Oleh Imron Supriyadi
Suatu ketika, saya punya waktu libur yang cukup di rumah. Liburan itu kemudian saya manfaatkan untuk ikut melakukan bersih-bersih ruang tamu, ruang makan sampai tempat tidur.
Apa yang saya lakukan sebagai hiburan, setelah dalam beberapa pekan saya disibukkan oleh pekerjaan yang tidak berhubungan dengan kamar tidur.
Meski saya tidak pernah kursus di lembaga pendidikan perhotelan, saya mencoba belajar bagaimana merapikan tempat tidur, membersihkan kamar dan ruang lainnya.
Setelah saya membersihkan lantai ruangan dengan sapu dan kain pel, saya kemudian merapikan tempat tidur.
Usai bersih-bersih, saya berdiri mengamati lantai yang sudah mengkilat dan harum. Isteri saya ikut nimbrung di belakang saya melhat hasil pekerjaan saya. Ia tersenyum. Sementara kedua anak saya, Anisa dan Muhammad Kahfi, sudah asyik bermain di ruang lain.
“Kok, tempat tidurnya belum dirapikan?,” tanya isteri saya setengah mengkritik.
“Setelah ini, baru merapikan tempat tidur,” jawab saya tanpa menimbang kalimat apa yang akan muncul dari mulut isteri saya.
“Mestinya tempat tidur dulu di rapikan, baru lantai yang disapu,” isteri saya meluruskan pola kerja saya pagi itu.
“Memang ada undang-undang yang mengatur harus merapikan tempat tidur dulu baru menyapu lantai?” jawab saya setengah tidak menerima.
“Bukan masalah undang-undang! Tapi kalau membersihkan tempat tidurnya belakangan, nanti lantainya kotor lagi oleh debu dari atas seprai. Belum lagi kertas-kertas kecil bekas mainan anak-anak kita juga jadi sampah,” isteri saya berargumen meluruskan sistem kerja saya yang dinilai tidak efektif.
“Memang tidak boleh, kalau menyapu lantai dulu baru merapikan tempat tidur?” kata saya masih belum terima dengan aturan yang setengah dibuat-dibuat.
“Itu namanya dua kali kerja. Lantai sudah bersih, nanti kotor lagi, terus disapu lagi. Tidak efesien. Terlalu banyak menyita energi,” kata isteri saya agak bersungut kesal.
“Jadi menurutmu bagaimana? Apa karena alur pekerjaanku dianggap salah kemudian sia-sia?” tukas saya memandang kearah isteri saya.
“Bukan sia-sia. Tapi kurang tepat. Pekerjaan Ayah sudah baik tapi belum benar, atau sebaliknya sudah benar tapi belum baik,” kata isteri saya mengutip istilah Budayawan Emha Ainun Nadjib,
“Jadi?!” kata saya mulai kesal.
“Ya tidak jadi-jadian, Kok jadi!?” isteri saya tidak lebih kesal dari saya.
“Kalau bekerja di pemerintahan seperti yang Ayah lakukan, kasihan rakyat,” kata isteri membuat saya terkejut.
“Kok sampai sejauh itu?”
“Lho, kenapa heran. Selama ini kan rakyat selalu jadi sasaran yang dipersalahkan. Kalau ada tindakan anarkis, rakyat yang jadi korban. Konflik politik di tingkat atas, rakyat juga yang jadi bingung. Kalau para wakil rakyatnya suka ngomong bohong, atau debat soal yang tidak ada kaiatannya dengan rakyat, kotorannya juga tertumpah di hati rakyat. Hukum di negeri ini juga begitu, kan? Kalau sudah ke bawah seperti pisau, tajam. Tapi kalau keatas jadi tumpul. Rakyat malah diajak kong kalikong jual beli pasal, supaya tuntutannya menjadi ringan atau bisa bebas tanpa tuntutan. Itu kan yang megajari dari para pengelola negara yang duduk diatas kursi. Kotorannya masih juga rakyat yang nanggung. Makanya, kalau seprainya dibersihkan belakangan, nanti kotoran dari tempat tidur akan balik lagi ke lantai yang sudah disapu,” kata isteri saya nyerocos.
“Jadi menurutmu bagaimana?” saya kembali memancing argumentasi.
“Yang dibersihkan dan dirapikan harus bagian atasnya dulu. Pak Menteri, Pak Presiden, dan aparat penegak hukum, harus membersihkan seprai tempat tidur dulu, supaya rakyat yang sudah bersih-bersih di bawah tidak dikotori lagi oleh debu-debu seprainya Pak Menteri dan Pak Presiden. Kalau kebersihan itu tidak dilakukan dari yang paling atas dulu, nanti lantai di bawah yang sudah bersih, hanya akan menjadi tong sampah. Apa mau kalau rakyat hanya menjadi tumpahan sampah dari pengelola negara yang tidak bermoral?” isteri saya terus menyerang.
“Pekerjaan besar hanya akan baik, kalau diawali menyelesaikan dengan baik pekerjaan kecil. Jadi menyelesaikan pekerjaan dengan cara yang baik dan berkualitas hari ini, juga menjadi penentu hasil di masa depan. Kalau dari awal salah cara dan metode, jangan harap hasilnya akan baik dan benar. Mosok kita sebagai rakyat kecil mau terus-terusan jadi tong sampah dari seprainya Pak Menteri dan Pak Presiden, nggak lah yaw!” tegas isteri lagi.
“???” Saya tercenung.
Palembang, 10 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar