Senin, 28 Mei 2012

POLEMIK SASTRA-POLITIK

Penulis mengira, polemik tentang sastra-politik-sastra, akan hampir selesai dan pembaca akan menyimpulkannya sendiri. Ternyata hari ini, kita harus menurunkan tulisan Jones Gultom. Mungkin minggu depan tulisan M. Raudah Jambak yang mulai ikut nimbrung. Polemik sehat ini benar-benar membuat kitra bahagia. Karena menurut para teman-teman, sudah 25 tahun lebih polemik serius seperti ini, tidak ada di Medan. Nyatanya, polemik seperti ini mendapat tanggapan dari berbagai kalangan pembaca. Bukan saja pembaca yang ada di Medan, juga dari pembaca di luar provinsi Sumatera Utara, juga bahkan dari Pulau Jawa yang membacanya via internet. Wah.. Mas Idris, ternyata Medan itu hidup betul dan sangat fair, kata seorang teman dari Jawa Timur yang setiap minggunya mengikuti kehadiran Rebana. Menurutnya, selain Jakarta, Rebana adalah ruang Sastra dan Budaya yang termasuk dalam hitungan di Indonesia. Terserah, apakah itu pujiannya sebagai lips service atau kenyataan. Banyak yang mengatakan, Rebana memang sebuah ruang yang selalu mereka ikuti, selain koran Jakarta dan majalah Horison. Dari rekan itu pula penulis mengetahui, kalau “perang” antara T. Khaidir dan Budi P Hatees juga Yulhasni ada di Face Book. Perang mereka di Face Book itu, ternyata diikuti oleh ribuan orang pula. Tentunya para pembaca yang menilai, mana yang benar dari perang mereka itu. Beberapa tulisan dari rekan-rekan yang mengirimkan tulisannya ke Rebana, memang sengaja pula kita batasi. Jika tidak, para penulis dari Sumut-Aceh, akan kehilangan tempat berekspresi. Tidak adil, ya keadilan itu memang sangat mahal. Karena terus terang saja, banyak juga media di Jawa yang tak pernah mau memuat tulisan rekan-rekan dari Sumatera (bukan hanya dari Medan). Adilkah itu? Lantas, kita juga harus berani mengatakan, kalau tidak semua tulisan dari Pulau Jawa itu lebih bagus dari penulis Medan. Tidak. Penulis Medan juga memiliki kekuatan sendiri, jika mereka mau melihatnya dari kaca mata yang benar. Pernah satu kali di TIM penulis bersuara agak keras, ketika seorang rekan sastrawan berbicara,; orang Medan itu lucu. Sebabnya karena orang medan bicara menyatakan sangat, menyebut kali. Kali itu kan sungai? Penulis menghentak dengan keras. Mereka mencontohkan, Bagus kali, seharusnya bagus sangat. Kenapa tidak bagus lautan? Mereka lupa kalau kali itu adalah Bahasa Jawa yang artinya sungai, bukan Bahasa Indonesia. Kali artinya ganda. Bagus kali, artinya bagus yang ganda atau lebih dari bagus. Ketika terjadi polemik yang sampai kini masih ada tanggapannya, mereka baru mengakui, kalau Medan itu fair dalam menanggapi tulisan orang lain. Penulis katakan, itu adalah era sekarang, kalau era tahun 1960 sampai 1970-an tidak juga. Sebab era ketika itu yang ada adalah Marpoken dan sangat tidak fair, dimana para sastrawannya suka memuji diri sendiri alias onani. Bahkan sampai sekarang masih ada sastrawan era itu, suka memuji dirinya. Tahun 1990-an, sebuah kelompok diskusi di TBM yang kami bangun dengan Ris Eneste bernama Kelompok diskusi Pondok Gerimis, juga mendapat cercaan. Pondok Gerimis ketika itu, tidak hanya mendiskusikan soal kesenian, juga soal ekonomi, politik dan sebagainya. Surutnya diskusi itu, karena pesertanya justru tak mampu mengikutinya, karena keterbatasan pengetahuan umum mereka tentang hal yang didiskusikan. Dengan ngedumel (minjam istilah dari Jawa), mereka mengatakan, diskusinya entah apa-apa saja pun! Begitu terjadi gejolak ekonomi, katakan krisis moneter tak seorang pun yang mampu menulis hal tersebut. Hanya ada tulisan tentang krisis moneter dalam bentuk karya sastra setelah mengikuti diskusi dengan Dr. Polin Pospos, MA seorang ekonom handal di Indonesia. Kenapa tak ada karya seni tentang krisis moneter? Baik itu sastra, tari, musik, rupa dan sebagainya? Terus terang saja, mereka tidak mengerti apa yang mau mereka tulis. Ketika penulis puisi Nebis in Idem dan terbit dalam antologi Puisi yang diselenggarakan oleh pertemuan Taman Budaya se Sumatera di Lampung, banyak teman-teman di Medan juga mengejeknya. Penulis hanya diam dan berbisik dalam hati saja; ternyata kau adalah sastrawan tertolol di dunia, yang tidak mau mencari apa itu nebis in idem. Dengan jujur, mari kita telisik cerpen-cerpen kita yang terbit di Medan. Bicara tentang lingkungan hidup yang sudah rusak parah umpamanya. Mana tulisan hal ini yang tertuang dalam karya sastra? Menurut Drs. Antilan Purba. MPd, yang ditulis hanya kulit-kulitnya saja, bahkan terkadang mereka tidak mengerti secara mendalam apa yang mereka tulis, katanya. Dengan bangga penulis senior kita berteriak dengan puisinya berkata; nandeee…, lalu ada kata nande lantas dia memuji dirinya sendiri, sudah menyatakan dirinya penulis yang mengangkat masalah perempuan Karo. Begitu gampangnya. Kemudian kita bertanya pula, sejauh mana pula pesastra kita menuliskan tentang politik dalam karya sastra mereka? Menurut Yulhasni, adalah NOL. Penulis setuju, karena pesastra kita tidak mengerti politik bahkan tak pernah membaca ilmu pengantar politik sekali pun. Apa yang mereka mau tuliskan? Jika ada alumni fakultas sastra dan bahasa yang duduk menjadi DPR, bukan berarti mereka seorang politisi, melainkan hanya karena keberuntungan belaka. Sastrawan boleh berpolitik secara praxis atau melalui karya sastra. Karena mereka tidak mengerti lalu berani dengan lantang mengatakan karya seseorang tidak bagus. Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Analisa (Medan), 25 September 2011.

Tidak ada komentar: