukang membuat kopi, dan sejenisnya. Sebagai upaya penggemblengan mental tidak salah. Tetapi kalau posisi seperti ini sampai berdasa-warsa, bukan penggemblengan, tetapi penyimpangan potensi. Dalam konsep revolusi masjid, justeru sebaliknya. Kaum tua harus mulai legowo, dan yang muda harus maju kedepan. Kaum tua cukup menjadi pembimbing, penasehat, konsultan atau minimal menyetujui ”gerakan revolusi masjid” yang dilakukan oleh kalangan muda. Mengutip konsep kepemimpinan tokoh pendidian Ki Hajar Dewantoro, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani.(Di depan menjadi tauladan, di tengah memberi support moral, di belakang memberi dorongan penuh).
Suatu yang menyedihkan adalah; di beberapa masjid, acap kali terjadi ”perang” antara remaja masjid dengan kaum tua. Masalahnya bukan pada persoalan ideologi yang berbeda, melainkan hanya berdasar pada perasaan terganggungnya ”status quo” kaum tua, oleh kehadiran kalangan muda. Contoh yang paling sederhana saja. Misalnya persoalan adzan. Sangat sepele. Tetapi karena sudah banyak remaja masjid yang mulai datang menjelang waktu tiba dan siap adzan, kemudian kaum tua merasa tersinggung, dengan asumsi kehadiran remaja masjid akan menggeser posisinya sebagai pengurus masjid. Logika kedangkalan struktural seperti ini yang kini sedang banyak ’diderita’ oleh sebagian para pengurus masjid. Akibatnya, bukan menjadi ruang untuk melaukan kegiatan ibadah, malah sebaliknya untuk ajang pertengkaran antara kaum muda dan kaum tua.
Padahal, disadari atau tidak, menggalanag kekuatan melalui pembentukan remaja masjid merupakan sebuah keharusan untuk memulai sebuah gerakan revolusi masjid. Kenapa? Bukan tidak percaya dengan kaum tua, tetapi mentalitas yang dapat dibentuk menjadi remaja masjid yang progresif revolusioner adalah kalangan muda, dalam hal ini remaja masjid. Remaja masjid adalah potensi ummat yang harus senantiasa diberdayakan, bukan diperdaya. Melalui kaum remaja inilah, revolusi masjid dapat dimulai secara perlahan. Bukan saja sebagai konseptor, tetapi sekalligus menjadi pemain dalam lingkaran. Sehingga, suasana dinamisasi sebuah kegiatan masjid akan lebih terjamin, ketimbang seperti selama ini, yang harap-harap cemas terhadap kaum tua.
Mengusung remaja masjid sebagai ”pimpinan” di depan ini, tentu akan ada risiko. Tetapi meniadakan kehadiran remaja masjid dalam proses revolusi masjid akan lebih berisiko. Sebab, hanya mengandalkan kaum tua yang pemahamannya terhadap masjid masih konservatif, akan menimbulkan gerakan revolusi masjid stagnasi (mandeg). Kenapa? Sebab jujur saja, kalangan tua pola pikirnya sudah tidak lagi produktif, belum lagi konsentrasinya terpecah-pecah, baik terhadap pekerjaan, kebutuhan keluarga dan lain sebagainya. Tetapi membiarkan remaja berdiri sendiri tanpa kawalan kaum tua juga akan berhadapan dengan sebagian kaum tua yang tida responsif terhadap upaya revolusi masjid. Oleh sebab itu, memunculkan remaja masjid di barisan depan harus membutuhkan proses dan tahapan.
Tahapan yang sebaiknya dilalui, sebenarnya sangat sederhana. Para senior, (atau trainer) dapat melakukan in-house training menjelang melakukan gerakan revolusi masjid. Paling tidak, ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk memulai training bagi remaja masjid. Pertama; melakukan training penguatan ideologi. Dalam penguatan ideologi ini, remaja diberi materi dan muatan intelektual yang bukan saja memberikan wawasan terhadap fungsi masjid, tetapi lebih dari itu, training ideologi ini sebagai upaya dalam menguatkan komitmennya sebagai aktifis masjid yang harus tetap menjaga integritas keimanan, kejujuran, kreatif dan inovatif. Kedua; training penguatan struktural. Yang kedua ini, sama pentingnya dengan penguatan ideologi. Hanya bermodal kekuatan ideologi dan mengesampingkan penguatan struktur, maka remaja masjid juga akan pincang. Sementara kuat secara struktur tanpa ideologi, remaja masjid juga akan buta. Dalam penguatan struktural ini, pengelola masjid dapat memulai melakukan training kepemimpinan dari tingkat dasar sampai tingkat advance. Tujuannya, selain untuk menggali potensi calon pimpinan muda di remaja masjid, juga untuk membekali pemahaman birokrasi dan administrasi dalam organisasi. Ketiga; Penguatan Jaringan. Hal ketiga ini akan sangat mendukung bagaimana sebuah organisasi remaja masjid akan berkembang atau tidak. Sebab lembaga apapun, tanpa memilliki jaringan kerja yang luas hanya akan jalan ditempat. Sementara program hanya akan sebatas menjadi slogan semata. Penguatan jaringan, dapat dimulai dengan pembuatan profil yang ditayangkan melalui situs internet, untuk kemudian disebarluaskan diseluruh nusantara. Dengan pengenalan profil remaja masjid seperti ini akan memudahkan lembaga lain dalam meng-akses tentang profil, kegiatan, progam kerja dan lain sebagainya.

Partisipasi perusahaan dan masyarakat
Konsep revolusi masjid tetap memerlukan sebuah partisipasi besar, baik dari BUMN, BUMD, pemerintah atau masyarakat itu sendiri. Tanpa adanya komponen ini, gerakan revolusi masjid hanya akan menjadi sebuah utopia. Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah kesadaran kolektif dari semua pihak untuk secara bersama-sama menciptakan komitmen untuk mewujudkan gerakan revolusi masjid ini. Perusahaan dan pemerintah, sebagai institusi yang mempunyai kewenangan membantu pengadaan dana, juga tidak harus menanamkan kecurigaan adanya mark-up yang rentan dilakukan pengelola dan remaja masjid. Sebab dengan training ideologi yang kuat, maka penggelembungan, atau bahkan penyimpangan ini mudah-mudahan tidak terjadi.
Sementara masyarakat setempat menjadi komponen penting terhadap upaya terwujudnya revolusi masjid ini. Partisipasi masyarakat, baik moril dan materiil, merupakan satu kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Sebab, tanpa masyarakat sebuah gerakan apapun tidak pernah akan terwujud. Persolannya tinggal bagaimana menggalang kekuatan masyarakat ini menjadi sebuah komunitas yang solid dalam membantu revolusi masjid. Namun, satu hal yang sebenarnya dapat dimulai untuk membangun kekuatan di masyarakat adalah, menciptakan kepercayaan dengan memberikan layanan kepada masyarakat didahulukan. Jika masyarakat sudah merasa butuh dengan sistem dan menejemen revolusi ini, dengan sendirinya, masyarakat akan menjadi tameng utama, ketika ada kekuatan lain yang hendak menghalangi gerakan revolusi masjid.

Mulai dari yang sederhana
Menggalang kekuatan untuk sebuah gerakan, bukan sesuatu yang mudah. Tetapi tidak juga sulit. Di kalangan remaja masjid, dapat dimulai dengan penelusuran bakat dan minat. Ini berfungsi untuk menjaring ”kepentingan” di kalangan remaja. Dengan sendirinya, ketika remaja masjid, minat dan bakatnya telah terakomodasi, otomatis akan ”terpanggil” untuk selalu dekat dengan masjid. Untuk memulainya bisa melalui pembentukan tim nasyid, tim vokal group, musikalisasi puisi, teater dan lain sebagainya. Tetapi, sebuah catatan yang mesti dikedepankan adalah, kaum tua tidak harus buru-buru ”mematahkan” semangat kalangan muda. Sebab satu kali saja ada ”suara miring” yang dituduhkan kepada ramaja masjid, maka upaya penggalangann ini akan terkikis dan gagal. Maka dalam hal ini juga dibutuhkan dorongan kaum tua, yang selama ini masih merasa kurang percayaterhadap remaja masjid. Dengan niat untuk melakukan revolusi masjid, setidaknya kaum tua membuang jauh-jauh tuduhan ketidakpercayaan terhadap kaum muda. Sebaiknya ”membiarkan” kaum muda untuk melakukan programnya sesuai dengan kesepakatan mereka, sambil terus melakukan pendampingan.
Sementara, dalam penggalangan kekuatan remaja masjid bersama masyarakat ini, harus terlebih dahulu menjauhkan pemikiran pemilahan, antara ”remaja pemabuk” dan ”remaja alim”. Biarkan saja bergulir, sehingga akan tercipta dengan sendirinya secara alamiah. Sebab, ”memukul” dengan doktrin diawal, bagi remaja yang belum kenal dengan masjid, akan menjadi sebuah tekanan psikologi. Bukan tidak mungkin jika ini terjadi, remaja yang sebelumnya ingin dekat dengan masjid kemudian malah berlari dan enggan masuk masjid. Jadi sebenarnya, keenaggan remaja masuk masjid bukan lantaran kalangan remaja ini nakal, melainkan justeru sebagai akibat kenakalan orang tua, yang membiarkan mereka berbanjar panjang dengan botol minuman keras diluar masjid, tanpa ada upaya pendekatan persuasif. Padahal dengan memulai menggalang kekuatan melalui remaja masjid, sebuah gerakan revolusi masjid secara perlahan akan terwujud. Siapa yang bertugas untuk memulai. Bukan anda. Bukan saya. Tetapi kita, sekarang juga! (*)

Tanjung Enim, 15 Mei 2007
Di Kantor Media Bintang Pelajar.

BIODATA PENULIS
Imron Supriyadi, lengkapnya Muhammad Imron Supriyadi. Lahir di Desa Sabrangrowo Borobudur Magelang Jawa Tengah, 18 Mei 1973. Putra tunggal dari Abdul Salam (alm) dan Alfasanah (guru madrasah). Menyelesaikan S.1 di Fakultas Usuhuluddin Jurusan Dakwah, di IAIN Raden Fatah Palembang tahun 1998. Kolom, Cerpen, Opini, essay-nya pernah dimuat di beberapa media cetak Palembang dan terbitan Jakarta. Feature-nya tentang “Musik Irama Batanghari Sembilan”, pernah disiarkan di Radio BBC London (Agustus, 2002). Bekerja sebagai Jurnalis sejak tahun 1995 hingga sekarang. Pernah bergabung di Harian Pagi Sumatera Ekspres (JPNN), Tabloid Mingguan Media Sumatera, Majalah Sindang Merdeka Palembang, Majalah Alternatif Sumsel, Reporter Radio Smart FM Palembang, Kontributor Kantor Berita Radio (KBR) 68H Jakarta. Sekarang sebagai Pemimpin Redaksi Media Anak Sekolah ”Bintang Pelajar”, terbitan Tanjung Enim Sumatera Selatan. Pekerjaan lain, sebagai Direktur Pendidikan Yayasan Nurul Iman Talang Jawa Tanjung Enim, dan mengelola Teater Batu Hitam, dan Lesehan sastra Pelajar. Buku yang pernah terbit, kumpulan Cerpen ”Sedang Tuhan-pun Bisa Mati” (Tenggala Press, 2004). Sekarang sedang menyelesaikan novel ”Jilbab Tak Bertuhan dan Ustadz di Kampung Maling”. Keduanya masih dalam proses editing penerbit. Kini tinggal bersama isteri dan anak di Kompleks Masjid Nurul Iman Talang Jawa Tanjung Enim. HP. 0815-32759185. email ; imronmail@yahoo.co.id


MENYOAL KEMBALI TENTANG PUTERA DAERAH
(Sebuah kritik untuk Pilkada di Sumsel)
Oleh Imron Supriyadi
(Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Bintang Pelajar)

Sudah menjadi catatan sejarah, setiap kali menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia isu yang sering dimunculkan adalah Putra Daerah. Mengusung Putra daerah menjadi term isu dalam setiap Pilkada memang bukan satu dosa yang perlu dilarang-larang. Namun masalahnya kemudian adalah, isu putra daerah ini akan menjadi sesuatu yang sangat dangkal maknanya, ketika “putra daerah”, hanya dipahami dalam perspektif satu arah, atau yang saya bahasakan dengan pandangan “kaca mata kuda”. Kenapa? Karena dengan melihat putra daerah dengan kacamata Kuda, maka yang terjadi adalah penilaian subjectif tanpa melihat dimensi lain, terhadap seorang calon Kepala Daerah. Kalau ini yang terjadi, maka beberapa kelompok yang menggunakan kacamata Kuda tadi, telah terjebak pada egosentris ke-daerahan, yang sudah tentu sangat jauh dengan nilai-nilai kebhinekaan Indonesia.
Tanpa bermaksud menggurui siapapun, melalui tulisan ini saya ingin menggulirkan sebuah ”wacana lain” tentang Putra Daerah dalam konteks suksesi di Sumatera Selatan. Paling tidak ada dua hal yang perlu dipahami secara komprehensif dalam melihat arti dan esensi Putra Daerah ini. Pertama, Putra Daerah dapat dilihat dalam perspektif genetika. (ini yang paling umum dilakukan oleh masyarakat kita). Kedua, Putra Daerah juga dapat dipahami dalam perspektif keberpihakan. (ini yang sering terlupakan).
Dalam perspektif genetika, Putra Daerah berarti seseorang yang lahir di daerah tertentu, dengan dibuktikan akte kelahiran sesuai dengan daerah kelahiran dan tempat tinggalnya. Dalam konteks suksesi, seseorang ini kemudian mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat kepala daerah tempat ia dilahirkan.
Dalam perspektif keberpihakan, Putra Daerah berarti seseorang yang lahir di daerah tertentu, tetapi kemudian merantau ke daerah lain, kemudian suatu ketika ia juga mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat kepala daerah, di tempat ia hidup dan mengabdikan dirinya untuk keluarga, bangsa dan negaranya.
Dari dua pemahaman diatas, kecenderungan masyarakat kita akan terfokus pada pendapat pertama. Hampir sebagian kita menilai, Putra Daerah adalah putra asli kelahiran di sebuah wilayah, tempat ia dilahirkan. Penilaian ini memang tidak bisa dipersalahkan. Sebab diakui atau tidak, penilaian terhadap putra daerah ini memang cenderung pada perspektif genetika, dan bukan pada keberpihakan. Sebagai bahan renungan saja, saya buat analogi seperti ini?
Si Badu, lahir di Kota Palembang. Seusai tamat Sekolah Dasar (SD) kemudian merantau 30 tahun di Medan. Selama di Medan, Badu menjadi seorang pengusaha, dan bisnisnya berkembang pesat di Medan. Ia berikan pemikirannya untuk pengembangan Kota Medan. Si Badu, pulang kampung hanya satu tahun sekali untuk menengok keluarganya di Palembang. Dan suatu ketika, dalam pencalonan Kepala Daerah, si Badu tiba-tiba datang ke Palembang dan mencalonan diri sebagai salah satu kandidat Walikota Palembang, dengan alasan ia adalah putra asli daerah?
Sementara di sisi lain, si Rido, putra kelahiran Magelang Jawa Tengah, juga punya kasus yang sama dengan Badu. Seusai tamat SD di Magelang, Rido kemudian merantau ke Palembang, kemudian berdomisili di Palembang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Palembang. Sama suksesnya. Rido juga mengabdikan dirinya di Palembang, mengembangkan usahanya di Palembang, turut memberikan kontribusi pemikirannya selama 30 tahun untuk kota Palembang. Dan bedanya, Rido benar-benar meninggalkan kota Magelang, untuk kemudian menetap di Palembang. Dan pada saat yang sama, Si Badu dan Si Rido bertarung dalam sebuah suksesi pemilihan Walikota Palembang. Alasannya sama. Keduanya mengaku putra daerah. Pertanyaannya adalah, siapa yang sebenarnya putra daerah? Si Badu atau Si Rido?
Analogi diatas, dapat menjadi bahan renungan, bagaimana kita harus memaknai kembali tentang Putra Daerah. Ini menjadi penting, agar masyarakat kita tidak terjebak pada pandangan yang subjectif terhadap Putra Daerah. Sebab pemaknaan terhadap putra daerah yang tidak tercerdaskan, juga akan mengakibatkan kepada fanatik buta terhadap figur Putra Daerah, yang kadang-kadang sama sekali tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap tanah kelahirannya.
Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menyatakan, jika kemudian Putra Daerah hanya diartikan sebagaimana si Badu (dalam pendangan genetika), berarti kita sudah menutup mata terhadap kontribusi pemikiran seorang Rido, yang sudah 30 tahun ikut serta membangun dan menetap di Kota Palembang. Intinya, dengan analogi Badu dan Rido tadi, minimal dapat membuka mata kita, yang sebelumnya terjebak dengan ”kacamata kuda”, untuk kemudian kita harus menggantinya dengan ”kacamata tiga dimensi”. Tujuannya, agar penilaian dan pemahaman kita terhadap Putra Daerah ini bukan dari sudut genetika (kelahiran), tetapi juga harus dilihat dari keberpihakan dan melihat kontribusi apa yang pernah diperbuat oleh tokoh tersebut.
Pandangan seperti ini menjadi penting artinya, ketika beberapa kelompok tertentu sering tidak memahami tentang siapa sebenarnya Putra Daerah sejati, yang wajib didukung menjadi Kepala Daerah? Maksudnya, masyarakat kita selama ini tidak mempunyai ukuran yang jelas dalam melihat siapa Putra Daerah itu. Sehingga yang muncul hanya ikut-ikutan, tanpa memahami kontribusi tokoh yang didukungnya. ”yang penting kelahiran sini”, Katanya.
Dalam bahasa politik, tidak bisa hanya sekedar menggunakan bahasa ”pokoknyo”. Apalagi soal kepala daerah akan sangat menentukan masa depan daerah. Jadi tidak bisa dengan istilah ”pokoknyo” atau ”harus putra daerah”. Sebab jika itu yang menjadi dasar memilih seseorang, maka ukurannya sangat dangkal, yaitu ”kelahiran dan domisili”. Padahal ada yang lebih penting lagi dalam konteks Pilkada, yaitu pada keberpihakan dan kontribusi seseorang terhadap pembangunan daerah, dan bukan ”kelahiran”.
Dari pemahaman yang dangkal inilah, di Sumsel sempat terjadi peristiwa lucu; salah satu artis asal Palembang mencalonkan diri sebagai kandidat Gubernur. Pertanyaannya kemudian adalah, apa kontribusi yang telah disumbangkan kepada Palembang selama berkarir di Jakarta puluhan tahun? Apa cukup mengajak nyanyi duet dengan Kapolda dan Gubernur di Selebriti Cafe dan Hotel Sanjaya? Main sinetron dengan menggunakan bahasa Palembang? Apakaha dengan modal itu dan karena akte kalhiran Palembang kemudian si artis dapat semudah itu mencalonkan diri sebagai Gubernur? Bulshit! Untungnya, si artis gagal melenggang ke kursi Gubernur. Saya tidak bisa membayangkan akan jadi apa Sumsel, jika si artis terpilih menjadi Gubernur ketika itu.

Putra Daerah Sejati
Idealnya, dua dimensi yang menjadi analogi si Badu dan si Rido diatas, ada pada salah satu calon kandidat. Di satu pihak, sang kandidat juga putra kelahiran Sumsel, dan mengabdikan diri, memberikan kontribusinya untuk Sumsel. Sehingga, memilih Putra Daerah sebagai calon Kepala Daerah juga jelas ukurannya, bukan sebatas “pokoknyo kelahiran Sumsel”. Tetapi melihat secara komprehensif dari berbagai sudut pandang, terutama kontribusi apa yang telah dan sedang diberikan kepada daerah, sekalipun itu bukan kelahiran kota tersebut.
Jika penilaian itu telah mengakar di masyarakat, sudah pasti yang muncul kemudian bukan pada egosentris kedaerahan, melainkan nasionalisme yang akan semakin mengental di setiap masyarakat kita. Semua berharap, agar menjelang Pilkada, semua kita tidak terjebak pada pandangan “kacamata kuda” melainkan dengan “kacamata tiga dimensi”, sehingga kita memilih pimpinan dapat berdasar pada hati nurani dan akal sehat kita. Insya Allah (*)
Tanjung Enim, 2007