Oleh Imron Supriyadi
Pekan silam, semua mata pemirsa tertuju pada peristiwa banjir di Jakarta. Airnya meluap sampai separo hampir merendam istana presiden. Sejumlah tempat yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir, konon juga ikut terendam. Tak tanggung-tanggung, airnya mencapai 2 meter lebih. Sudah pasti ukuran manusia biasa tidak akan bisa berdiri tegak lurus untuk bernapas dalam rendaman banjir. Sebab batas kemampuan hidung manusia untuk bisa bernapas paling-paling satu meter 50 cm. Apalagi tubuh yang ukurannya dibawah itu, sudah pasti butuh pertolongan orang lain.
Dari banjir di Jakarta dan daerah lain, kemudian memancing sejumlah pengamat, kepala daerah membahas masalah banjir. Televisi, radio, koran dan media online ikut memberitakan kabar duka Jakarta yang terendam air luapan Sungai Ciliwung.
Tetapi adakah diantara mereka yang berpikir tentang genangan air sebagai bentuk aliran dari langit yang sengaja dikirim Tuhan untuk Jakarta? Sebagian ulama, Bikku atau Rohaniwan Gereja ada yang berbincang banjir dalam pandangan berbeda.
Dari peristiwa ini, ada catatan kecil dari gelontoran banjir yang menimpa Jakarta. Diantaranya tentang kiriman pesan dari langit terhadap pentingnya orang lain untuk kemudian harus saling sapa dan saling saying. Bukankah semangat kebersamaan ini yang sekarang sudah hilang di dalam kedirian dan bangsa kita?
Melalui banjir, Tuhan sedang memaksa semua umat untuk saling berbagi antara satu dan lainnya. Polisi, tentara, pejabat dan rakyat harus menyatu saling bantu demi selamatnya anak negeri. Ada semangat untuk tidak saling melukai.
Getaran cinta antar sesama sedang digelorakan Tuhan melalui aliran banjir. Atau mungkin karena Jakarta sudah demikian keringnya manusia yang jarang mengusap air mukanya dengan air wudlu dalam lima waktu shalat, sehingga Tuhan kali itu harus mengirim air dari Sungai Ciliwung agar menyiram seluruh tubuh setiap manusia Jakarta? Semua warga Jakarta dipaksa untuk “mandi wajib” karena sudah demikian kotornya perilaku batin penghuni ibu kota Jakarta?
Pada banjir, sebuah kesombongan Jakarta kali itu sedang ditundukkan Tuhan dengan sejumlah gerobak sampah, gerobak tukang mie ayam, gerobak sayur, gerobak sapi yang kali itu berfungsi menjadi “mobil darurat” untuk mengangkut korban banjir.
Banjir adlah bahasa Tuhan yang sedang ingin memuliakan peran gerobak-gerobak, perahu-perahu karet menjelma menjadi perahu Nabi Nuh sebagai penyelamat umat, yang selama di musim kering nasib gerobak dan perahu karet digilas oleh mobil mewah di aspal hitam dengan picingan mata sinis tanpa kata dan sapa mesra.
Saat banjir tiba, harga mobil mewah yang miliran rupiah tak lebih mulia dari gerobak sampah, gerobak sayur dan perahu karet. Egoisme mobil mewah, kali itu kian tampak ketika dalam kondisi banjir merendam Jakarta, benda mahal itu tak bisa banyak berbuat untuk para korban banjir. Ia hanya bertengger digarasi si empunya tanpa bisa banyak memberi manfaat.
Ibu-ibu rumah tangga yang membuat nasi bungkus, menjadi bahasa Tuhan yang memaksa siapapun untuk melihat ke bawah dan tertunduk untuk bersama-sama makan nasi bungkus, tanpa membedakan si kaya dan si miskin.Kali itu Tuhan sedang membangkitkan kesadaran yang sama atas setiap hamba, agar kita tak ada lagi kesombongan sedikitpun antara satu sama lain.
Toh, ketika banjir melanda bukan mobil mewah yang menolong banyak orang. Tetapi sebaliknya malah gerobak sampah, gerobak sayur dan perahu karet yang lebih mulia dari Ferari. Lantas apakah kita akan memilih gerobak menjadi emas, atau malah mobil mewah yang ternyata hanya menyumbang tinja bagi Indonesia?
Palembang 28 Jan 2013
2 komentar:
I'm interested in advertising on your blog. Where can I find contact information?
my email : imronsumsel@gmail.com
Posting Komentar