Senin, 30 Juni 2014
Mutiara Hati Kebohongan
24 Desember 2013.
Pukul 10.35 WIB. Isteri saya pulang dari menjemput, Kahfi, anak saya yang kali itu masih di TK Nol Kecil. Wajah isteri saya kali itu tampak lelah, karena sejak pukul 08.00 – 10.30 WIB harus menunggu Kahfi di sekolah. Sebagai suami, saya kemudian menyodorkan segelas air putih sebagai pelega dahaga tenggorkan isteri saya.
“Kok msih di rumah,” tanya isteri saya.
“Besok koran tidak terbit karena Hari Natal, jadi hari ini libur,” jawab saya.
“Jadi hari ini dan nanti malam, ayah full di rumah?!” isteri saya tampak girang, karena bila hari kerja, waktu saya hampir separuh malam, tersita untuk mengurusi surat kabar harian Kabar Sumatera. Risikonya saya setiap hari harus pulang pagi.
Karena besok Hari Natal, kali itu saya punya waktu panjang untuk bercengkrama dengan keluarga. Untuk mengisi hari kosong, seperti biasa saya melakukan apa saja yang bisa saya lakukan, yang penting saya jangan tidur. Kebetulan ada tugas pribadi yang harus saya selesaikan hari itu, sehingga saya punya waktu banyak untuk bertemu dengan isteri dan anak-anak saya. Di tengah ke-asyikan saya menulis, tiba-tiba isteri saya mengajak bercerita.
“Bu, Yayah, guru Kahfi tadi menggerutu,” seketika isteri saya membuka pembicaraan. Sesaat, saya kemudian menghentikan jemari saya yang sibuk dengan laptop.
Sebagai suami, kapan dan dalam kondisi apapun perasaan saya, kali itu saya berkewajiban mendengar cerita atau bahkan keluhan isteri saya. Meskipun tema yang dibicarakan kadang-kadang tidak terlalu menarik.
“Memang kenapa kok sampai Bu Yayah menggerutu?” tanya saja memancing cerita. Isteri saya masih mengibas-ngibaskan jilbabnya yang sudah dilepas, untuk mengurangi hawa panas di dalam rumah karena kali itu kipas angin juga sudah rusak.
“Bu Sar, salah satu wali murid sempat janji sama Bu Yayah,” lanjt iseri saya.
“Memang janji apa, kok sampai seserius itu,” tanya saya lagi.
“Katanya Bu Yayah, wali murd yang namanya Bu Sar mau membuatkan bolu-lah, mau membawakan sayur masakan dia-lah. Sampai Bu sar akan membawakan dan oleh-oleh untuk Bu Yayah, karena suami Bu Sar baru pulang dari luar kota,” lanjut isteri saya lagi.
“Lantas apa masalahnya, sampai Bu Yayah menggerutu?” kata saya setengah ingin tahu.
“Ya, itu tadi. Janji tinggal janji. Bu Sar tidak pernah menepati omongannya. Makanya, Bu Yayah kesal. Kata Bu Yayah ; dia itu banyak janji bohong. Katanya mau bawakan saya ini dan itu, tapi cuma ngomong doang! Dasar perempuan!” ujar isteri saya menirukan Bu Yayah yang kesal pada Bu Sar.
“Salah Bu Yayah sendiri! Hari gini kok masih percaya dengan janji. Jangankan Bu Sar, sekelas anggota dewan, kiai yang berpolitik, bupati, wali kota, gubernur dan presiden saja, sekarang masih suka bohong, apalagi level wali murid?!” saya menimpali.
“Temanya kok jadi lebar, sampai gubernur segala! Ini cuma cerita Bu Sar dan Bu Yayah di sekolah,” isteri saya agak kesal dengan celoteh saya yang agak melebar.
“Lho, maksud ayah kalau janji bohong itu mau diibaratkan ikan, pasti busuknya dari kepala dulu. Jadi kalau kepalanya sudah busuk, seluruh badannya juga akan busuk. Sama dengan janji bohong tadi. Kalau dari pucuk pimpinan saja sudah busuk alias mengajari janji bohong, rakyatnya akan meniru juga pembohong,” saya buat analogi yang menurut saya agak sesuai.
“Tapi, ya tidak bisa begitu. Masak, keburukan orang di bawah kemudian jadi pembenaran kebohongan! Nggak wajar. Itu tergantung orangnya. Sudah, ah! Kok jadi ngelantur!” isteri saya kian kesal. Wajahnya mulai bersungut. Hampir saja ia beranjak dari tempat duduk dan ke kamar. Tapi tidak jadi, karena saya bahunya saya tahan.
“Oke! Oke! Say, jangan marah dulu. Ayah siap dengar!” Saya mencoba menenangkan isteri saya yang kekesalnnya mulai menebar.
“Terus, apa kata Bunda?” saya memancing dialog lagi.
“Tadi Bunda cuma ngomong sama Bu Yayah : Bu, kalau kita berharap dengan manusia memang begitu. Kan Bu Yayah sendiri yang bilang, katanya banyak wali murid yang bercerita, kalau janji Bu Sar itu tidak prnah ditepati. Jadi kenapa Bu Yayah masih percaya?” ujar isteri saya setengah menyalahkan Bu Yayah.
“Bener kata Bunda tempo hari, kalau kita berharap dengan manusia, tidak bisa dipegang omongannya. Banyak yang meleset,” Bu Yayah seketika inat lagi dengan obrolan sebeumnya dengan isteri saya.
“Itu risiko, Bu. Makanya lain waktu kita jangan berharap dengan mahluk, karena banyak bohongnya,” tambah isteri saya.
“Maksud Bunda mahluk halus?” Bu Yayah berseloroh. Sepertinya Bu Yayah belum nyambung dengan arah jawaban isteri saya.
“Ah! Bu Yayah ini, kok mahuk halus. Maksud saya, lebih baik kita berharap dengan yang menciptakan mahluk. Pasti tidak pernah bohong!” ujar isteri saya mengutip dari Kiai Madjid yang pernah didengarnya saat masih tinggal di Tanjung Enim.
“Ah, Bunda ini seperti ustadzah saja,” ujar isteri saya menirukan Bu Yayah. Saya yang mendengar hanya manggut-manggut.
Dalam hati, saya berharap agar cerita isteri saya kali itu, bisa memberi pelajaran dan mutiara hati bagi saya, atau kepada siapapun, agar setiap perilaku fisik dan batin dalam menghidupi keluarga, untuk selalu berhara kepada Sang Pencipta Mahluk dan bukan pada mahluk ciptaan-Nya.**
Jalan Swadaya – Palembang,
27 Desember 2013 Pukul. 02.03 WIB.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar