Senin, 28 Mei 2012
SASTRA PERLAWANAN TERHADAP ‘NEO-TAKHYUL’
Artikel bertajuk Gerakan Sastra Anti Neoliberalisme yang ditulis Viddy AD Daery (Republika, Ahad, 1 Juli 2007) menarik untuk dicatat. Ini bukan satu-satunya tulisan yang isinya sesunguhnya sama dengan yang pernah ditulis orang lain dalam media yang juga lain. Dalam tulisan itu, setidaknya dua nama disebutkan Sdr Viddy, yakni penyair Angkatan 66 Taufiq Ismail dan tokoh Komunitas Sastra Indonesia Wowok Hesti Prabowo. Kendati tulisan tersebut terkesan memparafrasekan lontaran pendapat Taufiq Ismail dan Wowok Hesti, toh sebagian besar uraiannya adalah hasil lalaran dan penalaran Viddy.
Jikalau dicoba diringkas, inti tulisan itu menggariskan: (1) ada dominasi ideologi sastra yang mendewakan neoliberalisme dan porno-praksis, (2) dominasi ini disosialisasikan para pemikir Komunitas Teater Utan Kayu (KUK), (3) dominasi itu menihilkan yang “bukan konco KUK”, (4) dan liberalisasi sastra ala TUK bersejalan dengan liberalisasi pemikiran agama yang dilakukan lewat Jaringan Islam Liberal (JIL).
Kalau diperjelas, dengan bahasa Viddy, sastra neoliberal itu ujudnya adalah karya nonsens yang tidak penting karena sibuk menggambarkan hal-hal sepele seperti pasta gigi, sikat gigi, celana, sarung, atau daun mapel, pohon willow, dan rumput azalea yang sukar didapatkan di Indonesia. Sementara, sastra porno-praksis sama dan sebangun dengan yang diterminologikan Taufiq Ismail: “syahwat merdeka”.
Yang model “syahwat merdeka” disebutkan salah satu tokohnya, yakni Ayu Utami, penulis novel Saman, juga salah satu penjaga gawang redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam. Sementara, kendati tak disebutkan nama-nama penulis sastra nonsens, saya mencoba meraba-raba, mereka antara lain adalah penyajak Joko Pinurbo, penovel dan pencerpen Nukila Amal, dan entah siapa lagi.
Dominasi atau hegemoni dimaksud antara lain termanifestasi lewat penganugerahan karya sastra versi TUK, atau pendudukan jabatan Komite Sastra di Dewan Kesenian Jakarta, selain “yang bukan TUK tak ambil bagian dalam festival sastra internasional” macam yang terselenggara di Belanda, Jerman, Bahama, Prancis, Ausralia, dan Amerika.
Pertanyaan penting untuk Viddy dan yang sepaham dengannya, dengan mengacu pada salah satu wujud ideologi “syahwat merdeka”, marilah kita comot salah satu nama Djenar Maesa Ayu, penulis kumpulan cerpen Mereka Bilang Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, dan novel Nayla.
Dengan logika bahwa karya-karysa Djenar sekubu dengan ideologi TUK, nyatanya dalam seleksi untuk sebuah event dan momentum pesta sastra internasional nama persisnya Utan Kayu International Literary Biennale 2003 yang dikelilingkan ke Jakarta, Denpasar, dan Surakarta, nama Djenar sama sekali tak ada dalam deretan pesastra internasional itu.
Pertanyaannya, tak termasuk “konco KUK”-kah Djenar mengingat namanya tak terseleksi, atau karena dia lebih karib dengan Presiden Penyair Mantra Sutardji Calzoum Bachri, yang juga dekat dengan pemilik galeri seni sekaligus dosen filsafat Tommy F Awuy yang juga menulis kumpulan cerpen Logika Fallus itukah “syahwat merdeka” kali ini dieliminasi?
Jika dalam ajang sastra internasional ini ada nama-nama A Mustofa Bisri dan Ahmad Tohari, bagaimana mempertanggungjawabkan pernyataan bahwa TUK cenderung anti peran agama alias sekuler? Adakah argumentasinya: Mustofa Bisri adalah penyair nonsens karena menulis soal balsem (sehingga dia dijuluki Penyair Balsem), sementara Ahmad Tohari “mengumbar syahwat” karena menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk. Atau, jangan-jangan faktor pelolosan Mustofa Bisri lantaran beliau adalah mertua Ulil Abshar Abdalla, sang komandan Jaringan Islam Liberal?
Sampai di sini, premis perihal syahwat itu sudah meragukan. Kalau mau lebih menegas-negaskan premis tersebut sekalian menyangkalnya; lewat oto-premis atau otokritik atau self-sangkal dalam Utan Kayu International Literary Biennale 2007, tersertakan nama-nama macam Abdul Hadi WM, Remy Sylado, Abidah el Khalieqy, dan Darmanto Jatman. Adakah nama-nama ini tergolong penyokong neo-liberalisme dan porno-praksis sebagaimana rumusan Viddy dan para pengikutnya (atau: para pelopor yang diikuti Viddy)?
Sampai di sini, saya agak ragu untuk meneguk pemahaman lain dari tulisan Viddy dan yang bersepaham perihal ideologi sastra ala TUK yang hendak ditandingi itu. Jangan-jangan yang dilawan hanyalah bayang-bayang. Jangan-jangan yang diberontaki hanyalah sebuah keomongkosongan atawa sejenis takhyul atau neo-takhyul yang seakan ada padahal hampa belaka adanya.
Saya tak paham bagaimana Viddy dengan simplistis menyejajarkan pemikiran sastra neo-liberal itu dengan liberalisasi pemikiran agama sebagaimana dilakukan JIL. Lebih terasa simplistis pula ketika dijabarkan bahwa aktivitas JIL adalah mendekonstruksi prinsip-prinsip ajaran Islam.
Saya kira, sebelum Viddy merumuskan “ideologi JIL”, harus dipahami bahwa dalam Islam sendiri ada yang namanya ijtihad, ijtima’, dan semacamnya. Yang paling elementer, komponen hukum misalnya, sumbernya adalah wahyu dan wahyu yang telah diintervensi akal. Wahyu berasal dari Alquran dan Sunnah, wahyu yang diintervensi berupa fiqih. Sementara kategori fiqih terdiri atas fiqih nabawi yang berlaku permanen dan universal serta tak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada pula fiqih ijtihadi, yang bisa tidak permanen dan bisa tidak universal, selain bisa terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.
Kalau mau diperlebar dan diperluas, jika sampai pada maslahah, dalam tataran tingkatan maslahah ada yang disebut maslahah dlaruriah, maslahah hijaiyah, dan maslahah tahsiniah. Sementara dalam tataran kategori maslahah ada maslahah mu’tabarah, maslahah mulghah, dan maslahah mursalah.
Maknanya, yang dilakukan JIL bukan saja sudah pernah dilakukan gerakan yang senada dan seirama di bumi belahan lain dan di era jauh dasawarsa sebelumnya, namun dalam diri Islam sendiri termungkinkan adanya “dekonstruksi” untuk hal-hal yang memang dibolehkan untuk didekonstruksi.
Dengan demikian, dekonsruksi yang dilakukan JIL diidentifikasi sebagai semata cenderung anti peran agama bersejajar dengan pemujaan terhadap neo-liberal dan porno-praksis dalam sastra ala TUK sungguh merupakan sebuah simplifikasi belaka.
Dengan sedikit agak narsistik, saya bertanya pada diri sendiri: di manakah saya berdiri dalam percaturan sastra Indonesia sebagaimana yang ditakhyulkan Viddy – dan mungkin juga nama-nama lain? Cerpen saya, Panggil Aku: Pheng Hwa, dikritik Ahmad Sahal dan Hasif Amini, keduanya anggota redaksi Jurnal Kalam, salah satu “faksi” di KUK. Sementara, cerpen saya Deja Vu: Kathmandu mengilhami pola penulisan Ulil Abshar Abdalla dalam menulis esai panjang mengenai jalan simpangnya dalam beragama sebagaimana kemudian dimuat Jurnal Kalam.
Maknanya, dalam KUK pun tak ada pola pikir dan ideologi yang seutuh dan seseragam sebagaimana dibayangkan dan dirumuskan Viddy. Jadinya, tak begitu penting apakah saya pernah menjadi bagian dari KUK (di ISAI), atau sama sekali tak bersangkut paut dengan mereka.
Lagi pula, tak ada Komunitas Teater Utan Kayu. Yang ada adalah Komunitas Utan Kayu (KUK), yang di dalamnya terkibar pelbagai panji: Teater Utan Kayu (TUK), ISAI, Jurnal Kebudayaan Kalam, (dulu) Jurnal Pantau, penerbitan Media Lintas Inti Nusantara (MLIN), Kantor Berita Radio (KBR) 68H, sekolah broadcasting, dan Kedai Tempo.
Karenanya, menganggap KUK sebagai semata TUK tak lebih sebagai sekadar simplifikasi. Sama simplistisnya dengan menanggapi “syahwat merdeka” tanpa sama sekali menelisik hal tersebut sebagai tema yang tak mungkin tergantikan ataukah syahwat sebagai pencarian efek. Simplifikasi adalah bentuk lain dari kemalasan melakukan analisis.*
Tulisan ini dikutip dari Harian Republika (Jakarta), 15 Juli 2007.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar