Jumat, 25 Mei 2012

SINETRON KITA DAN JATI DIRI YANG HILANG

Oleh Imron Supriyadi (Jurnalis dan Pelaku Sastra) 

 ”Jika anda hanya memprihatinkan keadaan setahun mendatang, cukuplah anda taburkan benih. Jika anda, memprihatinkan keadaan sepuluh tahun mendatang, tanamkanlah sebatang pohon. Dan jika anda memprihatinkan keadaan seratus tahun mendatang, berikanlah pendidikan yang benar kepada rakyat dan anak-anak kita (situs anak merdeka.com). Pesan diatas, paling tidak dapat menjadi sebuah pijakan bagi bangsa ini, untuk kemudian merenungkan kembali tentang bagaimana potret generasi bangsa ini 25 atau 100 tahun yang akan datang. Selain institusi pendidikan formal sekolah, media, dan lembaga lain yang konsen terhadap pendidikan, sangat jelas memiliki tanggungjawab moral untuk menjaga integritas dan jati diri generasi bangsa ini agar tetap menjaga moralitas. Sinetron di Indonesia, sebagai salah satu produk yang secara langsung atau tidak juga telah menjadi ”guru” bagi anak-anak bangsa ini, sudah pasti memiliki kewajiban sama, yaitu ; memberikan ajaran moral yang lebih bernilai, ketimbang menciptakan pola pikir dengan hal-hal yang bertentangan dengan jati diri bangsa. Dalam persoalan ini memang agak sulit akan berangkat dari mana harus melakukan kritik terhadap wajah sinetron kita, yang makin hari makin tidak memberikan muatan nilai-nilai atau pesan moral terhadap anak-anak negeri ini. Sebab, sebuah produksi sinetron melibatkan banyak pihak, yang bukan hanya puluhan, tetapi ratusan orang. Sejak dari Penulis, Sutradara, Produser dan crew lainnya, termasuk figuran dan office boy. Sebagian Penulis naskah, Sutradara, sebagai salah satu bagian dari konseptor dalam sinetron acap kali dihadapkan pada dua tuntutan. Tuntutan mempertahankan idealisme dan kebutuhan ”materi” untuk dapur domestiknya. Sementara, Rumah Produksi (Production House-PH) sebagai institusi bisnis entertainment dan Produser sebagai penyandang dana, juga mempunyai kepentingan bisnis, antara ”untung atau buntung”. Para pemasang iklan (klien) juga memiliki kepentingan sama, untuk memasarkan produknya, sehingga harus mencari atau bahkan mendesak kepada sebuah PH dengan tema-tema tertentu, yang menurut pemasang iklan, dapat menguntungkan secara bisnis. Dengan desakan ini, kemudian beberapa produser dan rumah produksi juga melakukan ”tekanan” kepada seorang penulis, untuk membuat naskah sinetron, sesuai dengan pemesan. Tentu, tawaran ini, PH juga melakukan bargaining (tawar-tawaran) dengan penulis, bukan pada konteks ideologi atau ide cerita yang dapat menciptakan ”kebaikan” bagi publik, melainkan hitung-hitungan terhadap berapa harga satu episode, atau satu kali tayang. Berdasar pada realitas logika bisnis demikian, sangat mungkin akan membelakangkan idealisme seorang seniman (baca: penulis), yang notabene harus tetap menjaga nilai-nilai dan pesan moral dalam sebuah karya. Ironisnya, kontrak kerja terhadap penulis yang sudah didahului dengan duit panjar (DP), tidak jarang dalam satu titik kejenuhan, penulis kehilangan ide. Akibatnya, penulis kemudian main ”hantam kromo” dengan meneruskan naskah tersebut, sekalipun rentetan ceritanya makin hari makin rancu dan tidak jelas. Baik dari konflik utama, ide cerita, penokohan, atau sampai ending dari sebuah cerita. Kondisi seperti ini, diperparah dengan ”penjajahan” baru oleh bentuk-bentuk sinetron yang mencoba mengkolaborasikan versi Bollywood dengan ke-Indonesiaan. Paduan yang sangat rancu dan makin merusak jati diri bangsa, ketika sebuah garapan sinetron diolah sedemikian rupa, sehingga orang akan sulit membedakan antara sinetron India atau Indonesia. Dalam konteks nasionalisme, tentu ini sebuah realitas yang kemudian mencabik-cabik jati diri bangsa ini, yang semakin kabur. Siapa dan bagaimana sebenarnya identitas negeri ini, jika para pengelola dan penulis, sutradara sinetron juga sudah terkontaminasi oleh ”petuah-petuah” oknum bangsa lain, yang sudah pasti tidak mempunyai tanggungjawab moral untuk membangun generasi bangsa ini menjadi lebih bermoral. Memang dalam konteks ini ada persoalan serius yang sedang dihadapi para penulis, sutradara dan sebagian PH di Indonesia. Bagi sutradara, penulis dan PH yang tetap bersikukuh menjaga ”idealisme”, harus siap ”lapar”. Sebab, sikap ini akan berdampak pada hasil materi yang tidak banyak sebagaimana PH lain yang main ”hantam kromo”, dan tidak mempertimbangkan dampak baik buruknya sebuah penayangan sinetron. Konsekuensi mempertahankan idealisme ini, tidak sedikit beberapa PH kemudian terbentur dengan persoalan financial. Sebab, bukan tidak mungkin, dengan menjaga idealisme ini kemudian beberapa klien (pemasang iklan) juga enggan bekerjasama dengan penulis dan PH tersebut, karena tidak ada kesamaan dalam ”tawar-tawaran” ide cerita. Perdebatan kedua belah pihak ini, sudah tentu bukan pada tataran material, atau tentang berapa harga satu episode-nya, melainkan pada persoalan idealisme penulis naskah dan vis-misi sebuah PH. Bagi klien, perdebatan idealisme dengan penulis dan PH yang tetap ”menjaga” kredibiltas dan jati diri bangsa-nya, menjadi sesuatu yang sia-sia. Bagi klien, dialog ini hanya akan membuang-buang waktu. Sebab, selain masih banyak lagi penulis dan PH yang bersedia ”kompromi” sesuai dengan pesanan, klien juga tidak akan memperhitungkan dampak baik-buruknya ide cerita terhadap publik. Bagi klien, logikanya; masyarakat bersedia membeli produk, dan klien dapat meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sebentar, kita menoleh ke belakang. Betapa pada tahun-tahun pertama maraknya sinetron di televisi, yang waktu itu hanya disiarkan TVRI, ide cerita dan idealisme sebuah bangsa masih sangat kental. Sebut saja, pada era 80-an, di TVRI kita masih ingat dengan Sinetron Anak Sekolah ”Aku Cinta Indonesia” (ACI). Drama LOSMEN garapan Irwinsyah (alm), Rumah Masa Depan (Ali Shahab), Serumpun Bambu, Dokter Sartika, Jendela Rumah Kita dan lain sebaginya. Situasi ini kemudian disusul dengan munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), sebagai sarana belajar bagi anak-anak sekolah. Walau olahan naskah dan performant art-nya masih sangat minim, tetapi ide TPI ketika itu sebaiknya tetap dipertahankan. Masalahnya kemudian tinggal bagaimana kemasan itu dapat lebih menarik pemirsa, bukan malah sebaliknya. Film Animasi, (masih tahun 80-an), kita juga ingat dengan kartun Si Huma, Si Unyil, Si Komo dan masih banyak lagi karya lain yang lebih mengedepankan idealisme dan pesan moral bagi anak bangsa, ketimbang seperti sekarang, yang cenderung menyebarkan ”ajaran sesat” dalam konteks kebudayaan. Sinetron saat ini, lebih banyak menawarkan cerita mistik, horor dan metropolis yang cenderung mengajarkan materialis dan hedonis yang tidak memberikan muatan nilai-nilai kepada anak-anak bangsa. Sebut saja sinetron remaja di sebuah televisi swasta yang mengambil setting sekolah. Semula, naskah ini mungkin akan mengdepankan dunia pendidikan yang ideal. Tetapi, dengan garapan naskah yang sama sekali jauh dari pesan pendidikan, akibatnya justeru merusak wajah pendidikan itu sendiri. Bagaimana tidak? Di sekolah, yang diusung ke permukaan bukan bagaimana membuat murid itu menjadi kritis, cerdas, kreatif dan inovatif, melainkan menyebarkan ”ajaran” yang tidak baik untuk anak sekolah dalam konteks ke-indonesiaan. Di luar negeri, bisa saja cara berpakaian dan adegan ciuman antar murid dilakukan. Tetapi, ketika itu kemudian dibawa ke Indonesia, akibatnya akan fatal. Seolah, adegan ciuman di depan umum bagi anak sekolah, menjadi sesuatu hal yang biasa. Dalam konteks ini, saya tidak sedang bicara tentang halal-haram-nya ciuman antara laki dan perempuan yang bukan muhrim, tetapi saya melihat dalam konteks nasionalisme. Kalau sekedar ciuman, pacaran, gandengan, secara manusiwi tidak perlu diajari dan ditambah-tambah dengan memunculkan adegan seperti ini dalam tayangan sinetron. Pertanyaannya kemudian adalah, sebenarnya nilai-nilai apa sih yang sedang ditawarkan oleh sutradara dan penulis dalam sebuah adegan ciuman di sekolah bagi seorang murid? Kemudian anting-anting di sebagian murid laki-laki di sekolah. Ini nilai apa lagi yang sedang ingin ditawarkan oleh sebuah sinetron? Trend? Realitas anak-anak brutal? Jika itu ditayangkan secara terus menerus, secara perlahan akan menjadi sebuah kebenaran. Lantas, dimana peran seorang guru, jika di sekolah saja murid-muridnya sudah lebih banyaklah yang mojok dari pada yang belajar. Sinetron Cintailah Aku Gadis, terlepas dengan lebih dan kurangnya, namun sinetron ini memiliki pesan moral yang kuat terhadap upaya penghargaan betapa tingginya harga diri manusia. Pertentangan antara materi dan idealisme, bagaimana figur seorang guru yang tetap memertahankan idealismenya. Tuntutan hidup dan mati sebuah keluarga. Belum lagi sikap pemilik modal (yayasan) yang ”menjajah” sistem di sekolah dengan mengangkat kepala sekolah bermental penjilat. Baik konflik utama dan konflik pendamping dalam sinetron ini dapat berjalan secara sinergis, dengan ending cerita sebuah proses penyadaran terhadap nilai-nilai, tanpa adanya kehadiran unsur mistik. Tetapi dilain pihak, realitas sinetron di era reformasi ini, kebebasan berekspresi yang sudah sedemikian luas, ternyata bukan menciptakan suasana yang lebih kritis, dinamis dan konstrutif, tetapi malah sebaliknya, hedonis, konsumstif dan distruktif. Bukan dalam konteks politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Tetapi hampir semua dimensi sudah teracuni oleh ”kebebasan” yang tidak dilandasi dengan moralitas, termasuk didalamnya wajah sinetron kita. Mengutip Budayawan Emha Ainun Nadjib, kebebasan tanpa batas ini sebagai akibat dari tidak pernah terlatihnya bangsa ini mengurus cahaya. Karena terlalu lama bangsa ini hidup dalam kegelapan, maka ketika cahaya datang, kemudian hampir seluruh bangsa ini nabrak-nabrak dan kebingungan tentang bagaimana mengurus cahaya, tanpa mengetahui antara benar dan salah, tidak melihat mana kawan mana lawan, tidak bisa membedakan aantara demokrasi dan anaris, sampai akhirnya bangsa ini juga makin kesulitan membedakan mana emas-mana loyang, mana permata dan mana tinja. Tanpa bermaksud ingin mengembalikan sistem zaman Soeharto, tetapi tidak salah jika kemudian, dalam konteks per-sinetron-an nasional, para sineas harus kembali banyak belajar ke belakang (pada masa lalu), terutama terhadap gagasan, ide atau apapun ”kebaikan” yang diolah melalui sinetron di Indonesia. Kenapa ini menjadi penting? Sebab sebuah PH, Penulis dan Sutradara dalam pengarapan sinetron yang disiarkan televisi, mempunyai andil besar dalam membentuk watak (karakteristik) generasi bangsa ini, apakah akan menjadi generasi bangsa yang ideal, atau sebaliknya; menjadi generasi bangsat yang amoral. Sudah bangsat, amoral lagi. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan, boleh saja melaukan kompromi dengan pasar demi sebuah keuntungan secara materi. Namun obsesi meraup untung besar tanpa mempertimbangkan akibat buruk dari sebuah produk, adalah bentuk ”penindasan” kebudayaan terhadap bangsa yang nyata (kalau tidak ingin dikatakan sebagai penghianat bangsa secara kebudayaan). Agak ekstrim memang. Tetapi inilah sebuah tantangan bagi setiap sineas, yang mungkin saat ini tengah larut dalam sebuah ”pesta rupiah”, sehingga lupa terhadap nilai-nilai kedirian seorang seniman, yang seharusnya tetap dipertahankan, walau harus berhadapan dengan kematian sekalipun. Maksud saya, masih banyak karya yang tetap mempertahankan idealisme dan nilai-nilai moral yang kemudian tetap menghasilkan materi yang tidak sedikit. Sebut saja Kiamat Sudah Dekat (KSD) garapan Deddy Mizwar. Ini hanya salah satunya. Hampir semua pemirsa memuji terhadap KSD. Sampai akhirnya Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) juga memberikan penghargaan terhadap Deddy Mizwar. Masalahnya bukan ingin dihargai oleh pejabat sekelas presiden. Tetapi dengan menggarap sinetron yang bermoral dan bernilai sekaligus juga menghargai diri sendiri sebagai manusia yang memiliki hati nurani. Dengan kata lain, mengesampingkan pesan moral dan nilai-nilai dalam sebuah larya seni (baca sinetron) secara tidak langsung juga telah menginjak-injak harga diri sendiri, membunuh kata hati nurani. Akibat lain yang akan berdasa warsa adalah, karya tersebut telah menebar ”racun” bagi calon generasi bangsa ini, yang lambat laun akan ”mati muda” secara perlahan karena dihujani ”racun kebudayaan” yang makin menggila. Menghadapi realitas sinetron seperti sekarang, rasanya tidak salah jika para produser, penulis dan sutradara untuk kemudian menyatukan hati dengan secara bersama-sama membangun tanggungjawab bersama terhadap nasib generasi bangsa ini. Sudah tentu tidak perlu menjadi anggota DPR atau Presiden, namun tetap pada posisi seperti sekarang, menjadi pelaku seni. Hanya saja yang perlu dilakukan adalah melakukan ”perlawanan” terhadap kekuatan modal (kapitalisme) oleh oknum bangsa lain yang ”numpang makan” dan ”numpang memberak-i” Indonesia. Sehingga, wajah sinetron kita hanya sekedar menjadi tontonan dan membantu proses pembuatan tinja, tanpa menitipkan sebuah pesan nilai-nilai apapun terhadap negeri ini. Perlawanan yang saya maksud adalah, bersatulah sineas Indonesia, (Sutradara, Penulis dan Produser) untuk kemudian bersepakat ”berkata tidak” terhadap ide cerita yang tidak memiliki muatan ideologi terhadap bangsa ini, walau dihargai 1 miliar sekalipun satu episode. Sebab, saya yakin masih banyak PH dan klien yang bersedia ”mendanai” produksi sinetron yang lebih punya nilai, dari pada harus menjadi ”pengemis” di negeri sendiri. Proklamator kita, Ir. Soekarno pernah mengatakan; tunduk tertindas atau bangkit melawan? Kalimat ini sudah tentu, sebagai upaya dalam mengembalikan jati diri bangsa, termasuk dalam konteks sinetron Indonesia. Masalahnya kemudian, mau atau tidak kita memulai? Jawabannya ada di hati kita masing-masing. (*) Tanjung Enim, 2008

Senin, 16 Januari 2012

SUFISME CALEG GAGAL

Oleh Imron Supriyadi

Hasil pemilu 9 April 2009, telah membuat sebagian calon legislatif (Caleg) yang gagal, menjadi tidak rasional. Sebagian dari mereka kemudian membuang akal sehat, dengan melakukan hal-hal diluar logika normal manusia pada umumnya. Penutupan Sekolah Dasar karena merasa berjasa atas pembangunannya, pembongkaran saluran air rakyat, karena atas bantuannya, pengambilan kembali ambal masjid yang diberikan pada masa kampaye, melarikan diri dari tanggungjawab utang piutang, sampai mengakhiri hidup dengan gantung diri. Tragis. Tetapi inilah realitas yang tengah kita hadapi saat ini.

Kesal, kecewa akibat gagal dalam pen-calegan adalah manusiawi! Tetapi jika dirunut, semua ini akibat dari kecenderungan manusia yang selalu mengukur urusan gagal dan berhasil, dengan “logika sebab dan akibat” (kausalitas). Sehingga dalam memahami kalah-menang pemilu menjadi kalkulasi untung-rugi; berapa yang diberikan, dan berapa yang diperoleh. Ketika tidak ada kesesuaian antara pengeluaran dan pendapatan, yang timbul kemudian stress dan depresi. Atau sebagian mencurigai pihak lain; mengapa ini bisa terjadi? Ada apa dibalik kekalahan? Apakah ini rekayasa? Ada manipulasi suara? KPU yang tidak profesional? Semua cenderung menyalahkan pihak lain. Ini semua terjadi, karena sebagian caleg dan tim-suksesnya memahami realitas politik dalam perspektif kausalitas tadi.

Secara sadar atau tidak, asumsi negatif terhadap hasil pemilu, sebenarnya sudah keluar dari term politik itu sendiri, yang mengatakan; politik tidak bisa dihitung seperti matematika (bukan kausalitas). Pengamat politik selalu mengatakan; konstelasi politik tidak bisa dihitung dengan logika; satu ditambah satu sama dengan dua. Bukankah kalimat ini sudah sedemikian mengkristal bagi sekian banyak politisi kita? Lantas mengapa harus menuduh salah terhadap institusi KPU? Atau mengapa harus mengkambinghitamkan pihak lain, bila politik memang bukan rumus matematika yang menerapkan hukum kausalitas?

Paradigma politik non matematik dalam konteks politik ini, bila kemudian dipahami dalam konteks hakikat (bukan syariat), maka langsung atau tidak, membahas politik maka tidak lepas dari dunia sufi. Sebab, ketika politik dikatakan; tidak bisa diukur secara matematik, maka ia akan berpulang pada keyakinan terhadap kekuatan gaib diluar batas logika manusia, bukan hukum kausalitas. Ketika, dunia politik terkait dengan kesadaran sufistik, maka kegagalan caleg, sebaiknya bukan menciptakan tuduhan-tuduhan dan asumsi buruk terhadap pihak lain, justeru membangkitkan kesadaran, bahwa realitas politik tidak kemudian dipandang dari perspektif politik murni (hukum kausalitas) tetapi juga dalam perspektif norma hukum ke-gaiban langit yang selama ini sering diabaikan dalam politik.

Dijelaskan oleh Syeh Ibnu Athoillah, dalam Kitab-nya Al-Hikam, melalui Kiai Imron Jamil asal Jombang, dalam konsep tasawuf tatanan dunia, (baca; realitas politik-red) memang tidak didasari dengan hukum kausalitas. Antara sebab dan akibat merupakan kutub berbeda yang tidak berbanding lurus sebagaimana yang selama kita pahami.
Fakta sejarah membuktikan, betapa hukum kausalitas dalam konteks politik tidak selalu berbanding lurus; setelah Habibie menggantikan Soeharto, Gus Dur menjadi presiden Indonesia. Dalam logika politik, saat itu perolehan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tidak signifikan untuk mengangkat Gus Dur. Secara fisik-pun, Gus Dur tidak memenuhi syarat dari kriteria presiden. Tetapi ketika Tuhan mengatakan; jadi, maka jadilah (Kun Fayakun), maka yang muncul adalah ‘akibat’ yaitu Gus Dur menjadi presiden, meskipun tanpa ‘sebab’ politik yang rasional.

Namun dalam perjalanan waktu, Tuhan kemudian menciptakan keduanya. (Sebab dan akibat). Gus Dur jatuh oleh parlemen sebagai ‘akibat’ dugaan terlibatnya Gus Dur dalam kasus Bruneigate. Walapun saat itu, Mahkamah Agung sudah menyatakan Gus Dur bebas dari Bruneigate, tetapi ketika Tuhan berkehendak Gus Dur harus turun (sebagai akibat), maka melalui Dekrit Presiden, Gus Dur lengser, kemudian mengusung Megawati naik menggantikan presiden.

Ketika ranah politik dipahami dalam perspektif sufistik, maka akan menguatkan pemahaman, ‘kebijakan langit’ tidak menciptakan realitas dunia dengan hukum kausalitas. Tuhan menciptakan sebab dan akibat dengan ruang yang berbeda. Tidak setali tiga uang. Analoginya, sebab sebagai kutup positf, dan akibat sebagai kutub negatif. Ketika dalam realitas politik beberapa caleg yang gagal mempertemukan keduanya (positif-negatif), yang terjadi kemudian bukan terangnya bola lampu neon dan cerahnya batin dan pikiran caleg, melainkan menjadi dua kutub yang konsleting atau terjadinya hubungan arus pendek.

Akibatnya, depresi, stress atau lebih parah lagi, sampai bunuh diri.
Padahal diluar kesadaran, sebagian caleg sering begitu ringan mengatakan; manusia hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan. Tetapi dalam banyak hal, ketika hasil jerih payah tidak sebanding dengan perjuangan dan pengorbanannya, sebagian kita kemudian sering menuduh atau mencurigai pihak lain yang salah. Dan yang lebih parah lagi, sebagian kita berburuk sangka kepada Sang Pengatur Bumi. Ketika ini terjadi, ada nilai ketauhidan, yang bergeser, walau sehelai rambut sekalipun. Akhirnya berlari ke dukun dan lainnya.

Dalam konteks kegagalan caleg ini, ada tiga hal yang perlu menjadi bahan renungan. Pertama; dalam kebijakan langit ada yang disebut nilai kepantasan. Artinya bagi caleg yang gagal, adalah kepantasan lebih baik di mata Tuhan, (bukan dimata manusia), ketimbang harus duduk di parlemen tetapi banyak mudharat bagi yang bersangkutan. Dengan kata lain, kegagalan akan menjadi nikmat dan rahmat, ketika kagagalan dijadikan sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan terhadap caleg gagal, agar terhindar dari peluang berbuat dosa (korup) atau membohongi rakyat. Logikanya, kalau anak kita sedang sakit pilek, maka kita tidak akan membelikan minuman es, meskipun anak kita sampai menangis. Kita melarang karena kita sayang dan takut pilek anak kita bertambah parah. Pelarangan minum es terhadap anak kita juga bagian pemeliharaan kita, supaya anak kita tidak bertambah sakit. Kita ingin anak kita sembuh dan sehat. Pun demikian halnya kebijakan langit. Ketika sebagian caleg gagal duduk di parlemen, sebenarnya Tuhan sedang mencegah, supaya pileknya para caleg tidak lebih parah dari sebelumnya. Tugas caleg gagal adalah, bagaimana menyembuhkan pilek-nya agar dikemudian hari lain di mata Tuhan mendapat posisi kepantasan untuk duduk di parlemen. Kita sering menganggap diri kita pantas menjadi mahluk yang berhak mendapat kedudukan, jabatan dan kekayaan, tetapi kita sendiri tidak pernah sadar bagaimana kita harus lebih dulu memantasi diri untuk menjadi hamba yang terpilih di mata Tuhan.

Kedua; Pengorbanan yang telah diberikan, seharusnya dimaknakan kecintaan Tuhan terhadap seorang hamba, bukan malah sebaliknya. Banyaknya harta yang telah dikeluarkan dalam kampaye, telah menjadi sarana Tuhan untuk melakukan pencucian harta di rumah kita, yang mungkin selama ini ada hak orang lain, tetapi tidak pernah kita berikan. Gagal dan banyaknya korban materi untuk rakyat, adalah bahasa langit untuk memaksa hamba, agar bersedia mengeluarkan hartanya untuk orang lain, yang selama ini di tahan di dalam rumah. Mengutip Andrea Hirata dalam Novel Laskar Pelangi ; yang seharusnya kita bangkitkan adalah, bagaimana kita bersiap diri untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan bersiap diri untuk menerima sebanyak-banyaknya.

Ketiga; kerugian berkorban materi untuk rakyat pada masa kampaye, bukanlah menjadi sesuatu yang merugikan. Mengapa harus merasa rugi berbuat baik pada masa kampaye? Toh, ketika kita lahir juga telanjang. Maka, menjadikan pengorbanan dan kegagalan caleg untuk kembali pada ketelanjangan rohani di hadapan Tuhan, akan menjadi lebih berarti ketimbang sekedar keluhan dan penyesalan. Ketika kebaikan dan pengorbanan di-ikhlaskan sebagaimana kita membuang air besar (tidak diingat dan tidak disebut-sebut), maka kebaikan itu akan menjadi istana surga, melebihi dari sekedar kedudukan sebagai anggota parlemen.

Ketiga; bagi yang lolos menjadi anggota dewan, Tuhan sedang memberi tugas kepada mereka menjadi panitia bumi di parlemen, untuk ikut mengelola negara dan mewakili rakyat. Ketika nanti anggota dewan tidak memegang amanat, maka suatu ketika Tuhan dengan secepat kilat akan segera memecat panitia di parlemen dengan membenturkan mereka pada kasus korupsi, pembakalan hutan, suap menyuap tender dan lain sebagainya. Melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tuhan akan mamnjangkan tangan-Nya di bumi. Demikianlah, bahasa Tuhan untuk mempertemukan kembali seorang hamba yang lupa amanat, agar kembali ke pangkuan-Nya.

Oleh sebab itu, apapun hasil dari semua perjalanan kampaye 2009, berhasil atau gagal sebaiknya dihadapi dengan kecintaan kepada Sang Maha Pencipta. Sehingga baik dan buruk dari hasil jerih payah, bukan membuat lalai dengan amanat-Nya, tetapi mengantarkan kita pada ketaatan dan kedekatan, bukan pada pengingkaran Tuhan. Kita mempunay kewajiban untuk terus berjuang, berdoa dan berihtiar, tetapi soal hasil akhir, kapan, dimana, jumlahnya berapa, itu bukan urusan kita. (*)

BTN Karang Asam
Tanjung Enim, 17 April 2009
*) Penulis adalah Pekerja Seni


Selasa, 03 Januari 2012

Bu, Ijinkan Aku Sekolah di Dalam WC



Cerpen Imron Supriyadi
Namaku Ibnu Hajar. Tapi orang lebih suka memanggilku dengan nama singkat ; Benu, alias : B-e-en-u, Benu. Panggilan yang sebenarnya tidak terlalu rela kudengar. Tapi, sepertinya, orang lebih enak menyebut Benu, ketimbang harus memanggilku dengan Ibnu.
Sekali lagi, namaku Ibnu, kenapa menjadi Benu? Ah, dasar memang! Sepertinya, realitas kita memang sudah memicu orang semaunya memilih jalan hidup, termasuk memanggil atau menyebut nama orang. Sekedar satu detik untuk mengatup bibir pada huruf 'b' saja sudah tidak mau, apalagi untuk melakukan perubahan. Ah, wajar saja kalau kemudian banyak orang terdidik untuk memilih hidup dengan logika lompat katak.
"Logika lompat katak?" tanya Ibu pada suatu ketika.
"Iya, Bu,"
"Apa itu?"
"Ya, kenyataan kita saat ini, Bu. Hidup mau enak, punya uang banyak, pakaian mau bagus, tetapi kerja keras tidak mau. Akhirnya menjalani hidup selalu potong kompas, menyuap, menyogok, membunuh, merampok. Dan Anehnya, Bu. Hidup seperti katak ini bukan saja dilakoni oleh orang bawah, tetapi juga para atasan kita."
"Ah, masa begitu, Nak?"
"Bener, Bu!" jawabku meyakinkan.
"Kalau tidak percaya, nih Ibu Baca koran pagi ini. Politik Uang marak, menjelang Pemilihan Walikota. Dan ada lagi Bu, Menjelang Suksesi, Gubernur bagi-bagi uang Siluman."
"Lho, itu kan demi kebaikan, Nak."
"Ya, kebaikan untuk LPJ-nya. Besok atau Lusa, kita dibuatnya lapar lagi, Bu. Itu sama saja potong kompas, sama seperti hidupya katak. Lompat sana-lompat sini. Jadi mereka itu, Bu, tak ubahnya seperti katak."
"Hus, jaga mulutmu!" hardik Ibuku rada marah.
Ibu, kembali merajut kain. Aku masih bercerita tentang apa saja, yang aku suka.
Namaku masih Ibnu, dipanggil orang dengan Benu!. Tahun 80-an, aku tinggalkan sekolah. Padahal, kata orang, sekolahku adalah bagian dari penjara suci di negeri ini. Tapi aneh, tempat-tempat yang selama ini kuanggap suci, sakral, atau orang-orang yang kuangap tak pantas melakukan tindakan kekerasan dan keji, justeru telah mengguruiku menjadi manusia amoral.
Bagaimana tidak? sejak sekolah, guruku sudah mengajari aku dengan kekerasan. Memukul, menjemur, menendang, bahkan salah seorang teman ada yang tangannya disundut rokok, hanya gara-gara lupa mengerjakan Pe-er.
"Puih! Sekolah macam apa itu!" aku mengumpat.
Makanya, sejak ia keluar sekolah, temanku itu, sampai sekarang, menjadi manusia pendendam, suka melakukan kekerasan terhadap teman sendiri. Kalau ini yang terus terjadi, berarti, sekolah hanya akan menciptakan manusia yang siap akan menjajah manusia lain. Ini tidak boleh terjadi. Kita harus merdeka dari penindasan siapapun. Guru, pejabat atau presiden sekalipun tidak boleh dan tidak berhak menjajah siapapun. Kalau semut saja bisa menggigit, kenapa aku harus diam?
Masih tahun 80-an. Aku keluar dari asrama, yang dianggap orang-orang sebagai penjara suci itu.
Bukan lantaran aku tidak lagi butuh Tuhan, atau karena aku berniat untuk memprotes kebijakan Tuhan, tetapi justeru karena para guru di sekolahku telah keluar dari aturan Tuhan.
Tahun kedua, menjelang aku keluar, di sekolahku sudah dibangun ratusan kamar VIP. Kamar ini diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya, yang sudah tentu hidup serba enak dan tidak siap hidup susah di asrama. Belum lagi satu tahun berjalan, di sekolahku sudah terjadi kelompok-kelompok, antara kaya dan miskin. Antara penghuni kamar VIP dan penghuni kamar kelas gembel sepertiku. Bahkan, di dalam kelas-pun, murid-murid menjadi terbelah-belah. Barisan penghuni kamar VIP berbanjar dengan VIP. Sebaliknya penghuni kelas gembel berbanjar dengan kelas gembel. Padahal Tuhan tak membeda-bedakan antara satu sama lain.
"Oi, kalian tak perlu berpisah-pisah seperti itu. Disini kita sama, dia makan nasi, kita makan nasi, tidak ada yang berbeda," teriakku suatu kalis aat istirahat siang, tanpa berniat sama sekali untuk menidentifikasi diri sebagai Tuhan.
Tapi, aku hanya sendiri. Hanya beberapa kawan saja yang kut mendukung aksi protes, untuk segera menutup kamar VIP. Bahkan sikap bersama, dari Wali murid kelas gembel yang menolak kamar VIP, tak juga merubah sistem di sekolahku. Kesenjangan antara kelas VIP dan kelas gembel terus terjadi.
Sentimen psiklogis dan juga jurang materi tak bisa dihindarkan, bahkan makin menular kemana-mana. Muncullah di sekolahku dua buah kantin. Kantin VIP dan kantin sederhana. Ternyata sekolahku makin detik makin parah. Dan pagi usai shalat subuh, aku kabari Ibu bahwa aku tidak lagi sekolah.
"Bu, aku ingin sekolah di dalam WC."
"Ah, macam-macam saja kamu, Nak! Kenapa mesti di WC, sekolah lain kan banyak?"
"Iya, Bu. Sekolah lain mungkin tak jauh berbeda. Ada kesenjangan. Ada perkelahian. Ada suap menyuap untuk menambah nilai, atau masih saja ada penjajahan manusia atas manusia. Tanpa ada buku, guru mengancam tidak meluluskan ujian. Dan di sekolah, guru bukan manusia yang disegani lagi, tetapi menjadi monster yang menakutkan, seperti boneka jaelangkung."
"Lantas apa yang akan kau peroleh, jika sekolah di dalam WC?".
"Di WC, aku temukan persamaan hak antara si gembel dengan pejabat, Bu. Tak akan ada yang berak mengeluarkan emas atau perak, tapi tai, t-a-i. Ya semua, bukan kelas gembel atau pejabat, semua t-a-i."
"Terus, selain itu, di dalam WC, tidak akan lagi kutemukan kesejangan miskin atau kaya, sejak kelas pinggiran sampai kelas presiden, tak ada yang berak sambil berdiri, semua jongkok atau duduk."
Ibu sesaat tersenyum. "Ada-ada saja kau ini, Nak."
"Kenapa Ibu mesti tersenyum, ini kenyataan lho, Bu.".
"Iya, Ibu tahu, tapi kok kedengaranya lucu."
"Memang Bu, ini lucu bagi siapa saja yang tidak pernah berpikir filosofi di dalam WC."
Ibu makin tertawa; "WC kok dibuat Filosofi."
"Lho, kenapa tidak, Bu. Aku masih ingat Bu, apa yang Ibu katakan, Nak jadikan setiap mahluk itu guru, dan setiap tempat itu sekolah. Makanya, di dalam WC-pun aku akan sekolah."
Ibuku makin penasaran, kenapa aku memilih sekolah di dalam WC. Dan saat itu, aku belum tahu benar, apakah Ibu mengizinkanku atau tidak.
"Supaya Ibu tahu, kenapa aku meminta izin sekolah di dalam WC, karena di dalam WC aku merasa terdidik untuk disiplin. Sebab aku tidak akan berlama-lama melamun di dalam WC, kalau mamang aku selesai membuang tai. Sebab, Ibu pernah bilang, Nak, hidup ini tidak akan selesai dengan lamunan. Oleh sebab itu, Bu, aku juga tidak mau berlama-lama di dalam WC. Itu namanya disiplin Bu"
"Karena alasan itu, lalu kau ingin sekolah di dalam WC?"
"Ada lagi, Bu! Di dalam WC, aku dididik untuk tidak menciptakan fitnah. Sebab, setiap aku selesai berak, aku kan harus membersihkan kotoran. Ini artinya sama seperti yang pernah Ibu katakan padaku, Nak jangan sebarkan kotoran dan fitnah dimanapun kamu bermukim.".
"Dan terakhir, Bu. Ini yang mungkin tidak pernah dirasakan banyak orang."
"Apa itu?"
"Di dalam WC, aku menemukan kebesaran Tuhan.".
"Hei, kenapa Tuhan kau bawa-bawa dalam WC!" Ibuku agak tersinggung.
"Jangan marah dulu, Bu. Ibu kan pernah bilang, Tuhan menebar pelajaran dimana-mana. Dan menurutku, di dalam WC pun, Tuhan sedang memberi simbol kebesaran-Nya."

Sesaat, Ibu menghentikan merajut kain. Keningnya mengerut. Pertanda Ibu masih penuh tanda tanya. Aku menggeser lalu lebih mendekat dari posisi Ibu.
"Begini, Bu, aku tidak bisa membayangkan, berapa besar biaya untuk berobat bagi orang yang dalam tiga hari tidak bisa berak. Akan berapa juta rupiah harus dikeluarkan, jika aku ini tidak bisa mengeluarkan tai dari dalam perut! Makanya, setelah selesai berak, aku ingat kata-kata ibu, Nak sering-sering bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Dan buatku, satu hari bisa berak satu kali saja adalah bagian kebesaran Tuhan yang patut kunikmati dan kusyukuri. Itulah, Bu, kenapa aku saat ini memilih untuk sekolah di dalam WC. Di WC kutemukan kedamaian, tidak ada protes, tidak ada suap menyuap, tidak ada pertengkaran, yang ada hanya kerelaan untuk duduk sesaat, membuang kotoran, demi kesehatan tubuh kita."
"Ibu tidak setuju!"
Aku terperanjat.
"Kenapa, Bu, Kenapa?!"
"Jangan kau sekolah di dalam WC, tapi masuklah ke dalam Kakus."
Aku masih binggung
"Apa bedanya WC dengan kakus Bu."
"WC ada di setiap tempat termasuk di hotel-hotel dan rumah-rumah mewah, sementara kakus hanya ada di dusun dan pinggir sungai.".
"Maksud, Ibu?"
"Nak, di dalam WC itu ada tisu, ada mesin pengering tangan, ada sabun, ada sikat dan peralatan moderen, yang banyak diproduksi oleh para pemilik modal.".
"Lalu?"
"Jangan kita tergantung pada para pemilik modal itu hanya gara-gara soal asesoris WC. Makanya, kalau kamu sekolah di dalam WC nanti akan lupa dengan kedamaian dan kebebasan kakus yang keluar dari ketergantungan. Modalnya hanya penutup kain dan jongkok, lain tidak."
"Supaya tidak tergantung dengan peralatan WC, aku harus bagaimana, Bu?"
"Ya, rebut pabriknya dan kuasai!"
"Lalu?!"
"Lalu bangun dan tebar kakus di setiap tempat, dan ajari mereka bagaimana membuat alat pembersih kakus. Kalau itu sudah kau rebut, nak, tak akan ada lagi penjajahan manusia atas manusia, tak ada lagi ketergantungan kita pada pemilik modal, kita akan mendiri, dan tiadk akan ada lagi kesenjangan. Yang ada hanya kedamaian, sama seperti kedamaian kita di dalam kakus."
Aku kaget mendengar ajaran Revolusi WC dari Ibkuu. Aku baru sebatas menyerap Filosofi WC tapi Ibuku sudah sampai pada Revolusi WC.
Tiba-tiba perutku mual."Aduh Bu, perutku, perutku."
"Kenapa perutmu, Nak?"
"Aku...aku kebelet Bu. Aku mau ke WC, eh... ke kakus Bu."
***
Dari dalam WC. Pukul : 03. 59 WIB
Palembang, 4 Mei 2003

Dimuat di
Harian Pagi Sumatera Ekspres
Palembang Tahun 2003



Senin, 26 Desember 2011

Persahabatan Mati Lampu


Oleh Imron Supriyadi

Suatu ketika, di tahun 2002, saya lupa bulan apa. Di Er-Te saya sedang mendapat giliran mati lampu. Dan sebelumnya, PLN memang sudah memberitahu tentang giliran mati lampu ini, sekalipun, tidak jarang pemberitahuan itu melenceng dari jadwal. Nah, menurut jadwal giliran, seharusnya malam itu di Er-te saya tidak mendapat giliran mati lampu. Oleh karena meleset dari jadwal itulah, kemudian beberapa warga uring-uringan, marah-marah, kesal dan lain sebagainya.


Tetapi di sisi lain, saya juga melihat, beberapa warga keluar dari rumah, menuju warung membeli lilin, ada juga yang tandhang atau mencari sahabat ke rumah tetangga. Saya melihat, mereka kemudian berkumpul, sambil menunggu hidupnya lampu, dengan ngobrol dan bercengekarama seadanya.

Saya tidak tahu persis, anda masuk di bagian mana. Apakah anda masuk di kelompok yang marah-marah dan kesal, atau masuk kelompok orang yang biasa saja menghadapi mati lampu.
Nah, dari peristiwa mati lampu, sebenarnya ada nilai yang mungkin selama ini tidak pernah kita pikirkan, tetapi justeru muncul di saat mati lampu. Mungkin, selama ini kita selalu disibukkan oleh bermacam aktifitas kantor atau pekerjaan keseharian. Sehingga, sepulang dari kantor, anda tidak pernah melakukan silaturahmi ke para tetangga, karena sudah terlalu lelah dengan pekerjaan satu hari penuh. Demikian juga, oleh karena kita sering berbelanja di Supermarket, anda pun sangat jarang membeli lilin di warung tetangga, yang mungkin membutuhkan keuntungan dari tangan kita.

Inilah yang saya katakan, dari mati lampu, ada nilai dan pesan sosial yang mungkin selama ini kita lupakan. Sebab, dari mati lampu, dalam masing-masing warga tiba-tiba muncul semangat kebersamaan untuk berkumpul dengan tetangga, berbagi kesejahteraan dengan warung sebelah dengan membeli lilin, atau bahkan kita pun memiliki emosi yang serupa, yaitu kekesalan terhadap musuh yang sama yaitu : mati lampu.( baca; kegelapan).

Kenapa di saat mati lampu kemudian kita berkumpul, mengerubungi lilin atau lampu minyak? Atau kenapa pula di saat mati lampu kita kemudian lebih memilih mencari teman ngobrol, ketimbang tidur-tiduran di dalam kamar sendirian? Apalagi alasannya, kalau bukan karena anda, saya dan kita tidak menginginkan adanya kegelapan.

Tetapi, semangat kebersamaan dan menyatu dalam satu gerakan emosi, dalam kisah mati lampu, tidak pernah kita petik, untuk kemudian tetap kita lestarikan dalam kedirian kita. Selama ini tidak menginginkan rumah kita gelap, tetapi kita sering berdiam diri di rumah masing-masing yang berpagar tinggi, atau di kamar masing-masing tanpa berfikir, kalau sebenarnya kita membutuhkan sahabat, yaitu orang lain. Setelah kegelapan itu hadir di depan mata, kita baru tersadar, bahwa kita sedang berada dalam kegelapan dan tidak ingin sendirian.

Mati lampu, ternyata bukan sekedar mendorong kita untuk sebatas marah terhadap PLN, tetapi ada nilai dan pesan sosial yang mesti diajarkan pada hati dan pikran kita, yaitu semangat kebersamaan, untuk melawan kegelapan. Apakah kegelapan di rumah kita, kegelapan di dalam dada kita, di dalam hati nurani kita atau bahkan kegelapan dalam sistem bangsa dan ketatanegaraan kita. Mestikah kita membiarkan kegelapan, jika kita bisa membeli lilin dan mengumpulkan kayu bakar dalam satu “ikatan api” kebersamaan untuk melawan kegelapan? **


Palembang, 2002

Jangan Usir Ayam Di Ruang Tamu


Oleh Imron Supriyadi

Saya atau juga anda, mungkin lebih sering memilih mengusir ayam dari dalam rumah, ketimbang membiarkannya. Setiap orang, selalu tidak rela jika ada seekor ayam masuk ke dalam rumah. Di teras pun, saya atau juga anda akan cepat-cepat mengusir dengan kasar, tanpa mengetahui tujuan ayam masuk ke rumah kita. Kenapa kita selalu cenderung mengusir ayam dari dalam rumah? Sebab yang pasti, karena kita, selalu berprasangka buruk terhadap ayam yang masuk ke rumah kita. Prasangka itu muncul, karena kebanyakan kita, tidak pernah tahu data ghaib dari Tuhan tentang apa niat ayam masuk ke dalam rumah.

Oleh sebab itu, kita selalu khawatir, jangan-jangan ayam itu akan berak sembarangan, dan mengotori lantai. Kenyataan perilaku ayam yang selalu berak sembarangan di lantai rumah kita, kemudian menjadi satu persangkaan buruk bagi setiap ayam. Padahal, anda atau juga saya tidak mau dikatakan, semua manusia itu jelek. Sama juga ayam, kalau saja kita mengetahui bahasa ayam, maka ayam pun akan protes kalau dikatakan, semua ayam itu jelek.

Tentang ayam ini saya punya kisah sendiri. Tahun 2002, satu hari menjelang Hari Raya Idul Adha, saya berkunjung ke rumah Kiai Abdul Madjid di Tanjung Enim. Seperti tuan rumah pada umumnya, Kiai Majid begitu hormat menyambut saya. Semula saya diam. Saya hanya mendengarkan perbincangan sederhana, antara Kiai Madjid dengan tamu yang datang lebih dulu dari pada saya.

Di tengah asyiknya perbincangan, seekor ayam masuk ke ruang tamu, persis di tempat kami sedang berbincang. Semula saya akan mengusir ayam itu. Tetapi dicegah oleh Kiai Madjid. Ayam itu kemudian berjalan tanpa beban ketakutan. Sementara Kiai Madjid masih berbincang dengan tamu, saya mengamati ayam, sambil di benak saya bertanya-tanya kenapa Kiai Madjid melarang saya mengusir ayam dari ruang tamunya?

Perlahan-lahan, ayam betina yang masuk ke dalam ruang tamu dibiarkan saja. Merasa tidak diusik, ayam ini tiba-tiba mendekat, persis di samping Kiai Majid duduk. Ia memosisikan diri, seperti hendak bertelur di sebuah sarang.

Sembari mengepulkan asap rokok-nya, Kiai Majid hanya melirik, gerangan apa yang akan dilakukan oleh ayamnya ini. Saya juga ikut mengamati. Kiai Majid tak sedikitpun mengusik ulah ayam yang ada di sampingnya. Tak lama kemudian, ayam ini melompat dari atas kursi, dan keluar rumah.

Kiai Majid tersenyum puas, di saat melihat satu butir telur ada di samping duduknya. Ternyata, tidak selamanya, ayam masuk ke dalam rumah akan mengotori dan mengeluarkan tinja. Terbukti, ayam Kiai Majid memberi satu butir telur bukan tinja.

Perilaku ayam Kiai Majid, paling tidak telah menyadarkan kita pada nilai kemanuisaan kita, yang sering mendahulukan prasangka buruk dari pada prasangka baik kepada orang lain. Secara sadar atau tidak, ayam Kiai Majid, telah mengingatkan kita, untuk memupuk berpikir positif atau dalam bahasa agamanya khusnuzhon, berbaik sangka kepada siapapun, termasuk juga pada ayam. Sebab, selama kita mendahulukan sikap buruk sangka, maka selama itu pula kita akan disiksa oleh perasaan kita sendiri.

Dari kisah ini, saya hanya akan menyampaikan pesan dari ayam Kiai Majid, kalau ayam saja bisa memberikan yang terbaik bagi manusia, berupa telur, kenapa kita, yang jelas-jelas manusia, tidak atau bahkan lupa untuk memberi yang terbaik kepada sesama. Padahal, Tuhan sudah menyatakan, Tidaklah engkau akan sampai pada kebaktian atau ketaatan yang sempurna, sebelum engkau memberikan sesuatu yang terbaik..” Mungkin, kita memang harus lebih banyak belajar lagi dari ayamnya Kiai Majid.

Tanjung Enim, Idul Adha 1423 H / 2002

Dialog Sungai

Oleh Imron Supriyadi

Suatu ketika, saya dan teman-teman se-profesi, menyusuri Sungai Musi Palembang. Sekalipun melibatkan unsur pimpinan menejemen, tetapi, perjalanan ini, sifatnya, berjalan santai. Ibarat orang sedang mencari angin, diluar tempat kerja, tanpa schedule, tanpa jam dan batas waktu yang jelas. Katanya, acara jalan-jalan ini sebagai salam kesan dan pesan dari salah satu pimpinan kami yang akan meninggalkan Palembang. Tetapi justeru inilah, yang mebuat saya dan teman-teman, dapat dengan bebas--untuk memaknai perjalanan, dengan segala penglihatannya, baik secara dhohir, maupun batin.
Jam sepuluh pagi menjelang siang, kami berangkat dari Dermaga Benteng Kuto Besak. Terus menyusuri beberapa perkampungan pinggir Sungai Musi, ke arah Pulau Kemaro. Sejak awal keberangkatan, saya sengaja berada diatas atap perahu. Sehingga, saya bisa menikmati alam secara bebas tanpa sekat apapun.
Suatu ketika, perahu yang saya tumpangi berlintasan dengan sebuah perahu kecil tanpa mesin, yang banyak disebut orang dengan sampan. Diatas sampan itu, ada dua orang yang sedang menggayuh dayung. Dan ketika sampan itu tinggal beberapa meter akan berlintasan dengan kami, seketika itu juga si pengemudi perahu mesin yang kami tumpangi, tiba-tiba menurunkan gas. Dengan sendirinya, kecepatan perahu kami berkurang. Dan beberapa detik kemudian, setelah berlalunya sampan itu, si pengemudi, kembali menarik gas-nya dan kecepatannya kembali normal.
Melihat peristiwa ini, ada tanda tanya yang kemudian muncul di benak saya. Karena saya awam terhadap “pergaulan” air, maka saya tanyakan pada awak perahu. Saya turun dan mendekati tukang perahu.
“Mas, kenapa waktu waktu kita berpapasan dengan sampan tadi, parahu kita harus direm gasnya?” tanya saya kepada si tukang perahu.
“O, Itu memang sudah biasanya seperti itu, Pak. Setiap kali ada perahu besar atau perahu mesin yang berlintasan dengan perahu kecil, yang lebih besar harus mengurangi gasnya. Kalau tidak direm gas-nya, nanti sampan kecil itu bisa oleng kena ombak perahu besar, bisa-bisa sampan itu terbalik dan karam,” jawab si tukang perahu.
Kisah ini memberi satu pelajaran lagi bagi hati dan pikiran kita. Ternyata, diatas air ada etika dan hukum tidak tertulis yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara pengemudi perahu mesin dengan sampan. Kenyataan “pergaulan sampan dan perahu mesin” menggambarkan betapa berharganya sebuah kesepakatan tidak tertulis, tetapi justeru dapat membentuk satu kesantunan peradaban air. Kenapa saya sebut sebuah kesantunan? Karena pergaulan sebagaimana perahu mesin dan sampan, hampir sangat jarang ditemui dalam pergaulan di darat.

Kalau meminjam bahasa Budayawan Emha Ainun Nadjib, mungkin saya, atau anda sering melihat bagaimana peradaban kendaraan di darat, yang lebih mengutamakan pada kesadaran gas dari pada kesadaran rem. Tetapi, diatas Sungai Musi, justeru sebaliknya, mengedepankan kesadaran rem, dari pada kesadaran gas.
Kesadaran rem seorang pengemudi perahu yang kami tumpangi, sekaligus mewakili keinginan penumpang, yaitu keinginan selamat secara bersama-sama, dan berharap untuk tidak tenggelam ke dalam Sungai Musi. Kesadaran untuk saling menyelamatkan antar satu sama lain inilah, yang saat ini seakan mulai pudar. Kalaupun ada, paling-paling hanya kesepakatan untuk saling menyelamatkan dari jeruji penjara.
Mungkin, karena kita tidak belajar dari kesantunan peradaban sungai ini, kemudian yang muncul dari kedirian kita adalah kegersangan. Muara kecil dalam diri kita yang bernama “hati nurani”, tak pernah kita dialiri oleh kesantunan air, sehingga, dalam keseharian, kita memilih untuk saling mendahukukan emosional kita, merasa ingin menang sendiri, atau merasa paling benar sendiri, lantas mengantarkan kita pada kecenderungan, untuk selalu memandang rendah dan salah pada orang lain.
Kenyataan ini, tentu sebagai akibat dari kealpaan kita untuk berdialog dengan air. Air, tak pernah lagi kita ajak bersentuhan dengan muka kita dan hati kita. Komunikasi dengan siraman air rohani, juga sering kita putuskan. Air muka persahabatan pun sering kita libas dengan persoalan materi. Bahkan, air mata pengakuan kesalahan, tak lagi kita tumpahkan dihadapan Tuhan.
Kalau tukang perahu dan sampan saja bisa belajar dari peradaban dan kesantunan aliran air Sungai Musi, kenapa kita tidak?**


Palembang, 2002



Kamis, 18 Agustus 2011

Bidadari itu dibawa Jibril


oleh A. Mustofa Bisri

Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.


Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah--dia biasa memanggilnya ukhti--jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas.

Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas tangan kiri, "Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;" katanya, "Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik, menggunakan tangan kanan!" Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. "Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu." Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. "Bapak tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang ada anjingnya!"

Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama.

Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.*

Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.

Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, "Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?

"Syeikh baru?" tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar."Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.

"Siapa, mas?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Jibril, mas. Malaikat Jibril!""Jibril?" aku tak bisa menahan tertawaku.

Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak."Jangan ketawa! Ini serius!

"Wah. Katanya, bagaimana rupanya?" aku masih kurang percaya."Dia tidak cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.

"Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. "Bagaimana ceritanya, mas?

"Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.

"Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?""Lo, malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.

"Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!" selaku, "Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.

"Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya lo."Wah."Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun.

Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu kini "hanya" menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.

Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.

"Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri. "Apa, mas?" aku terkejut setengah mati, "membakar diri bagaimana?

"Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian membakarnya.

"Hei," aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri.

"Yang lucu, mas," suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, "gurunya itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya, mas?!

"Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon."Doakan sajalah mas!" kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.

Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.

"Pernah pulang sebentar, mas" kata Mas Danu di telepon, "dan Sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana?"***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: "Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.

oleh A. Mustofa Bisri
***Rembang, Akhir Ramadan 1423

Pernah dimuat di media Indonesia, 3 September 2003

"Cerita Tiga Kata” Benny Arnas, Cerpen Koran Paling Mutakhir “Pada Sebuah Pagi” : Kajian Feminisme dalam Sastra Indonesia

Oleh Muhammad Azhari
Memahami cerpen “Pada Sebuah Pagi” karya Benny Arnas, bertema perempuan sebagai salah cerita pendek terpilih yang dimuat di Harian Pagi Sumatera Ekspres, Minggu 17 Juli 2011, menandai babak baru dalam penulisan prosa fiksi populer di media massa cetak di Indonesia yang sarat dengan atmosfer “tawar menawar” terhadap realitas ruang dan waktu. Fenomena yang tersirat di antara tiga kata seakan melengkapi dan memperkukuh eksperimen penulis terhadap kecenderungan paling mutakhir dalam penulisan cerita pendek menjadi cerita (sangat) pendek.


Dalam konteks cerita, temanya identik dengan dunia tawar-menawar. Tak jarang, “perempuan” kerap menawar barang—sekalipun mempunyai harta lebih—dan sudah mencapai harga minimal. Jika tidak menawar, perempuan akan dianggap melawan kodrat dan budaya menerima segala bentuk penindasan. “Ibu muda menawarnya. 2500 saja, katanya. Gadis kecil bertahan. Ibu muda menyeringai. Wajahnya beringsut masam. Aku minta setengah. Setengah porsi saja. Katanya tanpa menoleh. 1.750, ’kan, tegasnya. Gadis kecil diam. Ia malas berdebat. Ia tersenyum saja. Ia membuat pesanan.” (Arnas, Sumatera Ekspres, 17 Juli 2011) .

Benny Arnas, penulis buku Bulan Celurit Api, cerpenis yang tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan, mencoba mengangkat isu gender kembali ke dalam cerpennya. Di samping itu, teori-teori yang berkaitan dengan praktik penulisan perempuan yang digagas Helene Cixous terhadap tubuh perempuan melalui patriarki pun menjadi tema utama dalam feminisme. Menurut Woolf (dikutip Sofia, 2010:13), diartikan sebagai sebuah teori mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Terdapat delapan teori feminis (Arivia, 2003:152--154 dalam Sofia, 2010:13-14), yakni feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme liberal, feminisme psikoanalisis, feminisme eksistensialisme, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan global, serta feminisme ekofeminisme.

Sementara itu, Ratna (2004:184) mengemukakan bahwa feminisme lahir pada awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya A Room of One’s Own (1929). Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman) yang berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Secara lebih luas, feminisme adalah gerakan wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan. Secara lebih sempit, khususnya sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami, karya sastra, baik dalam kaitan-kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi pembaca.

Pada perkembangan selanjutnya, dekonstruksi pun diterapkan dalan kajian feminisme. Maka dari itu, berkembang pula istilah androcentric (berpusat pada laki-laki), phallocentric (berpusat pada [kelamin] laki-laki), androtext (teks yang ditulis lak-laki), gynotext (teks yang ditulis perempuan), dan gynocritic (kritik sastra feminis oleh kaum perempuan).

Berkenaan dengan teori feminisme, Helene Cixous menolak phallocentric dan menyatakan bahwaperempuan memiliki geografi kenikmatan seksual yang lebih banyak dan lebih luas dari laki-laki. Dalam teorinya, Cixous memusatkan kajian feminisme pada aspek oposisi biner dan praktik penulisan perempuan dengan tubuh. Oposisi biner yang dimaksud Cixous merupakan menunjukkan salah satu bagian yang dianggap penting, satunya lagi tidak. Pada novel ini yang menjadi oposisi biner itu adalah tokoh Ibu Muda (kikir) dan Gadis Kecil (dermawan).

Pada cerpen ini, sejak awal kita diperkenalkan dengan dua tokoh paling penting dan sangat berpengaruh dalam penceritaan, yaitu Ibu Muda dan Gadis Kecil. Keduanya dari kalangan berbeda. Ibu Muda adalah tokoh intelektual yang hidup berkecukupan, sedangkan Gadis Kecil hanya pedagang makanan di sebuah kedai kecil. Ibu Muda memesan makanan kepada Gadis Kecil untuk menjaga staminanya dalam sebuah penelitian. Gadis Kecil yang berupaya bertahan hidup, akhirnya membantu Ibu Muda. Ibu Muda menawar harga makanan yang dipesan sampai harga minimal. Setelah kenyang, Ibu Muda beralasan bahwa dirinya lupa membawa uang, namun Gadis Kecil mengikhlaskan makanan yang dilahap habis oleh Ibu Muda itu.

”Tidak apa, Bu. Gadis kecil tersenyum. Tidak usah panik. Tidak perlu bayar. Kata-katanya sangat halus. Namun terasa menusuk” (Arnas, Sumatera Ekspres, 17 Juli 2011).

Kalimat itu menggambarkan kemualiaan hati Gadis Kecil kepada orang yang sangat membutuhkan dan patut dikasihani, Ibu Muda. Sebelumnya, Gadis Kecil sudah ditekan oleh Ibu Muda dengan menawar makanan yang dijualnya.
Betapa takjubnya Ibu Muda mendengar pernyataan Gadis Kecil. ”Mungkin Ibu diutus-Nya (Tuhan). Saya bisa beramal. Saya sangat bersyukur. Ia ke belakang. Meninggalkan ibu muda.” (Arnas, Sumatera Ekspres, 17 Juli 2011).

Sepenggal cerita kemanusiaan yang tergambar dalam cerpen tersebut dipaparkan dengan bahasa yang singkat; hanya tiga kata. Itu menandakan bahwa pentingnya bersedekah karena hidup di dunia memang sangat singkat, seperti yang ditawarkan Benny Arnas dalam cerpennya. Dari gaya penulisannya, langkah-langkah Benny sejalan dengan teori menulis fiksi yang dikemukakan Asep Samboja (2007:31), di antaranya: (1) pemilihan tokoh yang menjadi tulang punggung cerita; (2) tokoh Ibu Muda yang semakin bermasalah, sehingga tokoh akan semakin unik dan cerita semakin menarik; (3) topik memperjuangkan sesuatu sehingga menjadi gereget; serta (4) inventarisasi topik menunjukkan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan orang lain, dengan masyarakat, dengan alam, dengan dirinya sendiri; serta orisinalitas ide ”cerita tiga kata” dikemukakan pertama kali oleh Benny Arnas.

Sejumlah sastrawan ternama seperti Umar Kayam, AA Navis, Kuntowijoyo, hingga Pramoedya Ananta Toer, dobrakan penting dalam sastra sangat ditunggu. Maman S. Mahayana pernah mengklaim bahwa Hari Minggu adalah hari cerpen Indonesia, di mana bangsa ini sangat menikmati temuan-temuan mutakhir dalam penulisan kreatif. Inilah mungkin masa-masa pencerahan akan lahirnya sastrawan muda yang diharapkan dapat membawa dan mengenalkan budaya bangsa pada dunia.

Sejarah sastra di Indonesia, setiap periode memiliki nama dan gaya penciptaan tersendiri, sebagai persetubuhan antara sastra daerah, sastra Indonesia, dan sastra dunia. Cerpen masih menjadi karya primadona yang mendapatkan tempat di hati pembaca. Dalam hal ini, Nurgiyantoro (1995:10) mengemukakan, cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam—suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel.

Cerpen memiliki tempat khusus di koran-koran, khususnya di rubrik Citra Budaya Sumatera Ekspres. Sekian ratus cerpen lahir dari tangan para cerpenis setiap minggu, namun hanya seperbagian berhasil dimuat dalam rubrik koran. Kehadiran cerpen di sebuah koran merupakan bentuk fasilitasi yang menarik dari redaksi, dengan memformulasikan antara fakta (berita) dan fiksi (cerita). Menjelajahi koran, pembaca dimanjakan selalu bersinggungan dengan fakta berupa berita.. Kecenderungan cerpen di koran yang harus beriringan dengan peristiwa di dalamnya. Di tengah kondisi pers sebagai industri, kebebasan eksperimentatif dan eksploratif estetik cerpenis terus diasah untuk diselaraskan dengan space dan iklan, termasuk penyesuaian tema, peristiwa, maupun bahasa.**

Penulis adalah Editor, Penulis, dan Aktor Teater di Palembang



Daftar Pustaka

Arnas, Benny. Cerita Pendek ”Pada Sebuah Pagi; Cerita Tiga Kata”. Harian Pagi
Sumatera Ekspres, Minggu 17 Juli 2011.

Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Tekni Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Samboja, Asep. 2007. Cara Mudah Menulis Fiksi. Jakarta: Bukupop.

Sofia, Adib. 2010. Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo.
Yogyakarta: Citra Pustaka.

Sastra dan Identitas

Oleh Elisa Dwi Wardani

Pada umumnya, pembicaraan mengenai identitas dipandang perlu ketika identitas berada dalam suatu krisis. Hal ini mengingatkan kita kepada dua pandangan yang bertentangan mengenai identitas.

Pandangan yang pertama adalah pandangan essentialism yang percaya bahwa identitas bersifat tetap, universal, dan tidak terpengaruh oleh wacana dari luar.
Dari sudut pandang tersebut, identitas menjadi tidak mungkin untuk berubah sehingga pengaruh-pengaruh dari luar dianggap sebagai ancaman terhadap keutuhan sebuah identitas. Pandangan inilah yang melahirkan berbagai stereotip yang beredar di sekitar kita.

Sebaliknya, pandangan anti-essentialism meyakini identitas sebagai sesuatu yang bersifat cair, terbentuk oleh wacana-wacana dari luar yang kemudian diinternalisasi dan menjadi bagian dari diri seseorang, serta bahwa identitas merupakan penstabilan makna secara temporer.

Pandangan anti-essentialism yang postmodernis tersebut melihat identitas sebagai sebuah konstruksi yang dipengaruhi oleh berbagai wacana dari luar yang saling terkait. Hal tersebut memungkinkan seseorang untuk mengikatkan dirinya pada lebih dari satu konstruksi identitas pada saat yang bersamaan atau mengikatkan dirinya kepada konstruksi makna yang lain di lain waktu.

Identitas di dalam postmodernisme sangat terkait erat dengan bahasa karena pembentukan identitas seseorang tidak lepas dari bahasa. Identitas diri seseorang bahkan terdiri dari dan terbentuk oleh bahasa.

Bahasa dan praktik berbahasa menurut Foucault, sanggup menempatkan seseorang pada posisi sebagai subjek dalam bahasa, misalnya sebagai “perempuan”, “laki-laki”, “homoseksual”, “gila”, “orang asing”, dan sebagainya.

Lebih dari itu, bahasa dan praktik berbahasa juga dapat dipakai sebagai alat untuk memposisikan seseorang sesuai dengan keinginan. Tujuannya adalah untuk menghasilkan manusia-manusia yang bisa diperlakukan sesuai keinginan, yang bisa diukur, dinilai, dilatih, dihukum, disiksa dan sebagainya.

Dengan demikian, bahasa bisa dimanipulasi oleh kekuasaan untuk tujuan-tujuan tertentu. Sebagai media dalam sastra, bahasa memiliki kekuatan untuk menjadi salah satu diskursus yang membentuk identitas.

Sebagaimana dikatakan oleh penyair Taufiq Ismail, penyair adalah penguasa kata-kata. Walaupun seorang penyair, seperti kata Taufiq Ismail, mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.”

Sebagaimana teks adalah bukan sesuatu yang muncul dari kehampaan yang mandiri namun dibentuk oleh suatu praktik diskursus, maka pencerahan sang penyair tersebut tentunya berasal dari pemaknaan sang penyair pribadi mengenai wacana-wacana yang ada di sekitarnya.

Ideologi sang penyair pada gilirannya akan direproduksi dalam representasi yang terwujud dalam karya sastra. Dengan kata lain, pada akhirnya kuasa yang ada dalam kata-kata yang diolah oleh seorang penyair akan menghasilkan sebuah realitas tersendiri.

JK Rowling dan serial Harry Potter-nya yang mengisahkan tentang seorang anak yang memasuki sekolah penyihir Hogwarts sempat menimbulkan reaksi hebat di kalangan pembacanya.

Dalam sebuah wawancara JK Rowling mengakui bahwa dia menerima banyak surat dari anak-anak yang dialamatkan kepada Profesor Dumbledore, kepala sekolah penyihir Hogwarts, yang meminta supaya mereka bisa diterima di sekolah tersebut.
Beberapa dari para pengirim surat tersebut menyatakan bahwa mereka sangat sedih dan sangat berharap bahwa sekolah penyihir tersebut benar-benar ada. Hal ini menunjukkan betapa karya sastra adalah sebuah reproduksi yang mampu menjadi realitas itu sendiri.

Batas antara realitas dan representasi telah menghilang, karena representasi sekarang telah menjadi sebuah realitas. Apa yang khas mengenai sastra menurut Ignas Kleden adalah sifat dialektikanya yang menghubungkan makna tekstual dan makna referensial, dan kemampuan sastra untuk mengedepankan makna tekstual. Hal ini menjelaskan bagaimana karya sastra bekerja.

Realitas yang terbentuk dalam karya sastra menurut Lacan bagaikan cermin yang merupakan refleksi yang palsu dari identitas diri kita yang sesungguhnya karena ia hanya memberikan sesuatu yang bersifat imajiner. Meskipun demikian, sepanjang hidup kita, kita selalu mencari keotentikan dan identitas kita dalam ilusi yang sayangnya tergantung dari cara orang lain menunjukkan bagaimanakah wujud kita tersebut.
Karya sastra yang terdapat di seputar kita boleh dikatakan menjadi salah satu diskursus yang saling terkait dengan diskursus-diskursus lain yang saling berebut untuk menjadi sebuah point of attachment bagi konstruksi identitas kita.

Abad ke 21 sering disebut-sebut sebagai abad di mana kemajuan teknologi berkembang pesat yang menyebabkan menghilangnya batas-batas. Dampaknya, manusia akan terhubung satu dengan yang lainnya seolah-olah tanpa ada waktu, ruang dan tempat yang membatasi.

Kondisi tersebut memiliki potensi untuk mengaburkan identitas manusia itu sendiri. Dengan keterbukaan ala globalisasi, manusia nampak menjadi homogen. Dalam hal inilah sastra sebagai salah satu diskursus pembentuk jati diri memiliki peluang untuk ikut menstabilkan makna jati diri seorang manusia.

Ketika batas-batas membaur, dan bukan hanya batas-batas antar ruang dan waktu saja yang membaur, namun juga batas-batas antara disiplin ilmu, maka persoalan-persoalan akan membutuhkan pendekatan yang lebih interdisipliner.

Barangkali tidak berlebihan apabila sastra dinantikan sebagai sebuah agen yang mampu mengkonstruksi identitas, yang akan mampu untuk ikut menjawab tantangan mengenai persoalan identitas manusia**

*) Elisa Dwi Wardani, Dosen Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma **) Artikel ini kerja sama Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma dengan KR.

Senin, 16 Mei 2011

Aliansi Seniman di Palembang Tolak Alifungsi Museum Tekstil Menjadi Hotel


Oleh Iir Sugiarto

Sastramusi Online - Geliat seniman di Palembang, setelah lengang dari aksi protes terhadap dinamika berkesenian, kali ini kembali melakukan protes keras terhadap alih fungsi Museum Tekstil Sumsel yang akan dijadikan hotel berbintang oleh pemerintah provinsi (Pemrov) Sumsel.
Hal itu terungkap dalam pertemuan sejumlah seniman Palembang di Dewan
Kesenian Palembang (DKP), Senin (16/05/2011). Dalam pertemuan itu disebutkan pengallihan Museum Tekstil menjadi hotel dianggap sejumlah oleh seniman di Palembang seagai bentuk perusakan cagar budaya.
Erwan Suryanegera, salah satu tim yang menamakan diri Aliansi Seniman Menggugat (ASM) mengatakan, pertemuan yang di lakukan pada hari ini merupakan salah satu bentuk
untuk melakukan pembahasan tentang alifngsi museum tekstil menjadi hotel. “Dan sebagaian teman kita telah sependapat bahwa saatnya kita menolak atas perubahan gedung tersebut menjadi hotel, karena dalam museum itu terdapat benda-benda bersejarah yang harus dijaga kelestariannya,” tegasnya.


lebih lanjut, Erwan menjelaskan penolakan ini dilakuka karena museum tersebut merupakan salah satu cagar budatya. Dalam UU No 11 Thn 2010 tentang perlindungan cagar budaya yang sudah berumur 50 tahun keatas harus dilestarikan dan dipelihara.
Erwan menambahkan, terkait dengan hal ini, pihaknya akan menghadap ke Walikota Palembang, agar tidak mengeluarkan Izin Membangun Bangunan (IMB) atas pembangunan hotel di area museum tekstil tersebut.
Senada dengan itu, kepada sejumlah wartawan di Palembang, Vebri Al Intani salah satu seniman Palembang lainnya menyebutkan dari hasil pertemuan para seniman yang telah dilakukan, telah mengerucurt pada kesimpulan, yang intinya seniman di Palembang menolak atas alih fungsi Museum Tekstil menjadi Hotel. “Untuk mengimplementasikan penolakan itu, kita (para seniman-red) Palembang akan mengadakan aksi dalam waktu dekat ini. Dalam aksi ini kita akan mendatangi kantor Walikota Palembang, dan mendesak mendesak pemerintah kota untuk tidak mengeluarkan IMB terhadap pembangunan hotel tersebut. Selain itu kita juga akan mendatangi kantor gubernur Sumsel untuk meminta gubernur agar menghentikan alifungssi tersebut,” kata Koordinator Lembaga kebudayaan Kobar 9 ini tana menyebut kapan kepastian aksi itu akan digelar. [*]

Sumber : http://www.dapunta.com/seniman-palembang-tolak-alifungsi-museum-tekstil-menjadi-hotel/11542.html

Minggu, 06 Februari 2011

Mesir Anarki, Mesir Peduli


foto : net
Oleh Imron Supriyadi

Dalam dua pekan terakhir Negeri Mesir, setelah sekian lama menjadi ‘air yang tenang’ kini bergolak. Kisruh dan keruh. Sampai hari ini, hampir separo lebih dari masyarakat dunia perhatiannya tersedot ke negeri itu. Ketenangan Mesir kini berubah menjadi lautan darah, doa dan air mata. Dua kubu antara pendukung dan anti Presiden Mubarak saling serang. Dua kepentingan sedang saling tarik menarik. Sistem pemerintahan tak berfungsi.

Dan semua yang selama ini dilarang menjadi boleh. Sejumlah negara, termasuk Indonesia yang memiliki warga dan mahasiswa di Mesir terpaksa harus dipulangkan, demi keamanan jiwa mereka. Mesir yang selama ini banyak dirindukan sebagian mahasiswa, kini berubah menjadi negeri yang mengerikan.

Tetapi apapun yang terjadi, pergolakan Mesir tetap saja menyimpan banyak hal yang patut kita catat sebagai bahan renungan bersama.


Bukan pada gerakan menumbangkan pemerintahan Mubarak. Sebab menurut saya, kalau dalam konteks politik gerakan anti pemerintah, peristiwa reformasi Indonesia 1998 yang kemudian menggulingkan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998, sudah lebih dari cukup untuk menjadi pelajaran politik bagi sejumlah pihak, termasuk negara-negara Asia lainnya.

Tetapi dengan pergolakan Mesir, Pertama ; telah membuat sejumlah pejabat negeri ini ikut peduli terhadap nasib Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di negeri itu, sampai di tingkat presiden. Duta Besar (Dubes) Indonesia di Mesir yang selama ini mungkin tidak pernah terdengar ‘suaranya’ kemudian menjadi mediator antara warga Indonesia yang memiliki keluarga di Mesir dengan sejumlah jurnalis di Indonesia. 

Ada suara dan sikap peduli yang didorong paksa oleh realitas Mesir, sehingga Dubes Indonesia di Mesir harus memfungsikan diri sebagai ‘bapak’ dari sekian banyak mahasiswa dan orang tua Indonesia yang memiliki keluarga di Mesir.

Kedua; seorang Presiden SBY dalam kasus ini ikut andil dengan sikap solidaritas memulangkan ribuan WNI di Mesir dengan memfasilitasi ribuan WNI sampai ke kampung halaman. Sebuah bentuk kepedulian yang cukup responsif bagi seorang Presiden yang segera mungkin menyelamatkan jiwa WNI di Mesir. 

Tentu aksi solidaritas ini bukan datang begitu saja. Sikap ini ada kondisi yang memaksa SBY harus melakukan sesuatu demi keselamatan WNI di Mesir. SBY jelas tidak ingin dikatakan Presiden yang tidak peduli terhadap keselamatan warganya di sebuah negara yang sedang carut marut, sebagaimana Mesir saat ini. 

Terlambat satu menit saja mengambil sikap terhadap WNI di Mesir, dalam sekejap, Presiden SBY akan menjadi ‘bulanan-bulanan’ media di Indonesia.

Tetapi Prsiden SBY bukan pejabat kacangan. Bahkan, Jepang sudah menyebut SBY sebagai ‘Presiden Politik’ yang intelek dan cerdas. Berbagai penghargaan dari dunia internasional juga berdatangan. Presiden SBY dianggap sebagai sosok pemimpin yang telah mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap negeri Pancasila ini.

Kepedulian Presiden SBY terhadap ribuan WNI di Mesir sudah tentu patut disikapi dengan aplaus positif. Meskipun sebelumnya, mantan Pangdam II Sriwijaya ini sempat diguncang oleh sinisme sejumlah pihak, ketika ada pernyataan; selama menjabat Presiden sudah tujuh tahun gajinya tidak mengalami kenaikan. 

Terakhir, putra kelahiran Pacitan 9 September 1949 ini kembali diterpa angin negatif dalam kasus buku SBY yang menyebar di sejumlah sekolah. Jauh sebelum itu, kasus Bank Century dan Monarki Yogyakarta, juga sempat mengguncang istana.

Tetapi lagi-lagi harus diakui, Presiden SBY merupakan Presiden yang penuh siasat dan taktik. Latar belakang militer, menjadi sejarah yang telah mengakar dalam tubuh seorang SBY. Rebut dan Kuasai atau terus berjuang sampai ajal menjemput, merupakan darah militer yang sudah demikian kuat mengalir dalam tubuh SBY.

Kita bisa menengok ke belakang, betapa sebagian pejabat dan rakyat Indonesia menolak George W Bush datang ke Indonesia ketika itu. Parlemen sempat akan menggear hak angket terhadap kunjungan Bush. Tetapi apa yang terjadi, 

Presiden Negara Adidaya Amerika Serikat itu tetap saja melenggang, dan parlemen kita bisa ‘bungkam’ serubu bahasa. Kalau SBY bukan jenderal yang pintar, sangat sulit menekan parlemen menjadi komunitas ‘mulut bisu’ dalam kunjungan Bush ke negeri ini. Sehingga musuh dalam konteks apapun akan dapat teratasi dengan ‘cerdas’ oleh SBY.

Tetapi pergolakan Mesir bukan musuh bagi SBY atau juga bagi kita. Sikap peduli pemerintah Indonesia merupakan ‘pahala’ dari langit untuk Presiden SBY dalam membangun aksi solidaritas dan nasionalisme. Sebab diakui atau tidak, kalau sekiranya Mesir tidak begolak, tidak sedikit WNI yang memutuskan tetap tinggal dan menjadi warga negara Mesir. Tetapi ketika kebijakan langit menciptakan Mesir menjadi lautan jeritan, darah dan air mata, 

WNI di Mesir berbondong-bondong ingin pulang ke Indonesia. Ada spontanitas semangat nasionalisme yang ketika itu muncul. Kerinduan untuk tenang dan sejuk di kampung Indonesia, meski penuh dinamika korup, negeri ini tetap menjadi tumpuan hati bagi sejumlah WNI di Mesir. 

Kata pepatah ; lebih baik makan kangkung di rumah sendiri, dari pada makan dagnig di negeri orang. Tenryata pergolakan Mesir sedikit banyak telah mengembalikan ruh WNI terhadap kepemilikan Indonesia. Meski sesaat tetapi itu lebih baik dari pada tidak.

Persis seperti kasus Manohara, yang dipaksa membangkitkan nasionalismenya terhadap Indonesia, setelah dalam ‘cengkeraman paksa’ dari putra mahkota di Malaysia. Ketika itu, keluarga Manohara sedemikian gencar melakukan kampanye simpatik agar sebagian bangsa ini, ikut memperjuangkan pembebasan Manohara dari putra mahkota di Malaysia. Secara spontanitas, muncul kesadaran kolektif di negeri ini untuk mempertahankan nasionalisme melalui kasus Manohara.

Ketiga; silaturahim internasional. Mesir adalah miniatur dari sejumlah perintah dari langit untuk mengembalikan keeratan silaturrahim, bagi warga Mesir di sejumlah negara. Ada sikap kebersamaan dalam menciptakan musuh bersama, yaitu Mubarak harus segera turun dari kursi presiden. Pergolakan Mesir menjadi luapan emosi kebersamaan (silaturahim) warga Mesir yang tinggal di luar negeri Mesir. Aksi solidaritas secara moral terus berkumandang dan menggelora di jalan-jalan di belahan dunia.

Bagi Indonesia, Mesir menjadi mediator silaturahim nasional, terutama bagi WNI yang selama ini belum sempat pulang kampung. Tetapi dengan Mesir bergolak, ada peluang yang sengaja dicipatakn oleh ‘pemegang otoritas kebijakan bumi’ agar WNI di Mesir harus pulang dan sujud kepada keluarga dan orang tua mereka yang sekian lama telah terpisah. 

Demikian keringnya rohani silaturahim kita terhadap negara, terhadap keluarga, terhadap orang tua, baik bagi WNI dan warga Mesir, sehingga untuk membangkitkan dan menggelorakan silaturahim pada setiap kita, juga pada setiap warga Mesir, Tuhan harus menciptakan pergolakan Mesir lebih dulu. Kalau saja Mesir tidak bergolak, mungkin warga Mesir di sejumlah negara tidak menjadi luapan kebersamaan seperti yang terjadi di sejumlah negara. 

Pun bagi WNI. Kalau saja Mesir tidak bergolak, sangat mungkin kepulangan mereka ‘menghadap’ orang tua dan berkumpula dengan keluarga di negeri ini, tidak akan secepat yang saat ini terjadi. Akan banyak hal yang menjadi pertimbangan, kuliah belum selesai, kontrak kerja masih panjang, izin tinggal di Mesir belum habis dan masih banyak lagi alasan lain yang sangat tidak memungkinkan WNI pulang secepat seperti saat ini.

Demikian halnya pada seorang Presiden SBY. Pergolakan Mesir telah membangkitkan spontanitas kepedulian dan aksi simpatik pada ribuan WNI di Mesir yang jiwanya terancam. Begitu terlupanya sejumlah pejabat negeri ini pada sikap peduli dan silaturahim internasional akiba siduk oleh urusan dalam negeri, sehingga kepedulian dan solidaritas itu harus dipaksa melalui pergolakan Mesir. Mesir adalah merupakan bentuk paksaan dari langit, agar kita dan semua kembali pada sikap saling peduli antar sesama, meski kita berada di tempat dan posisi yang berbeda.

Keempat; TKI juga perlu dipulangkan. Jauh sebelum Mesir terguncang oleh realitas politik, ada komunitas WNI lain yang menurut saya menempati posisi prioritas untuk sesegera mungkin untuk dipulangkan sebagaimana WNI di Mesir, yaitu; nasib dua juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Negeri Jiran. 

Saya pikir, pergolakan batin mereka sudah lebih panjang dan dahsyat ketimbang WNI di Mesir. Problem yang diderita TKI saat ini, menurut saya tidak lebih kronis dari nasib WNI di Mesir. Sebab, deretan kasus yang menimpa TKI di negeri Jiran, bukan hanya mengancam perut mereka, tetapi juga jiwa, keluarga dan masa depan mereka di Indonesia.

Kalau kemudian kita menyimak data kasus TKI yang pulang ke Indonesia penuh luka dan sebagian lagi tanpa nyawa, mestikah kepedulian seorang Presiden SBY hanya tertuju pada nasib WNI di Mesir? Bukankah TKI di negeri Jiran yang punya nasib tragis juga meski diselamatkan? Kalau Malaysia saja ada sekitar 2 juta TKI, lantas berapa banyak lagi TKI di negeri lain yang memiliki potensi untuk tidakdimanusiakan oleh majikan mereka? Haruskan menunggu ada luka dan kematian TKI baru muncul aksi solidaritas sebagaimana kasus-kasus sebelumnya? 

Menurut saya, bentuk kepedulian bagi WNI akibat pergolakan Mesir tetap saja menjadi bagian penting, tetapi nasib TKI di negeri Jiran tidak juga bisa diabaikan begitu saja. Sebab, derita mereka sudah berdasa warsa, sehingga mereka juga wajib mendapat kepedulian lebih dari WNI di Mesir.
Presiden SBY tidak harus menunggu ada pergolakan serupa yang menimpa di Malaysia, baru kemudian mengambil sikap tegas terhadap upaya pemulangan TKI di negeri Jiran itu, seperti sikap peduli yang dilakukan pemerintah RI pada WNI di Mesir. 


Sebab pergolakan batin jutaan TKI di negeri Jiran itu menjadi perjalanan panjang yang akan terus menyejarah yang menaykitkan, jika tidak sesegara mungkin diakhiri. Kalau hanya dengan alasan TKI mendatangkan devisa negara sebesar 6,3 triliun per tahun, menurut saya pemerintah lebih cerdas bisa menyiasati dengan membuat cara lain untuk mengganti ‘jual beli manusia’ versus TKI dengan pola dan usaha lain di dalam maupun di luar negeri yang lebih manusiawi. Kita mengutuk adanya praktik traficking (jual beli manusia) tetapi kita juga membiarkan ‘jual beli’ TKI ke sejumlah negara.
Sangat mungkin, sejumlah pihak akan membantah kalau pengiriman TKI menjadi bagian traficking. Sebab, yang selama ini dianggap traficking adalah ‘bisnis manusia’ yang tidak mendapat legalitas formal sebagaimana PJTKI yang jumlahnya ribuan di Indonesia. Bagaimana mungkin tidak saya sebut bagian traficking, kalau ternyata PJTKI di Indonesia dan penyalur di sejumlah negara masih juga ‘memakan’ keringat dari para TKI? 

Menurut mereka, taguhan paksa dari jasa TKI itu sebagai profesional fee jasa penyaluran? Boleh saja dikatakan seperti itu, tetapi profesional fee tidak dengan cara menindas, nenipu atau bahkan melasukan pasport dan lainnya. Tetapi faktanya, hanya demi sejumlah rupiah, dan mendukung memasukkan devisa negara, sejumlah PJTKI siap berbuat apa saja, asal ‘jual beli manusia’ versus TKI mendapat legalitas formal dari pemerintah. Ini sama persis dengan larangan pemerintah membuka kompleks prostitusi (pelacuran), tetapi membiarkan ‘pelacuran intelektual’ seperti jual beli skripsi terus terjadi di ribuan kampus di negeri ini.
Oleh sebab itu, terhadap nasib TKI di negeri Jiran, menurut saya masih sangat banyak peluang yang bisa dilakukan jika memang pemerintah memiliki political will dan political action dalam upaya mengentaskan jutaan TKI dari keterkungkugan para juragan atau majikan. 

Membiarkan nasib TKI tetap seperti saat ini, sama halnya kita dan pemerintah Indonesia sedang mengakui di mata internasional, kalau negeri ini adalah negeri eksportir babu alias negeri para pembantu. Kalau pemerintah Indonesia bisa mengalokasikan anggaran tunjangan perumahan dan fasilitas bagi ratusan anggota dewan dengan triliunan rupiah, dari tingkat pusat dan daerah, mengapa tidak ada niat baik untuk mengalokasikan anggaran untuk membangun perusahaan yang kelak mampu menampung TKI yang dipulangkan ke negeri ini?
Menurut saya, masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh untuk memberi ruang bagi TKI di negeri Jiran yang dipulangkan. Diantaranya adalah, merubah deal politik antara pemerintah dan investor. Dari tingkat Presiden sampai Bupati, argumentasinya adalah bukan hanya didasari menambah pendapatan negara, atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten dan Kota, tetapi berapa jumlah tenaga pengangguran eks TKI yang dapat diserap di perusahaan, juga menjadi posisi tawar bagi setiap investor yang akan menanamkan sahamnya di Indonesia. 

Sehingga, secara perlahan jutaan TKI yang mengadu nasib di negeri tetangga itu lambat laun dapat berkurang untuk kemudian diberdayakan sebagai tenaga kerja di sejumlah perusahaan yang disediakan pemerintah dari pusat dan daerah. Tidak ada yang tidak bisa, kalau kita memang mau melakukan dan mencobanya. Masalahnya kemudian adalah, tinggal pemerintah Indonesia mau atau tidak. **
Palembang, 5 Februari 2011

Penulis adalah Pelaku Sastra, Ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Palembang, redaktur Dapunta.com

Sumber Tulisan : http://www.dapunta.com/mesir-anarki-mesir-peduli.html

Selasa, 25 Januari 2011

KETIKA GAYUS INGIN MENJADI N”NABI”


Oleh Imron Supriyadi

Keinginan Gayus Tambunan, tersangka penggelapan pajak di Indonesia yang berniat menjadi staf ahli Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Indonesia (Polri) tak lepas dari pantauan warga di kampung saya. Dua pekan terakhir, hampir setiap habis maghrib menjelang isyak, di masjid kampung saya ada saja jamaah yang berbincang soal Gayus.

“Gayus itu sudah gila. Mosok sudah korup kok malah mau jadi staf ahli KPK. Dasar Bocah edan!” ujar Mang Yus agak kesal.
“Iya, aku juga heran, Kok bisa-bisanya Gayus itu ngomong begitu. Apa dia itu tidak sadar kalau sekarang nama dia sedang hancur. E, sekarang malah mau jadi staf ahli. KPK dan Polri lagi! Siapa yang mau menerima orang seperti Gayus!” timpal Mang Sujak seakan setuju dengan Mang Yus.

“Ah, itu kan hanya akal-akalan Gayus, supaya dia dibilang orang yang sudah taubat. Kalau dia diterima jadi staf ahli, otomatis dia akan bebas dari jeratan hukum. Lagi pula, kalau pemerintah mau menerima itu, pemerintah juga gila. Lha, maling pajak kok dijadikan staf ahli? Apa nggak tambah hancur negara ini?,” tukas yang lain.

“Itu kan kerjaan pengacara Gayus, supaya pengacaranya juga ikut tenar. Sudahlah, itu hanya politik jualan Gayus dan pengacaranya saja. Otaknya bukan Gayus, tapi orang-orang dibelakang Gayus,” kata Mang War, salah satu praktisi enterpreuner di Palembang.

Ungkapan beberapa jamaah di masjid kampung saya, tak beda jauh dengan tanggapan sejumlah pejabat di negeri ini. Niat baik Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri dianggap lelucon panggung ludruk yang sama sekali tidak masuk akal sehat kita. Semuanya melihat baik Gayus sebagai dagelan politik Gayus yang ingin dianggap sebagai orang yang sudah menyesal dengan perbuatannya.

Tetapi apakah kita juga akan menolak niat baik anak kita yang sebelumnya terjerat narkoba, kemudian seketika ingin berbalik menjadi orang baik? Atau kita juga akan menghalangi iblis ketika suatu kali iblis datang kerumah kita kemudian ibllis menyatakan bertaubat dan ingin menjadi manusia bermoral sebagaimana nabi?
Kita, selama ini sering memilih membangkitkan suudzon (prasangka buruk) pada sejumlah orang yang punya niat baik. Sehingga prasangka buruk itu kemudian menutup hati kita, lantas mengatakan niat Gayus itu dianggap gagasan orang gila.

Ketika prasangka buruk sudah sedemikian tebal melingkupi akal dan hati kita, maka dia akan menjadi hijab (penutup) hati kita, untuk kemudian pancaran hati kita juga akan buram. Persis ketika kita berdiri di depan cermin. Taburilah cermin itu dengan debu sehingga cermin menjadi buram. Lalu kita ambil sebuah senter, atau lampu. Kemudian kita arahkan sinarnya ke cermin. Maka pantulan sinar yang mengarah pada muka kita juga akan buram, sebagaimana cermin yang sebelumnya memang buram oleh debu yang kita taburkan. Begitulah cerminan hati dan pikiran kita melihat niat Gayus.

Pun Gayus juga begitu. Mengapa niat Gayus harus dinilai negatif ketika ada dia ingin menjadi manusia bermoral seperti Nabi. Kalau ada tawaran pilihan pertanyaan; lebih baik mantan kiai atau mantan preman? Lebih baik mantan gadis berjilbab, atau mantan pekerja seks komersil? Lebih baik mantan ruhaniwan atau mantan koruptor? Logikanya, kalau mantan kiai akan menjelma menjadi preman. Kalau mantan gadis berjilbab bisa menjelma menjadi pekerja seks komersil? Kalau mantan ruhaniwan bisa menjelma menjadi koruptor. Sebaliknya, mantan preman tidak sedikit jadi kiai. Mantan pekerja seks komersil bisa menjadi perempuan berjilbab. Mantan koruptor bisa menjelma menjadi rohaniwan. Lantas berapa fakta di negeri ini orang yang selama ini kita anggap bermoral, tetapi pada kenyataannya kampanye kebaikan yang ditebarkan itu hanya lips service (buah bibir) atau kamuflase saja?

Penialain terhadap niat Gayus sangat relatif. Tergantung dari mana kita akan menilai dan memandangnya. Kita sudah sedemikian tidak percaya para realitas kebaikan yang pada kenyataaannya sering dimanipulasi. Atau kita juga sudah seperti besi karat tebal yang sangat sulit dibersihkan, karena sudah terlalu lama kita menyimpan karat prangsa buruk dalam lintasan batin dan logika kita. Akibatnya, muatan negatif dalam syaraf kita lebih mendominasi jalan pikiran, sehingga yang melintasi otak dan hati kita sering memilih melihat sesuatu dari sisi negatif dari pada positif.

Tetapi dalam soal ini, perlu kemudian kita juga mempertanyakan kembali, sebenarnya yang menolak niat baik Gayus itu karena hati kita yang buram oleh debu prasangka buruk, atau karena kita tidak ingin kasus besar pidana korupsi di negeri ini akan terbongkar oleh Gayus? Sebab disebut anggota DPR-RI, bukan tidak mungkin, ketika kasus Gayus ini diungkap akan banyak sejumlah orang kuat di negeri ini yang terlibat, baik dalam konteks politik dan ekonomi.

Kalau Gayus duduk sebagai staf ahli KPK dan Polri, akan sangat banyak kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat negara juga ikut terbongkar. Ungkapan Gayus yang ingin membongkar kasus korupsi kelas kakap dan kelas paus, sudah pasti membuat sejumlah petinggi negeri ini menjadi kalang kabut. Sebab Gayus adalah saksi kunci, siapa-siapa saja perusahaan dan pejabat negara yang selama ini menggunakan jasa Gayus dalam mengemplang pajak.

Sehingga argumentasi dalam dimensi moralitas yang digembar-gemborkan oleh para pejabat negara menolak Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri, tak lebih bentuk politik ketakutan para pejabat negara dan pengusaha agar Gayus tidak menyebut nama-nama koruptor kelas kakap dan kelas paus.

Argumentasi moralitas menolak Gayus, hanya sebuah politik pembelaan para pejabat negara dan pengusaha, agar mereka tetap selamat dari jeratan hukum terkait kasus korupsi yang mereka lakukan. Para pejabat negara sangat mengetahui iklim pikiran bangsa ini, sehingga hanya politik moralitas yang bisa menjadi benteng penolakan Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri. Hanya dengan kampanye atas nama moralitaslah sejumlah tokoh akan ikut menolak Gayus menjadi staf ahli KPK dan Polri.

Penolakan ini sama halnya ketika kaum kafir Quraisy menolak kedatangan Nabi Muhammad Saw di Mekkah. Penolakan mereka bukan pada dimensi ideologi Islam, melainkan karena Nabi Muhammad Saw akan mengganggu stabilitas penindasan, perbudakan dan kapitalisme yang selama ini dilakukan Kafi Quraisy di Kota Mekkah. Argumentasi penolakan atas dasar Islam tidak masuk akal bagi ajaran nenek moyang mereka, hanya rekayasa sejumlah penguasa Mekkah (Kafir-Quraisy) yang ketika itu tidak ingin diganggu kemapanan kekuasaannya menjadi pememerataan hak dan kewajiaban antar sesama, sebagaimana ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Jadi penilakan meraka bukan karena Islamnya, tetapi karena ajaran Nabi Muhamad Saw yang bertentangan dengan iklim hukum pendindasan yang sudah lebih dulu mereka terapkan.

Gayus memang bukan Nabi atau Rasul. Tetapi saat ini Gayus sedang menjadi manusia pilihan Tuhan yang sedang diundang Tuhan melalui sejumlah kasus yang melingkupinnya. Gayus memang ditugaskan Tuhan untuk membuka sejumlah kasus korupsi. Gayus juga seperti iblis yang membantu kita untuk mengantar banyak manusia masuk sorga, meski dia harus berkorban menyiapkan diri masuk neraka. Sama seperti lilin yang setia menerangi kegelapan, tetapi dirinya siap leleh dan terbakar.

Gayus, seperti juga Ahmad Mushodieq yang mengaku nabi. Datang dan lahir saat ini untuk membuka ruang pikiran dan batin kita. Tanpa Mushodieq mungkin bangsa ini tidak pernah akan ada perbincangan serius para pejabat negara tentang agama. Karena Mushodiq, sejumlah pejabat negara kemudian duduk satu meja, antara Polri, Kemendagri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah tokoh agama membahas kehidupan agama.
Sedemikian parahnya bangsa ini yang telah meinggalkan nilai-nilai kerohanian, segingga Tuhan harus memaksa sejumlah pejabat negara untuk membicarakan agama dengan mengutus Nabi palsu Ahmad Mushodieq. Demikian juga dengan Gayus. Oleh karena sedemikian parahnya tingkat korupsi di negeri ini, sehingga Tuhan harus mengurus Gayus untuk menjadi tersangka. Gayus diundang Tuhan agar segera kembali pada-Nya. Sebab dalam kurun waktu tertentu ketika Gayus memanipulasi laporan pajak, sudah pasti Gayus sedang terlupa pada nilai-nilai kebaikan. Dan sekarang, Gayus tertangkap, ditugasi Tuhan untuk membantu pembongkaran kasus korupsi yang lebih besar di negeri ini.

Sekarang tinggal bagaimana sikap bangsa ini. Apakah akan menempatkan Gayus sebagai iblis yang tetap menjerumuskan manusia, atau merubah pikiran kita, untuk kemudian memposisikan Gayus sebagai iblis yang ingin bertaubat dan membantu bangsa ini untuk membongkar kasus korupsi di negeri ini? Pintu menuju kebaikan dari langit sudah dibuka melalui tertangkapnya Gayus. Sekarang tinggal para pejabat negara, mau atau tidak memulainya untuk membongkar kasus Gayus lain yang lebih besar lagi? [*]

Palembang, 13 Januari 2011

Penulis adalah, Pelaku Sastra, Ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Kota Palembang, bekerja pada Dapunta.com

Sumber Tulisan : http://www.dapunta.com/ketika-gayus-ingin-menjadi-%E2%80%98nabi%E2%80%99.html