Oleh Imron Supriyadi
Suatu ketika, saya dan kawan-kawan mengadakan siaran langsung (off air) lomba mewarnai gambar dan peragaan busana daerah tingkat TK dan SD di Lapangan Segitiga. Lapangan Segitiga ini, secara kebetulan berada di komplek perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia, yang berdekatan dengan ruang utama direksi perusahaan itu.
Sudah tentu, hampir setiap karyawan dan petinggi perusahaan tambang ini, akan melewati jalan yang persis ada di sebelah kanannya. Seperti biasa, setiap kali menggelar off air, puluhan pedagang kakilima dari berbagai jenisnya, muncul secara berangsur. Persis, seperti semut, yang kemudian mengerumuni gula, saat ada satu butir gula jatuh ke lantai. Tidak berbeda pada acara ini. Ratusan, anak dari berbagai penjuru di wilayah Kabupaten Muara Enim, beserta orang tuanya, tumplek bleg di lapangan segitiga, ditambah lagi dengan pendukung lainnya.
Adalah sebuah konsekuensi, jika kemudian akibat kerumunan itu, selain membawa cerita masing-masing orang tua wali, juga meninggalkan onggokan sampah diluar batas kebiasaan, ketika Lapangan Segitiga tidak dipakai untuk acara tertentu. Tumpukan sampah, sudah pasti siapapun enggan melihatnya, apalagi sampah itu bertumpuk, tepat di kawasan kantor besar sebuah perusahan elit. Bagi perusahaan, ini adalah noda. Apalagi kalau tiba-tiba ada tamu dari luar kota. Tapi karena kebetulan hari itu adalah hari libur, saya dan panitia tidak terlalu dikejar oleh jam kerja.
Kami selesai membereskan barang-barang keras, sekitar pukul 14. 00 WIB. Semua peralatan elektronik, panggung, tenda, kursi, sudah beres, diangkat ke kantor, tempat kami berkerja. Barang yang pinjaman juga sudah diangkut yang punya, seperti organ tunggal dan sound sistem-nya. Sebelum kami bubar, saya dan kawan-kawan sempat makan bersama, diatas terpal yang didaulat sementara menjadi tikar darurat. Asyik memang, sekalipun agak gatal. Tapi, karena keadaan lelah dan lapar, rasa gatal dan kumuh tak membuat kami harus beranjak pergi. Semua berjalan sebagaimana biasa ketika kawan-kawan makan diatas meja makan. Usai makan, muncul lagi persoalan. Apalagi kalau bukan sampah. Di hadapan kami, selain bekas bungkus nasi, masih terserak berbagai jenis sampah ringan. Koran bekas, bekas kemasan minuman mineral, plastik bekas bungkus permen, kue kering atau hanya air minum energi yang tak sempat dihabiskan, karena keburu anaknya minta pulang.
Sampah. Ini yang kemudian kami tinggalkan satu malam, usai kegiatan. Kami berpikir, besok pukul 06. 00 WIB, seerti biasa ada petugas kebersihan yang sigap membersihkan segala sampah di Lapangan Segitiga. Tapi apa yang kami perkirakan salah. Pukul. 07. 00 WIB, saya masuk kantor. Dan ternyata, saya masih melihat sampah kemarin masih menghampar di Lapangan Segitiga. “Waduh, gawat”, Pikir saya spontan. Ini pasti akan mengundang reaksi keras dari direksi perusahaan tersebut, atau minimal bagian kebersihan lingkugan. Belum, sempat saya pikiran saya mengendap, seorang petugas datang ke kantor saya. Mukanya sudah menunjukkan sikap yang kurang sedap. Tapi karena saya harus meng-handl berita pagi, saya tak sempat bicara dengan petugas itu. Hanya Heru, teman saya yang diajak bicara soal sampah. Sudah pasti, akan terjadi ketegangan Heru dengan petugas.
Saya baru tahu dari Heru, kalau untuk membersihkan Lapangan Segitiga, harus ada “uang rokoK” sebagai tambahan insentif.
“Lho, itu kan tugas mereka?” Tanya saya spontan.
“Iya, Mas, tapi kebersihan ini kan sidah ditekel CV, diluar perusahaan ini”.
“Nah, apalagi CV, itu artinya yang bekerja sudah kontrak kerja, kalau mereka harus mebersihkan sampah, dilingkungan kantor utama”.
“Justeru CV-nya yang minta tambahan insentif.”
Belum lagi saya selesai berbincang dengan Heru, saya sudah melihat “pasukan bersapu”, berbondong-bondong datang ke Lapangan Segitiga. Ada seorang pengawas di sekitar lapangan itu.
“gara-gara sampah, saya jadi kena marah direksi”, pengawas itu menggerutu, yang mungkin hanya didengar oleh dirinya sendiri.
“Kenapa kamu yang harus nyapu, kan bukan giliran CV-mu?” tanya saya pada salah satu petugas kebersihan.
“Kena marah direksi Mas, kalau tidak dibersihkan”. Jawabnya pendek.
“Oooo, berarti, kalau tidak dimarahi Direksi, atau direksi kebetulan tidak meihat, walau satu tahun, sampah ini tetap akan di Lapangan Segitiga. Ironis”.
**
Peristiwa diatas, hanya sekelumit realitas, yang sering terjadi di masyarakat kita. Membersihkan sampah, sering berdasar pada ke-inginan untuk dipuji, dilatari oleh uang seseran, takut dipecat, takut dimarahi direksi, atau karena ada kunjungan seorang pejabat. Ini sama halnya, ketika suatu kampus Perguruan Tinggi di Palembang, akan kedatangan Menteri Agama RI. Ketika Tarmizi Taher. Karena kebetulan, jalan masuk ke kampus yang berjarak 400 meter itu, disesaki oleh pedagang kakilima. Maka satu hari sebelum Mentri datang, semua diusir, dipaksa pindah, untuk sesaat saja, sampai Pak Mentri pulang ke Jakarta. Persis dengan membersihkan sampah, karena takut dengan direksi.
Ini adalah potret nyata, sikap bersih kita terhadap lingkungan, yang tidak langsung berhbungan dengan kita, hanya kebersihan yang dilatari oleh kesadaran palsu (kamuflase). Yang terjadi kemudian adalah, kebersihan bukan berjalan secara kultural (bermula dari kesadaran diri terhadap pentingnya kebersihan bagi manusia dan lingkungan), melainkan menjadi kebersihan struktural. Semua menunggu perintah bos. Selagi tidak ada perintah atau risiko yang akan menghilangkan “pendapatan” keseharian, sampah tetap akan terbiar begitu saja.
Kalau mau jujur, Kultur Kebersihan struktural ini, bukan saja pada kasus off air diatas tadi, tapi jauh lebih dari itu, masih banyak lagi contoh kasus yang secara tidak kita sadari, sudah menjebak kita, dalam sikap hidup yang selalu menjaga kebersihan karena struktural tadi.
Dalam konteks yang lebih besar lagi, mislanya ; Gerakan Jumat Bersih (GJB) di kampung-kampung, juga menunggu SK Walikota. Membersihkan got dan mengecat pagar, menunggu lomba kebersihan lingkungan, atau membersihkan kursi dan memperbaiki perabotan rumah, menunggu lebaran tiba dan lain sebagainya. Pun demikian halnya, pernah terjadi di sebuah radio ternama di Palembang, ketika seorang Jendral (Purn) Wiranto, akan talkshow . Bukan Klarifikasi tentang dugaan keterlibatannya dalam kasus pelanggaran HAM di Indoensia, melainkan sosialisasi album baru Wiranto.
Tiga hari sebelum Wiranto datang, semua divisi diberi warning oleh menejemen, agar menjaga kebersihan. “Jangan memalukan. Ini yang datang Wiranto, mantan pejabatr negara. Semua harus rapi dan bersih. Teman-teman yang biasa pakai kaos, harus tampil rapi pakai kemeja”.
“Wah, lebih-lebih menyambut kedatangan malaikat. Banyak orang, mengahadap Tuhan, pakai pakaian ala kadarnya, sementara menyambut Wiranto, harus perfect, tidak boleh ada yang kurang. Ini Tuhan, Malaikat atau siapa? “ Pikir saya bersoloroh, menyimpan kekesalan.
Dua jam sebelum kedatangan Wiranto, semua sigap siaga di posisinya masing-masing. Hanya saya, yang memang bertugas melakukan liputan keluar. Kebetulan, ini adalah kesempatan saya, untuk tidak menjadikan Jendral (Purn) Wiranto sebagai “Tuhan”.
Masyarakat kita, ternyata hanya mempunyai dalil : bersih itu sehat, Jagalah kebersihan, atau bahasa agamanya : Kebersihan sebagian dari iman”. Bulshit! Sebab, kenyataannya, semboyan itu, hanya sebatas slogan. Sama artinya, seseorang boleh saja hafal ayat kursi, tetapi setelah berdiri dan mempunyai otoritas di sebuah lembaga, hanya kursinya yang di bawa, sementara ayat-ayatnya ditinggal begitu saja. Dan kita, semua kembali atau sedang terjebak dalam kebersihan struktural. Dan besok, mungkin kita perlu berlari menuju Tuhan, dan mengusulkan, untuk membuat doa kebersihan sekaligus kutukan ketidakbersihan. (*)
Tanjung Enim, 26 September 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar