Minggu, 19 Mei 2019

Jual Speaker Murottal Al Quran 30 Juz Al Madani Chip Alquran Advance Tp60 - - Kota Palembang - Lakazab | Tokopedia

Jual Speaker Murottal Al Quran 30 Juz Al Madani Chip Alquran Advance Tp60 - - Kota Palembang - Lakazab | Tokopedia: Jual Speaker Murottal Al Quran 30 Juz Al Madani Chip Alquran Advance Tp60 - ,Elektronik dengan harga Rp 239.000 dari toko online Lakazab, Kota Palembang. Cari product Speaker lainnya di Tokopedia. Jual beli online aman dan nyaman hanya di Tokopedia.



Minggu, 28 April 2019

Fenomena Suhita: Kebangkitan Sastra Pesantren?

Jagad media sosial, terutama linimasa Facebook akhir-akhir ini diramaikan oleh apresiasi novel “Hati Suhita” karya Khilma Anis. Mereka yang berminat memperoleh novel tersebut sampai harus rela antri pre-order, sebab stock selalu ludes. Sejak awal terbitnya, telah cetak ulang hingga tiga kali dalam satu bulan, dan tidak tanggung-tanggung, sampai sekarang konon tembus 40 ribu lebih ekslempar.

Khilma mengisahkan duka lara seorang perempuan hafidzah (penghafal Alquran) bernama Alina Suhita yang dijodohkan nikah dengan Abu Raihan Al-Birruni, seorang putra tunggal Kiai Hannan. Pasutri hasil perjodohan ini banyak menyembunyikan kepalsuan; di luar terlihat mesra, romantis, baik-baik saja, tapi di dalam bilik kamarnya, justru saling diam, pisah ranjang sejak ijab kabul.

Apa yang sebenarnya terjadi? Gus Birru, pangilan akrab Abu Raihan Al-Birruni, digambarkan oleh penulis lulusan Pesantren Tambakberas Jombang ini adalah seorang yang berhati keras karena pengaruh jiwa aktivis saat kuliah di Jogja, tidak ikhlas menikahi Alin (Alina Suhita).

Gus Birru tidak rela menyalurkan hasratnya sebagaimana lazimnya pasutri yang baru menikah, dan itu bertahan sampai tujuh bulan, Alin tetap sebagai istri sahnya yang masih perawan.

Dalam situasi itulah, hati dan pikiran Alin terus berkecamuk, tersiksa, merasa bersalah dan tidak berguna. Sebab, ternyata bukan hanya soal hubungan yang mati rasa dengan Gus Birru, tapi juga, Alin mengetahui kalau suaminya itu menjalin “hubungan gelap” dengan perempuan lain—Ratna Rengganis namanya—meski sekadar saling berbalas ucapan, kirim puisi via WA, dan sesekali keduanya bertemu langsung sebagai sesama aktivis sosial, sehingga terlihat klop, memperoleh chemistry yang pas.

Alin sedih setengah tiang. Ia pasrah pada nasib. Di novel ini, Khilma memang terlanjur, entah sadar atau tidak, menokohkan Alin sebagai istri yang pasif-inferior di hadapan suaminya yang aktif-superior, mempertahankan relasi subjek-objek, melanggengkan ketidakadilanan gender. Terlihat pada sikap Alin yang pasrah nderek glinding kepada kehendak takdir, atau saat menggambarkan Rengganis yang dianggap cantik lantaran wajahnya oval, pipi kemerahan berlesung, mulut mungil laksana buah ceri (hlm. 15).


Yang bisa dilakukan oleh Alin untuk menghibur diri dengan cara baca Alquran, mengkhusyukkan doa, dan menyibukkan bantu urus santri di pesantren milik mertuanya. Alin dipersepsikan setengah lugu, sabar, namun tetap berusaha mikul duwur mendem jero (menunjukkan kelebihan, menutupi kekurangan) walau hatinya hancur.

Alin bertekad untuk tidak larut dalam kesedihan. Ia mensugesti dirinya sebagai Dewi Suhita, sumber nama Alina Suhita, pemberian kakek dari trah ibunya. Dewi Suhita adalah seorang perempuan tangguh yang pernah memimpin kerajaan Majapahit. Perempuan hebat yang tegar saat kepemimpinannya terjadi perang Paregreg.

Meski novel ini happy ending, buah doa dan kesabaran, akhirnya Gus Birru jatuh ke pelukan Alin dengan penuh dramatis layaknya sinetron dan film remaja layar tancap. Alin telah terkoyak bahagia karena telah melepas ikhlas kesuciannya kepada Gus Birru yang seiring waktu luluh dan keduanya saling mencintai.

Untuk mengekspresikan momen bahagia pasutri itu (Alin dengan Gus Birru) setelah tujuh bulan menikah tapi sama-sama mempertahankan ego seksual, Khilma melarutkan pembacanya lewat deskripsi erotis atas nama Alin.

“Air mataku menitik menanggung haru. Mas Birru memberikan seluruh kehangatan yang dia punya untuk menebus kebekuan kami selama ini. Dia mengajakku terbang ke surga. Pelan dan semakin dalam. Suamiku ini memberi kenikmatan tiada tara. Semakin lama semakin indah. Kami berdua mereguk kenikmatan paripurna… Kami bermandi peluh di tengah udara yang begitu dingin” (hlm. 377-378).

Sampai di sini, sebagai novel berlatar tradisi Islam, Khilma terlihat berani memvulgarkan adegan “plus-plus” itu. Tapi boleh jadi, di sinilah satu di antara beberapa kekuatan-utamanya. Khilma menepis ketabuan, ia justru melampiaskan kebebasannya. Modal bagus untuk karir kepenulisan setelah sebelumnya ia juga sukses menerbitkan dua karya; Jadilah Purnamaku, Ning (2008) dan Wigati: Lintang Manik Woro (2017)—sampai cetakan ketujuh.


Khilma termasuk penulis muda berbakat, meski ia tidak boleh jumawa, dan harus terus berproses belajar banyak hal. Kesalahan teknis banyak terjadi di novel ini, dan itu luput dari perhatian editor. Misalnya, menulis kata “Ummik” (bukan nama orang, tapi panggilan untuk “ibu”, ummi), tidak hanya dalam dialog sebagai logat bahasa, tapi ternyata juga ditulis dalam narasi cerita; kadang menulis istilah “tak”, tapi di halaman lain banyak menggunakan “ta’”, sering mengulang kalimat yang sama seperti “sejurus kemudian”, dan lain sebagainya. Mungkin remeh, tapi sebagai pembaca sangatlah terganggu, seolah baru belajar bahasa Indonesia yang benar dan baik.

Di kancah dunia sastra, terutama yang berlatar alur khas pesantren, Khilma bisa menjadi pelapis satu tingkat di bawah Abidah El Khalieqy yang sukses lewat karyanya, Perempuan Berkalung Surban (2009). Dan tidak mustahil, Khilma akan senasib dengan Abidah, novel Hati Suhita layak difilmkan. Semoga suatu saat terwujud.

sumber : https://alif.id

JURNALISTIK WAJIB MASUK DALAM KURIKULUM




Oleh Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis di Tanjung Enim Sumsel)

Tiga bulan menjelang pergantian tahun, (Oktober–Desember 2006), di Berita Pagi, muncul wacana yang disampaikan beberapa tokoh, tentang beberapa materi, yang diusulkan untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sekolah. Misalnya, materi kesehatan reproduksi (kespro), pendidikan anti korupsi sampai pentingnya keseimbangan pendidikan agama dan teknologi di setiap pesantren juga menjadi tema yang sedang hangat diperbincangkan. 

Mengiringi usulan beberapa pihak tersebut, sepertinya materi ke-jurnalistik-kan (kewartawanan) atau yang lebih dikenal dengan persuratkabaran (Pers), menjadi suatu keharusan, jika kemudian juga diusulkan menjadi salah satu materi yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Tentu, usulan ini bukan sebuah kelatahan, atau sekedar ikut-ikutan dengan para pengusul sebelumnya. Namun berdasar pada upaya membangun dan pengembangan kecerdasan siswa di masa mendatang. 

Mengarang sebagai embrio
Mata pelajaran Jurnalistik, secara tidak langsung sebenarnya sudah diterapkan pada era 80-an, melalui mengarang. Mengarang dapat dikategorikan dalam karya jurnalistik Human Interest atau Feature Traveling, (catatan perjalanan) jika secara kebetulan, seorang murid menulis tentang “Liburan di rumah nenek”, dengan mengungkap fakta-fakta yang ditemui di rumah nenek. Tetapi saat itu, mengarang tidak menjadi mata pelajaran khusus, namun tergabung dalam pelajaran bahasa dan sastra (Bahasa Indonesia). Memasuki tahun 2000-an atau bahkan jauh sebelum itu (pasca 80-an), mengarang secara perlahan mulai ditinggalkan. Akibatnya, mengarang terjebak dalam like and dislike (suka dan tidak suka). Ada kecenderungan, mengarang akan sangat bergantung siapa guru yang mengajar Bahasa Indonesia. Jika sang guru “tertarik” dengan dunia mengarang, maka salah satu soal essay-nya adalah mengarang. Demikian pula sebaliknya. 

Dalam konteks ke-kinian, mata pelajaran Jurnalistik ini hanya akan diperoleh bagi mahasiswa Akademi Komunikasi, atau yang secara kebetulan mengambil program Jurnalistik. Di IAIN Raden Fatah Palembang, akan ditemui di Fakultas Dakwah jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Bagi Fakultas Ushuluddin, mata kuliah Jurnalistik hanya menjadi mata kuliah wajib pilihan, bukan mata kuliah wajib. Demikian juga di Fakultas Tarbiyah. 

Akibat pemberian mata kuliah Jurnalistik yang terkesan “sepintas” ini, mengakibatkan “pengendapan intelektual” yang berdasa warsa, tanpa tersosialisasi melalui karya jurnalistik. Ironisnya, muatan intelektual seorang sarjana sangat banyak tidak dapat tersebar luas, hanya lantaran sang sarjana tidak bisa menuliskan isi otaknya ke dalam lembaran kertas. Kenapa ini terjadi? Karena mereka tidak serius belajar jurnalistik. 

Berdasar pada realitas diatas, di tengah kompetisi global seperti sekarang, embrio jurnalistik yang jauh sebelumnya sudah lahir dan diterapkan melalui “mengarang”, dapat dikembangkan kembali dengan memasukan mata pelajaran Jurnalistik dalam kurikulum sekolah. Tentu pada praktiknya nanti, disesuaikan dengan jenjang pendidikannya masing-masing. 

Jurnalis orang “istimewa” ?
Jurnalistik, memang bukan mata pelajaran atau mata kuliah yang istimewa. Tetapi, tidak jarang dengan kemampuannya melakukan aktifitas jurnalistik, orang kemudian menjadi “istimewa” di depan publik. Sebab, memiliki ke-ahlian jurnalistik (menulis-red) baik menulis opini, essay, kolom, cerpen, novel dan sejenisnya, setiap orang akan dapat menembus lintas batas, yang belum tentu semua orang dapat menembusnya. Dengan kata lain, siap menjalankan naluri jurnalistik, berari siap berkawan dengan siapa saja, sejak kelas gembel sampai tingkat presiden sekalipun.

Dalam tulisan ini, paling tidak ada beberapa alasan, kenapa jurnalistik “wajib” masuk dalam kurikulum sekolah. Antara lain, Pertama, Mendorong pengembangan daya imajinasi dan intuisi siswa. Daya hayal dan naluri batin merupakan salah satu modal penting dalam proses pencerdasan murid, baik dalam konteks akademis atau non akademis. Ada kecenderungan, siswa yang memiliki daya hayal dan intuisi yang “lebih”, biasanya mempunyai “pengetahuan lain” diluar mata pelajaran di sekolah. Sehingga, secara sosial siswa yang demikian, lebih punya peluang untuk “menggauli” semua kalangan, ketimbang siswa yang hanya menjadi ”anak kampus tulen”. Keingintahuannya terhadap sesuatu biasanya diatas rata-rata, dibanding dengan siswa lainnya. Kuatnya keingintahuan inilah yang kemudian mendorong siswa tersebut untuk terus mencari dan menggali segala sesuatu yang mungkin diluar pelajaran sekolah. 

Kedua, Jurnalistik dapat menubuhkembangkan daya kritis dan kepekaan sosial. Secara teori, memang tidak ada bab khusus yang membahas tentang daya kritis dalam konteks kejurnalistikan. Tetapi, biasanya seseorang yang sudah “nyandu” dengan aktifitas jurnalistik (kewartawanan), mempunyai kepekaan dan daya kritis yang lebih dari yang lain. Sehingga tidak jarang, jika di beberapa sekolah, siswa yang mengelola majalah dinding (mading) lebih “pintar” dari yang sama sekali tidak bersentuhan dengan organisasi. Kenapa? Karena ada tuntutan mencari informasi yang terbaru, sehingga tidak akan selalu puas dengan apa yang telah diperoleh hari itu. 

Ekses lain yang bakal muncul adalah, jika ada kebijakan sekolah yang tidak populis, seperti kenaikan SPP yang tidak rasional, mereka (siswa pengelola mading) tidak akan segan-segan menulis atau membuat karikatur sebagai sindiran kepada pihak sekolah. Satu hal ini, yang sepertinya akan sulit diterima pihak sekolah. Sebab, tradisi di negeri ini, guru selalu benar, dan murid selalu salah. Namun sebagai bentuk pendidikan moralitas demokrasi di setiap sekolah, logika seperti itu seharusnya sudah dibuang ke tong sampah, untuk kemudian membudayakan tradisi kritik antara murid dan guru. 

Ketiga, Menumbuhkembangkan kejujuran. Naluri jurnalistik diakui atau tidak dapat mendorong terbentuknya “kata hati” yang jernih. Atau kalau meminjam istilah Aa Gym manajemen qolbu. Siswa yang telah “menggeluti” dunia jurnalistik, acapkali “tampil beda” di tengah kawan sebayanya. Bukan karena ingin dipuji, tetapi itulah gerak hati yang tengah diikutinya. Termasuk, jika suatu ketika terjadi aksi protes di sekolah. Sama sekali bukan karena dibayar oleh guru atu pihak lain, namun berdasar pada fakta, adanya kebijakan yang salah di sekolah tersebut. Minimal, jika tidak ada pembelaan secara kolektif, siswa tersebut akan menuliskan tentang realitas yang dilihat dan dirasakannya. Baik melalui puisi, koolom atau tulisan apa saja, sebagai bentuk protes terhadap keadaan yang menurutnya tidak tepat. 

Keempat, Mendorong siswa untuk membaca. Membaca akan bertambah wawasan. Ini hukum sebab akibat. Karena membaca orang akan bertambah wawasan. Tidak membaca, orang akan berkuranbg wawasannya. Begitulah jurnalistik. Keinginan kuat untuk melakukan aktifitas jurnalistik (menulis-red), mau tidak mau seorang siswa akan terdorong untuk membaca. Kenapa? Karena ia harus menulis dengan data yang benar dan mengolah sumber informasi lainnya. Dengan sendirinya, selama proses kejurnalistikan dilakukan, maka sepanjang itu siswa tersebut akan terus membaca dan bertambah wawasannya. Seorang guru mana yang tidak ingin siswanya mempunyai kecerdasan “lebih” dari siswa sekolah lainnya? 

Meringankan beban orang tua
Kelima, Pasive incame. Jika kegiatan jurnalistik sudah menjadi kebiasaan, atau bahkan menjadi kebutuhan, maka ada konsekuensi logis dari keseriusan itu. Apalagi kalau bukan perolehan materi (pasive incame) dalam usia muda. Apakah bisa begitu ? Kenapa tidak? Saat ini, tidak asing lagi jika dibeberapa televisi, radio dan koran memberitakan tentang munculnya cerpenis dan novelis cilik. Dalam usia 9 tahun, sudah mempunyai 5 novel yang tersebar di toko-toko buku di Indonesia. Bisa dipastikan, setiap buku yang terjual si penulis akan mendapat royalty (keuntungan uang) dari setiap penjualan. Apakah itu bukan pasive incame, yang akan meringankan beban orang tua untuk biaya hidup selanjutnya? Jika aktifitas jurnalistiknya dalam usia muda sudah “menghasilkan”, soal uang kuliah tentu bukan masalah lagi. Tinggal saja, para guru dan orang tua memberi semnagat, agar komitmennya melakukan kegiatan jurnalistiknya tidak terhenti di tengah jalan. 

Keenam, Prestise sekolah. Seorang guru, atau bahkan sekolah dengan sendirinya akan mendapat acungan jempol dari berbagai pihak, jika salah satu siswanya menjadi seorang novelis, kolumnis atau menjadi penulis yang andal. Minimal, secara politis, nama baik Kepala Sekolah, guru dan jajaran sekolah akan meningkat di kalangan publik. Jika ini terjadi, sekolah dan pengelolanya, tinggal menangguk “keuntungan” nama baik tersebut. Sudah pasti nama sekolah akan mendapat prestise yang “lebih” di mata wali murid.

Ketujuh, kebebasan berekspresi. Dalam teori psikologi, usia muda paling tidak suka dikekang. Psikolog. Prof. Dr. Hj. Zakiah Derajat menyebutkan, usia muda adalah masa pancaroba. Masa pencarian jati diri. Sehingga para pendidiklah (orang tua dan guru), yang wajib memberi arahan, bukan kekang-an. Dengan masuknya jurnalistik dalam kurikulum, akan sangat sesuai dengan perkembangan psikologi remaja, yaitu masa pertumbuhan dalam berekspresi. Minimal, dengan munculnya mata pelajaran jurnalistik di sekolah, akan memberi ruang bagi siswa untuk berkreasi secara bebas, dan menembus “dunia lain” di dalam atau diluar sekolah, sesuai daya imajinasi dan intuisi siswa tersebut. 

Kendala
Pada praktiknya, usulan ini memang akan mendapat tangapan pro dan kontra. Itu soal biasa. Sebab, tidak akan semua pihak setuju, tetapi tidak juga semua pihak tidak setuju.Yang setuju juga masih terbagi, setuju ikut arus yang menguntungkan dan setuju siap bekerja keras. Atau yang tidak setuju, karena sama sekali tidak mengerti, atau tidak ingin direpotkan oleh kurikulum baru. Kelompok ini biasanya memakai logika “ada kurikulum baru atau tidak, yang penting setiap bulan gajian. Titik”. 

Kendala lain adalah, belum adanya rujukan dari pusat. Dalam sistem birokrasi di Indonesia, dalam konteks Ke-pendidikan memang ada hierarki yang “wajib” diikuti. Namun mengandalkan segala sesuatu dari pusat Jakarta, tentu ini pendapat yang musti diluruskan. Sebab, Jakarta bukan satu-satunya rujukan yang terbaik. Justeru sebaliknya, di daerah inilah masih ada nilai-nilai kearifan yang mesti ditumbuhkembangkan, untuk kemudian diusulkan sebagai rujukan ke tingkat pusat. Apa salah, jika Dinas Pendidikan Nasional Sumatera Selatan mengusulkan mata pelajaran jurnalistik dimasukkan dalam kurikulum? Tidak mustahil. Semua sangat mungkin. Jika masih juga gagal, toh masing-masing sekolah mempunyai otoritas untuk memasukkan mata pelajaran jurnalistik menjadi muatan lokal. Masalahnya kemudian, bukan pada rumitnya birokrasi itu, melainkan dari kita; mau atau tidak? 

Tanggungjawab bersama
Gagasan perlunya mata pelajaran Jurnalistik masuk dalam kurikulum, menjadi tanggungjawab semua pihak. Wartawan sebagai pendorong melalui media, kepala Dinas Pendidikan Nasional dengan otoritasnya, guru dan kepala sekolah melalui komitmennya, walimurid mengalang massa, untuk kemudian mendorong terwujudnya mata pelajaran jurnalistik sebagai bagian dari kurikulum di sekolah.

Sebagai persiapan, semua pihak yang memiliki kompetensi dan komitmen dalam bidang jurnalistik berkumpul, untuk kemudian menyusun kurikulum, sesuai dengan jenjang pendidikannya masing-masing. Pada pertemuan inilah, sistem pengajaran dan sylabus mata pelajaran jurnalistik digali, dibahas, diperdebatkan, dikembangkan dan diterapkan dalam kurikulum sekolah. 

Tindak lanjut
Memasukkan jurnalistik dalam kurikulm sekolah, tentu bukan jaminan, siswa akan kemudian menjadi penulis andal. Semua membutuhkan proses. Semua perlu waktu. Dan untuk semua itu membutuhkan komitmen dari para pendidik dan dari siswa itu sendiri. Sebab, salah satu diantaranya putus di tengah jalan, maka jurnalistik ini hanya akan menjadi “cerita sejarah”, sebagaimana yang menggejala di beberapa perguruan tinggi. Mereka pernah mengambil mata kuliah Jurnalistik, tetapi mereka tidak bisa mendapat tambahan royalty dari aktifitas jurnalistiknya. 

Mengantisipasi kemungkinan buruk sebagaimana yang terjadi di beberapa perguruan tinggi, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh sekolah, atau Yayasan yang menaungi institusi pendidikan, agar siswa mempunyai komitmen untuk tetap melakukan kegiatan jurnalistiknya. 

Tahun 2007 Balai Bahasa Palembang, menggagas program “Bengkel Sastra”. Program ini, menjaring bakat dan minat beberapa sekolah, untuk kemudian dibina oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidangnya masing-masing. Ada kelompok Cerpen, Teater, Puisi, Musikalisasi Puisi dll. Ini hanya contoh kecil saja. Tetapi paling tidak, gagasan itu dapat diadopsi, dan diterapkan dalam konteks ke-jurnalistikkan di sekolah. 

Praktiknya nanti, sesuai dengan sifat ilmu jurnalistik yang praktis aplikatif, (jika tidak dipraktikkan akan hilang), maka pembentukan kelompok pertemuan mingguan melalui kegiatan ektrakurikuler menjadi penting artinya. Dari pertemuan-pertemuan inilah, untuk komitmen masing-masing siswa akan terjaga, sehingga semangat menulis secara perlahan akan terbangun dengan sendirinya. Jika metode ini dapat berjalan secara rutin, dalam rentang waktu 3 – 6 bulan, akan muncul penulis-penulis muda berbakat, yang kelak bukunya siap diterbitkan oleh sekolah dan dijual di setiap toko buku di Indonesia. Semoga, jurnalistik menjadi ‘napas’ dalam kehidupan setiap siswa, sehingga jurnalistik akan menjadi “urat nadi intelektual” di setiap sekolah. Insya Allah.(*) 

Tanjung Enim, 3 Januari 2007

Sabtu, 23 Juli 2016

Neo Lysistrata

Cerpen Imron Supriyadi

Minggu terakhir, Pak Kardi, Boss di sebuah perusahaan yang bergerak di periklanan, sedang merasakan puncak kesuksesan. Betapa tidak, dalam enam bula terakhir, perusahaan yang dipimpinnya berhasil meraup untung diatas target. Kalau dibahasakan dengan istilah yang ngetrend, perusahaan Pak Kardi sedang mendapat surplus. Tentu saja, kesuksesan Pak Kardi ini, tidak lepas dari dukungan semua pihak, baik karyawan ataupun kepercayaan klien yang sudah banyak mempercayai pada Pak Kardi untuk membuat iklan.

Suatu ketika, Perusahaan Pak Kardi mendapat tawaran untuk membuat iklan yang aagak syuur. Pesanan iklan ini, sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan perempuan, tetapi, pihak klien meminta agar Pak Kardi bisa menampilkan iklan ini dengan sosok perempuan cakep dengan gaya sedemikian rupa. Tentu saja sebagai daya tarik publik.
“ Jika iklan ini berhasil, you bisa teken kontrak lebih panjang lagi, Pak”, Begitu janji manis klien Pak Kardi ketika mengadakan negosasi dikantornya.
Tentu saja, kesempatan ini tidak disia – siakan oleh Pak Kardi. Dalam waktu singkat, Pak Kardi sudah mendapat ide, sekaligus seorang perempuan yang akan menjadi tokoh utama dalam iklan itu. Berkat kerja tim yang sudah terlati, perusahaan Pak Kardi berhasil membuat iklan dengan gaya yang khas. Hampir tidak ada kesan mengadopsi dartiproduk lainnya. Iklan ini, ternyata bukan saja ditayangkan dilayar televisi, namun diterbitkan juga oleh beberapa media dalam dan luar negeri. Dengan simbol seorang perempuan yang berpose setengah bugil, iklan ini kemudian mencuat menjadi iklan yang digemari oleh semua kalangan. Bahkan seorang anak dibawah umurpun sempat hapal dengan joke – joke dalam iklan itu.
Akhirnya, Pak Kardi mendapat selamat dari beberapa klien dan koleganya. Bahkan, hari – hari berikutnya, perusahaan Pak Kardi tak henti – hentinya mendapat tawaran untuk pembuatan iklan. Tapi resikonya, dalam beberapa hari belakang, Pak Kardi memang harus kerja ekstra dibanding hari sebelumnya. Konsekuensinya, Pak Kardi juga harus pulang larut. Bahkan, kadang – kadang Pak Kardi terpaksa tidur dikantor.
Pada suaru malam, Pak Kardi baru saja pulang dari kerja. Pak Kardi tampak lusuh. Guratan diwajahnya, menggambarakan dirinya sedang begitu lelah. Dalam benaknya, terbnayang sambutan Tina, istri tercintanya dengan senyum ramah dan ciuman mesra. Tapi apa yang terjadi ? Semua bertolak belakang, dengan apa yang dibayangkan.
“ Ini hasil kerjamu selama beberapa hari kau tak pulang kerumah ! Rupanya Papa sudah puas dengan berbagai model, ya!”, Serang Tina seketika, sembari melempar sebuah surat kabar ke hadapan suaminya itu.
Pak Kardi sempat terkejut. Sebab, selama ini, yang ia ketahui, istrinya hanya tahu bahwa Pak Kardi bekerja sebagai pimpinan perusahaan yang bergerak di bidang periklanan. Tentang bentuk,produk dan iklan apa Pak Kardi tak pernah cerita tentang itu.
“ Tenang – tenang, Ma. Ia hanya seorang photo model, bukan seburuk yang kau bayangkan itu, Ma!.
“ Alaah, laki – laki ! Dimana saja juga sama ! Jawabnya selalu begitu. Enggak, deh, Ma. Swer, deh, hanya kau yang aku cinta, percayalah, Ma”.
“ Hemh ! Dasar laki – laki !”. Begitu sinis jawab Tina.
Malam itu, Pak Kardi, tak berhasil juga membujuk Tina istrinya untuk memahami hasil kerjanya. Bahkan , sampai sepertiga malam terakhir, Pak Kardi tak mendapat jatah seks dari Tina. Nah, mati lho, begitu kata haiti Tina, ketiak Tina mengelak untuk diajak bercinta malam itu.
Pagi hri, rumah Pak Kardi tampak ramai puluhan wartawan media,wartawan foto dan wartawan elektronik . Semua pekerja pers itu memenuhi rumah Pak Kardi. Menik, anak perempuan satu – satunya dari keluarga itu sudah tahu apa yang akan diperbuat oleh Tina, mamanya.
Hari itu, Tian dan Menik sekongkol untuk bersedia diekspose dengan setengah bugil. Sama seperti ketika Pak Kardi meng – ekspose pra model dibeberapa surat kabar. Sesaat para wartawan terperanjat. Sebab spesialisasi wartawan yang hadir beragam. Ada wartawan ekonomi, ada wartawan Hankam dan ada juga wartawan yang senang menjadi humasnya Pemda. Dan menunggu press release.
“ Mas – mas wartawan nggak usah ragu. Ini sudah kesepakatan saya dan anak saya, kok ! “’ Begitu kata istri Pak Kardi menjelaskan kepada para wartawan, yang tampak heran.
Beragam gaya, dan pakaian dikenakan setengah bugil. Jepretan – jepretan foto sudah tak terhitung lagi. Demikian juga Menik, ia secara bergilirandifoto berbagai gaya.
” Tante, posisis tante bisa agak menunduk lagi?” Celetuk wartawan, yang belakangan adalah wartawan yang suka gituan.
“ Oh, bisa – bisa. Bgaimana ? Beginbi?, begini?, atau begini?, Kata Tina tak malu – malu lagi berganti – ganti gaya, sembari mem[perlihaykan bagian – bagian tubuhnya yang sebenarnya hanya hak suaminya.
Bermacam gaya juga dilakukan oleh Menik, anak perempuan Pak Kardi. Ia tak kalah erotisnya dengan Mamanya yang masih genit. Tapi menurut bisik – bisik para wartawan, gaya Menik lebih memikat ketimbang Mamanya.
“ Wah ya sudah pasti, Menik kan masih a-be-ge, lagi mengkel – mengkelnya”, Seloroh wartawan lainnya tak kalah ngeresnya.
Hampir setengah hari para wartawan berada di rumah Pak Kardi, . Hanya untukmemotret Tina dan Menik.
“ Eh, Mas wartawan, tolong ya, gambar saya dibuat kaya begini ya, biar agar syuur, gitu, oke! “, ujar Tina, sembari menunjukkan model iklan yang diproduksi oleh perusahaan Pak Kardi suaminya.
“ Gampang, itu bisa diatur”, jawab wartawan itu enteng.
Malam mejelang, Pak Kardi pulang. Tina dan Menik menyambut dingin. Bahkan, Pak Kardi tak menemukan siapapun dirumah itu, kecuali hanya pembantu yang membukakan pintunya. Beberapa malam itu, Pak Kardi sudah menangkap sesuatu hal yang kurang enak di rumah itu.
“ Menik!…Menik!” Pak Kardi memanggil anak peempuannya. Tak ada sahutan apapun dari dalam kamar Menik.
Pak Kardi makin penasaran dengan situasi itu. Beberapa kali, ia mengetuk pintu kamar Menik, tapi ia tak berhasil menekan Menim untuk keluar dari kamarnya.
Dan betapa kagetnya, ketiak Pak Kardi masuk kamar pribadinya. Ia tak juga menemukan istrinya dikamarnya.
Pak Kardi kembali melangkah mendekati kamar Menik.
‘’ Heh! Apa – apaan kalian! Kalu mau protes jangan begitu dong caranya. Semua kan bisa dibicarakan. Kalu kalian mau protes ya harus prosedural, struktural dan konstitusional, jangan ngamar begitu”, Ujar Pak Kardi yang sudah menduga, isteri dan anaknya telah sekongkol.
Sesaat, Pak Kardi harus mengaruk – garuk kepalanya yang tidak gatal. Sebentar – sebentar mondar – mandir didepan kamar Menik. Sesaat menyalakan rokok untuk membuang gelisah dan kekesalan. Tapi Pak Kardi tak juga menemukan jalan keluarnya, bagaimana harus menarik dua orang yang ada di dalam kamar.
Sampai menjelang pagi, Menik dan Mamanya, tidak juga keluar dari kamrnya. Sementara, terpaksa Pak Kardi harus tidur di sofa ruangan tamu malam itu. Ia tidur tanpa selimut, sekaligus tidak juga ditemani oleh Tina isterinya.
Pagi hari, sepertinya, Pak Kardi sudah tak bisa lagi menahan emosi dadanya yang penuh sejak semalam. Belum lagi, pagi itu, Pak Kardi membaca sebuah surat kabar pagi itu, dengan dua prifil perempuan sekaligus dengan pose setengah bugil. Kedua wajah itu benar – benar sudah ia kenali. Siapa lagi kalau bukan anak dan isterinya.
Kali ini, Pak Kardi benar – benar kebakaran jenggot. Ia tak mendugas sama sekali kalau anak dan isterinya telah bersekongkol melakukan foto setengan bugil di depan kamera untuk publikasi. Pak Kardi benar – benar terhempas batinya. Ia merasa ditampar!
Seolah, keberadaannya sebagai suami tidak lagi dihargai.
Amarahnya muncul. Beberapa kali, Pak Kardi menggedor – gedir pintu dengan harapan, tina dan Menik akan segera keluar dan mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Pak Kardi menggedor pintu lebih keras lagi. Tentu saja, gedoran pintgu sempat mengganggu ketenangan Tina dan Menik, yang sebenarnya sudah bangun sejak pagi tadi.
Sesaat kemudian, pintu terbuka. Menik dan Tina langsung menyongsong Pak Kardi dengan kalimat – kalimat yang kurang bersahabat.
‘’ Sekarang apa maumu, Pa!? Apa maumu ?! Ayo jawab!?”, Kata Tina menantang. Tangannya bertolak pinggang. Seakan, ia sedang menghadapi musuh untuk segera bertarung.
Menik hanya berlindung dibelakang Mamanya.
Melihat itu, Pak Kardi merasa terpojok oleh Tina dan Menik. Ia pun bangkit . wajahnya menatap tajam kearah Tina dan Menik. Matanya melotot ke arah anak dan isterinya secara bergantian. Pagi itu, Pak Kardi memang harus mengembalikan posisinya sebagai suami dan seorang Bapak bagi anaknya.
Apa yang telah kalian lakukan dalam koran ini, heh’’, Ujar Pak Kardi sembari memperlihatkan gambar perempuan berpose setengah bugil ke hadapaan mereka. Mereka berdua hanya mencibir sinis. Karena mereka sudah pasti tahu mengapa itu harus terjadi. Kalu sebelumnya Tina yang menyodorkan koran kepad Pak Kardi, kali ini, giliran Pak Kardi yang menyodorkan kehadapan Tina.
‘’ Nih, lihat! Ini!’’, Kata Pak Kardi kesal, ketiak melihat Tina dan Menik hanya saling pandang.
‘’ Trus, sekarang semua sudah terjadi, lalu apa ayang ingin Papa lakukan pada aku da Menik, ayo lakukan saja !”, Tina kembali menantang.
‘’ Ini merusak nama baik, Ma.. nama baik !!….”
‘’ hmh ! Nama baik ! Nama baik macam apa yang Papa makd\sud. Nama kali ini bukan lagi waktunya untuk bicara nama baik, Pa ! Papa yang lebih dulu mencemarkan nama baik perempuan yang telah melahirkan kaum laki – laki ! ‘’, Kata Tina sedikit argumentatif.
Sampai di ujung siang, persoalan tak juga selesai. Pak Kardi tetap mempertahankan prinsipnya. Iklan dengan perempuan setengah bugil - nya terus di- ekspose oleh Pak Kardi dan cru. Tentu saja demi keuntungan bisnis. Seminggu setelah kejadian itu, Pak Kardi menjumpai kabar yang lebih buruk lagi tentang anak dan isterinya. Tina dan Menik tampil lebih bugil dari sebelumnya. INI PROTES DARI KAMI, begitu judul besar yang tertulis diatasa cover surat kabar mingguan. Pak Kardi benar – benar tertampar oleh ulah nak dan isterinya hari itu..
‘’Pak, ada model baru yang bisa kita berdayakan di promo kita, Pak, “ Ujara karyawan Pak Kardi yang sama sekali tidakmengetahui jika kedua perempuan itu adalah anak dan isteri Pak Kardi.
‘’ Iyya, Pak, kayaknya model ini tampil lebih berani dari model – model yang kita tampilkan !’, Ujar yang menimpali.
Pak Kardi diam. Ia hanya tersandar lemas di sofa panjang. Drama Lysistrata, sepertinya sedangan menghujam diri Pak Kardi. Liysistrata, sebuah kisah aksi mofok seks para kaum perempuan, ketika para suaminya tak bersedia menghentikan perang. Berkat protes kaum perempuan itu, akhirnya perang berhenti. Mungkin ini Lysistrata buat Pak Kardi . Ya, Neo Lysistrata.**

Palembang, Demang L, daun. 10 Agustus 2000
Sriwijaya Pos, Minggu 26 September 2000



Sabtu, 03 Januari 2015

Yang Lebih Perkasa Orang Sakit


Tahun 2010, menjelang kelahiran anak saya yang pertama, isteri saya sakit. Ada sekitar 2 bulan ia harus terbaring. Sementara, penghasilan terbatas dari pekerjaan saya, ketika itu tidak bisa mencukupi biaya pengobatan. Dengan sendirinya kian hari kian menipis. Tinggal satu-satunya adalah maskawin. Sebagai suami, ketika itu saya tidak terucap untuk bicara pada isteri. Sebab bagi saya, maskawin menjadi seuatu yang sakral. Kali itu ada terbersit keinginan untuk menjual maskawin. Tapi mulut saya terkunci. Saya sangat tahu, isteri saya begitu sayangnya, sehingga untuk melepas maskawin yang menjadi sejarah pernikahan kami akan berat ia lakukan. Sudah tentu, jauh sebelum sakit, isteri saya sangat keberatan untuk melepas maskawin, apalagi ketika itu hanya sekadar akan dijual untuk memenuhi kebutuhan perut dan persiapan kelahiran. Tapi kali itu tak ada pilihan, kecuali saya harus sampaikan kepada isteri saya. Prinsip saya, untuk apa menahan harta benda, sementara mutiara dan belahan jatung hati saya terbaring sakit? Akhirnya saya beranikan diri bicara pada isteri saya. “Bagaimana kalau maskawin kita jual saja, untuk tambahan biaya pengobatan,” ujar isteri saya, beberapa detik sebelum saya berucap. Subhanllah! Demikian kuatnya energi dari langit, sehingga seketika tenaga itu mendorong isteri saya untuk menyatukan kata hati saya saat itu. ** Dalam sejarah, budaya patriarki sudah demikian kuat mengakar di Sumatera Selatan (Sumsel). Akibatnya, posisi laki-laki seolah menjadi “raja” di rumah tangga. Sampai-sampai, tradisi ini, seolah mengajarkan ; semua pekerjaan dapur adalah urusan perempuan. Sementara laki-laki tidak boleh sedikitpun berurusan dengan dapur, termasuk diantaranya menimba atau mengangkut air dari sumur ke dapur. “itu aib,” kata bapak saya suatu ketika. Tapi ketika Idul Fitri tahun lalu, saat saya, isteri dan anak-anak mudik ke rumah orang tua di pojok desa Sumatera Selatan, ada perasaan prihatin melihat emak. Sejak mesin airnya mati, emak harus mengangkut air ke dapur. Padahal rumah kami panggung. Sehingga emak harus setiap hari menimba dan mengakut air ari sumur ke dapur, setelah sebelumnya emak harus menaiki tangga yang menuju dapur. Sementara bapak saya, karena kuatnya memegang budaya patriarki, tak sedikitpun bergeming guna membantu emak, walau sekadar menimba air sumur untuk keperluan mandi. Saat kami sudah kembali ke Palembang, kami mendengar nenek kami sakit. Selama tiga bulan lebih nenek terbaring tak berdaya. Semua harus dilakukan diatas tempat tidur. Kencing, berak, makan dan semuanya. Tak ada pilihan lain, emak yang harus mengurus semuanya. Sejak menyuap sampai bersih-besih kotoran. Tapi kata Emak, sejak nenek sakit sampai akhirnya sembuh, bapak sekarang menjadi orang yang sangat empatik terhadap dapur. Memang bukan untuk memasak. Tapi bersedia meringankan beban emak untuk menimba dan mengangkut air dari sumur ke daur. Bahkan bapak juga sesekali memenuhi semua bak mandi, ember di sumur sampai penuh. Sakitnya nenek, ternyata menjadi “alat Tuhan” untuk mengantar dan menyalurkan energi-Nya yang kemudian “memaksa” bapak saya untuk peduli terhadap keseharian emak. ** Kejadian serupa, sangat mungkin pernah menimpa Anda. Saat seseorang sakit, apakah anak, ibu, ayah, nenek atau tetangga kita sakit. Sudah tentu akan memaka para sanak saudara dan tetangga untuk besuk (menengok) ke rumah sakit atau ke rumah kita, yang sama sekali tidak pernah terpikrikan sebelumnya. Atau bahkan sangat terasa berat karena kesibukan. Tapi satu hal yang tidak bisa terbantahkan, setiap orang sakit akan selalu mendapat “pelayanan istimewa” dari sebelumnya. Siapapun, tidak ada yang kuasa menolak perintah dari orang yang sedang sakit. Hampir semua permintaannya dituruti, kecuali hal yang dilarang dokter atau yang membayahakan si pasien. Termasuk dari dua peristiwa diatas yang kemudian menyadarkan saya, betapa orang sakit punya kekuatan dahyat untuk “memaksa” orang sehat agar melakukan sesuatu, yang mungkin sebelumnya sangat berat dilakukan. Sama beratnya ketika saya harus menjual maskawin isteri saya. Tetapi faktanya malah berbalik. Justeru isteri saya yang “memaksa” saya untuk menjual maskawin, ketika dirinya sedang sakit. Demikian halnya sikap bapak saya yang sangat kuat memegang tradisi patriarki, yang enggan membantu emak, walau sekadar menimba air. Tapi kenyataanya, dengan lantaran nenek sakit, disitulah Tuhan telah “menyampaikan pesan” kepada bapak saya, yang kemudian bapak saya ‘dipaksa’ untuk menjadi orang peduli terhadap emak, hingga sekarang. Ternyata, melalui orang sakit, Tuhan telah menyusupkan energi “Al-Qahhar (Maha menundukkan) dan Al Jabbar (Maha Perkasa)” kedalam detak jatung setiap kita, ke bilik saya dan bapak saya. Dalam kondisi isteri saya dan nenek sakit itulah, saya dan bapak saya membuang “gensi pribadi” untuk kemudian melalukan sesuatu demi sebuah kesembuhan orang-orang yang kita cintai. Subhanallah! Palembang, 9 Juli 2014

Senin, 30 Juni 2014

Penyadaran dari Sebotol Kecap






Hari Sabtu, Mei 2014. Seperti hari sebelumnya, saat masa libur saya selalu menyempatkan untuk mengisi hari dengan bersih-bersih rumah. Bahkan sesekali saya menghibur diri dengan memasak.

Sementara isteri saya, mengantar kedua anak saya sekolah. Mereka baru akan kemballi ke rumah setelah lepas pukul 11. 30 WIB. Di tengah keheningan itu, saya menyibukkan diri dengan sejumlah aktifitas rumah. 

Biasanya tumpukan pekerjaan itu dilakukan isteri saya, jauh sebelum fajar menjelang. Tapi sudah menjadi tradisi di dalam rumah tangga saya, ketika Hari Sabtu dan Ahad, saya menggantikan “posisi” isteri saya. 

Pendapat sejumlah orang yang mengatakan; “Perempuan selalu identik dengan memasak, mencuci dan mengurus anak” sudah sejak menikah di tahun 2004, atau bahkan sejak saya merantau 1990-an, pola pikir seperti itu sudah jauh dari benak kami. 

 Bagi saya, urusan sumur, dapur dan kasur, bukan hanya urusan perempuan, tetapi menyangkut tanggungjawab bersama dalam rumah tangga. Jadi di rumah saya, urusan dapur, sumur dan kasur, “tidak mengenal kelamin”. Sebab perbedaan laki-laki dan perempuan hanya persoalan haid, melahirkan dan nmenyusui. 

Selebihnya menjadi tanggungjawab bersama antara suami dan isteri. Saat rumah dalam keadaan “sepi” saya kemudian membereskan apa yang bisa saya lakukan. Dari depan sampai belakang. Ketika pekerjaan usai, saya kemudian baru mengambil sepering nasi, sayur dan sambel tomat hasil dari “olahan” saya. Tak lupa segelas air putih dan kopi pahit tanpa gula, selalu mendampingi sarapan pagi saya. 

Tapi saat saya hendak memulai sarapan, saya merasa ada yang terlupa. “O, iya kecap manis, ternyata belum melengkapi sarapan pagi itu,” ucap saya dalam hati. Entah berapa kali saya harus bolak balik ke dapur untuk mencari kecap. Saya benar-benar lupa. Sebab ketika saya membereskan dapur, biasanya semua benda yang sebelumya teratur, pasti saya “bongkar” dan kemudian saya rapikan lagi. 

Tapi kali itu saya benar-benar lupa dimana meletakkan sebotol kecap, yang biasanya diatas meja makan. Karena saya tidak mau pusing, saya melanjutkan sarapan sampai tuntas. Setelah cuci tangan, saya harus mengeringkan tangan dengan lap makan. Ketika itu saya baru ingat, lap tangan masih saya letakkan diatas lemari es. Saya lupa membereskan. “Allahu Akbar!” ujar saya spontan. Ternyata botol kecap yang saya cari persis berdampingan dengan lap tangan. Ketika itu, batin saya tersentak dan tersadar. 

Ternyata Tuhan sedang menunjukkan letak botol kecap, dengan cara “memerintahkan” saya mengambil lap makan. Keterlupaan saya terhadap botol kecap, ternyata ditunukkan Tuhan melalui lap tangan. 

Demikian bijak Tuhan memberikan “petunjuk” kepada hamba-Nya. Seringkali, dalam keseharian, apakah saya, Anda dan siapapun mengalami ke-alpaan terhadap sesuatu yang wajib ketemu. Tetapi saat dicari, benda yang ‘wajib ketemu’ itu tidak juga ditemukan. Hingga akhirnya kita sering memarahi ke semua anggota keluarga. 

Menyalahkan rekan kerja. Tidak jarang, emosi kemudian meledak. Tetapi setelah beberapa menit, atau beberapa hari kemudian, ketika kita tidak mencarinya, Tuhan selalu menunjukkan dengan “jalan lain” sama seperti saya, untuk menemukan botol kecap, saya “dipaksa” untuk lebih dulu mencari lap makan. Saat itu Tuhan seolah sedang berkata pada saya ; keterlupaanmu sengaja Aku ciptakan untuk setiap mahluk, supaya mahluk ciptaan-Ku sadar dan mengerti tentang keterbatasannya. “Hanya Aku yang Maha Tahu,” kata Tuhan pada saya. 

 Komplek Polygon – Palembang, 13 Mei 2014

Mutiara Hati Kebohongan

24 Desember 2013. Pukul 10.35 WIB. Isteri saya pulang dari menjemput, Kahfi, anak saya yang kali itu masih di TK Nol Kecil. Wajah isteri saya kali itu tampak lelah, karena sejak pukul 08.00 – 10.30 WIB harus menunggu Kahfi di sekolah. Sebagai suami, saya kemudian menyodorkan segelas air putih sebagai pelega dahaga tenggorkan isteri saya. “Kok msih di rumah,” tanya isteri saya. “Besok koran tidak terbit karena Hari Natal, jadi hari ini libur,” jawab saya. “Jadi hari ini dan nanti malam, ayah full di rumah?!” isteri saya tampak girang, karena bila hari kerja, waktu saya hampir separuh malam, tersita untuk mengurusi surat kabar harian Kabar Sumatera. Risikonya saya setiap hari harus pulang pagi. Karena besok Hari Natal, kali itu saya punya waktu panjang untuk bercengkrama dengan keluarga. Untuk mengisi hari kosong, seperti biasa saya melakukan apa saja yang bisa saya lakukan, yang penting saya jangan tidur. Kebetulan ada tugas pribadi yang harus saya selesaikan hari itu, sehingga saya punya waktu banyak untuk bertemu dengan isteri dan anak-anak saya. Di tengah ke-asyikan saya menulis, tiba-tiba isteri saya mengajak bercerita. “Bu, Yayah, guru Kahfi tadi menggerutu,” seketika isteri saya membuka pembicaraan. Sesaat, saya kemudian menghentikan jemari saya yang sibuk dengan laptop. Sebagai suami, kapan dan dalam kondisi apapun perasaan saya, kali itu saya berkewajiban mendengar cerita atau bahkan keluhan isteri saya. Meskipun tema yang dibicarakan kadang-kadang tidak terlalu menarik. “Memang kenapa kok sampai Bu Yayah menggerutu?” tanya saja memancing cerita. Isteri saya masih mengibas-ngibaskan jilbabnya yang sudah dilepas, untuk mengurangi hawa panas di dalam rumah karena kali itu kipas angin juga sudah rusak. “Bu Sar, salah satu wali murid sempat janji sama Bu Yayah,” lanjt iseri saya. “Memang janji apa, kok sampai seserius itu,” tanya saya lagi. “Katanya Bu Yayah, wali murd yang namanya Bu Sar mau membuatkan bolu-lah, mau membawakan sayur masakan dia-lah. Sampai Bu sar akan membawakan dan oleh-oleh untuk Bu Yayah, karena suami Bu Sar baru pulang dari luar kota,” lanjut isteri saya lagi. “Lantas apa masalahnya, sampai Bu Yayah menggerutu?” kata saya setengah ingin tahu. “Ya, itu tadi. Janji tinggal janji. Bu Sar tidak pernah menepati omongannya. Makanya, Bu Yayah kesal. Kata Bu Yayah ; dia itu banyak janji bohong. Katanya mau bawakan saya ini dan itu, tapi cuma ngomong doang! Dasar perempuan!” ujar isteri saya menirukan Bu Yayah yang kesal pada Bu Sar. “Salah Bu Yayah sendiri! Hari gini kok masih percaya dengan janji. Jangankan Bu Sar, sekelas anggota dewan, kiai yang berpolitik, bupati, wali kota, gubernur dan presiden saja, sekarang masih suka bohong, apalagi level wali murid?!” saya menimpali. “Temanya kok jadi lebar, sampai gubernur segala! Ini cuma cerita Bu Sar dan Bu Yayah di sekolah,” isteri saya agak kesal dengan celoteh saya yang agak melebar. “Lho, maksud ayah kalau janji bohong itu mau diibaratkan ikan, pasti busuknya dari kepala dulu. Jadi kalau kepalanya sudah busuk, seluruh badannya juga akan busuk. Sama dengan janji bohong tadi. Kalau dari pucuk pimpinan saja sudah busuk alias mengajari janji bohong, rakyatnya akan meniru juga pembohong,” saya buat analogi yang menurut saya agak sesuai. “Tapi, ya tidak bisa begitu. Masak, keburukan orang di bawah kemudian jadi pembenaran kebohongan! Nggak wajar. Itu tergantung orangnya. Sudah, ah! Kok jadi ngelantur!” isteri saya kian kesal. Wajahnya mulai bersungut. Hampir saja ia beranjak dari tempat duduk dan ke kamar. Tapi tidak jadi, karena saya bahunya saya tahan. “Oke! Oke! Say, jangan marah dulu. Ayah siap dengar!” Saya mencoba menenangkan isteri saya yang kekesalnnya mulai menebar. “Terus, apa kata Bunda?” saya memancing dialog lagi. “Tadi Bunda cuma ngomong sama Bu Yayah : Bu, kalau kita berharap dengan manusia memang begitu. Kan Bu Yayah sendiri yang bilang, katanya banyak wali murid yang bercerita, kalau janji Bu Sar itu tidak prnah ditepati. Jadi kenapa Bu Yayah masih percaya?” ujar isteri saya setengah menyalahkan Bu Yayah. “Bener kata Bunda tempo hari, kalau kita berharap dengan manusia, tidak bisa dipegang omongannya. Banyak yang meleset,” Bu Yayah seketika inat lagi dengan obrolan sebeumnya dengan isteri saya. “Itu risiko, Bu. Makanya lain waktu kita jangan berharap dengan mahluk, karena banyak bohongnya,” tambah isteri saya. “Maksud Bunda mahluk halus?” Bu Yayah berseloroh. Sepertinya Bu Yayah belum nyambung dengan arah jawaban isteri saya. “Ah! Bu Yayah ini, kok mahuk halus. Maksud saya, lebih baik kita berharap dengan yang menciptakan mahluk. Pasti tidak pernah bohong!” ujar isteri saya mengutip dari Kiai Madjid yang pernah didengarnya saat masih tinggal di Tanjung Enim. “Ah, Bunda ini seperti ustadzah saja,” ujar isteri saya menirukan Bu Yayah. Saya yang mendengar hanya manggut-manggut. Dalam hati, saya berharap agar cerita isteri saya kali itu, bisa memberi pelajaran dan mutiara hati bagi saya, atau kepada siapapun, agar setiap perilaku fisik dan batin dalam menghidupi keluarga, untuk selalu berhara kepada Sang Pencipta Mahluk dan bukan pada mahluk ciptaan-Nya.** Jalan Swadaya – Palembang, 27 Desember 2013 Pukul. 02.03 WIB.