Oleh Imron Supriyadi
(Jurnalis dan Pelaku Sastra)
”Jika anda hanya memprihatinkan keadaan setahun mendatang, cukuplah anda taburkan benih. Jika anda, memprihatinkan keadaan sepuluh tahun mendatang, tanamkanlah sebatang pohon. Dan jika anda memprihatinkan keadaan seratus tahun mendatang, berikanlah pendidikan yang benar kepada rakyat dan anak-anak kita (situs anak merdeka.com).
Pesan diatas, paling tidak dapat menjadi sebuah pijakan bagi bangsa ini, untuk kemudian merenungkan kembali tentang bagaimana potret generasi bangsa ini 25 atau 100 tahun yang akan datang. Selain institusi pendidikan formal sekolah, media, dan lembaga lain yang konsen terhadap pendidikan, sangat jelas memiliki tanggungjawab moral untuk menjaga integritas dan jati diri generasi bangsa ini agar tetap menjaga moralitas.
Sinetron di Indonesia, sebagai salah satu produk yang secara langsung atau tidak juga telah menjadi ”guru” bagi anak-anak bangsa ini, sudah pasti memiliki kewajiban sama, yaitu ; memberikan ajaran moral yang lebih bernilai, ketimbang menciptakan pola pikir dengan hal-hal yang bertentangan dengan jati diri bangsa. Dalam persoalan ini memang agak sulit akan berangkat dari mana harus melakukan kritik terhadap wajah sinetron kita, yang makin hari makin tidak memberikan muatan nilai-nilai atau pesan moral terhadap anak-anak negeri ini. Sebab, sebuah produksi sinetron melibatkan banyak pihak, yang bukan hanya puluhan, tetapi ratusan orang. Sejak dari Penulis, Sutradara, Produser dan crew lainnya, termasuk figuran dan office boy.
Sebagian Penulis naskah, Sutradara, sebagai salah satu bagian dari konseptor dalam sinetron acap kali dihadapkan pada dua tuntutan. Tuntutan mempertahankan idealisme dan kebutuhan ”materi” untuk dapur domestiknya. Sementara, Rumah Produksi (Production House-PH) sebagai institusi bisnis entertainment dan Produser sebagai penyandang dana, juga mempunyai kepentingan bisnis, antara ”untung atau buntung”. Para pemasang iklan (klien) juga memiliki kepentingan sama, untuk memasarkan produknya, sehingga harus mencari atau bahkan mendesak kepada sebuah PH dengan tema-tema tertentu, yang menurut pemasang iklan, dapat menguntungkan secara bisnis. Dengan desakan ini, kemudian beberapa produser dan rumah produksi juga melakukan ”tekanan” kepada seorang penulis, untuk membuat naskah sinetron, sesuai dengan pemesan. Tentu, tawaran ini, PH juga melakukan bargaining (tawar-tawaran) dengan penulis, bukan pada konteks ideologi atau ide cerita yang dapat menciptakan ”kebaikan” bagi publik, melainkan hitung-hitungan terhadap berapa harga satu episode, atau satu kali tayang.
Berdasar pada realitas logika bisnis demikian, sangat mungkin akan membelakangkan idealisme seorang seniman (baca: penulis), yang notabene harus tetap menjaga nilai-nilai dan pesan moral dalam sebuah karya. Ironisnya, kontrak kerja terhadap penulis yang sudah didahului dengan duit panjar (DP), tidak jarang dalam satu titik kejenuhan, penulis kehilangan ide. Akibatnya, penulis kemudian main ”hantam kromo” dengan meneruskan naskah tersebut, sekalipun rentetan ceritanya makin hari makin rancu dan tidak jelas. Baik dari konflik utama, ide cerita, penokohan, atau sampai ending dari sebuah cerita. Kondisi seperti ini, diperparah dengan ”penjajahan” baru oleh bentuk-bentuk sinetron yang mencoba mengkolaborasikan versi Bollywood dengan ke-Indonesiaan. Paduan yang sangat rancu dan makin merusak jati diri bangsa, ketika sebuah garapan sinetron diolah sedemikian rupa, sehingga orang akan sulit membedakan antara sinetron India atau Indonesia.
Dalam konteks nasionalisme, tentu ini sebuah realitas yang kemudian mencabik-cabik jati diri bangsa ini, yang semakin kabur. Siapa dan bagaimana sebenarnya identitas negeri ini, jika para pengelola dan penulis, sutradara sinetron juga sudah terkontaminasi oleh ”petuah-petuah” oknum bangsa lain, yang sudah pasti tidak mempunyai tanggungjawab moral untuk membangun generasi bangsa ini menjadi lebih bermoral.
Memang dalam konteks ini ada persoalan serius yang sedang dihadapi para penulis, sutradara dan sebagian PH di Indonesia. Bagi sutradara, penulis dan PH yang tetap bersikukuh menjaga ”idealisme”, harus siap ”lapar”. Sebab, sikap ini akan berdampak pada hasil materi yang tidak banyak sebagaimana PH lain yang main ”hantam kromo”, dan tidak mempertimbangkan dampak baik buruknya sebuah penayangan sinetron. Konsekuensi mempertahankan idealisme ini, tidak sedikit beberapa PH kemudian terbentur dengan persoalan financial. Sebab, bukan tidak mungkin, dengan menjaga idealisme ini kemudian beberapa klien (pemasang iklan) juga enggan bekerjasama dengan penulis dan PH tersebut, karena tidak ada kesamaan dalam ”tawar-tawaran” ide cerita. Perdebatan kedua belah pihak ini, sudah tentu bukan pada tataran material, atau tentang berapa harga satu episode-nya, melainkan pada persoalan idealisme penulis naskah dan vis-misi sebuah PH.
Bagi klien, perdebatan idealisme dengan penulis dan PH yang tetap ”menjaga” kredibiltas dan jati diri bangsa-nya, menjadi sesuatu yang sia-sia. Bagi klien, dialog ini hanya akan membuang-buang waktu. Sebab, selain masih banyak lagi penulis dan PH yang bersedia ”kompromi” sesuai dengan pesanan, klien juga tidak akan memperhitungkan dampak baik-buruknya ide cerita terhadap publik. Bagi klien, logikanya; masyarakat bersedia membeli produk, dan klien dapat meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Sebentar, kita menoleh ke belakang. Betapa pada tahun-tahun pertama maraknya sinetron di televisi, yang waktu itu hanya disiarkan TVRI, ide cerita dan idealisme sebuah bangsa masih sangat kental. Sebut saja, pada era 80-an, di TVRI kita masih ingat dengan Sinetron Anak Sekolah ”Aku Cinta Indonesia” (ACI). Drama LOSMEN garapan Irwinsyah (alm), Rumah Masa Depan (Ali Shahab), Serumpun Bambu, Dokter Sartika, Jendela Rumah Kita dan lain sebaginya. Situasi ini kemudian disusul dengan munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), sebagai sarana belajar bagi anak-anak sekolah. Walau olahan naskah dan performant art-nya masih sangat minim, tetapi ide TPI ketika itu sebaiknya tetap dipertahankan. Masalahnya kemudian tinggal bagaimana kemasan itu dapat lebih menarik pemirsa, bukan malah sebaliknya.
Film Animasi, (masih tahun 80-an), kita juga ingat dengan kartun Si Huma, Si Unyil, Si Komo dan masih banyak lagi karya lain yang lebih mengedepankan idealisme dan pesan moral bagi anak bangsa, ketimbang seperti sekarang, yang cenderung menyebarkan ”ajaran sesat” dalam konteks kebudayaan. Sinetron saat ini, lebih banyak menawarkan cerita mistik, horor dan metropolis yang cenderung mengajarkan materialis dan hedonis yang tidak memberikan muatan nilai-nilai kepada anak-anak bangsa.
Sebut saja sinetron remaja di sebuah televisi swasta yang mengambil setting sekolah. Semula, naskah ini mungkin akan mengdepankan dunia pendidikan yang ideal. Tetapi, dengan garapan naskah yang sama sekali jauh dari pesan pendidikan, akibatnya justeru merusak wajah pendidikan itu sendiri. Bagaimana tidak? Di sekolah, yang diusung ke permukaan bukan bagaimana membuat murid itu menjadi kritis, cerdas, kreatif dan inovatif, melainkan menyebarkan ”ajaran” yang tidak baik untuk anak sekolah dalam konteks ke-indonesiaan. Di luar negeri, bisa saja cara berpakaian dan adegan ciuman antar murid dilakukan. Tetapi, ketika itu kemudian dibawa ke Indonesia, akibatnya akan fatal. Seolah, adegan ciuman di depan umum bagi anak sekolah, menjadi sesuatu hal yang biasa. Dalam konteks ini, saya tidak sedang bicara tentang halal-haram-nya ciuman antara laki dan perempuan yang bukan muhrim, tetapi saya melihat dalam konteks nasionalisme. Kalau sekedar ciuman, pacaran, gandengan, secara manusiwi tidak perlu diajari dan ditambah-tambah dengan memunculkan adegan seperti ini dalam tayangan sinetron. Pertanyaannya kemudian adalah, sebenarnya nilai-nilai apa sih yang sedang ditawarkan oleh sutradara dan penulis dalam sebuah adegan ciuman di sekolah bagi seorang murid? Kemudian anting-anting di sebagian murid laki-laki di sekolah. Ini nilai apa lagi yang sedang ingin ditawarkan oleh sebuah sinetron? Trend? Realitas anak-anak brutal? Jika itu ditayangkan secara terus menerus, secara perlahan akan menjadi sebuah kebenaran. Lantas, dimana peran seorang guru, jika di sekolah saja murid-muridnya sudah lebih banyaklah yang mojok dari pada yang belajar.
Sinetron Cintailah Aku Gadis, terlepas dengan lebih dan kurangnya, namun sinetron ini memiliki pesan moral yang kuat terhadap upaya penghargaan betapa tingginya harga diri manusia. Pertentangan antara materi dan idealisme, bagaimana figur seorang guru yang tetap memertahankan idealismenya. Tuntutan hidup dan mati sebuah keluarga. Belum lagi sikap pemilik modal (yayasan) yang ”menjajah” sistem di sekolah dengan mengangkat kepala sekolah bermental penjilat. Baik konflik utama dan konflik pendamping dalam sinetron ini dapat berjalan secara sinergis, dengan ending cerita sebuah proses penyadaran terhadap nilai-nilai, tanpa adanya kehadiran unsur mistik.
Tetapi dilain pihak, realitas sinetron di era reformasi ini, kebebasan berekspresi yang sudah sedemikian luas, ternyata bukan menciptakan suasana yang lebih kritis, dinamis dan konstrutif, tetapi malah sebaliknya, hedonis, konsumstif dan distruktif. Bukan dalam konteks politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Tetapi hampir semua dimensi sudah teracuni oleh ”kebebasan” yang tidak dilandasi dengan moralitas, termasuk didalamnya wajah sinetron kita.
Mengutip Budayawan Emha Ainun Nadjib, kebebasan tanpa batas ini sebagai akibat dari tidak pernah terlatihnya bangsa ini mengurus cahaya. Karena terlalu lama bangsa ini hidup dalam kegelapan, maka ketika cahaya datang, kemudian hampir seluruh bangsa ini nabrak-nabrak dan kebingungan tentang bagaimana mengurus cahaya, tanpa mengetahui antara benar dan salah, tidak melihat mana kawan mana lawan, tidak bisa membedakan aantara demokrasi dan anaris, sampai akhirnya bangsa ini juga makin kesulitan membedakan mana emas-mana loyang, mana permata dan mana tinja.
Tanpa bermaksud ingin mengembalikan sistem zaman Soeharto, tetapi tidak salah jika kemudian, dalam konteks per-sinetron-an nasional, para sineas harus kembali banyak belajar ke belakang (pada masa lalu), terutama terhadap gagasan, ide atau apapun ”kebaikan” yang diolah melalui sinetron di Indonesia. Kenapa ini menjadi penting? Sebab sebuah PH, Penulis dan Sutradara dalam pengarapan sinetron yang disiarkan televisi, mempunyai andil besar dalam membentuk watak (karakteristik) generasi bangsa ini, apakah akan menjadi generasi bangsa yang ideal, atau sebaliknya; menjadi generasi bangsat yang amoral. Sudah bangsat, amoral lagi.
Dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan, boleh saja melaukan kompromi dengan pasar demi sebuah keuntungan secara materi. Namun obsesi meraup untung besar tanpa mempertimbangkan akibat buruk dari sebuah produk, adalah bentuk ”penindasan” kebudayaan terhadap bangsa yang nyata (kalau tidak ingin dikatakan sebagai penghianat bangsa secara kebudayaan). Agak ekstrim memang. Tetapi inilah sebuah tantangan bagi setiap sineas, yang mungkin saat ini tengah larut dalam sebuah ”pesta rupiah”, sehingga lupa terhadap nilai-nilai kedirian seorang seniman, yang seharusnya tetap dipertahankan, walau harus berhadapan dengan kematian sekalipun.
Maksud saya, masih banyak karya yang tetap mempertahankan idealisme dan nilai-nilai moral yang kemudian tetap menghasilkan materi yang tidak sedikit. Sebut saja Kiamat Sudah Dekat (KSD) garapan Deddy Mizwar. Ini hanya salah satunya. Hampir semua pemirsa memuji terhadap KSD. Sampai akhirnya Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) juga memberikan penghargaan terhadap Deddy Mizwar. Masalahnya bukan ingin dihargai oleh pejabat sekelas presiden. Tetapi dengan menggarap sinetron yang bermoral dan bernilai sekaligus juga menghargai diri sendiri sebagai manusia yang memiliki hati nurani. Dengan kata lain, mengesampingkan pesan moral dan nilai-nilai dalam sebuah larya seni (baca sinetron) secara tidak langsung juga telah menginjak-injak harga diri sendiri, membunuh kata hati nurani. Akibat lain yang akan berdasa warsa adalah, karya tersebut telah menebar ”racun” bagi calon generasi bangsa ini, yang lambat laun akan ”mati muda” secara perlahan karena dihujani ”racun kebudayaan” yang makin menggila.
Menghadapi realitas sinetron seperti sekarang, rasanya tidak salah jika para produser, penulis dan sutradara untuk kemudian menyatukan hati dengan secara bersama-sama membangun tanggungjawab bersama terhadap nasib generasi bangsa ini. Sudah tentu tidak perlu menjadi anggota DPR atau Presiden, namun tetap pada posisi seperti sekarang, menjadi pelaku seni. Hanya saja yang perlu dilakukan adalah melakukan ”perlawanan” terhadap kekuatan modal (kapitalisme) oleh oknum bangsa lain yang ”numpang makan” dan ”numpang memberak-i” Indonesia. Sehingga, wajah sinetron kita hanya sekedar menjadi tontonan dan membantu proses pembuatan tinja, tanpa menitipkan sebuah pesan nilai-nilai apapun terhadap negeri ini.
Perlawanan yang saya maksud adalah, bersatulah sineas Indonesia, (Sutradara, Penulis dan Produser) untuk kemudian bersepakat ”berkata tidak” terhadap ide cerita yang tidak memiliki muatan ideologi terhadap bangsa ini, walau dihargai 1 miliar sekalipun satu episode. Sebab, saya yakin masih banyak PH dan klien yang bersedia ”mendanai” produksi sinetron yang lebih punya nilai, dari pada harus menjadi ”pengemis” di negeri sendiri. Proklamator kita, Ir. Soekarno pernah mengatakan; tunduk tertindas atau bangkit melawan? Kalimat ini sudah tentu, sebagai upaya dalam mengembalikan jati diri bangsa, termasuk dalam konteks sinetron Indonesia. Masalahnya kemudian, mau atau tidak kita memulai? Jawabannya ada di hati kita masing-masing. (*)
Tanjung Enim, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar