Senin, 28 Mei 2012
LEKRA DAN PKI: “POLITIK ADALAH PANGLIMA”
Oleh Joebaar Ajoeb,
Sekretaris Umum Lekra
LEKRA adalah sebuah gerakan kebudayaan yang nasional dan kerakyatan, yang di dalamnya memang ada orang-orang yang jadi anggota PKI, tetapi yang sebagian besarnya, bukan. Lekra didirikan dan bekerja untuk kepentingan yang nasional dan kerakyatan di lapangan kebudayaan. LEKRA, sebagaimana terlihat pada Mukaddimahnya, tidak mengazaskan kegiatannya pada pandangan klas dan atau Marxisme-Leninisme. Juga organisasi yang mengatur kegiatannya tidak berbau Leninisme sedikitpun. Bahwa ada karya di lingkungan LEKRA yang dialamatkan langsung kepada kepentingan Partai Komunis Indonesia, ia sudah tentu secara langsung menjadi tangungjawab pencipta karya itu, yang mungkin saja anggota PKI. Orang berhak memuliakan sesuatu yang ia anggap demikian, namun haknya itu hendaklah pula diperlakukan dengan adil ketika ia mempertanggungjawabkannya.
Adapun tanggungjawab LEKRA, ia berada di lingkup selama karya itu tidak anti Rakyat dan tidak anti Revolusi Agustus 45, atau seperti yang dinyatakan dalam Mukaddimahnya, “LEKRA menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan, dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya” dan “LEKRA mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun untuk bekerjasama dalam pengabdian ini.”
Adapun PKI, ia sebuah partai politik. Dan politik, adalah sebuah pembidangan teoritis. Seni, sastra, ilmu dan kebudayaan juga demikian. Adalah ilmu yang mengkategorisasikannya demikian. Demi memudahkan kita memahami kenyataan. Yang sungguh luar biasa rumitnya. Ia hidup dan berubah. Ia kimiawi. Maka itu diperlukan batasan pengertian. Karakterisasi dan kategorisasi.
Mari kita singgah sebentar pada yang elementer. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata politik sehubungan dengan ilmu adalah, pengetahuan mengenai kenegaraan, seperti sistem dan dasar-dasar pemerintahan. Arti kedua ialah, segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dsb.) mengenai pemerintahan negara. Arti ketiga, kebijaksanaan, cara bertindak. Imam Ghazali merumuskan: “segala yang menyangkut negara adalah politik”. Sekarang lihatlah bagaimana pengertian politik itu bekerja dalam kenyataannya, pada sebuah masalah saja. Dalam hal ini masalah LEKRA dan PKI, dua buah organisasi yang kait mengait dalam kerjasama tapi juga tentang menentang. Mari kita lihat, salah satu pertentangannya yang laten dan yang fatal ternyata.
Kira-kira menjelang akhir tahun 64, sebuah gagasan PKI disampaikan kepada sementara anggota Pimpinan Pusat LEKRA. Gagasan itu menghendaki agar LEKRA dijadikan organisasi PKI yang juga punya anggota non-PKI. Jika LEKRA setuju pada gagasan yang praktis mem-PKI-kan LEKRA, maka hal itu akan diumumkan secara formal. Tapi LEKRA telah menolak gagasan itu. Bukan tanpa alasan. Alasannya amat sehat, demokratis dan sudah tentu demi kepentingannya sebagai organisasi kebudayaan yang tujuan-tujuannya telah disimpulkan di dalam « Mukaddimah » organisasinya.
Nyoto yang Anggota Sekretariat Pimpinan Pusat LEKRA adalah juga Wakil Ketua II CC PKI, ikut serta menolak gagasan mem-PKI-kan LEKRA itu. Saya dapat mengerti akibat-akibat yang dapat timbul dari penolakan itu. Anda mungkin tahu atau ingat, PKI di tahun itu sedang bugar-bugarnya. Dan LEKRA berhasil menentang penguasaan PKI secara organik atas dirinya, sampai « katakanlah 1 Oktober 1965 ». Proses itu bukan tanpa taruhan. Apa yang kemudiannya dikenal sebagai “Konferensi Sastra dan Seni PKI” adalah bagian dari pertentangan dan pertarungan antara LEKRA dan PKI. Konferensi yang juga telah terang-terangan memperbedakan LEKRA dengan PKI di bidang kebudayaan.
Ironisnya malah terjadi di tahun-tahun sesudah 65. Banyak sajalah orang « mem-PKI-kan LEKRA ». Sehingga yang terjadi adalah, jika D.N. Aidit tidak berhasil, orang lain yang padahal atau tampak seperti anti PKI, malah “berhasil” mem-PKI-kan LEKRA. Saya ingin mengetuk perhatian anda bahwa mem-PKI-kan LEKRA dapat membawa kerancuan dalam tubuh seni, sastra dan bahkan kebudayaan negeri ini karena penilaian dan penentangan yang tidak berujungpangkal.
Pewayangan tua, madya ataupun carangan, ketoprak dengan segala keterikatannya pada babad selaku ancang-ancang sejarah, kesenian Bali dengan segala akarnya yang religi, ludruk dan bermacam reog atau pun randai dengan kandungan realisme sejarah dan satirenya, ataupun Cianjuran, Dogdog atau Tarling adalah di antara bentuk-bentuk seni yang telah dicampuri LEKRA. Belum lagi kita bicara mengenai sastra, senirupa dan musik Indonesia masa kini.
Bahwa di kalangan politik, “tribalisme” sering tampil sebagai metode pemecahan soal, biarkanlah kafilah itu berlalu. Hal yang demikian tidak patut ditiru dan diberlakukan bagi kebudayaan. Sebab kebudayaan, seni das sastra, tidak dan tidak dapat dimiliki oleh sesuatu parti politik. Partai politik boleh berganti atau sirna, tetapi kebudayaan, tidak. Jika yang ini sirna, atau anda sirnakan, anda menuhukkan bangsa ini ke lembah yang papa.
Dan saya sungguh tidak percaya ada anak Indonesia mampu dan tega secara sadar berbuat demikian. Kita harus mengangkat gelas dengan cara yang telah diadabkan. Jika anda mengangkatnya dengan telunjuk anda, gelas itu akan jatuh dan pecah. Lagi pula anda tahu bahwa mem-PKI-kan LEKRA adalah sebuah perbuatan yang murni politik. Yang kandungan manipulasinya bisa luar biasa besarnya.
Maka itu pula agaknya, sehubungan dengan tragedi nasional G30SPKI, selama 10 tahun saya ditahan, saya tidak pernah diperiksa mengenai LEKRA, sebagai organisasi atau gerakan kebudayaan. Juga tidak pernah diperlihatkan kepada saya, “Surat Keputusan Pemerintah yang membubarkan atau yang melarang LEKRA berdiri dan bergiat”, oleh Tim-Tim Pemeriksa yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia kita ini. Begitulah hukum formal itu memperlakukan LEKRA.
Anda, terutama yang sedikit mengerti tatakrama hukum dan politik, tentunya dapat melihat jalur nalar yang saya kemukakan ini. Sedang bagi anda-anda yang tidak dapat tidak resah mendengar atau membaca kata LEKRA itu, saya terlebih dahulu hendak berkabar di sini, bahwa catatan ini saya buat bukan sebagai sangkakala pemberitahuan bahwa LEKRA akan mengorganisasi dirinya kembali dan kemudian menuding orang-orang yang pantas ia tuding. Anda akan sepakat dengan saya, kalau saya mengatakan bahwa untuk itu, hari sudah terlalu sore, bianglala sudah melengkungi ufuk kita, karena sementara itu hujan besar telah datang membawa pepatah “sekali air pasang, sekali tepian berubah”.
Maka itu, yang saya buat ini, tidak lain dari apa yang telah dikatakan Chairil Anwar, “Kenang, kenanglah kami” agar orang tahu siapa, dan ibu mana yang telah menaklukkan maut ketika melahirkan seseorang manusia. Dan karenanya saya ingin mengajak Anda bertamasya saja ke “Mukaddimah LEKRA”, sekedar sebagai pengalaman pemikiran, yang siapa tahu dapat membathin.
Politik, terutama politik praktis, dalam prakteknya, dapat memanipulasi apa saja untuk kepentingan taktis atau pun strategisnya. Tapi tidak demikian halnya dengan kerja dan kerja kebudayaan. Ia tidak harus langsung tunduk kepada kepentingan politik praktis, dan taktis dan tidak semua politik praktis dapat dimanfaatkan kerja kebudayaan. Ia dapat dan biasa berada di luar jalur-jalur kepentingan politik yang demikian.
Semboyan “Politik Adalah Panglima”, tidak berarti politik sesuatu partai adalah atau yang harus dijadikan “panglima”. LEKRA tidak pernah mengikat diri pada pengertian demikian. Sebab, konotasi politik dalam semboyan itu adalah wawasan, bukan lembaga atau orang, apapun ia. Wawasan yang dapat lebur ke dalam proses penciptaan dan karya seni sepereti patung, cerpen atau sajak. Dan di dalam proses inilah wawasan politik itu tunduk pada tuntutan estetika artistik. Di sini estetika itu yang jadi « panglima », kalau hendak terus main « panglima-panglimaan ». Di sini taraf keseniman yang menentukan. Di sini kejujuran dan hati nurani itu jadi « perdana menteri », jika kita ingin juga memakai analogi.
Ada wawasan politik yang dapat dilebur ke dalam kerja dan karya kebudayaan. Tapi ada juga yang tidak. LEKRA misalnya, pernah mengeluarkan pernyataan “menyokong kembali ke UUD 45”, tapi tidak pernah mengeluarkan pernyataan “menyokong dibentuknya kabinet NASAKOM” sebagai gebrakan politik praktis. Tapi jika esensi “NASAKOM” itu diolah sebagai emansipasi bentuk persatuan nasional bangsa ini, pendirian LEKRA juga jelas. Pengertian politik di sini merupakan bagian dari perjalanan sejarah eksistensi masyarakat manusia Republik Indonesia ini.
Jadi, LEKRA tidak melakukan vulgarisasi pengertian dan pekerjaan politik. Dan pandangan demikian dengan jelas dijalin di dalam “Mukaddimah LEKRA”.
Lagi pula kita semestinya tidak perlu lupa menyimak sebuah buku berjudul “ABRI sebagai kekuatan sosial dan pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka memelihara dan meningkatkan kemanunggalan ABRI dengan rakyat” terbitan 10 mei 1979 dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Buku itu antara lain dengan tandas sekali menyatakan bahwa “Walaupun titik berat pembangunan kita terletak di bidang ekonomi, namun perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya bidang politik mendasari semua bidang pembangunan”. Apa artinya ini? Kita boleh dan baik memahaminya secara terjabar. Tapi ini baik dilakukan lain kali.
Pada Mulanya
Begitulah, tidak begitu lama sesudah Mukaddimah Pertama LEKRA diumumkan, yaitu pada 17 Agustus 1950, berdatanganlah kritik atasnya. Kritik-kritik itu pada pokoknya menyatakan bahwa beberapa bagian dari Mukaddimah itu ternyata tidak cocok dengan keadaan Indonesia. Ia mengandung sejumlah jargon yang tak mudah difahami umum. Hingga disusunlah suatu Mukaddimah baru, seperti yang umumnya kita jumpai sekarang. Penggantian Mukaddimah berlangsung secara formal dalam Konferensi Nasional Lekra ke-1, tahun 1957. Yang kemudian disyahkan oleh Kongres Nasional LEKRA ke I, tahun 1959 di Solo yang penutupannya dihadiri Presiden Sukarno.
Pidato Bung Karno pada penutupan Kongres ini menjadi terkenal dan kontroversial, karena ia menyerukan sebuah sikap menolak menjadikan “musik ngak-ngik-ngok” sebagai musik kebangsaan Indonesia, terutama bagi kaum remaja Indonesia. Sikap Bung Karno itu sesungguhnya merupakan bagian pandangan kebudayaan Indonesia yang berkepribadian nasional. Sebuah sikap yang telah membersit dan tumbuh dalam gerakan kebangkitan nasional. Ia telah diungkapkan oleh Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara, dan bahkan Moh. Hatta selaku Wakil Presiden dalam pidato sambutannya pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke 2 tahun 1952 di Bandung.
Dan pada Kongres Nasional ke-1 LEKRA ini pula Nyoto dalam pidato sambutannya atas Laporan Umum saya, menyinggung agar wawasan “Politik Adalah Panglima” dimanfaatkan oleh daya-upaya kebudayaan kreatif dan reproduktif. Gagasan yang kemudian terutama di dalam era “orde baru” ini ada kalanya juga menjadi kelewatan kontroversialnya. Namun, tidaklah diambil sesuatu putusan apapun mengenai “Politik Adalah Panglima” dalam Kongres ke I LEKRA tahun 1959 itu, kendati ia memancing diskusi-diskusi yang galau-galau menarik. Dua tahun kemudian baru, yaitu di dalam Sidang Pleno Pimpinan Pusat LEKRA, Juli 1961, “Politik Adalah Panglima” itu diterima sebagai azas kerja kreatif, bersama dengan lima tuntutan lainnya, sebagai pedoman yang bersifat seruan yang umum saja, bukan instruksi atau keharusan. Tidak dibuat petunjuk rinci apapun mengenai ini. Dan tidak ada penjelasan baku yang harus diikuti. Orang bebas memberikan interpretasinya, memakai atau tidak memakainya dalam kerja dan karya. Latar belakang sesungguhnya dari semboyan ini ialah untuk mendorong pada seniman dan sastrawan LEKRA memiliki pengertian politik yang memadai. Dan politik anda tahu, ia hanya dapat dipahami baik, jika kita punya wawasan sejarah. Sejarah yang pada gilirannya akan mendorong orang menggunakan ilmu dalam berkarya, sehingga bawaan tukang yang ada pada seniman, dapat dibekali oleh ilmu seperti, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, antropologi dan apa saja yang akan jadi penopang dalam penciptaan karya yang lebih fungsional, tahan waktu dan bernilai.
Semasa organisasinya berfungsi, LEKRA sangat mengutamakan pendidikan, diskusi dan saling didik. Sanggar-sanggar dan lembaga yang dipimpin seniman-seniman LEKRA mendidik pelukis muda, pamatung muda, para dalang, sinden, penabuh dan penari muda, para aktris, aktor dan penulis skenario untuk drama, film, ketoprak, ludruk dan bahkan randai dan abdul muluk. Ada dua tiga Sanggar yang mungkin sudah amat terkenal di masa sebelum 65. Daiantaranya “S.I.M.” (Seniman Indonesia Muda) yang dipimpin Soedjojono, Harjadi dan Suromo dan “Pelukis Rakyat” yang dipimpin Hendra Gunawan, Affandi dan Trubus. Untuk dapat dididik di lembaga-lembaga demikian, tidak ada persyaratan seseorang harus jadi anggota LEKRA dulu, apalagi PKI. Pokoknya ada bakat, mau belajar dan bekerja keras. Cukup.
Tentang ini ada banyak masih saksi hidup yang cukup cemerlang, bahkan. Anda barangkali sudah tahu bahwa Zaini, seorang pendukung terkemuka dari “Manikebu”, adalah pelukis terkemuka hasil didikan SIM (Seniman Indonesia Muda) pimpinan S. Soedjojono. Sejarah Indonesia adalah mata pelajaran dan diskusi penting dan diberikan untuk semua bidang. Kemudian sastra, nasional maupun daerah. Di samping sudah tentu ketrampilan atau kiat seni masing-masing bidang. Bentuk pelajaran seperti sejarah, sastra, psikologi atau ekonomi, tidak kurikuler. Bentuknya ceramah dan diskusi. Melalui cara demikian, mereka dapat memahami “Politik Adalah Panglima”, menurut kemampuan orang yang ikut belajar-mengajar. Literatur, mereka boleh pilih sendiri. Tidak ada satupun keharusan dalam hal ini. Orang-orang LEKRA tentu saja boleh mendengar ceramah orang-orang PKI, PNI, NU, Golkar dan sebagainya dan membacai literatur mereka. Mereka tentu juga boleh membaca karya-karya Mochtar Lubis yang anti PKI bener-beneran, atau HB Jassin atau siapa saja yang tidak sejalan dengan LEKRA.
Yang sesungguhnya diinginkan LEKRA ialah, agar seniman dan sastrawan yang berhimpun di dalam atau di sekitarnya, berani dan mahir berfikir secara mengasah intuisi kesenimanannya. Agar kebudayaannya meninggi, agar mutu artistik dan ideologi karyanya menjulang, tahan kritik, tahan waktu dan berfungsi dari masa ke zaman. Untuk itu diperlukan pemahaman sejarah, kenyataan nyata ataupun kesunyataan dengan perkembangan-perkembangannya. LEKRA tidak lebih dari sebuah dan salah satu sarana saja untuk itu.
Jadi, akhirnya kita akan melihat dan menghayati “Politik Adalah Panglima” itu secara bersegi banyak, berubah dan dialektis sekali. Lalu mengapa LEKRA merasa perlu menjadikannya sebagai semboyan atau pedoman untuk pekerjaan-pekerjaan kreatif? Untuk menjawab ini kita harus mengingat bahwa antara tahun 50-an dan 60-an, masih ada semacam propaganda yang hendak mengusir atau menjauhkan seniman dan sastrawan, keluar dari gelanggang politik. Politik adalah orang politik. “Politik itu kotor” kata pembohongan itu. Sedang “Seniman dan sastrawan itu suci” katanya lagi. Tidak perlu ikut-ikut berpolitik, termasuk dalam berkarya.
LEKRA menentang propaganda bodoh yang hendak membodohi kaum seniman dan kebudayaan Indonesia itu. Propaganda itu bertentangan dengan tradisi dan cita-cita Kebangkitan Nasional. Bertentangan dengan azas demokrasi dari Republik yang baru saja ditegakkan. Bertentangan dengan sejarah perjuangan kemerdekaan, dengan azas yang disepakati pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke 1 tahun 1948 di Magelang. Tapi apa hendak dikata. Sedikit banyak propaganda bodoh demikian mempan juga. Bahkan di sana sini ia berkuasa membodohi sejumlah seniman, sastrawan beserta para pekerja kebudayaan. Terutama di kalangan muda. Tapi tidak pada seniman setaraf Trisno Soemardjo, pendukung Manikebu itu. Anda yang tidak percaya, silahkan mencari pidato atau prasarannya yang absolut anti-KMB pada Konferensi Kebudayaan Indonesia 7-9 Agustus 1950 di Jakarta. Dan syahdan, LEKRA “yang berpolitik” itu, masih belum lahir ketika Trisno Soemardjo mengucapkan pidato politiknya itu.
Di dalam upaya menentang pembodohan itulah semboyan “Politik Adalah Panglima” terbentuk dan berperan.
Sehubungan dengan wawasan “politik adalah panglima” itu, barangkali baik saya catatkan di sini apa yang di lingkungan LEKRA kemudian dikenal dengan 1.5.1. Yaitu, berazaskan “Politik Adalah Panglima”, melaksanakan 5 kombinasi, melalui cara “Turun Ke Bawah”. Kelima kombinasi itu ialah, “Meluas dan Meninggi”, “Memadukan Tradisi yang Baik dengan Kekinian Yang Revolusioner”, “Tinggi Mutu Artistik, Tinggi Mutu Ideologi”, “Memadukan Realisme Revolusioner dengan Romantisme Revolusioner” dan “Memadukan Kreativitas Individual dengan Kearifan Massa.”
Lalu, apakah anda melihat di situ, sesuatu mengenai apa yang pada suatu masa tertentu suka juga diheboh-hebohkan mengenai “Realisme Sosialis LEKRA” itu? Mengenai “Realisme Sosialis” ini, saya akan mengajak anda nanti untuk sedikit memasuki hal ikhwalnya di kalangan LEKRA sendiri, dan sehubungan juga dengan pandangan Soedjatmoko atasnya.
Ini adalah sejenis perangkat lunak pekerjaan kebudayaan yang dapat diungkai untuk melihat alternatif-alternatif teoritis yang dikandungnya. Satu per satu azas penciptaan LEKRA itu tentu memerlukan penjelasan. Yang pada waktunya dapat dikerjakan, sekedar sebagai sebuah pengalaman dalam pembentukan kebudayaan Indonesia yang nasional dan kerakyatan.
Maka itu, jika eksistensi LEKRA digugat secara kultural, gugatan itu seyogianya berurusan dengan kaedah-kaedah kultural yang patriotik, demokratis dan ilmiah yang disandang atau yang ingin disandang LEKRA. Dan LEKRA dalam menjabarkan kerja dan karyanya, seperti anda lihat selama organisasinya berfungsi, ia tidak hanya bekerja sama dan membantu kaum pekerja, tetapi juga kaum tani. Ia tidak hanya membantu dan bekerja sama dengan kaum buruh dan tani, tetapi juga tentara nasional Indonesia. Di samping, di mana mungkin membantu Pemerintah, sembari juga jika perlu mengeritiknya. Sebagai fenomen demokrasi yang tengah dibutuhkan kebudayaan dan sejarah negeri ini, LEKRA selalu menganggap Pemerintah sebagai pamong yang digaji oleh Rakyat dan karena itu ia sudah seyogianya mengabdi Rakyat yang berhormat menghormati mereka.
Rakyat adalah Bapak, bukan Anak. Maka itu kekuasaan tertinggi yang ada pada negara ini ada di tangannya, yang ia tuangkan ke dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tapi ini adalah asal usul. Apakah keadaannya seperti itu, andalah yang saya minta menjelaskan, karena anda saya tahu lebih tahu.
Tulisan ini merupakan petikan dari makalahnya, “Sebuah Mocopat Kebudayan Indonesia”, yang disiar Majalah Kreasi No 10 1989-1992, halaman 4-15, terbitan Stichting Budaya, Amsterdam. Blog ini mengutipnya dari catatan dalam Facebook A. Kohar Ibrahim, 15 Agustus 2009.
Sumber : komunitas sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar