Oleh Imron Supriyadi
Suatu ketika, saya punya waktu libur yang cukup di rumah. Liburan itu kemudian saya manfaatkan untuk ikut melakukan bersih-bersih ruang tamu, ruang makan sampai tempat tidur.
Apa yang saya lakukan sebagai hiburan, setelah dalam beberapa pekan saya disibukkan oleh pekerjaan yang tidak berhubungan dengan kamar tidur.
Meski saya tidak pernah kursus di lembaga pendidikan perhotelan, saya mencoba belajar bagaimana merapikan tempat tidur, membersihkan kamar dan ruang lainnya.
Setelah saya membersihkan lantai ruangan dengan sapu dan kain pel, saya kemudian merapikan tempat tidur.
Usai bersih-bersih, saya berdiri mengamati lantai yang sudah mengkilat dan harum. Isteri saya ikut nimbrung di belakang saya melhat hasil pekerjaan saya. Ia tersenyum. Sementara kedua anak saya, Anisa dan Muhammad Kahfi, sudah asyik bermain di ruang lain.
“Kok, tempat tidurnya belum dirapikan?,” tanya isteri saya setengah mengkritik.
“Setelah ini, baru merapikan tempat tidur,” jawab saya tanpa menimbang kalimat apa yang akan muncul dari mulut isteri saya.
“Mestinya tempat tidur dulu di rapikan, baru lantai yang disapu,” isteri saya meluruskan pola kerja saya pagi itu.
“Memang ada undang-undang yang mengatur harus merapikan tempat tidur dulu baru menyapu lantai?” jawab saya setengah tidak menerima.
“Bukan masalah undang-undang! Tapi kalau membersihkan tempat tidurnya belakangan, nanti lantainya kotor lagi oleh debu dari atas seprai. Belum lagi kertas-kertas kecil bekas mainan anak-anak kita juga jadi sampah,” isteri saya berargumen meluruskan sistem kerja saya yang dinilai tidak efektif.
“Memang tidak boleh, kalau menyapu lantai dulu baru merapikan tempat tidur?” kata saya masih belum terima dengan aturan yang setengah dibuat-dibuat.
“Itu namanya dua kali kerja. Lantai sudah bersih, nanti kotor lagi, terus disapu lagi. Tidak efesien. Terlalu banyak menyita energi,” kata isteri saya agak bersungut kesal.
“Jadi menurutmu bagaimana? Apa karena alur pekerjaanku dianggap salah kemudian sia-sia?” tukas saya memandang kearah isteri saya.
“Bukan sia-sia. Tapi kurang tepat. Pekerjaan Ayah sudah baik tapi belum benar, atau sebaliknya sudah benar tapi belum baik,” kata isteri saya mengutip istilah Budayawan Emha Ainun Nadjib,
“Jadi?!” kata saya mulai kesal.
“Ya tidak jadi-jadian, Kok jadi!?” isteri saya tidak lebih kesal dari saya.
“Kalau bekerja di pemerintahan seperti yang Ayah lakukan, kasihan rakyat,” kata isteri membuat saya terkejut.
“Kok sampai sejauh itu?”
“Lho, kenapa heran. Selama ini kan rakyat selalu jadi sasaran yang dipersalahkan. Kalau ada tindakan anarkis, rakyat yang jadi korban. Konflik politik di tingkat atas, rakyat juga yang jadi bingung. Kalau para wakil rakyatnya suka ngomong bohong, atau debat soal yang tidak ada kaiatannya dengan rakyat, kotorannya juga tertumpah di hati rakyat. Hukum di negeri ini juga begitu, kan? Kalau sudah ke bawah seperti pisau, tajam. Tapi kalau keatas jadi tumpul. Rakyat malah diajak kong kalikong jual beli pasal, supaya tuntutannya menjadi ringan atau bisa bebas tanpa tuntutan. Itu kan yang megajari dari para pengelola negara yang duduk diatas kursi. Kotorannya masih juga rakyat yang nanggung. Makanya, kalau seprainya dibersihkan belakangan, nanti kotoran dari tempat tidur akan balik lagi ke lantai yang sudah disapu,” kata isteri saya nyerocos.
“Jadi menurutmu bagaimana?” saya kembali memancing argumentasi.
“Yang dibersihkan dan dirapikan harus bagian atasnya dulu. Pak Menteri, Pak Presiden, dan aparat penegak hukum, harus membersihkan seprai tempat tidur dulu, supaya rakyat yang sudah bersih-bersih di bawah tidak dikotori lagi oleh debu-debu seprainya Pak Menteri dan Pak Presiden. Kalau kebersihan itu tidak dilakukan dari yang paling atas dulu, nanti lantai di bawah yang sudah bersih, hanya akan menjadi tong sampah. Apa mau kalau rakyat hanya menjadi tumpahan sampah dari pengelola negara yang tidak bermoral?” isteri saya terus menyerang.
“Pekerjaan besar hanya akan baik, kalau diawali menyelesaikan dengan baik pekerjaan kecil. Jadi menyelesaikan pekerjaan dengan cara yang baik dan berkualitas hari ini, juga menjadi penentu hasil di masa depan. Kalau dari awal salah cara dan metode, jangan harap hasilnya akan baik dan benar. Mosok kita sebagai rakyat kecil mau terus-terusan jadi tong sampah dari seprainya Pak Menteri dan Pak Presiden, nggak lah yaw!” tegas isteri lagi.
“???” Saya tercenung.
Palembang, 10 Agustus 2011
Selasa, 29 Mei 2012
Tuhan, Mohon Maaf Saya Batal Ke Makkah
Oleh Imron Supriyadi
Amin Rais, tokoh reformasi Indonesia pernah mengaku belum menunaikan ibadah haji, ketika dirinya sempat membaca kisah yang dituturkan tokoh sosialisme Islam, Ali Syariati. Dalam tulisannya, sosiolog muslim ini mengisahkan tentang orang yang mendapat haji mabrur.
Suatu kali, Tuhan memerintahkan salah satu malaikat –Nya untuk mendata ulang siapa saja umat muslim yang hari itu digolongkan sebagai haji mabrur (diterima) dan haji mardud (tertolak).
Setelah dilakukan pendataan, dari jutaan manusia muslim yang lolos sebagai haji mabrur ternyata hanya dua orang. Salah satunya yang mabrur tidak pergi ke Makkah. Kontan saja kisah ini membuat sebagian umat muslim heran, termasuk juga Amin Rais. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pergi ke Makkah bisa masuk dalam golongan haji mabrur?
Ali Syariati, berkisah tentang seorang yang hendak menunaikan ibadah haji. Tetapi ketika hendak membayarkan ongkos perjalanan haji (ONH-sekarang) dalam perjalanannya bertemu dengan perempuan tua renta yang memiliki beberapa orang anak. Keadaan perempuan itu tak berdaya. Untuk menghidupi diri dan anak-anaknya, keluarga itu harus mengais rejeki dari uluran tangan para tetangga.
Melihat itu, seseorang yang hendak membayarkan ONH-nya, dia urungkan. Semua biaya haji yang akan dibayarkan kemudian diserahkan kepada perempuan itu, sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan. Hari itu juga seseorang itu pulang, dan batal berangkat ke Makkah. Niatnya menunaikan ibadah haji dia tunda sampai mendapat panggilan kedua. Tetapi niatnya menunaikan ibadah haji tetap tertambat dalam ruang batinnya.
Yang terjadi kemudian, ketika Tuhan memerintahkan malaikat untuk mendata ulang tentang siapa yang masuk golongan haji mabrur, ternyata salah satunya adalah seseorang yang telah membantu perempuan tua dengan kerelaan dan ke-ikhlasan memberikan ONH-nya kepada perempuan itu, meski dia harus batal berangkat ke Kota Suci Makkah.
**
Ketika kisah ini saya sampaikan kembali di sebuah pertemuan jamaah masjid di Palembang, kontan saja mengundang banyak tanggapan dari sejumlah jamaah.
“Wah, itu ndak bener. Mosok ndak berangkat ke Makkah kok dapat Haji Mabrur. Rumusnya dari mana!? Buku yang anda baca itu yang mesti dikaji ulang, jangan-jangan aliran sesat!” protes Haji Kusni.
“Itu bener, Ji. Umat islam sedunia, sampai hari ini kan belum ada kesepakatan baru untuk menentukan kota lain selain Makkah untuk ibadah haji. Ini kok malah ada yang tidak berangkat ke Makkah tapi dapat haji mabrur. Ndak bener, itu,” sergah yang lain.
“Tapi ada juga yang mengganti Makkah dengan tujuh kali beribadah di masjid Demak. Kata mereka kalau sudah tujuh kali datang ke Masjid Wali Songo itu, nilainya sama dengan kita menunaikan ibadah haji ke Makkah,” timpal lainnya lagi.
“Nah, itu tambah rusak! Itu namanya keblinger,” tegas Haji Kusni.
“Dalam hukum fiqh memang begitu. Kalau orang tidak berangkat ke Makkah tidak mungkin akan bisa menunaikan ibadah haji. Ini malah dapat haji mabrur. Kalau tidak berangkat ke Makkah sudah pasti akan mengurangi prasyarat ibadah haji. Dasar hukumnya jelas, haji hanya ditunaikan di Kota Makkah. Titik!” kata jamaah lain.
“Yang kita bicarakan ini bukan berangkat fisik, Pak,” saya menyela.
“Lalu apa?” Haji Kusni penasaran.
“Saya sepakat kalau Kota Makkah sebagai pusat menunaikan ibadah haji. Tetapi yang kita bahas ini keberangkatan seseorang yang punya niat baik untuk berbuat. Berbagi rejeki bagi sesama mahluk Tuhan, menurut saya keberangkatan ruh kebaikan menuju kecintaan-Nya. Jadi bukan berangkat secara fisik yang ke Makkah. Maksud saya, ada nilai plus yang menurut Tuhan, nilainya bisa sebanding dengan haji mabrur, meskipun dia tidak berangkat ke Makkah, ” saya mencoba menjelaskan pesan dari kisah yang ditulis Ali Syariati.
“Wah, ya tidak bisa begitu. Jadi apa arti keberangkatan kami yang sudah tiga kali ke Makkah, kalau ada orang yang dapat haji mabrur tetapi tidak pergi ke Makkah. Kalau begitu, kita cari orang miskin saja, kemudian uang ongkos hajinya kita berikan pada mereka, dan kita tidak perlu ke Makkah. Kan beres!” timpal yang lain.
“Itu akan lebih bagus, ketimbang anda pulang pergi ke Makkah sampai dua atau tiga kali. Wajib hajinya kan hanya satu kali. Itu juga kalau kita mampu. Kalau suatu ketika anda punya rejeki lebih, sementara anda punya niat ke Makkah dan ketemu dengan keluarga miskin yang memerlukan uluran tangan kita, kenapa anda tidak mengambil jatah mabrur dengan memberikannya kepada orang miskin itu?” saya memancing argumentasi jamaah lain.
“Jangan sembarangan kalau biacara. Biaya haji itu sekarang sudah 35 juta. Uang segitu itu banyak. Cara mendapatkannya juga tidak mudah. Enak saja kalau tiba-tiba diberikan kepada orang miskin. Saya ingin bertemuTuhan di Makkah, bukan dengan orang miskin di pinggir jalan!” tegasnya.
“Uang 35 juta yang anda punya tidak akan bisa membayar detak jantung dan napas kita dalam satu hari saja. Jadi, mencintai orang miskin dengan cara berbagi rejeki kepada mereka, akan lebih baik ketimbang kita memilih ibadah ritual pribadi ke Makkah sampai berulang kali. Bukankah orang miskin juga mahluk Tuhan yang perlu dicintai? Mencintai orang miskin, sama halnya kita mencintai yang menciptakan orang miskin. Jadi kalau ada orang yang mendapat haji mabrur, tetapi tidak berangkat ke Makkah, karena orang itu bukan mencintai kemiskinan, tetapi karena dia cinta pada Dzat yang Maha Pencipta orang miskin,” saya mengakhiri perdebatan. Semua diam. Mereka saling pandang, bermain dengan pikirannya masing-masing. Saya permisi pulang. **
Jl.Swadaya - Palembang, 7 Juli 2011
Penulis adalah Jurnalis dan Pelaku Sastra di Palembang
Amin Rais, tokoh reformasi Indonesia pernah mengaku belum menunaikan ibadah haji, ketika dirinya sempat membaca kisah yang dituturkan tokoh sosialisme Islam, Ali Syariati. Dalam tulisannya, sosiolog muslim ini mengisahkan tentang orang yang mendapat haji mabrur.
Suatu kali, Tuhan memerintahkan salah satu malaikat –Nya untuk mendata ulang siapa saja umat muslim yang hari itu digolongkan sebagai haji mabrur (diterima) dan haji mardud (tertolak).
Setelah dilakukan pendataan, dari jutaan manusia muslim yang lolos sebagai haji mabrur ternyata hanya dua orang. Salah satunya yang mabrur tidak pergi ke Makkah. Kontan saja kisah ini membuat sebagian umat muslim heran, termasuk juga Amin Rais. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pergi ke Makkah bisa masuk dalam golongan haji mabrur?
Ali Syariati, berkisah tentang seorang yang hendak menunaikan ibadah haji. Tetapi ketika hendak membayarkan ongkos perjalanan haji (ONH-sekarang) dalam perjalanannya bertemu dengan perempuan tua renta yang memiliki beberapa orang anak. Keadaan perempuan itu tak berdaya. Untuk menghidupi diri dan anak-anaknya, keluarga itu harus mengais rejeki dari uluran tangan para tetangga.
Melihat itu, seseorang yang hendak membayarkan ONH-nya, dia urungkan. Semua biaya haji yang akan dibayarkan kemudian diserahkan kepada perempuan itu, sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan. Hari itu juga seseorang itu pulang, dan batal berangkat ke Makkah. Niatnya menunaikan ibadah haji dia tunda sampai mendapat panggilan kedua. Tetapi niatnya menunaikan ibadah haji tetap tertambat dalam ruang batinnya.
Yang terjadi kemudian, ketika Tuhan memerintahkan malaikat untuk mendata ulang tentang siapa yang masuk golongan haji mabrur, ternyata salah satunya adalah seseorang yang telah membantu perempuan tua dengan kerelaan dan ke-ikhlasan memberikan ONH-nya kepada perempuan itu, meski dia harus batal berangkat ke Kota Suci Makkah.
**
Ketika kisah ini saya sampaikan kembali di sebuah pertemuan jamaah masjid di Palembang, kontan saja mengundang banyak tanggapan dari sejumlah jamaah.
“Wah, itu ndak bener. Mosok ndak berangkat ke Makkah kok dapat Haji Mabrur. Rumusnya dari mana!? Buku yang anda baca itu yang mesti dikaji ulang, jangan-jangan aliran sesat!” protes Haji Kusni.
“Itu bener, Ji. Umat islam sedunia, sampai hari ini kan belum ada kesepakatan baru untuk menentukan kota lain selain Makkah untuk ibadah haji. Ini kok malah ada yang tidak berangkat ke Makkah tapi dapat haji mabrur. Ndak bener, itu,” sergah yang lain.
“Tapi ada juga yang mengganti Makkah dengan tujuh kali beribadah di masjid Demak. Kata mereka kalau sudah tujuh kali datang ke Masjid Wali Songo itu, nilainya sama dengan kita menunaikan ibadah haji ke Makkah,” timpal lainnya lagi.
“Nah, itu tambah rusak! Itu namanya keblinger,” tegas Haji Kusni.
“Dalam hukum fiqh memang begitu. Kalau orang tidak berangkat ke Makkah tidak mungkin akan bisa menunaikan ibadah haji. Ini malah dapat haji mabrur. Kalau tidak berangkat ke Makkah sudah pasti akan mengurangi prasyarat ibadah haji. Dasar hukumnya jelas, haji hanya ditunaikan di Kota Makkah. Titik!” kata jamaah lain.
“Yang kita bicarakan ini bukan berangkat fisik, Pak,” saya menyela.
“Lalu apa?” Haji Kusni penasaran.
“Saya sepakat kalau Kota Makkah sebagai pusat menunaikan ibadah haji. Tetapi yang kita bahas ini keberangkatan seseorang yang punya niat baik untuk berbuat. Berbagi rejeki bagi sesama mahluk Tuhan, menurut saya keberangkatan ruh kebaikan menuju kecintaan-Nya. Jadi bukan berangkat secara fisik yang ke Makkah. Maksud saya, ada nilai plus yang menurut Tuhan, nilainya bisa sebanding dengan haji mabrur, meskipun dia tidak berangkat ke Makkah, ” saya mencoba menjelaskan pesan dari kisah yang ditulis Ali Syariati.
“Wah, ya tidak bisa begitu. Jadi apa arti keberangkatan kami yang sudah tiga kali ke Makkah, kalau ada orang yang dapat haji mabrur tetapi tidak pergi ke Makkah. Kalau begitu, kita cari orang miskin saja, kemudian uang ongkos hajinya kita berikan pada mereka, dan kita tidak perlu ke Makkah. Kan beres!” timpal yang lain.
“Itu akan lebih bagus, ketimbang anda pulang pergi ke Makkah sampai dua atau tiga kali. Wajib hajinya kan hanya satu kali. Itu juga kalau kita mampu. Kalau suatu ketika anda punya rejeki lebih, sementara anda punya niat ke Makkah dan ketemu dengan keluarga miskin yang memerlukan uluran tangan kita, kenapa anda tidak mengambil jatah mabrur dengan memberikannya kepada orang miskin itu?” saya memancing argumentasi jamaah lain.
“Jangan sembarangan kalau biacara. Biaya haji itu sekarang sudah 35 juta. Uang segitu itu banyak. Cara mendapatkannya juga tidak mudah. Enak saja kalau tiba-tiba diberikan kepada orang miskin. Saya ingin bertemuTuhan di Makkah, bukan dengan orang miskin di pinggir jalan!” tegasnya.
“Uang 35 juta yang anda punya tidak akan bisa membayar detak jantung dan napas kita dalam satu hari saja. Jadi, mencintai orang miskin dengan cara berbagi rejeki kepada mereka, akan lebih baik ketimbang kita memilih ibadah ritual pribadi ke Makkah sampai berulang kali. Bukankah orang miskin juga mahluk Tuhan yang perlu dicintai? Mencintai orang miskin, sama halnya kita mencintai yang menciptakan orang miskin. Jadi kalau ada orang yang mendapat haji mabrur, tetapi tidak berangkat ke Makkah, karena orang itu bukan mencintai kemiskinan, tetapi karena dia cinta pada Dzat yang Maha Pencipta orang miskin,” saya mengakhiri perdebatan. Semua diam. Mereka saling pandang, bermain dengan pikirannya masing-masing. Saya permisi pulang. **
Jl.Swadaya - Palembang, 7 Juli 2011
Penulis adalah Jurnalis dan Pelaku Sastra di Palembang
Sepotong Realisme Sosialis, Manikebu, Lekra
Dunia politik berbeda dengan dunia kesenian, keduanya memiliki aturan tersendiri. Tetapi bila politik berhasil menyelinap ke kesenian, maka jangan tanya bila terjadi penyimpangan. Begitulah yang terjadi di Rusia pada tahun 1917-an, juga di Indonesia pada tahun 1950-an. Sebelum eksesnya sampai ke Indonesia, revolusi di Rusia, dengan tangan kekuasaannya telah menunggangi segala otonomi berbagai aspek yang ada di dalam masyarakat. Atas dasar kemajuan, masyarakat yang sejahtera, di negeri sosialis itu, ucapan seorang Stalin yang dikultus harus didengar dan tak terbantah.
Memang tak dapat dimungkiri jika konsep realisme sebenarnya rentan oleh kepentingan-kepentingan politik. Tetapi apa boleh buat, di masa tersebut, tak ada wilayah mana pun yang tak tersentuh politik. Begitu pun di Indonesia pada masa demokrasi terpimpin, ketika presiden Soekarno menganggap Manikebu sebagai kontrarevolusioner. Namun kemudian, Goenawan Mohamad mencoba meluruskan hal itu, bahwa apa yang diusung oleh humanisme universal sebenarnya menyimpan suatu semangat untuk memihak. Jadi bukan untuk ”mengaburkan sasaran perlawanan”.
Konflik-konflik yang berkembang saat itu tiada lain karena anggapan masing-masing rumusan adalah yang paling benar. Sekalipun Manikebu beralasan bahwa dunia itu bukan sorga dan mengakui adanya keterbatasan, tetapi di situ terkandung juga suatu manifesto yang disodorkan ke publik sebagai pernyataan sikap. Apalagi ditambah dengan rumusannya Lekra yang begitu kontradiktif dengan Manikebu. Perseteruan di antara kedua kubu itu bersifat politis. Melalui Lekra, Pram gencar menyerang Manikebu, terutama Jassin yang dianggapnya sebagai biang propaganda humanisme universal yang menurutnya melempem, gentar dan terhadap revolusi yang tengah berlangsung.
Tetapi ada baiknya, sedikit kita apungkan pengertian ”politik” yang nyatanya jamak, tidak mengandung ketunggalan makna. Menurut Lukacs, yang dimaksud ”politik” dari Gottfried Keller ketika mengomentari seni realis ialah ”tindakan, pikiran, dan emosi manusia yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dan perjuangan komunitas”. Sementara itu, Joebaar Ajoeb, sekertaris umum Lekra, mengatakan lain. Ia mengartikan bahwa kata ”politik” yang terselip dalam semboyan ”Politik adalah Panglima”, diartikan sebagai ”wawasan, bukan lembaga atau orang, apapun ia.” Barangkali tanpa menilik dengan teliti, kadangkala timbul syak wasangka yang berujung pada kesalahpahaman. Dan yang perlu kita tahu bahwa tak ada satu pengertian yang definitif mengenai politik.
Seni untuk masyrakat
Dengan keterbatasan bahan bacaan kala itu, banyak di antara pengarang-pengarang Lekra yang gandung kepada realisme sosialis. Kedua bentuk terminologi yang digabung itu, realisme dan sosialis, lahir karena kecenderungan budaya kapitalis. Realisme yang pada awal saya katakan, rentan oleh kekuasaan, pada waktu itu berbeda dari konsep realisme klasik yang mendasarinya. Kembali pada uraian Lukacs, teori realisme klasik itu berlatar pada kesanggupan daya akal budi menangkap realitas sebagaimana adanya. Lalu Pram membagi realisme menjadi dua: realisme-Barat atau borjuis dan realisme sosialis.
Menurut Pram, realisme-Barat, memiliki kecenderungan yang dengan realitas melawan realitas itu sendiri agar memenangkan idealisme. Sebaliknya realisme sosialis yang diagungkannya itu, menempatkan realitas sebagai bahan-bahan untuk menyempurnakan pemikiran dialektik. Pada titik ini, kalau kita meneruskan gagasan kedua aliran ini, maka kita sampai pada persoalan ”seni untuk seni” dan ”seni untuk masyarakat.” Plekhanov, seorang Marxis dari Rusia, punya pikiran yang menarik dalam kasus ini. Ia merumuskan pertanyaan demikian:
”Dalam keadaan-keadaan sosial paling mendasar bagaimanakah para seniman dan orang-orang yang sangat berminat pada seni beranggapan dan dirasuki oleh keyakinan akan seni untuk seni?”
Untuk menjawab pertanyaan itu, Plekhanov mengisahkan tentang Pushkin yang pada saat tertentu memercayai teori seni untuk seni. Ada suatu hal yang mendasari perubahan sikapnya itu: keluhan terhadap jerat kekuasaan. Pada tahun 1826, ia ditekan oleh kaisar Nikolas I dengan tangan kanannya, Benkedorf, seorang polisi. Selama sisa hidupnya itu, ia menulis di bawah kendali. Tetapi pada akhirnya, kaisar pun insaf. Ia menyadari kekeliruannya. Ia kemudian menghormati Pushkin bukan untuk hal-hal besar yang pernah ditulisnya semasa hidupnya yang pendek, melainkan apa yang mungkin ditulisnya ketika Pushkin berada di bawah kendali dari kekuasaan.
Barangkali di tengah-tengah kobaran revolusi itu, bagi penganut paham realisme sosialis, perubahan sikapnya Pushkin itu dapat dimaafkan dan dimaklumi. Adakah sama halnya ketika Pram menyerang kubu Manikebu yang dicerca tak revolusioner itu? Bukankah para penandatangan Manikebu dalam Penjelasan Manifes Kebudayaan membedakan antara realisme sosialis yang ”merupakan kelanjutan pemikiran Stalin dan yang berangkat dari jalan pikiran Maxim Gorki. Dan, jalur realisme sosialis Gorki-lah yang ”menempuh politik sastra universal” yang segaris dengan arah pikiran Manikebu.
Terlepas dari realisme sosialis-kah ataupun humanisme universal-kah yang harus dijadikan rumus kesenian. Dengan merujuk pikiran Chernyshevsky, fungsi seni ialah untuk memproduksi kehidupan dan untuk melakukan penilaian atas gejala-gejalanya. Bahwa aliran-aliran kesenian pada dasarnya juga berfungsi untuk dan kembali pada masyarakat itu sendiri. Tidak ada satu pun konsep yang mutlak, apalagi tangan kekuasaan yang mencampuri kegiatan kreativitas seniman. Itu hanya membuat kesenian seperti kata benda, bukan kata kerja.
Sumber : http://majeliskantiniyah.wordpress.com
PANGGIL AKU, PAHLAWAN PENGHIANAT
Ribuan, bahkan jutaan manusia memenuhi Taman Pemakaman Umum (TPU) di Desa Sukamenang. Sebuah Desa yang berada di ujung Negeri Indonesia. Puluhan orang yang menggotong keranda kematian, saling silang untuk mengganti sudut pemikul keranda. Mereka berharap dapat mencatat jasa terakhir untuk kematianku, walau hanya sebatas mengangkat jenazahnya. Maklum, aku adalah aktifis yang selalu membela hak orang lain. Dari abang becak, tukang ojek, mahasiswa, buruh, TKW, pedagang kakilima hingga pekerja seks komersial alias lonthe. Kini mereka datang untuk kali terakhir; mengantarkan jasadku untuk kemudian dikubur bersama cerita semasa di dunia.
Aku terbunuh dalam sebuah becak, saat aku hendak pulang. Bukan karena becak yang kutumpangi tertabrak mobil. Tetapi karena aku minum air mineral yang belakangan diketahui sudah dimasuki racun air seni seorang pengidap HIV/AIDS. Virusnya secara cepat kemudian menjalar ke sekujur tubuhku, hingga aku terkulai lemas diatas becak tak berdaya. Persis seorang laki-laki terkena HIV/ AIDS atau seperti penis impotent yang tak mampu menembus liang vagina karena ia sudah menjadi benang basah. Lemas. Lunglai. Tak berdaya. Akhirnya aku mati sebelum sampai di Rumah Sakit.
Aku sudah dimasukkan ke dalam liang lahat. Gelap. Tak ada lampu. Apek. Sebentar lagi cacing mulai keluar bersamaan dengan malaikat penyiksa kubur. “Hiii, ngeri,” tiba-tiba ada perasaan takut menyusup. Padahal jauh sebelum aku terbaring di dalam kubur tak ada yang kutakutkan. Dari pangkat Jenderal Hansip sampai Jenderal Satpam berbintang kejora tak membuatku surut kebelakang. Aksi demo sudah ratusan kali aku pimpin. Terakhir aku hanya mampu membawa massa 500 orang, karena ongkos dari donatur tak cukup untuk membayar para demonstrans. Uang 1 juta rupiah aku terima. Sementara sebelum pergi aku harus meninggalkan uang bagi anak dan isteriku 500 ribu rupiah. Itu pun belum masuk biaya susu, bayar lampu, air dan kontrakan rumah. Tapi cukuplah untuk satu pekan aku bernapas sambil mencari proyek lain yang bisa aku jual di dalam atau ke luar negeri. Ya, aku belajar seperti LSM profesional yang acapkali menjadi agen asing di negeri ini.
Kaki-kaki para pelayat terdengar sedang memadatkan tanah pemakaman. Kali ini mereka injak-injak aku. Padahal waktu aku masih hidup, jangankan menginjakku, untuk bertatapan saja tidak berani. Mereka semua adalah sahabatku. Dulu mereka sering aku bagi uang kalau aku sedang mendapat proyek demo. Atau ada program luar negeri guna mendata jumlah kemiskinan di Desa Sukamenang lalu aku kirim ke luar negeri. Dalam satu pekan saja proposal tembus 150 juta. Dahsyaat, Men! Tetapi sekarang?! Mereka juga yang kini menginjakku. Tapi aku yakin, ini bukan didasari kebencian. Bagaimana mungkin mereka benci terhadapku, sementara mereka banyak belajar dariku tentang apa saja. Tentang membuat daftar kehadiran palsu untuk laporan ke donatur luar negeri agar jumlahnya pas dengan anggaran. Belum lagi, aku juga mengajari mereka membuat stempel rumah makan, catering snack agar mudah untuk membuat kuitansi. Dalam teknologi, kuajari mereka program photoshop. Mereka kemudian lihai memanipulasi foto pertemuan di komunitas kaum urban pada sebuah perkampungan kumuh, lalu aku selipkan fotoku seolah aku sedang berada di tengah-tengah mereka. Padahal foto dan kehadiranku palsu. Dengan ragam ilmu yang mereka dapat, tentu mereka menginjakku kali ini bukan atas dasar kebencian.
Aku sudah lima menit terbaring dibawah papan penutup mayat. Tapi derai tangis kaum kerabatku masih terdengar jelas dari dasar kubur. Suaranya gemuruh. Sesekali menderu tidak teratur seperti derum mesin mobil yang terjebak macet. Sebagian lagi suaranya agak tersendat seperti mesin kendaraan kehabisan bensin. Di ujung makam suaranya rada samar. Yang terdengar hanya kalimat ; Almarhum masih mempunyai tanggungan hutang!
“Aduh, sial! Itukan urusan nanti setelah pemakamanku selesai. Lagi pula itu kan bisa ditagih pada ahli warisku! Jangan diatas taman pemakaman, lah! Mestinya kalian doakan aku, agar aku bisa mendapat keringanan pengadilan kubur! Bukan malah menagih hutang!,” aku mengumpat kesal pada sekelompok tukang cetak sablon tempat aku memesan kaos dan stiker yang belum lunas aku bayar.
Tetesan air mata dari sejuta pasang mata terus mengalir. Ia tak bisa terbendung sebagaimana luapan lumpur Lapindo Brantas di Jawa Timur. Berapa gulung tisu dan kain harus menyeka derai air mata kaum kerabat, tetapi ia tak sanggup menghalau luapan emosi embun yang menggumpal menembus kornea dan membasahi pipi. Ini sama dengan upaya tim penyelamat lumpur lapindo yang memasukkan ratusan bola baja ke dalam lobang luapan lumpur, tetapi masih gagal juga karena memang Tuhan ingin mematahkan logika dan teori manusia.
Suara sepatu, sandal dan terompah perlahan kian menjauh. Ini berarti para pelayat sudah tujuh langkah meninggalkanku. Sebentar lagi malaikat akan datang mengadiliku. Aku harus bersiap diri. Tapi disini aku tidak ada pengacara, seperti ketika aku ditahan karena ribuan abang becak bentrok dengan aparat menolak pemberlakuan SIM Becak di Kota Palembang. Pengadilan kubur tak kenal dengan suap atau jual beli seperti orang tua membelikan nilai anaknya karena tidak naik kelas. Negosiasi harga tidak berlaku disini. Tidak seperti calon pegawai negeri sipil yang harus menyuap 15 juta agar SK CPNS-nya segera turun.
Aku juga tidak bisa memalsukan data seperti camat yang menyuruh para kepala desa untuk memadatkan jumlah orang miskin agar jatah Bantuan Langsung Tunai (BLT) bisa melebihi jatah sehingga para aparat juga mendapat bagian. Ini murni catatan malaikat. Tapi malaikat hanya mencatat hal-hal yang fisik saja. Kalau soal kata hati, hanya aku dan Tuhan yang tahu. Aku agak berbesar hati. Kalau saja akan ada data yang dikonfrontir antara data keburukan fisik dan keburukan batin. Menurutku jumlahnya fifty-fifty. Tetapi entahlah menurut catatan Tuhan. Aku memang harus menunggu. Boleh jadi ada selisih jumlah kebaikan dan keburukan antara Tuhan dan malaikat. Sama dengan pemberitaan kriminal seorang wartawan yang salah akibat wartawan tidak melakukan ferifikasi ke lokasi kejadian. Karena hanya nongkrong di pos polisi, data yang ditulis tidak akurat. Tapi mungkinkah catatan malaikat tidak akurat seperti wartawan yang menulis berita dengan “jurnalisme katanya?” semua kuserahkan saja pada Tuhan. Toh, menurut Kiai Majid, malaikat juga mahluk sama dengan manusia yang keduanya juga ciptaan Tuhan. Tak perlu aku bergantung pada mahluk. Aku hanya wajib berserah diri pada yang menciptakan mahluk: Tuhan!. Dalam posisi ini aku tidak mungkin lagi menduakan Tuhan. Ini musyrik! Ujar Kiai Majid suatu kali.
“Hei! Siapa kau?!” sebuah pertanyaan berada tinggi terdengar dari sebelah ruang kubur. Aku tergeregap. Kutatap matanya. Tapi tak jelas. Hanya samar-samar aku bisa melihat rona yang rada seram. Sepertinya orang ini tidak kenal aku. Aku ini mantan demonstrans yang tak takut pada siapapun. Tak boleh penghuni kubur ini seenaknya saja bertanya dengan membentak padaku. Kau pikir aku ini siapa? Kucoba untuk melawannya. Kudekati hingga hindungku hampir bersentuhan, seperti orang pacaran yang malu-malu ciuman takut ada yang mengintip.
“Kau pasti orang Batak? Atau orang Sumsel?” selidikku.
“Ah, Rasis kali, kau,” jawabnya.
“Nah, asli! Kalau dengar logat dan dialek bicaranya, kau pasti orang Batak,” aku berbesar hati karena bertemu dengan penghuni makam dari satu daerah. Ya, paling tidak sama-sama dari Sumatra.
Tak lama kami bicara, banyak lagi berdatangan mayat yang kemudian menyapaku. Puluhan bahkan ratusan mayat dengan kondisi badan sesuai dengan umur mereka masing-masing kemudian mengenalkan dirinya terhadapku. Dari sekian banyak mayat, aku memang terlihat agak lebih mentereng dan perlente dibanding mereka. Kalau melihat wajah dan kulit, mereka dari kalangan orang miskin. Tetapi sebagian mereka seperti aku kenal sebelumnya. Tapi dimana? Aku mulai menerka-nerka. O, iya sebagian mereka adalah orang miskin yang pernah aku bela!
“Kau, siapaaa?!” suara ini lebih keras dari sebelumnya. Suara itu ditingkahi suara gemuruh dengan nada yang sama. Gendang telingaku hampir pecah. Belum sempat aku menutup rapat telinga, sebuah cengkraman kuat memegang tengkuk belakang. “blug!” aku dipindahkan dari kerumunan para mayat. Kini aku berada d tengah-tengah mereka. Semua mayat menatapku tajam. Aku terduduk. Salah satu diantara mereka mendekatiku. Sedikit-sedikit aku menggeser posisiku. Aku seperti sedang menjadi stunmen film Suster Ngesot yang dibintangi Nia Ramadhani.
“Kaukah pahlawan demokrasi itu?” pertanyaaannya agak lembut. Tapi matanya menyimpan dendam. Bola matanya seperti mau keluar. Mulutnya seperti Singa yang sudah dua minggu tidak bertemu rusa. Tapi cengkeramannya dilepaskan. Aku kemudian bisa membenahi tali pocong kepala yang lepas. Tanganku juga mengusap-usap kain bagian bokongku yang mulai basah. Ternyata sumber air itu berasal dari arah depan. Ini berarti aku ngobrok, terkencing di tempat tanpa sengaja akibat ketakutan.
“O, iya. Aku ini banyak disebut orang pahlawan demokrasi,” jawabku setengah berbangga. Aku sedikit bergeser. Pantatku dingin. Air mulai berkecipak di bagian bawah tempat dudukku. Mataku melirik ke beberapa mayat untuk menunjukkan kalau aku ini pahlawan demokrasi, pembela kaum urban yang tertindas. Tertindas oleh apa saja! Kapitalisme atau represi kekuasaan.
“Apa yang telah kau lakukan sehingga kau tidak menolak disebut pahlawan demokrasi?!” nadanya tetap meninggi. Tapi agak berubah intonasinya kali itu. Namun jelas, dari getaran suaranya menyimpan kekesalan. Aku mulai mengatur emosi. Jangan-jangan aku tengah dijebak. Aku lama bergelut dalam permainan politik, jadi aku harus membaca dari arah yang berlawanan. Aku harus menggunakan teori berpikir memutar. Tidak bisa aku memahami kalimat per kalimat dengan kacamata kuda. Ini bahaya kalau-kalau ada serangan pertanyaan dari arah lain.
“E, anu. Bukan aku, tapi mereka yang menyebutku pahlawan demokrasi. Aku hanya menerima saja, kok!” aku meluruskan, agar tidak terlalu berisiko.
“Tahu, kenapa kau disebut pahlawan demokrasi?!” selidik suara itu.
“Ya, karena aku telah memperjuangkan hak-hak orang miskin, mahasiswa, pedagang kakilima dan kaum urban lainnya?” jawabku apa adanya.
“Orang miskin kau perjuangkan haknya, lalu datanya kau jual ke luar negeri guna mendapat dana bantuan asing dengan alasan pemberdayaan kaum miskin! Iya?!”
“Plar! Plar!” beberapa kali cambukan seketika menghunjam. Aku mengerang kesakitan. Aku mengusap bagian belakang tubuhku. Kain kafan sobek. Sebuah luka terasa pedih. Tapi ia tak mengeluarkan darah. Jantung sepertinya sudah tak kuat lagi memompa keberfungsian darah. Luka tak berdarah memang lebih pedih dibanding berdarah. Sama dengan orang menahan lapar dan haus bagi kaum miskin. Ia tak berdarah. Tetapi rasanya lebih pedih dari pada menahan luka akibat terkena sebilah pisau. Luka tanpa darah itu menyayat hingga ke lubuk hati. Ini yang sering membuat orang menjadi gelap mata dan melakukan apa saja akibat dendam. Ya, dendam lapar yang demikian panjang. Sehingga akibat lapar dan kehausan bisa membuat orang berbuat apa saja termasuk membunuh. Tenaga menahan lapar harus menguras air mata, hingga akhirnya dehidrasi akibat di dalam tubuhnya tak lagi ada cairan. Benar, kemiskinan dan kelaparan adalah perang yang yang tidak pernah mengenal kata terlambat. Satu detik saja lambat, ia akan mati.
“Blug! Plak! Plak!” hunjaman bogem mentah dan tamparan datang bertubi-tubi. Aku merasakan Mike Tyson sedang menyentak rahang dengan hock kiri. Sakit. Mataku berkunang-kunang. Tapi tak ada wasit yang menghitung dari nomor satu sampai sepuluh hingga aku mampu berdiri. Kali ini benar-benar knock out!
“Kau bawa kami melakukan protes mengatasnamakan hak asasi manusia dan demokrasi. Tetapi kau bawa nama kami untuk biaya sewa kantor, kontrak rumah dan gaji para aktifis! Kau jual negeri ini dengan dalih demokrasi! Masih juga kau mengaku pahlawan demokrasi?!” tak bisa aku berkata lagi saat kemudian sebuah tendangan kuat memapas keras tepat dimukaku. Aku tersungkur. Sementara kaki-kaki penghuni kubur makin mendekat. Inikah pengadilan Tuhan? Atau dendam dunia yang belum terbalas sehingga mereka baru bisa mengadiliku di alam barzah?
“Sebentar. Beri aku ruang untuk berargumen,” aku mencoba mengatur napas. “Sebaiknya, masalah ini kita bicarakan baik-baik. Kekerasan cukup di dunia saja. Ini adalah pintu menuju alam mahsyar, sehingga kita harus menciptakan kedamaian di alam barzah,” kucoba meredakan emosi mereka.
“Aku memang mendapat dana dari luar negeri. Tapi semua ini aku lakukan demi tegaknya demokrasi. Tidak untuk menjual negara, men! Mereka tidak pernah menyelipkan pesan-pesan politik untuk merusak kedaulatan. Mereka hanya ingin....”
“Plak! Plak!” tamparan lagi-lagi menghunjam keras. Tetesan air liur terasa asin. Ini pertanda ada gigi yang mulai patah atau mulut bagian dalam ada yang robek. Tapi darah tak juga memerah. Hanya lendir kecoklatan yang menetes.
“Kau ingat! Sejarah bangsa ini sudah dimulai oleh keterlibatan asing menjatuhkan Soekarno. Dan kau, yang mengaku pahlawan demokrasi memilih sekolah keluar negeri dengan biaya asing, lalu mereka menjadikan kamu sebagai agen mereka di negeri ini. Masihkah kau akan mengaku kalau kau adalah pahlawan demokrasi!” suara itu getarannya sampai menembus dinding taman pemakaman. Beberapa butir tanah sempat berguguran walau tidak membuatku tertimbun.
“Orang-orang semacam kalian yang telah mengajarkan demokrasi. Tetapi kalian juga yang membuat kami tidak bisa membedakan antara demokrasi dan anarki. Kalian tawarkan nilai-nilai yang sama sekali tidak membuat negeri ini mandiri. Malah sebaliknya, manusia semacam kalianlah yang tengah menyiapkan bangsa ini untuk terus menerus dijajah! Kau dan teman-teman kalianlah yang telah menjual negara ini demi keuntungan pribadi!”
“Tapi ini untuk proses pencerdasan, men! Bukan untuk menggangu stabilitas kedaulatan nasional? Bener!” kucoba meyakinkan mereka.
“Masih juga kau akan mengelak! Coba kalian pikir. Bagaimana wajah bangsa ini dimata internasional sudah tidak lagi punya martabat karena semua aib bangsa ini kalian jual di mata internasional. Kau hujat bangsa ini diluar negeri, sementara kau dan teman-teman kalian masih makan dan minum di negeri ini?! Bukankah kau inilah yang sebenarnya pahlawan penghianat!” nada geram campur dendam kian dahsyat. Tak bisa lagi aku membedakan antara hunjaman malaikat dan para mayat. Semua menghujaniku dengan tendangan dan kekerasan lainnya. Aku pingsan.
Di sepertiga malam aku terbangun. Badanku terasa remuk redam. Leher seperti dibebani besi satu ton, hingga untuk menoleh pun aku tak sanggup. Suasana masih gelap. Orang-orang tak lagi berkerumun seperti sebelumnya. Sebuah bandul berat yang melingkar dileherku. Ada untaian rantai dengan kayu besar menindihku. Sebuah tulisan jelas diguratan kayu. Ia terbuat dari api. Berkobar seperti hendak membakarku. “Kau adalah pahlawan penghianat, men,” api itu kemudian menjalar dalam tubuhku membakar semua kain kafan, membakar seluruh badan dan isi perutku. Ruangan kubur menjadi kobaran api yang panas. Mataku hanya menatap hitam pekat. Dalam bilik jantungku aku hanya berucap. Tuhan, maafkan aku telah menjual negara. “Sudah terlambat. Sory, taubatmu tertolak, men,” Tuhan menjawab dengan bahasa gaul. (*)
Tanjung Enim, 15 September 2008 M
15 Ramadhan 1429 H
Senin, 28 Mei 2012
POLEMIK SASTRA-POLITIK
Penulis mengira, polemik tentang sastra-politik-sastra, akan hampir selesai dan pembaca akan menyimpulkannya sendiri. Ternyata hari ini, kita harus menurunkan tulisan Jones Gultom. Mungkin minggu depan tulisan M. Raudah Jambak yang mulai ikut nimbrung. Polemik sehat ini benar-benar membuat kitra bahagia. Karena menurut para teman-teman, sudah 25 tahun lebih polemik serius seperti ini, tidak ada di Medan. Nyatanya, polemik seperti ini mendapat tanggapan dari berbagai kalangan pembaca. Bukan saja pembaca yang ada di Medan, juga dari pembaca di luar provinsi Sumatera Utara, juga bahkan dari Pulau Jawa yang membacanya via internet.
Wah.. Mas Idris, ternyata Medan itu hidup betul dan sangat fair, kata seorang teman dari Jawa Timur yang setiap minggunya mengikuti kehadiran Rebana. Menurutnya, selain Jakarta, Rebana adalah ruang Sastra dan Budaya yang termasuk dalam hitungan di Indonesia. Terserah, apakah itu pujiannya sebagai lips service atau kenyataan. Banyak yang mengatakan, Rebana memang sebuah ruang yang selalu mereka ikuti, selain koran Jakarta dan majalah Horison.
Dari rekan itu pula penulis mengetahui, kalau “perang” antara T. Khaidir dan Budi P Hatees juga Yulhasni ada di Face Book. Perang mereka di Face Book itu, ternyata diikuti oleh ribuan orang pula. Tentunya para pembaca yang menilai, mana yang benar dari perang mereka itu.
Beberapa tulisan dari rekan-rekan yang mengirimkan tulisannya ke Rebana, memang sengaja pula kita batasi. Jika tidak, para penulis dari Sumut-Aceh, akan kehilangan tempat berekspresi. Tidak adil, ya keadilan itu memang sangat mahal. Karena terus terang saja, banyak juga media di Jawa yang tak pernah mau memuat tulisan rekan-rekan dari Sumatera (bukan hanya dari Medan). Adilkah itu? Lantas, kita juga harus berani mengatakan, kalau tidak semua tulisan dari Pulau Jawa itu lebih bagus dari penulis Medan. Tidak. Penulis Medan juga memiliki kekuatan sendiri, jika mereka mau melihatnya dari kaca mata yang benar.
Pernah satu kali di TIM penulis bersuara agak keras, ketika seorang rekan sastrawan berbicara,; orang Medan itu lucu. Sebabnya karena orang medan bicara menyatakan sangat, menyebut kali. Kali itu kan sungai? Penulis menghentak dengan keras. Mereka mencontohkan, Bagus kali, seharusnya bagus sangat. Kenapa tidak bagus lautan? Mereka lupa kalau kali itu adalah Bahasa Jawa yang artinya sungai, bukan Bahasa Indonesia. Kali artinya ganda. Bagus kali, artinya bagus yang ganda atau lebih dari bagus.
Ketika terjadi polemik yang sampai kini masih ada tanggapannya, mereka baru mengakui, kalau Medan itu fair dalam menanggapi tulisan orang lain. Penulis katakan, itu adalah era sekarang, kalau era tahun 1960 sampai 1970-an tidak juga. Sebab era ketika itu yang ada adalah Marpoken dan sangat tidak fair, dimana para sastrawannya suka memuji diri sendiri alias onani. Bahkan sampai sekarang masih ada sastrawan era itu, suka memuji dirinya.
Tahun 1990-an, sebuah kelompok diskusi di TBM yang kami bangun dengan Ris Eneste bernama Kelompok diskusi Pondok Gerimis, juga mendapat cercaan. Pondok Gerimis ketika itu, tidak hanya mendiskusikan soal kesenian, juga soal ekonomi, politik dan sebagainya. Surutnya diskusi itu, karena pesertanya justru tak mampu mengikutinya, karena keterbatasan pengetahuan umum mereka tentang hal yang didiskusikan. Dengan ngedumel (minjam istilah dari Jawa), mereka mengatakan, diskusinya entah apa-apa saja pun!
Begitu terjadi gejolak ekonomi, katakan krisis moneter tak seorang pun yang mampu menulis hal tersebut. Hanya ada tulisan tentang krisis moneter dalam bentuk karya sastra setelah mengikuti diskusi dengan Dr. Polin Pospos, MA seorang ekonom handal di Indonesia.
Kenapa tak ada karya seni tentang krisis moneter? Baik itu sastra, tari, musik, rupa dan sebagainya? Terus terang saja, mereka tidak mengerti apa yang mau mereka tulis. Ketika penulis puisi Nebis in Idem dan terbit dalam antologi Puisi yang diselenggarakan oleh pertemuan Taman Budaya se Sumatera di Lampung, banyak teman-teman di Medan juga mengejeknya. Penulis hanya diam dan berbisik dalam hati saja; ternyata kau adalah sastrawan tertolol di dunia, yang tidak mau mencari apa itu nebis in idem.
Dengan jujur, mari kita telisik cerpen-cerpen kita yang terbit di Medan. Bicara tentang lingkungan hidup yang sudah rusak parah umpamanya. Mana tulisan hal ini yang tertuang dalam karya sastra? Menurut Drs. Antilan Purba. MPd, yang ditulis hanya kulit-kulitnya saja, bahkan terkadang mereka tidak mengerti secara mendalam apa yang mereka tulis, katanya.
Dengan bangga penulis senior kita berteriak dengan puisinya berkata; nandeee…, lalu ada kata nande lantas dia memuji dirinya sendiri, sudah menyatakan dirinya penulis yang mengangkat masalah perempuan Karo. Begitu gampangnya.
Kemudian kita bertanya pula, sejauh mana pula pesastra kita menuliskan tentang politik dalam karya sastra mereka? Menurut Yulhasni, adalah NOL. Penulis setuju, karena pesastra kita tidak mengerti politik bahkan tak pernah membaca ilmu pengantar politik sekali pun. Apa yang mereka mau tuliskan? Jika ada alumni fakultas sastra dan bahasa yang duduk menjadi DPR, bukan berarti mereka seorang politisi, melainkan hanya karena keberuntungan belaka. Sastrawan boleh berpolitik secara praxis atau melalui karya sastra. Karena mereka tidak mengerti lalu berani dengan lantang mengatakan karya seseorang tidak bagus.
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Analisa (Medan), 25 September 2011.
SASTRA PERLAWANAN TERHADAP ‘NEO-TAKHYUL’
Artikel bertajuk Gerakan Sastra Anti Neoliberalisme yang ditulis Viddy AD Daery (Republika, Ahad, 1 Juli 2007) menarik untuk dicatat. Ini bukan satu-satunya tulisan yang isinya sesunguhnya sama dengan yang pernah ditulis orang lain dalam media yang juga lain. Dalam tulisan itu, setidaknya dua nama disebutkan Sdr Viddy, yakni penyair Angkatan 66 Taufiq Ismail dan tokoh Komunitas Sastra Indonesia Wowok Hesti Prabowo. Kendati tulisan tersebut terkesan memparafrasekan lontaran pendapat Taufiq Ismail dan Wowok Hesti, toh sebagian besar uraiannya adalah hasil lalaran dan penalaran Viddy.
Jikalau dicoba diringkas, inti tulisan itu menggariskan: (1) ada dominasi ideologi sastra yang mendewakan neoliberalisme dan porno-praksis, (2) dominasi ini disosialisasikan para pemikir Komunitas Teater Utan Kayu (KUK), (3) dominasi itu menihilkan yang “bukan konco KUK”, (4) dan liberalisasi sastra ala TUK bersejalan dengan liberalisasi pemikiran agama yang dilakukan lewat Jaringan Islam Liberal (JIL).
Kalau diperjelas, dengan bahasa Viddy, sastra neoliberal itu ujudnya adalah karya nonsens yang tidak penting karena sibuk menggambarkan hal-hal sepele seperti pasta gigi, sikat gigi, celana, sarung, atau daun mapel, pohon willow, dan rumput azalea yang sukar didapatkan di Indonesia. Sementara, sastra porno-praksis sama dan sebangun dengan yang diterminologikan Taufiq Ismail: “syahwat merdeka”.
Yang model “syahwat merdeka” disebutkan salah satu tokohnya, yakni Ayu Utami, penulis novel Saman, juga salah satu penjaga gawang redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam. Sementara, kendati tak disebutkan nama-nama penulis sastra nonsens, saya mencoba meraba-raba, mereka antara lain adalah penyajak Joko Pinurbo, penovel dan pencerpen Nukila Amal, dan entah siapa lagi.
Dominasi atau hegemoni dimaksud antara lain termanifestasi lewat penganugerahan karya sastra versi TUK, atau pendudukan jabatan Komite Sastra di Dewan Kesenian Jakarta, selain “yang bukan TUK tak ambil bagian dalam festival sastra internasional” macam yang terselenggara di Belanda, Jerman, Bahama, Prancis, Ausralia, dan Amerika.
Pertanyaan penting untuk Viddy dan yang sepaham dengannya, dengan mengacu pada salah satu wujud ideologi “syahwat merdeka”, marilah kita comot salah satu nama Djenar Maesa Ayu, penulis kumpulan cerpen Mereka Bilang Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, dan novel Nayla.
Dengan logika bahwa karya-karysa Djenar sekubu dengan ideologi TUK, nyatanya dalam seleksi untuk sebuah event dan momentum pesta sastra internasional nama persisnya Utan Kayu International Literary Biennale 2003 yang dikelilingkan ke Jakarta, Denpasar, dan Surakarta, nama Djenar sama sekali tak ada dalam deretan pesastra internasional itu.
Pertanyaannya, tak termasuk “konco KUK”-kah Djenar mengingat namanya tak terseleksi, atau karena dia lebih karib dengan Presiden Penyair Mantra Sutardji Calzoum Bachri, yang juga dekat dengan pemilik galeri seni sekaligus dosen filsafat Tommy F Awuy yang juga menulis kumpulan cerpen Logika Fallus itukah “syahwat merdeka” kali ini dieliminasi?
Jika dalam ajang sastra internasional ini ada nama-nama A Mustofa Bisri dan Ahmad Tohari, bagaimana mempertanggungjawabkan pernyataan bahwa TUK cenderung anti peran agama alias sekuler? Adakah argumentasinya: Mustofa Bisri adalah penyair nonsens karena menulis soal balsem (sehingga dia dijuluki Penyair Balsem), sementara Ahmad Tohari “mengumbar syahwat” karena menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk. Atau, jangan-jangan faktor pelolosan Mustofa Bisri lantaran beliau adalah mertua Ulil Abshar Abdalla, sang komandan Jaringan Islam Liberal?
Sampai di sini, premis perihal syahwat itu sudah meragukan. Kalau mau lebih menegas-negaskan premis tersebut sekalian menyangkalnya; lewat oto-premis atau otokritik atau self-sangkal dalam Utan Kayu International Literary Biennale 2007, tersertakan nama-nama macam Abdul Hadi WM, Remy Sylado, Abidah el Khalieqy, dan Darmanto Jatman. Adakah nama-nama ini tergolong penyokong neo-liberalisme dan porno-praksis sebagaimana rumusan Viddy dan para pengikutnya (atau: para pelopor yang diikuti Viddy)?
Sampai di sini, saya agak ragu untuk meneguk pemahaman lain dari tulisan Viddy dan yang bersepaham perihal ideologi sastra ala TUK yang hendak ditandingi itu. Jangan-jangan yang dilawan hanyalah bayang-bayang. Jangan-jangan yang diberontaki hanyalah sebuah keomongkosongan atawa sejenis takhyul atau neo-takhyul yang seakan ada padahal hampa belaka adanya.
Saya tak paham bagaimana Viddy dengan simplistis menyejajarkan pemikiran sastra neo-liberal itu dengan liberalisasi pemikiran agama sebagaimana dilakukan JIL. Lebih terasa simplistis pula ketika dijabarkan bahwa aktivitas JIL adalah mendekonstruksi prinsip-prinsip ajaran Islam.
Saya kira, sebelum Viddy merumuskan “ideologi JIL”, harus dipahami bahwa dalam Islam sendiri ada yang namanya ijtihad, ijtima’, dan semacamnya. Yang paling elementer, komponen hukum misalnya, sumbernya adalah wahyu dan wahyu yang telah diintervensi akal. Wahyu berasal dari Alquran dan Sunnah, wahyu yang diintervensi berupa fiqih. Sementara kategori fiqih terdiri atas fiqih nabawi yang berlaku permanen dan universal serta tak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada pula fiqih ijtihadi, yang bisa tidak permanen dan bisa tidak universal, selain bisa terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.
Kalau mau diperlebar dan diperluas, jika sampai pada maslahah, dalam tataran tingkatan maslahah ada yang disebut maslahah dlaruriah, maslahah hijaiyah, dan maslahah tahsiniah. Sementara dalam tataran kategori maslahah ada maslahah mu’tabarah, maslahah mulghah, dan maslahah mursalah.
Maknanya, yang dilakukan JIL bukan saja sudah pernah dilakukan gerakan yang senada dan seirama di bumi belahan lain dan di era jauh dasawarsa sebelumnya, namun dalam diri Islam sendiri termungkinkan adanya “dekonstruksi” untuk hal-hal yang memang dibolehkan untuk didekonstruksi.
Dengan demikian, dekonsruksi yang dilakukan JIL diidentifikasi sebagai semata cenderung anti peran agama bersejajar dengan pemujaan terhadap neo-liberal dan porno-praksis dalam sastra ala TUK sungguh merupakan sebuah simplifikasi belaka.
Dengan sedikit agak narsistik, saya bertanya pada diri sendiri: di manakah saya berdiri dalam percaturan sastra Indonesia sebagaimana yang ditakhyulkan Viddy – dan mungkin juga nama-nama lain? Cerpen saya, Panggil Aku: Pheng Hwa, dikritik Ahmad Sahal dan Hasif Amini, keduanya anggota redaksi Jurnal Kalam, salah satu “faksi” di KUK. Sementara, cerpen saya Deja Vu: Kathmandu mengilhami pola penulisan Ulil Abshar Abdalla dalam menulis esai panjang mengenai jalan simpangnya dalam beragama sebagaimana kemudian dimuat Jurnal Kalam.
Maknanya, dalam KUK pun tak ada pola pikir dan ideologi yang seutuh dan seseragam sebagaimana dibayangkan dan dirumuskan Viddy. Jadinya, tak begitu penting apakah saya pernah menjadi bagian dari KUK (di ISAI), atau sama sekali tak bersangkut paut dengan mereka.
Lagi pula, tak ada Komunitas Teater Utan Kayu. Yang ada adalah Komunitas Utan Kayu (KUK), yang di dalamnya terkibar pelbagai panji: Teater Utan Kayu (TUK), ISAI, Jurnal Kebudayaan Kalam, (dulu) Jurnal Pantau, penerbitan Media Lintas Inti Nusantara (MLIN), Kantor Berita Radio (KBR) 68H, sekolah broadcasting, dan Kedai Tempo.
Karenanya, menganggap KUK sebagai semata TUK tak lebih sebagai sekadar simplifikasi. Sama simplistisnya dengan menanggapi “syahwat merdeka” tanpa sama sekali menelisik hal tersebut sebagai tema yang tak mungkin tergantikan ataukah syahwat sebagai pencarian efek. Simplifikasi adalah bentuk lain dari kemalasan melakukan analisis.*
Tulisan ini dikutip dari Harian Republika (Jakarta), 15 Juli 2007.
UNESCO Lewat Lahat, Pagaralam Kudai
Oleh Jajang R Kawentar
Masyarakat Lahat yang terus memantau perkembangan pembagunan daerahya melalui berita-berita di media massa, mulai terusik ketika Pagaralam yang memiliki kekayaan sejarah seni budaya berupa megalith sudah didaftar ke United Nations Educational Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO) sebagai warisan budaya atau heritage dunia. Kenapa Kabupaten Lahat yang memiliki ribuan megalith tidak didaftar ke UNESCO ya? Kenapa UNESCO tidak megetahui keberadaan megalith Lahat? Sebetulnya kemana hasil penelitian yang dilakukan oleh para mahasiswa yang mencari gelar S2 dan S3 baik mahasiswa dari dalam dan luar negeri.
UNESCO merupakan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang tugasnya memajukan kerja sama antarbangsa melalui bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam rangka penegakan hukum, penegakan hak asasimanusia, dan penegakan keadilan. Berdiri 4 November 1946 yang berkedudukan di Paris, Perancis. Proyek yang disponsori oleh UNESCO termasuk program baca-tulis, teknis, dan pelatihan-guru; program ilmu internasional; proyek sejarah regional dan budaya, promosi keragaman budaya, kerja sama persetujuan internasional untuk mengamankan warisan budaya dan alam serta memelihara hak azasi manusia; dan mencoba untuk memperbaiki perbedaan digital dunia.
Apabila menganalisis dari beberapa pemberitaan di media nasional misal, Kompas, Senin 21 Mei 2012 bahwa Kepala Dinas Priwisata Kota Pagaralam Sukaemi, mengajukan proposal untuk mendapat pengakuan UNESCO sebagai heritage baru tiga bulan lalu. Kira-kira pengajuannya pada bulan Maret 2012 ini. Dengan demikian Pemerintah Kota Pagaralam berharap dapat meningkatkan pemeliharaan dan perlindungan terhadap peninggalan-peninggalan Megalith di daerahnya yang diperkirakan berumur 1000-1400 tahun tersebut. Tentunya UNESCO akan memberikan konvensasi untuk pemeliharaan dan perlindungannya karena menjadi bagian dari warisan budaya dunia.
Sementara Ketua Tim Arkeologi Megalithikum, Balai Arkeologi Palembang, Kristantina Idriastuti jelas mengatakan bahwa Kabupaten Lahat adalah merupakan pusat peradaban Megalitikum di Sumatera Selatan. Bahkan penemuan di kawasan Besemah tersebut cukup lengkap dan dengan kondisinya yang baik.
Selain itu yang terdata oleh Balai Arkeologi Palembang peninggalan megelitikum di Pagaralam baru 67 buah, dan di Kabupaten Lahat terdata sudah 364 peninggalan megalitikum. Lalu apa yang menjadikan UNESCO tidak melirik Megalitikum di Kabupaten Lahat yang secara kualitas lebih baik dan secara kuantitas lebih banyak. Ada apa dan mengapa, sebaiknya seluruh lapisan masyarakat harus terlibat memberikan saran dan solusinya.
Saya kira tidak sedikit masyarakat yang kecewa, atas kejadian seperti ini. Kabupaten Lahat merupakan Kabupaten induk dari beberapa kabupaten dan kota sebelumnya. Sesungguhnya Lahat adalah kabupaten yang tangguh dan mampu, tetapi seolah-olah kelihatan sangat lemah dalam hal ini. Meskipun kita yakin bahwa kita bisa melakukan yang sama, dan mungkin bisa lebih baik.
Kejadian ini mungkin dapat mendongkrak munculnya rasa kedaerahan dan patriotisme untuk merapatkan barisan membangun Lahat menjadi kabupaten terdepan dalam pariwisata dan seni budaya. Terdepan dalam menjaga, melestarikan dan mengembangkan daerah pariwisata serta seni budaya.
Kabupaten Lahat Kaya SDA dan Seni Budaya
Saat ini siapa yang tidak mengenal Kabupaten Lahat terutama akan sumber daya alam (SDA) batubaranya. Banyak investor dari luar negri, dan dari luar kota serta luar provinsi berdatangan untuk menggali kekayaan batubara yang tersimpan di tanah negri Seganti Setungguan ini. Lahat menjadi tujuan para investor dari dalam dan luar negri. Siapa tahu kedepan akan menginvestasikannya dalam pengembangan pariwisata Kabupaten Lahat yang sangat kaya akan keindahan alam serta peninggalan sejarah seni dan budayanya.
Kabupaten Lahat juga sangat terkenal dengan lagu-lagu daerahnya, tarian-tariannya dan sastra tuturnya. Tapi apakah masyarakat Lahat sendiri menyadari itu atau tidak, saya tidak tahu. Dimana-mana lagu daerah Lahat paling sering dinyanyikan dalam acara-acara tertentu, bahkan dalam event lomba lagu daerah, begitupun tarian-tariannya di tingkat Provinsi. Karena banyaknya lagu dan tarian yang diciptakan seniman Lahat. Sejauhmana penghargaan atau apresiasi pemerintah terhadapnya.
Secara geografis daerah lahat memungkinkan banyak lahirnya para pekerja seni dan bukti yang sangat kuat adalah dengan adanya peninggalan arca pada jaman megalithikum. Ribuan tahun yang lalu, masyakat di dataran Besemah sudah dapat mengukir batu-batu menjadi arca yang indah, dengan halus dan cukup perfek. Dengan menggunakan alat yang sederhana pada saat itu, mereka sudah dapat menciptakan benda dan karya seni yang cukup detail. Menunjukkan bahwa peradaban masyarakat di dataran Besemah saat itu sangat tinggi, mereka memiliki kemampuan teknologi lebih baik di manapun di muka bumi pada saat jamannya itu.
Focus Group Discussion Megalith Heritage
Sehari sebelum banyak berita di media massa megalitikum di Pagaralam mendapat pengakuan UNESCO sebagai heritage dunia, Balai Arkeologi Palembang yang di pimpin oleh Ibu Kristantina Indriastuti mengadakan Focus Group Discussion (FGD) di Rumah Dinas Bupati Lahat H. Saifudin Aswari Rivai, SE yang mengundang 20 orang pemangku kepentingan yaitu Bupati Lahat, Kepala Bappeda Lahat, Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Lahat, Dinas Pariwisata dan Budaya Lahat, Camat Se-Kabupaten Lahat, Pemerhati Budaya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen dengan seni budaya, dan Perusahaan Swasta yang konsen dengan kebudayaan Lahat.
Dalam FGD yang di gelar pada Kamis 17 Mei 2012 pukul 11.00 wib ini Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Lahat, tidak hadir satu orangpun perwakilan dari Dinas tersebut. Tetapi ketidak hadiran pegawai dinas pariwisata dan budaya ini tidak menjadi halangan untuk melakukan diskusi tersebut. Ketidakhadiran Parbud pada kesempatan yang baik dan jarang terjadi itu sangat di sayangkan. Karena kegiatan ini jelas sangat berhubungan dan sebagai wilayah kerjanya.
Menurut Kristantina, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Balai Arkeologi Palembang, ditemukan sebaran situs-situs megalitik yang menyimpan tinggalan budaya berupa arca, dolmen, kursi batu, menhir, bilik batu, lumpang batu, lesung batu, batu dakon, lukisan batu cadas, tetralith seperti yang terdapat di situs Tegur Wangi, Situs Gunung Kaya, Situs Kota Raya, Lembak, Situs Pulau Panggung, Situs Tinggi Hari, Situs Pulau Pinang, dan Situs Muara Pinang.
Selain situs megalith, ditemukan juga berupa sistem penguburan pada masa prasejarah dengan manusia pendukungnya di daerah Besemah seperti situs Muara Betung, Situs Kunduran, dan situs Muara Payang, Pada beberapa lokasi penemuan tersebut sering ditemukan bekal kubur berupa gerabah (peralatan dari tanah liat), seperti Periuk, Botol, kendi, dan senjata dari logam.
Sementara Irfan (40) salah satu pemerhati budaya Lahat mengatakan bahwa situs Megalitikum itu tersebar dari Desa Tanjung Jambu Kecamatan Merapi Timur, Tanjung Telang Kecamatan Merapi Barat, Desa Kota Baru dan di Lahat Tengah Kecamatan Lahat sampai Muara Payang terdapat ribuan bahkan mungkin jutaan megalith.
Lain hal menurut Mario (42), seorang traveler yang berusaha mengelilingi kota di dunia, memastikan kalau megalith yang terdapat di Kabupaten Lahat ini adalah yang terbaik dan terbanyak di dunia.
Polemik Tanda Sayang
Kalau saya menilai peranan masyarakat itu lebih utama dalam pembangunan daerahnya dan masyarakat saat ini memiliki wakilnya di DPRD. Bagaimana peranan DPRD dalam mengembangkan pariwisata dan seni budaya daerahnya. Karena pemerintah tidak mungkin akan terus mengandalkan pajak dari kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui seperti batu bara dan minyak bumi yang berada di wilayah ini. Sehingga kebijakan dalam pengembangan daerah pariwisata dan seni budaya menjadi prioritas.
Dengan pengembangan daerah pariwisata, ekonomi kerakyatan, yang berbasis ekonomi mikro, yang pengelolaannya di miliki masyarakat ekonomi menengah ke bawah akan ikut terdongkrak. Para pengrajin dan seniman lokal dituntut kreatif, untuk menciptakan berbagai oleh-oleh khas Lahat, serta mengemas pertunjukan seni tradisi. Para petani dituntut untuk mengembangkan produksi pertanian agro bisnis. Begitupun para pelajar dan mahasiswa mencari peluang kerja atau membuka peluang usaha mandiri guna mencukupi kebutuhan wisatawan yang akan membuang uangnya untuk kepuasan dalam perjalanan berwisata.
Saya kira kalau saja Pemerintah itu mau menerima usulan dari berbagai pihak, tidak menutup diri, insyaallah pariwisata dan seni budaya kita sudah lebih baik. Karena Lahat banyak memiliki pakar pariwisata dan Budaya dan sebagai masyarakat Lahat harus bangga.
Dalam kejadian lewatnya UNESCO ke kota tetangga yang notabene merupakan anak dari Kabupaten Lahat ini, tampak pemerintah Lahat menyikapinya lamban, seperti kurang menhargai dan kurang peduli kebudayaannya sendiri, seperti kurang percaya diri dengan hasil keseniannya yang adiluhung di mata dunia.
Tetapi kita tidak bisa hanya saling salahkan, akan tetapi bagaimana mulai sekarang masyarakat yang mengerti akan berharganya seni budaya sendiri ini ikut berpartisipasi, menjaga dan merawatnya. Kalau saling salahkan bukan menjadi penyelesaian. Sebab masyarakat yang mengertilah sebagai pilarnya. Mari kita ajak seluruh elemen masyarakat berusaha mngenalkan seni budaya Lahat kepada seluruh umat di bumi, dan kita desak pemerintah tidak hanya di daerah tapi juga pusat untuk segera melakukan tindakan yang proporsional terhadap kekayaan alam dan warisan budaya dunia ini. Saya yakin pemerintah tidak bisa bekerja sendiri tanpa bantuan masyarakatnya. Salam Budaya!
Penulis Pembina Komunitas Sastra Lembah Serelo [KSLS] dan guru SMA N 1 Merapi Selatan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.
LEKRA DAN PKI: “POLITIK ADALAH PANGLIMA”
Oleh Joebaar Ajoeb,
Sekretaris Umum Lekra
LEKRA adalah sebuah gerakan kebudayaan yang nasional dan kerakyatan, yang di dalamnya memang ada orang-orang yang jadi anggota PKI, tetapi yang sebagian besarnya, bukan. Lekra didirikan dan bekerja untuk kepentingan yang nasional dan kerakyatan di lapangan kebudayaan. LEKRA, sebagaimana terlihat pada Mukaddimahnya, tidak mengazaskan kegiatannya pada pandangan klas dan atau Marxisme-Leninisme. Juga organisasi yang mengatur kegiatannya tidak berbau Leninisme sedikitpun. Bahwa ada karya di lingkungan LEKRA yang dialamatkan langsung kepada kepentingan Partai Komunis Indonesia, ia sudah tentu secara langsung menjadi tangungjawab pencipta karya itu, yang mungkin saja anggota PKI. Orang berhak memuliakan sesuatu yang ia anggap demikian, namun haknya itu hendaklah pula diperlakukan dengan adil ketika ia mempertanggungjawabkannya.
Adapun tanggungjawab LEKRA, ia berada di lingkup selama karya itu tidak anti Rakyat dan tidak anti Revolusi Agustus 45, atau seperti yang dinyatakan dalam Mukaddimahnya, “LEKRA menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan, dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya” dan “LEKRA mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun untuk bekerjasama dalam pengabdian ini.”
Adapun PKI, ia sebuah partai politik. Dan politik, adalah sebuah pembidangan teoritis. Seni, sastra, ilmu dan kebudayaan juga demikian. Adalah ilmu yang mengkategorisasikannya demikian. Demi memudahkan kita memahami kenyataan. Yang sungguh luar biasa rumitnya. Ia hidup dan berubah. Ia kimiawi. Maka itu diperlukan batasan pengertian. Karakterisasi dan kategorisasi.
Mari kita singgah sebentar pada yang elementer. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata politik sehubungan dengan ilmu adalah, pengetahuan mengenai kenegaraan, seperti sistem dan dasar-dasar pemerintahan. Arti kedua ialah, segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dsb.) mengenai pemerintahan negara. Arti ketiga, kebijaksanaan, cara bertindak. Imam Ghazali merumuskan: “segala yang menyangkut negara adalah politik”. Sekarang lihatlah bagaimana pengertian politik itu bekerja dalam kenyataannya, pada sebuah masalah saja. Dalam hal ini masalah LEKRA dan PKI, dua buah organisasi yang kait mengait dalam kerjasama tapi juga tentang menentang. Mari kita lihat, salah satu pertentangannya yang laten dan yang fatal ternyata.
Kira-kira menjelang akhir tahun 64, sebuah gagasan PKI disampaikan kepada sementara anggota Pimpinan Pusat LEKRA. Gagasan itu menghendaki agar LEKRA dijadikan organisasi PKI yang juga punya anggota non-PKI. Jika LEKRA setuju pada gagasan yang praktis mem-PKI-kan LEKRA, maka hal itu akan diumumkan secara formal. Tapi LEKRA telah menolak gagasan itu. Bukan tanpa alasan. Alasannya amat sehat, demokratis dan sudah tentu demi kepentingannya sebagai organisasi kebudayaan yang tujuan-tujuannya telah disimpulkan di dalam « Mukaddimah » organisasinya.
Nyoto yang Anggota Sekretariat Pimpinan Pusat LEKRA adalah juga Wakil Ketua II CC PKI, ikut serta menolak gagasan mem-PKI-kan LEKRA itu. Saya dapat mengerti akibat-akibat yang dapat timbul dari penolakan itu. Anda mungkin tahu atau ingat, PKI di tahun itu sedang bugar-bugarnya. Dan LEKRA berhasil menentang penguasaan PKI secara organik atas dirinya, sampai « katakanlah 1 Oktober 1965 ». Proses itu bukan tanpa taruhan. Apa yang kemudiannya dikenal sebagai “Konferensi Sastra dan Seni PKI” adalah bagian dari pertentangan dan pertarungan antara LEKRA dan PKI. Konferensi yang juga telah terang-terangan memperbedakan LEKRA dengan PKI di bidang kebudayaan.
Ironisnya malah terjadi di tahun-tahun sesudah 65. Banyak sajalah orang « mem-PKI-kan LEKRA ». Sehingga yang terjadi adalah, jika D.N. Aidit tidak berhasil, orang lain yang padahal atau tampak seperti anti PKI, malah “berhasil” mem-PKI-kan LEKRA. Saya ingin mengetuk perhatian anda bahwa mem-PKI-kan LEKRA dapat membawa kerancuan dalam tubuh seni, sastra dan bahkan kebudayaan negeri ini karena penilaian dan penentangan yang tidak berujungpangkal.
Pewayangan tua, madya ataupun carangan, ketoprak dengan segala keterikatannya pada babad selaku ancang-ancang sejarah, kesenian Bali dengan segala akarnya yang religi, ludruk dan bermacam reog atau pun randai dengan kandungan realisme sejarah dan satirenya, ataupun Cianjuran, Dogdog atau Tarling adalah di antara bentuk-bentuk seni yang telah dicampuri LEKRA. Belum lagi kita bicara mengenai sastra, senirupa dan musik Indonesia masa kini.
Bahwa di kalangan politik, “tribalisme” sering tampil sebagai metode pemecahan soal, biarkanlah kafilah itu berlalu. Hal yang demikian tidak patut ditiru dan diberlakukan bagi kebudayaan. Sebab kebudayaan, seni das sastra, tidak dan tidak dapat dimiliki oleh sesuatu parti politik. Partai politik boleh berganti atau sirna, tetapi kebudayaan, tidak. Jika yang ini sirna, atau anda sirnakan, anda menuhukkan bangsa ini ke lembah yang papa.
Dan saya sungguh tidak percaya ada anak Indonesia mampu dan tega secara sadar berbuat demikian. Kita harus mengangkat gelas dengan cara yang telah diadabkan. Jika anda mengangkatnya dengan telunjuk anda, gelas itu akan jatuh dan pecah. Lagi pula anda tahu bahwa mem-PKI-kan LEKRA adalah sebuah perbuatan yang murni politik. Yang kandungan manipulasinya bisa luar biasa besarnya.
Maka itu pula agaknya, sehubungan dengan tragedi nasional G30SPKI, selama 10 tahun saya ditahan, saya tidak pernah diperiksa mengenai LEKRA, sebagai organisasi atau gerakan kebudayaan. Juga tidak pernah diperlihatkan kepada saya, “Surat Keputusan Pemerintah yang membubarkan atau yang melarang LEKRA berdiri dan bergiat”, oleh Tim-Tim Pemeriksa yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia kita ini. Begitulah hukum formal itu memperlakukan LEKRA.
Anda, terutama yang sedikit mengerti tatakrama hukum dan politik, tentunya dapat melihat jalur nalar yang saya kemukakan ini. Sedang bagi anda-anda yang tidak dapat tidak resah mendengar atau membaca kata LEKRA itu, saya terlebih dahulu hendak berkabar di sini, bahwa catatan ini saya buat bukan sebagai sangkakala pemberitahuan bahwa LEKRA akan mengorganisasi dirinya kembali dan kemudian menuding orang-orang yang pantas ia tuding. Anda akan sepakat dengan saya, kalau saya mengatakan bahwa untuk itu, hari sudah terlalu sore, bianglala sudah melengkungi ufuk kita, karena sementara itu hujan besar telah datang membawa pepatah “sekali air pasang, sekali tepian berubah”.
Maka itu, yang saya buat ini, tidak lain dari apa yang telah dikatakan Chairil Anwar, “Kenang, kenanglah kami” agar orang tahu siapa, dan ibu mana yang telah menaklukkan maut ketika melahirkan seseorang manusia. Dan karenanya saya ingin mengajak Anda bertamasya saja ke “Mukaddimah LEKRA”, sekedar sebagai pengalaman pemikiran, yang siapa tahu dapat membathin.
Politik, terutama politik praktis, dalam prakteknya, dapat memanipulasi apa saja untuk kepentingan taktis atau pun strategisnya. Tapi tidak demikian halnya dengan kerja dan kerja kebudayaan. Ia tidak harus langsung tunduk kepada kepentingan politik praktis, dan taktis dan tidak semua politik praktis dapat dimanfaatkan kerja kebudayaan. Ia dapat dan biasa berada di luar jalur-jalur kepentingan politik yang demikian.
Semboyan “Politik Adalah Panglima”, tidak berarti politik sesuatu partai adalah atau yang harus dijadikan “panglima”. LEKRA tidak pernah mengikat diri pada pengertian demikian. Sebab, konotasi politik dalam semboyan itu adalah wawasan, bukan lembaga atau orang, apapun ia. Wawasan yang dapat lebur ke dalam proses penciptaan dan karya seni sepereti patung, cerpen atau sajak. Dan di dalam proses inilah wawasan politik itu tunduk pada tuntutan estetika artistik. Di sini estetika itu yang jadi « panglima », kalau hendak terus main « panglima-panglimaan ». Di sini taraf keseniman yang menentukan. Di sini kejujuran dan hati nurani itu jadi « perdana menteri », jika kita ingin juga memakai analogi.
Ada wawasan politik yang dapat dilebur ke dalam kerja dan karya kebudayaan. Tapi ada juga yang tidak. LEKRA misalnya, pernah mengeluarkan pernyataan “menyokong kembali ke UUD 45”, tapi tidak pernah mengeluarkan pernyataan “menyokong dibentuknya kabinet NASAKOM” sebagai gebrakan politik praktis. Tapi jika esensi “NASAKOM” itu diolah sebagai emansipasi bentuk persatuan nasional bangsa ini, pendirian LEKRA juga jelas. Pengertian politik di sini merupakan bagian dari perjalanan sejarah eksistensi masyarakat manusia Republik Indonesia ini.
Jadi, LEKRA tidak melakukan vulgarisasi pengertian dan pekerjaan politik. Dan pandangan demikian dengan jelas dijalin di dalam “Mukaddimah LEKRA”.
Lagi pula kita semestinya tidak perlu lupa menyimak sebuah buku berjudul “ABRI sebagai kekuatan sosial dan pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka memelihara dan meningkatkan kemanunggalan ABRI dengan rakyat” terbitan 10 mei 1979 dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Buku itu antara lain dengan tandas sekali menyatakan bahwa “Walaupun titik berat pembangunan kita terletak di bidang ekonomi, namun perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya bidang politik mendasari semua bidang pembangunan”. Apa artinya ini? Kita boleh dan baik memahaminya secara terjabar. Tapi ini baik dilakukan lain kali.
Pada Mulanya
Begitulah, tidak begitu lama sesudah Mukaddimah Pertama LEKRA diumumkan, yaitu pada 17 Agustus 1950, berdatanganlah kritik atasnya. Kritik-kritik itu pada pokoknya menyatakan bahwa beberapa bagian dari Mukaddimah itu ternyata tidak cocok dengan keadaan Indonesia. Ia mengandung sejumlah jargon yang tak mudah difahami umum. Hingga disusunlah suatu Mukaddimah baru, seperti yang umumnya kita jumpai sekarang. Penggantian Mukaddimah berlangsung secara formal dalam Konferensi Nasional Lekra ke-1, tahun 1957. Yang kemudian disyahkan oleh Kongres Nasional LEKRA ke I, tahun 1959 di Solo yang penutupannya dihadiri Presiden Sukarno.
Pidato Bung Karno pada penutupan Kongres ini menjadi terkenal dan kontroversial, karena ia menyerukan sebuah sikap menolak menjadikan “musik ngak-ngik-ngok” sebagai musik kebangsaan Indonesia, terutama bagi kaum remaja Indonesia. Sikap Bung Karno itu sesungguhnya merupakan bagian pandangan kebudayaan Indonesia yang berkepribadian nasional. Sebuah sikap yang telah membersit dan tumbuh dalam gerakan kebangkitan nasional. Ia telah diungkapkan oleh Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara, dan bahkan Moh. Hatta selaku Wakil Presiden dalam pidato sambutannya pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke 2 tahun 1952 di Bandung.
Dan pada Kongres Nasional ke-1 LEKRA ini pula Nyoto dalam pidato sambutannya atas Laporan Umum saya, menyinggung agar wawasan “Politik Adalah Panglima” dimanfaatkan oleh daya-upaya kebudayaan kreatif dan reproduktif. Gagasan yang kemudian terutama di dalam era “orde baru” ini ada kalanya juga menjadi kelewatan kontroversialnya. Namun, tidaklah diambil sesuatu putusan apapun mengenai “Politik Adalah Panglima” dalam Kongres ke I LEKRA tahun 1959 itu, kendati ia memancing diskusi-diskusi yang galau-galau menarik. Dua tahun kemudian baru, yaitu di dalam Sidang Pleno Pimpinan Pusat LEKRA, Juli 1961, “Politik Adalah Panglima” itu diterima sebagai azas kerja kreatif, bersama dengan lima tuntutan lainnya, sebagai pedoman yang bersifat seruan yang umum saja, bukan instruksi atau keharusan. Tidak dibuat petunjuk rinci apapun mengenai ini. Dan tidak ada penjelasan baku yang harus diikuti. Orang bebas memberikan interpretasinya, memakai atau tidak memakainya dalam kerja dan karya. Latar belakang sesungguhnya dari semboyan ini ialah untuk mendorong pada seniman dan sastrawan LEKRA memiliki pengertian politik yang memadai. Dan politik anda tahu, ia hanya dapat dipahami baik, jika kita punya wawasan sejarah. Sejarah yang pada gilirannya akan mendorong orang menggunakan ilmu dalam berkarya, sehingga bawaan tukang yang ada pada seniman, dapat dibekali oleh ilmu seperti, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, antropologi dan apa saja yang akan jadi penopang dalam penciptaan karya yang lebih fungsional, tahan waktu dan bernilai.
Semasa organisasinya berfungsi, LEKRA sangat mengutamakan pendidikan, diskusi dan saling didik. Sanggar-sanggar dan lembaga yang dipimpin seniman-seniman LEKRA mendidik pelukis muda, pamatung muda, para dalang, sinden, penabuh dan penari muda, para aktris, aktor dan penulis skenario untuk drama, film, ketoprak, ludruk dan bahkan randai dan abdul muluk. Ada dua tiga Sanggar yang mungkin sudah amat terkenal di masa sebelum 65. Daiantaranya “S.I.M.” (Seniman Indonesia Muda) yang dipimpin Soedjojono, Harjadi dan Suromo dan “Pelukis Rakyat” yang dipimpin Hendra Gunawan, Affandi dan Trubus. Untuk dapat dididik di lembaga-lembaga demikian, tidak ada persyaratan seseorang harus jadi anggota LEKRA dulu, apalagi PKI. Pokoknya ada bakat, mau belajar dan bekerja keras. Cukup.
Tentang ini ada banyak masih saksi hidup yang cukup cemerlang, bahkan. Anda barangkali sudah tahu bahwa Zaini, seorang pendukung terkemuka dari “Manikebu”, adalah pelukis terkemuka hasil didikan SIM (Seniman Indonesia Muda) pimpinan S. Soedjojono. Sejarah Indonesia adalah mata pelajaran dan diskusi penting dan diberikan untuk semua bidang. Kemudian sastra, nasional maupun daerah. Di samping sudah tentu ketrampilan atau kiat seni masing-masing bidang. Bentuk pelajaran seperti sejarah, sastra, psikologi atau ekonomi, tidak kurikuler. Bentuknya ceramah dan diskusi. Melalui cara demikian, mereka dapat memahami “Politik Adalah Panglima”, menurut kemampuan orang yang ikut belajar-mengajar. Literatur, mereka boleh pilih sendiri. Tidak ada satupun keharusan dalam hal ini. Orang-orang LEKRA tentu saja boleh mendengar ceramah orang-orang PKI, PNI, NU, Golkar dan sebagainya dan membacai literatur mereka. Mereka tentu juga boleh membaca karya-karya Mochtar Lubis yang anti PKI bener-beneran, atau HB Jassin atau siapa saja yang tidak sejalan dengan LEKRA.
Yang sesungguhnya diinginkan LEKRA ialah, agar seniman dan sastrawan yang berhimpun di dalam atau di sekitarnya, berani dan mahir berfikir secara mengasah intuisi kesenimanannya. Agar kebudayaannya meninggi, agar mutu artistik dan ideologi karyanya menjulang, tahan kritik, tahan waktu dan berfungsi dari masa ke zaman. Untuk itu diperlukan pemahaman sejarah, kenyataan nyata ataupun kesunyataan dengan perkembangan-perkembangannya. LEKRA tidak lebih dari sebuah dan salah satu sarana saja untuk itu.
Jadi, akhirnya kita akan melihat dan menghayati “Politik Adalah Panglima” itu secara bersegi banyak, berubah dan dialektis sekali. Lalu mengapa LEKRA merasa perlu menjadikannya sebagai semboyan atau pedoman untuk pekerjaan-pekerjaan kreatif? Untuk menjawab ini kita harus mengingat bahwa antara tahun 50-an dan 60-an, masih ada semacam propaganda yang hendak mengusir atau menjauhkan seniman dan sastrawan, keluar dari gelanggang politik. Politik adalah orang politik. “Politik itu kotor” kata pembohongan itu. Sedang “Seniman dan sastrawan itu suci” katanya lagi. Tidak perlu ikut-ikut berpolitik, termasuk dalam berkarya.
LEKRA menentang propaganda bodoh yang hendak membodohi kaum seniman dan kebudayaan Indonesia itu. Propaganda itu bertentangan dengan tradisi dan cita-cita Kebangkitan Nasional. Bertentangan dengan azas demokrasi dari Republik yang baru saja ditegakkan. Bertentangan dengan sejarah perjuangan kemerdekaan, dengan azas yang disepakati pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke 1 tahun 1948 di Magelang. Tapi apa hendak dikata. Sedikit banyak propaganda bodoh demikian mempan juga. Bahkan di sana sini ia berkuasa membodohi sejumlah seniman, sastrawan beserta para pekerja kebudayaan. Terutama di kalangan muda. Tapi tidak pada seniman setaraf Trisno Soemardjo, pendukung Manikebu itu. Anda yang tidak percaya, silahkan mencari pidato atau prasarannya yang absolut anti-KMB pada Konferensi Kebudayaan Indonesia 7-9 Agustus 1950 di Jakarta. Dan syahdan, LEKRA “yang berpolitik” itu, masih belum lahir ketika Trisno Soemardjo mengucapkan pidato politiknya itu.
Di dalam upaya menentang pembodohan itulah semboyan “Politik Adalah Panglima” terbentuk dan berperan.
Sehubungan dengan wawasan “politik adalah panglima” itu, barangkali baik saya catatkan di sini apa yang di lingkungan LEKRA kemudian dikenal dengan 1.5.1. Yaitu, berazaskan “Politik Adalah Panglima”, melaksanakan 5 kombinasi, melalui cara “Turun Ke Bawah”. Kelima kombinasi itu ialah, “Meluas dan Meninggi”, “Memadukan Tradisi yang Baik dengan Kekinian Yang Revolusioner”, “Tinggi Mutu Artistik, Tinggi Mutu Ideologi”, “Memadukan Realisme Revolusioner dengan Romantisme Revolusioner” dan “Memadukan Kreativitas Individual dengan Kearifan Massa.”
Lalu, apakah anda melihat di situ, sesuatu mengenai apa yang pada suatu masa tertentu suka juga diheboh-hebohkan mengenai “Realisme Sosialis LEKRA” itu? Mengenai “Realisme Sosialis” ini, saya akan mengajak anda nanti untuk sedikit memasuki hal ikhwalnya di kalangan LEKRA sendiri, dan sehubungan juga dengan pandangan Soedjatmoko atasnya.
Ini adalah sejenis perangkat lunak pekerjaan kebudayaan yang dapat diungkai untuk melihat alternatif-alternatif teoritis yang dikandungnya. Satu per satu azas penciptaan LEKRA itu tentu memerlukan penjelasan. Yang pada waktunya dapat dikerjakan, sekedar sebagai sebuah pengalaman dalam pembentukan kebudayaan Indonesia yang nasional dan kerakyatan.
Maka itu, jika eksistensi LEKRA digugat secara kultural, gugatan itu seyogianya berurusan dengan kaedah-kaedah kultural yang patriotik, demokratis dan ilmiah yang disandang atau yang ingin disandang LEKRA. Dan LEKRA dalam menjabarkan kerja dan karyanya, seperti anda lihat selama organisasinya berfungsi, ia tidak hanya bekerja sama dan membantu kaum pekerja, tetapi juga kaum tani. Ia tidak hanya membantu dan bekerja sama dengan kaum buruh dan tani, tetapi juga tentara nasional Indonesia. Di samping, di mana mungkin membantu Pemerintah, sembari juga jika perlu mengeritiknya. Sebagai fenomen demokrasi yang tengah dibutuhkan kebudayaan dan sejarah negeri ini, LEKRA selalu menganggap Pemerintah sebagai pamong yang digaji oleh Rakyat dan karena itu ia sudah seyogianya mengabdi Rakyat yang berhormat menghormati mereka.
Rakyat adalah Bapak, bukan Anak. Maka itu kekuasaan tertinggi yang ada pada negara ini ada di tangannya, yang ia tuangkan ke dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tapi ini adalah asal usul. Apakah keadaannya seperti itu, andalah yang saya minta menjelaskan, karena anda saya tahu lebih tahu.
Tulisan ini merupakan petikan dari makalahnya, “Sebuah Mocopat Kebudayan Indonesia”, yang disiar Majalah Kreasi No 10 1989-1992, halaman 4-15, terbitan Stichting Budaya, Amsterdam. Blog ini mengutipnya dari catatan dalam Facebook A. Kohar Ibrahim, 15 Agustus 2009.
Sumber : komunitas sastra
Sabtu, 26 Mei 2012
Jumat, 25 Mei 2012
SINETRON KITA DAN JATI DIRI YANG HILANG
Oleh Imron Supriyadi
(Jurnalis dan Pelaku Sastra)
”Jika anda hanya memprihatinkan keadaan setahun mendatang, cukuplah anda taburkan benih. Jika anda, memprihatinkan keadaan sepuluh tahun mendatang, tanamkanlah sebatang pohon. Dan jika anda memprihatinkan keadaan seratus tahun mendatang, berikanlah pendidikan yang benar kepada rakyat dan anak-anak kita (situs anak merdeka.com). Pesan diatas, paling tidak dapat menjadi sebuah pijakan bagi bangsa ini, untuk kemudian merenungkan kembali tentang bagaimana potret generasi bangsa ini 25 atau 100 tahun yang akan datang. Selain institusi pendidikan formal sekolah, media, dan lembaga lain yang konsen terhadap pendidikan, sangat jelas memiliki tanggungjawab moral untuk menjaga integritas dan jati diri generasi bangsa ini agar tetap menjaga moralitas. Sinetron di Indonesia, sebagai salah satu produk yang secara langsung atau tidak juga telah menjadi ”guru” bagi anak-anak bangsa ini, sudah pasti memiliki kewajiban sama, yaitu ; memberikan ajaran moral yang lebih bernilai, ketimbang menciptakan pola pikir dengan hal-hal yang bertentangan dengan jati diri bangsa. Dalam persoalan ini memang agak sulit akan berangkat dari mana harus melakukan kritik terhadap wajah sinetron kita, yang makin hari makin tidak memberikan muatan nilai-nilai atau pesan moral terhadap anak-anak negeri ini. Sebab, sebuah produksi sinetron melibatkan banyak pihak, yang bukan hanya puluhan, tetapi ratusan orang. Sejak dari Penulis, Sutradara, Produser dan crew lainnya, termasuk figuran dan office boy. Sebagian Penulis naskah, Sutradara, sebagai salah satu bagian dari konseptor dalam sinetron acap kali dihadapkan pada dua tuntutan. Tuntutan mempertahankan idealisme dan kebutuhan ”materi” untuk dapur domestiknya. Sementara, Rumah Produksi (Production House-PH) sebagai institusi bisnis entertainment dan Produser sebagai penyandang dana, juga mempunyai kepentingan bisnis, antara ”untung atau buntung”. Para pemasang iklan (klien) juga memiliki kepentingan sama, untuk memasarkan produknya, sehingga harus mencari atau bahkan mendesak kepada sebuah PH dengan tema-tema tertentu, yang menurut pemasang iklan, dapat menguntungkan secara bisnis. Dengan desakan ini, kemudian beberapa produser dan rumah produksi juga melakukan ”tekanan” kepada seorang penulis, untuk membuat naskah sinetron, sesuai dengan pemesan. Tentu, tawaran ini, PH juga melakukan bargaining (tawar-tawaran) dengan penulis, bukan pada konteks ideologi atau ide cerita yang dapat menciptakan ”kebaikan” bagi publik, melainkan hitung-hitungan terhadap berapa harga satu episode, atau satu kali tayang. Berdasar pada realitas logika bisnis demikian, sangat mungkin akan membelakangkan idealisme seorang seniman (baca: penulis), yang notabene harus tetap menjaga nilai-nilai dan pesan moral dalam sebuah karya. Ironisnya, kontrak kerja terhadap penulis yang sudah didahului dengan duit panjar (DP), tidak jarang dalam satu titik kejenuhan, penulis kehilangan ide. Akibatnya, penulis kemudian main ”hantam kromo” dengan meneruskan naskah tersebut, sekalipun rentetan ceritanya makin hari makin rancu dan tidak jelas. Baik dari konflik utama, ide cerita, penokohan, atau sampai ending dari sebuah cerita. Kondisi seperti ini, diperparah dengan ”penjajahan” baru oleh bentuk-bentuk sinetron yang mencoba mengkolaborasikan versi Bollywood dengan ke-Indonesiaan. Paduan yang sangat rancu dan makin merusak jati diri bangsa, ketika sebuah garapan sinetron diolah sedemikian rupa, sehingga orang akan sulit membedakan antara sinetron India atau Indonesia. Dalam konteks nasionalisme, tentu ini sebuah realitas yang kemudian mencabik-cabik jati diri bangsa ini, yang semakin kabur. Siapa dan bagaimana sebenarnya identitas negeri ini, jika para pengelola dan penulis, sutradara sinetron juga sudah terkontaminasi oleh ”petuah-petuah” oknum bangsa lain, yang sudah pasti tidak mempunyai tanggungjawab moral untuk membangun generasi bangsa ini menjadi lebih bermoral. Memang dalam konteks ini ada persoalan serius yang sedang dihadapi para penulis, sutradara dan sebagian PH di Indonesia. Bagi sutradara, penulis dan PH yang tetap bersikukuh menjaga ”idealisme”, harus siap ”lapar”. Sebab, sikap ini akan berdampak pada hasil materi yang tidak banyak sebagaimana PH lain yang main ”hantam kromo”, dan tidak mempertimbangkan dampak baik buruknya sebuah penayangan sinetron. Konsekuensi mempertahankan idealisme ini, tidak sedikit beberapa PH kemudian terbentur dengan persoalan financial. Sebab, bukan tidak mungkin, dengan menjaga idealisme ini kemudian beberapa klien (pemasang iklan) juga enggan bekerjasama dengan penulis dan PH tersebut, karena tidak ada kesamaan dalam ”tawar-tawaran” ide cerita. Perdebatan kedua belah pihak ini, sudah tentu bukan pada tataran material, atau tentang berapa harga satu episode-nya, melainkan pada persoalan idealisme penulis naskah dan vis-misi sebuah PH. Bagi klien, perdebatan idealisme dengan penulis dan PH yang tetap ”menjaga” kredibiltas dan jati diri bangsa-nya, menjadi sesuatu yang sia-sia. Bagi klien, dialog ini hanya akan membuang-buang waktu. Sebab, selain masih banyak lagi penulis dan PH yang bersedia ”kompromi” sesuai dengan pesanan, klien juga tidak akan memperhitungkan dampak baik-buruknya ide cerita terhadap publik. Bagi klien, logikanya; masyarakat bersedia membeli produk, dan klien dapat meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sebentar, kita menoleh ke belakang. Betapa pada tahun-tahun pertama maraknya sinetron di televisi, yang waktu itu hanya disiarkan TVRI, ide cerita dan idealisme sebuah bangsa masih sangat kental. Sebut saja, pada era 80-an, di TVRI kita masih ingat dengan Sinetron Anak Sekolah ”Aku Cinta Indonesia” (ACI). Drama LOSMEN garapan Irwinsyah (alm), Rumah Masa Depan (Ali Shahab), Serumpun Bambu, Dokter Sartika, Jendela Rumah Kita dan lain sebaginya. Situasi ini kemudian disusul dengan munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), sebagai sarana belajar bagi anak-anak sekolah. Walau olahan naskah dan performant art-nya masih sangat minim, tetapi ide TPI ketika itu sebaiknya tetap dipertahankan. Masalahnya kemudian tinggal bagaimana kemasan itu dapat lebih menarik pemirsa, bukan malah sebaliknya. Film Animasi, (masih tahun 80-an), kita juga ingat dengan kartun Si Huma, Si Unyil, Si Komo dan masih banyak lagi karya lain yang lebih mengedepankan idealisme dan pesan moral bagi anak bangsa, ketimbang seperti sekarang, yang cenderung menyebarkan ”ajaran sesat” dalam konteks kebudayaan. Sinetron saat ini, lebih banyak menawarkan cerita mistik, horor dan metropolis yang cenderung mengajarkan materialis dan hedonis yang tidak memberikan muatan nilai-nilai kepada anak-anak bangsa. Sebut saja sinetron remaja di sebuah televisi swasta yang mengambil setting sekolah. Semula, naskah ini mungkin akan mengdepankan dunia pendidikan yang ideal. Tetapi, dengan garapan naskah yang sama sekali jauh dari pesan pendidikan, akibatnya justeru merusak wajah pendidikan itu sendiri. Bagaimana tidak? Di sekolah, yang diusung ke permukaan bukan bagaimana membuat murid itu menjadi kritis, cerdas, kreatif dan inovatif, melainkan menyebarkan ”ajaran” yang tidak baik untuk anak sekolah dalam konteks ke-indonesiaan. Di luar negeri, bisa saja cara berpakaian dan adegan ciuman antar murid dilakukan. Tetapi, ketika itu kemudian dibawa ke Indonesia, akibatnya akan fatal. Seolah, adegan ciuman di depan umum bagi anak sekolah, menjadi sesuatu hal yang biasa. Dalam konteks ini, saya tidak sedang bicara tentang halal-haram-nya ciuman antara laki dan perempuan yang bukan muhrim, tetapi saya melihat dalam konteks nasionalisme. Kalau sekedar ciuman, pacaran, gandengan, secara manusiwi tidak perlu diajari dan ditambah-tambah dengan memunculkan adegan seperti ini dalam tayangan sinetron. Pertanyaannya kemudian adalah, sebenarnya nilai-nilai apa sih yang sedang ditawarkan oleh sutradara dan penulis dalam sebuah adegan ciuman di sekolah bagi seorang murid? Kemudian anting-anting di sebagian murid laki-laki di sekolah. Ini nilai apa lagi yang sedang ingin ditawarkan oleh sebuah sinetron? Trend? Realitas anak-anak brutal? Jika itu ditayangkan secara terus menerus, secara perlahan akan menjadi sebuah kebenaran. Lantas, dimana peran seorang guru, jika di sekolah saja murid-muridnya sudah lebih banyaklah yang mojok dari pada yang belajar. Sinetron Cintailah Aku Gadis, terlepas dengan lebih dan kurangnya, namun sinetron ini memiliki pesan moral yang kuat terhadap upaya penghargaan betapa tingginya harga diri manusia. Pertentangan antara materi dan idealisme, bagaimana figur seorang guru yang tetap memertahankan idealismenya. Tuntutan hidup dan mati sebuah keluarga. Belum lagi sikap pemilik modal (yayasan) yang ”menjajah” sistem di sekolah dengan mengangkat kepala sekolah bermental penjilat. Baik konflik utama dan konflik pendamping dalam sinetron ini dapat berjalan secara sinergis, dengan ending cerita sebuah proses penyadaran terhadap nilai-nilai, tanpa adanya kehadiran unsur mistik. Tetapi dilain pihak, realitas sinetron di era reformasi ini, kebebasan berekspresi yang sudah sedemikian luas, ternyata bukan menciptakan suasana yang lebih kritis, dinamis dan konstrutif, tetapi malah sebaliknya, hedonis, konsumstif dan distruktif. Bukan dalam konteks politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Tetapi hampir semua dimensi sudah teracuni oleh ”kebebasan” yang tidak dilandasi dengan moralitas, termasuk didalamnya wajah sinetron kita. Mengutip Budayawan Emha Ainun Nadjib, kebebasan tanpa batas ini sebagai akibat dari tidak pernah terlatihnya bangsa ini mengurus cahaya. Karena terlalu lama bangsa ini hidup dalam kegelapan, maka ketika cahaya datang, kemudian hampir seluruh bangsa ini nabrak-nabrak dan kebingungan tentang bagaimana mengurus cahaya, tanpa mengetahui antara benar dan salah, tidak melihat mana kawan mana lawan, tidak bisa membedakan aantara demokrasi dan anaris, sampai akhirnya bangsa ini juga makin kesulitan membedakan mana emas-mana loyang, mana permata dan mana tinja. Tanpa bermaksud ingin mengembalikan sistem zaman Soeharto, tetapi tidak salah jika kemudian, dalam konteks per-sinetron-an nasional, para sineas harus kembali banyak belajar ke belakang (pada masa lalu), terutama terhadap gagasan, ide atau apapun ”kebaikan” yang diolah melalui sinetron di Indonesia. Kenapa ini menjadi penting? Sebab sebuah PH, Penulis dan Sutradara dalam pengarapan sinetron yang disiarkan televisi, mempunyai andil besar dalam membentuk watak (karakteristik) generasi bangsa ini, apakah akan menjadi generasi bangsa yang ideal, atau sebaliknya; menjadi generasi bangsat yang amoral. Sudah bangsat, amoral lagi. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan, boleh saja melaukan kompromi dengan pasar demi sebuah keuntungan secara materi. Namun obsesi meraup untung besar tanpa mempertimbangkan akibat buruk dari sebuah produk, adalah bentuk ”penindasan” kebudayaan terhadap bangsa yang nyata (kalau tidak ingin dikatakan sebagai penghianat bangsa secara kebudayaan). Agak ekstrim memang. Tetapi inilah sebuah tantangan bagi setiap sineas, yang mungkin saat ini tengah larut dalam sebuah ”pesta rupiah”, sehingga lupa terhadap nilai-nilai kedirian seorang seniman, yang seharusnya tetap dipertahankan, walau harus berhadapan dengan kematian sekalipun. Maksud saya, masih banyak karya yang tetap mempertahankan idealisme dan nilai-nilai moral yang kemudian tetap menghasilkan materi yang tidak sedikit. Sebut saja Kiamat Sudah Dekat (KSD) garapan Deddy Mizwar. Ini hanya salah satunya. Hampir semua pemirsa memuji terhadap KSD. Sampai akhirnya Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) juga memberikan penghargaan terhadap Deddy Mizwar. Masalahnya bukan ingin dihargai oleh pejabat sekelas presiden. Tetapi dengan menggarap sinetron yang bermoral dan bernilai sekaligus juga menghargai diri sendiri sebagai manusia yang memiliki hati nurani. Dengan kata lain, mengesampingkan pesan moral dan nilai-nilai dalam sebuah larya seni (baca sinetron) secara tidak langsung juga telah menginjak-injak harga diri sendiri, membunuh kata hati nurani. Akibat lain yang akan berdasa warsa adalah, karya tersebut telah menebar ”racun” bagi calon generasi bangsa ini, yang lambat laun akan ”mati muda” secara perlahan karena dihujani ”racun kebudayaan” yang makin menggila. Menghadapi realitas sinetron seperti sekarang, rasanya tidak salah jika para produser, penulis dan sutradara untuk kemudian menyatukan hati dengan secara bersama-sama membangun tanggungjawab bersama terhadap nasib generasi bangsa ini. Sudah tentu tidak perlu menjadi anggota DPR atau Presiden, namun tetap pada posisi seperti sekarang, menjadi pelaku seni. Hanya saja yang perlu dilakukan adalah melakukan ”perlawanan” terhadap kekuatan modal (kapitalisme) oleh oknum bangsa lain yang ”numpang makan” dan ”numpang memberak-i” Indonesia. Sehingga, wajah sinetron kita hanya sekedar menjadi tontonan dan membantu proses pembuatan tinja, tanpa menitipkan sebuah pesan nilai-nilai apapun terhadap negeri ini. Perlawanan yang saya maksud adalah, bersatulah sineas Indonesia, (Sutradara, Penulis dan Produser) untuk kemudian bersepakat ”berkata tidak” terhadap ide cerita yang tidak memiliki muatan ideologi terhadap bangsa ini, walau dihargai 1 miliar sekalipun satu episode. Sebab, saya yakin masih banyak PH dan klien yang bersedia ”mendanai” produksi sinetron yang lebih punya nilai, dari pada harus menjadi ”pengemis” di negeri sendiri. Proklamator kita, Ir. Soekarno pernah mengatakan; tunduk tertindas atau bangkit melawan? Kalimat ini sudah tentu, sebagai upaya dalam mengembalikan jati diri bangsa, termasuk dalam konteks sinetron Indonesia. Masalahnya kemudian, mau atau tidak kita memulai? Jawabannya ada di hati kita masing-masing. (*) Tanjung Enim, 2008
”Jika anda hanya memprihatinkan keadaan setahun mendatang, cukuplah anda taburkan benih. Jika anda, memprihatinkan keadaan sepuluh tahun mendatang, tanamkanlah sebatang pohon. Dan jika anda memprihatinkan keadaan seratus tahun mendatang, berikanlah pendidikan yang benar kepada rakyat dan anak-anak kita (situs anak merdeka.com). Pesan diatas, paling tidak dapat menjadi sebuah pijakan bagi bangsa ini, untuk kemudian merenungkan kembali tentang bagaimana potret generasi bangsa ini 25 atau 100 tahun yang akan datang. Selain institusi pendidikan formal sekolah, media, dan lembaga lain yang konsen terhadap pendidikan, sangat jelas memiliki tanggungjawab moral untuk menjaga integritas dan jati diri generasi bangsa ini agar tetap menjaga moralitas. Sinetron di Indonesia, sebagai salah satu produk yang secara langsung atau tidak juga telah menjadi ”guru” bagi anak-anak bangsa ini, sudah pasti memiliki kewajiban sama, yaitu ; memberikan ajaran moral yang lebih bernilai, ketimbang menciptakan pola pikir dengan hal-hal yang bertentangan dengan jati diri bangsa. Dalam persoalan ini memang agak sulit akan berangkat dari mana harus melakukan kritik terhadap wajah sinetron kita, yang makin hari makin tidak memberikan muatan nilai-nilai atau pesan moral terhadap anak-anak negeri ini. Sebab, sebuah produksi sinetron melibatkan banyak pihak, yang bukan hanya puluhan, tetapi ratusan orang. Sejak dari Penulis, Sutradara, Produser dan crew lainnya, termasuk figuran dan office boy. Sebagian Penulis naskah, Sutradara, sebagai salah satu bagian dari konseptor dalam sinetron acap kali dihadapkan pada dua tuntutan. Tuntutan mempertahankan idealisme dan kebutuhan ”materi” untuk dapur domestiknya. Sementara, Rumah Produksi (Production House-PH) sebagai institusi bisnis entertainment dan Produser sebagai penyandang dana, juga mempunyai kepentingan bisnis, antara ”untung atau buntung”. Para pemasang iklan (klien) juga memiliki kepentingan sama, untuk memasarkan produknya, sehingga harus mencari atau bahkan mendesak kepada sebuah PH dengan tema-tema tertentu, yang menurut pemasang iklan, dapat menguntungkan secara bisnis. Dengan desakan ini, kemudian beberapa produser dan rumah produksi juga melakukan ”tekanan” kepada seorang penulis, untuk membuat naskah sinetron, sesuai dengan pemesan. Tentu, tawaran ini, PH juga melakukan bargaining (tawar-tawaran) dengan penulis, bukan pada konteks ideologi atau ide cerita yang dapat menciptakan ”kebaikan” bagi publik, melainkan hitung-hitungan terhadap berapa harga satu episode, atau satu kali tayang. Berdasar pada realitas logika bisnis demikian, sangat mungkin akan membelakangkan idealisme seorang seniman (baca: penulis), yang notabene harus tetap menjaga nilai-nilai dan pesan moral dalam sebuah karya. Ironisnya, kontrak kerja terhadap penulis yang sudah didahului dengan duit panjar (DP), tidak jarang dalam satu titik kejenuhan, penulis kehilangan ide. Akibatnya, penulis kemudian main ”hantam kromo” dengan meneruskan naskah tersebut, sekalipun rentetan ceritanya makin hari makin rancu dan tidak jelas. Baik dari konflik utama, ide cerita, penokohan, atau sampai ending dari sebuah cerita. Kondisi seperti ini, diperparah dengan ”penjajahan” baru oleh bentuk-bentuk sinetron yang mencoba mengkolaborasikan versi Bollywood dengan ke-Indonesiaan. Paduan yang sangat rancu dan makin merusak jati diri bangsa, ketika sebuah garapan sinetron diolah sedemikian rupa, sehingga orang akan sulit membedakan antara sinetron India atau Indonesia. Dalam konteks nasionalisme, tentu ini sebuah realitas yang kemudian mencabik-cabik jati diri bangsa ini, yang semakin kabur. Siapa dan bagaimana sebenarnya identitas negeri ini, jika para pengelola dan penulis, sutradara sinetron juga sudah terkontaminasi oleh ”petuah-petuah” oknum bangsa lain, yang sudah pasti tidak mempunyai tanggungjawab moral untuk membangun generasi bangsa ini menjadi lebih bermoral. Memang dalam konteks ini ada persoalan serius yang sedang dihadapi para penulis, sutradara dan sebagian PH di Indonesia. Bagi sutradara, penulis dan PH yang tetap bersikukuh menjaga ”idealisme”, harus siap ”lapar”. Sebab, sikap ini akan berdampak pada hasil materi yang tidak banyak sebagaimana PH lain yang main ”hantam kromo”, dan tidak mempertimbangkan dampak baik buruknya sebuah penayangan sinetron. Konsekuensi mempertahankan idealisme ini, tidak sedikit beberapa PH kemudian terbentur dengan persoalan financial. Sebab, bukan tidak mungkin, dengan menjaga idealisme ini kemudian beberapa klien (pemasang iklan) juga enggan bekerjasama dengan penulis dan PH tersebut, karena tidak ada kesamaan dalam ”tawar-tawaran” ide cerita. Perdebatan kedua belah pihak ini, sudah tentu bukan pada tataran material, atau tentang berapa harga satu episode-nya, melainkan pada persoalan idealisme penulis naskah dan vis-misi sebuah PH. Bagi klien, perdebatan idealisme dengan penulis dan PH yang tetap ”menjaga” kredibiltas dan jati diri bangsa-nya, menjadi sesuatu yang sia-sia. Bagi klien, dialog ini hanya akan membuang-buang waktu. Sebab, selain masih banyak lagi penulis dan PH yang bersedia ”kompromi” sesuai dengan pesanan, klien juga tidak akan memperhitungkan dampak baik-buruknya ide cerita terhadap publik. Bagi klien, logikanya; masyarakat bersedia membeli produk, dan klien dapat meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sebentar, kita menoleh ke belakang. Betapa pada tahun-tahun pertama maraknya sinetron di televisi, yang waktu itu hanya disiarkan TVRI, ide cerita dan idealisme sebuah bangsa masih sangat kental. Sebut saja, pada era 80-an, di TVRI kita masih ingat dengan Sinetron Anak Sekolah ”Aku Cinta Indonesia” (ACI). Drama LOSMEN garapan Irwinsyah (alm), Rumah Masa Depan (Ali Shahab), Serumpun Bambu, Dokter Sartika, Jendela Rumah Kita dan lain sebaginya. Situasi ini kemudian disusul dengan munculnya Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), sebagai sarana belajar bagi anak-anak sekolah. Walau olahan naskah dan performant art-nya masih sangat minim, tetapi ide TPI ketika itu sebaiknya tetap dipertahankan. Masalahnya kemudian tinggal bagaimana kemasan itu dapat lebih menarik pemirsa, bukan malah sebaliknya. Film Animasi, (masih tahun 80-an), kita juga ingat dengan kartun Si Huma, Si Unyil, Si Komo dan masih banyak lagi karya lain yang lebih mengedepankan idealisme dan pesan moral bagi anak bangsa, ketimbang seperti sekarang, yang cenderung menyebarkan ”ajaran sesat” dalam konteks kebudayaan. Sinetron saat ini, lebih banyak menawarkan cerita mistik, horor dan metropolis yang cenderung mengajarkan materialis dan hedonis yang tidak memberikan muatan nilai-nilai kepada anak-anak bangsa. Sebut saja sinetron remaja di sebuah televisi swasta yang mengambil setting sekolah. Semula, naskah ini mungkin akan mengdepankan dunia pendidikan yang ideal. Tetapi, dengan garapan naskah yang sama sekali jauh dari pesan pendidikan, akibatnya justeru merusak wajah pendidikan itu sendiri. Bagaimana tidak? Di sekolah, yang diusung ke permukaan bukan bagaimana membuat murid itu menjadi kritis, cerdas, kreatif dan inovatif, melainkan menyebarkan ”ajaran” yang tidak baik untuk anak sekolah dalam konteks ke-indonesiaan. Di luar negeri, bisa saja cara berpakaian dan adegan ciuman antar murid dilakukan. Tetapi, ketika itu kemudian dibawa ke Indonesia, akibatnya akan fatal. Seolah, adegan ciuman di depan umum bagi anak sekolah, menjadi sesuatu hal yang biasa. Dalam konteks ini, saya tidak sedang bicara tentang halal-haram-nya ciuman antara laki dan perempuan yang bukan muhrim, tetapi saya melihat dalam konteks nasionalisme. Kalau sekedar ciuman, pacaran, gandengan, secara manusiwi tidak perlu diajari dan ditambah-tambah dengan memunculkan adegan seperti ini dalam tayangan sinetron. Pertanyaannya kemudian adalah, sebenarnya nilai-nilai apa sih yang sedang ditawarkan oleh sutradara dan penulis dalam sebuah adegan ciuman di sekolah bagi seorang murid? Kemudian anting-anting di sebagian murid laki-laki di sekolah. Ini nilai apa lagi yang sedang ingin ditawarkan oleh sebuah sinetron? Trend? Realitas anak-anak brutal? Jika itu ditayangkan secara terus menerus, secara perlahan akan menjadi sebuah kebenaran. Lantas, dimana peran seorang guru, jika di sekolah saja murid-muridnya sudah lebih banyaklah yang mojok dari pada yang belajar. Sinetron Cintailah Aku Gadis, terlepas dengan lebih dan kurangnya, namun sinetron ini memiliki pesan moral yang kuat terhadap upaya penghargaan betapa tingginya harga diri manusia. Pertentangan antara materi dan idealisme, bagaimana figur seorang guru yang tetap memertahankan idealismenya. Tuntutan hidup dan mati sebuah keluarga. Belum lagi sikap pemilik modal (yayasan) yang ”menjajah” sistem di sekolah dengan mengangkat kepala sekolah bermental penjilat. Baik konflik utama dan konflik pendamping dalam sinetron ini dapat berjalan secara sinergis, dengan ending cerita sebuah proses penyadaran terhadap nilai-nilai, tanpa adanya kehadiran unsur mistik. Tetapi dilain pihak, realitas sinetron di era reformasi ini, kebebasan berekspresi yang sudah sedemikian luas, ternyata bukan menciptakan suasana yang lebih kritis, dinamis dan konstrutif, tetapi malah sebaliknya, hedonis, konsumstif dan distruktif. Bukan dalam konteks politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Tetapi hampir semua dimensi sudah teracuni oleh ”kebebasan” yang tidak dilandasi dengan moralitas, termasuk didalamnya wajah sinetron kita. Mengutip Budayawan Emha Ainun Nadjib, kebebasan tanpa batas ini sebagai akibat dari tidak pernah terlatihnya bangsa ini mengurus cahaya. Karena terlalu lama bangsa ini hidup dalam kegelapan, maka ketika cahaya datang, kemudian hampir seluruh bangsa ini nabrak-nabrak dan kebingungan tentang bagaimana mengurus cahaya, tanpa mengetahui antara benar dan salah, tidak melihat mana kawan mana lawan, tidak bisa membedakan aantara demokrasi dan anaris, sampai akhirnya bangsa ini juga makin kesulitan membedakan mana emas-mana loyang, mana permata dan mana tinja. Tanpa bermaksud ingin mengembalikan sistem zaman Soeharto, tetapi tidak salah jika kemudian, dalam konteks per-sinetron-an nasional, para sineas harus kembali banyak belajar ke belakang (pada masa lalu), terutama terhadap gagasan, ide atau apapun ”kebaikan” yang diolah melalui sinetron di Indonesia. Kenapa ini menjadi penting? Sebab sebuah PH, Penulis dan Sutradara dalam pengarapan sinetron yang disiarkan televisi, mempunyai andil besar dalam membentuk watak (karakteristik) generasi bangsa ini, apakah akan menjadi generasi bangsa yang ideal, atau sebaliknya; menjadi generasi bangsat yang amoral. Sudah bangsat, amoral lagi. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan, boleh saja melaukan kompromi dengan pasar demi sebuah keuntungan secara materi. Namun obsesi meraup untung besar tanpa mempertimbangkan akibat buruk dari sebuah produk, adalah bentuk ”penindasan” kebudayaan terhadap bangsa yang nyata (kalau tidak ingin dikatakan sebagai penghianat bangsa secara kebudayaan). Agak ekstrim memang. Tetapi inilah sebuah tantangan bagi setiap sineas, yang mungkin saat ini tengah larut dalam sebuah ”pesta rupiah”, sehingga lupa terhadap nilai-nilai kedirian seorang seniman, yang seharusnya tetap dipertahankan, walau harus berhadapan dengan kematian sekalipun. Maksud saya, masih banyak karya yang tetap mempertahankan idealisme dan nilai-nilai moral yang kemudian tetap menghasilkan materi yang tidak sedikit. Sebut saja Kiamat Sudah Dekat (KSD) garapan Deddy Mizwar. Ini hanya salah satunya. Hampir semua pemirsa memuji terhadap KSD. Sampai akhirnya Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) juga memberikan penghargaan terhadap Deddy Mizwar. Masalahnya bukan ingin dihargai oleh pejabat sekelas presiden. Tetapi dengan menggarap sinetron yang bermoral dan bernilai sekaligus juga menghargai diri sendiri sebagai manusia yang memiliki hati nurani. Dengan kata lain, mengesampingkan pesan moral dan nilai-nilai dalam sebuah larya seni (baca sinetron) secara tidak langsung juga telah menginjak-injak harga diri sendiri, membunuh kata hati nurani. Akibat lain yang akan berdasa warsa adalah, karya tersebut telah menebar ”racun” bagi calon generasi bangsa ini, yang lambat laun akan ”mati muda” secara perlahan karena dihujani ”racun kebudayaan” yang makin menggila. Menghadapi realitas sinetron seperti sekarang, rasanya tidak salah jika para produser, penulis dan sutradara untuk kemudian menyatukan hati dengan secara bersama-sama membangun tanggungjawab bersama terhadap nasib generasi bangsa ini. Sudah tentu tidak perlu menjadi anggota DPR atau Presiden, namun tetap pada posisi seperti sekarang, menjadi pelaku seni. Hanya saja yang perlu dilakukan adalah melakukan ”perlawanan” terhadap kekuatan modal (kapitalisme) oleh oknum bangsa lain yang ”numpang makan” dan ”numpang memberak-i” Indonesia. Sehingga, wajah sinetron kita hanya sekedar menjadi tontonan dan membantu proses pembuatan tinja, tanpa menitipkan sebuah pesan nilai-nilai apapun terhadap negeri ini. Perlawanan yang saya maksud adalah, bersatulah sineas Indonesia, (Sutradara, Penulis dan Produser) untuk kemudian bersepakat ”berkata tidak” terhadap ide cerita yang tidak memiliki muatan ideologi terhadap bangsa ini, walau dihargai 1 miliar sekalipun satu episode. Sebab, saya yakin masih banyak PH dan klien yang bersedia ”mendanai” produksi sinetron yang lebih punya nilai, dari pada harus menjadi ”pengemis” di negeri sendiri. Proklamator kita, Ir. Soekarno pernah mengatakan; tunduk tertindas atau bangkit melawan? Kalimat ini sudah tentu, sebagai upaya dalam mengembalikan jati diri bangsa, termasuk dalam konteks sinetron Indonesia. Masalahnya kemudian, mau atau tidak kita memulai? Jawabannya ada di hati kita masing-masing. (*) Tanjung Enim, 2008
Langganan:
Postingan (Atom)