Cerpen Imron Supriyadi
Siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum’at. Saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan. Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk. Ia masuk dari segala penjuru. Masuk lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lobang pembuangan air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga. Masuk ke dalam syaraf mata. Masuk ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah.
“Hai, Blis!”, Panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu.
Iblis merasa terusik.
“Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!”, Jawab Iblis Ketus.
“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci. Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!”, Kiai mencoba mengusir.
“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru”.
Kiai tercenung.
“Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu”.
“Dengan apa?”
“Dengan sajadah!”.
“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”
“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!”
“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru, Blis”.
“Bukan itu saja Kiai”.
“Lalu?”
“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar”.
“Untuk apa?”
“Supaya, Saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang Kau pimpin, Kiai!”
“Selain itu, Saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar, maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam ke-renganggan itu. Di situ Saya bisa ikut membentangkan sajadah.
Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus.
Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara, satu lagi, sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar, seenaknya saja membentangkan sajadahnya. Tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang.
Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil, membentangkan saja sajadahnya. Sehingga, sebagian sajadah yang lebar, tertutupi sepertiganya. Keduanya masih melakukan sholat sunnah.
“Nah, lihat itu Kiai!”, Iblis memulai dialog lagi.
“Yang mana?”
“Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka”.
Iblis lenyap. Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf.
Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan membuktikan apa yang dikatakan Iblis.
Pemilik sajadah lebar, rukuk. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya, diatas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil, kembali berada di bawahnya.
Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa. Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat. Bahkan, pada saat sholat wajib juga, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi diatas, ketimbang menerima dibawah. Diatas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka, ia akan meletakkan sajadahnya diatas sajadah yang kecil. Sajadah sudah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas. Pemilik sajadah lebar, diindentikan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat, harus lebih diatas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah, yang setiap saat akan selalu menjadi sub-ordinat dari orang yang berkuasa. Diatas sajadah, Iblis telah mengajari orang selalu menguasai orang lain.
“Astaghfirullahal ‘adziiiim”, Ujar Kiai pelan.
**
Ba’da Subuh. Orang-orang sudah beranjak dari Masjid. Mereka menuju ke rumahnya masing-masing. Dan beberapa menit, atau beberapa jam kemudian, masing-masing orang sudah disibukkan oleh pekerjaan keseharian. Apalagi kalau bukan untuk mempertahankan hidup. Masjid menjadi lengang dari jamaah. Sementara, Iblis tetap duduk bersimpuh di depan mihrab. Ia begitu khusyuk. Seolah, Iblis sedang bertaqorrub kepada Tuhan. Dalam keheningan, isak tangis Iblis terdengar samar. Sesekali, Iblis menyeka air matanya yang ber-urai.
Tak lama kemudian, Kiai datang. Iblis tak menghiraukan kedatangan Kiai. Sesaat, ia memperhatikan Iblis itu. Tetapi kemudian, Kiai mengalihkan pandangannya ke hadapan sajadah, dan melakukan sholat sunnah.
Usai sholat, Kiai kembali memperhatikan gerak-gerik Iblis, yang masih tetap khusyuk. Dan tidak berapa lama, Iblis mengusap mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia baru selesai melakukan ritual ke-agamaan. Matanya masih sembab. Karena sejak pagi tadi, Iblis itu menangis.
“Blis, Aku ini heran”, Kata Kiai setelah duduk di sebelah Iblis.
“Kenapa, Kiai?”
“Kau ini aneh. Kau kan mahluk yang diusir dari Sorga oleh Tuhan. Tetapi, hari ini, Kau menangis sejadi-jadinya di hadapan Tuhan”.
Mata Iblis berbinar. Ia merasa berhasil menarik perhatian Kiai.
“Saya hanya berusaha, Kiai. Siapa tahu, dengan tangisan ini, saya dan kawan-kawan bisa mendapat pengampunan”.
“Tetapi, bagaimana bisa Kau menangis, sementara, selama ini Kau sudah menanam kebencian terhadap Tuhan?”
“Ah, Kiai bisa saja. Tangisan ini kan konsekuensi dari pangakuan dosa saya”.
Kiai tercenung sesaat.
“Tapi, Blis. Selama ini, saya tidak pernah bisa menangis dalam beribadah?”
“Ya, mungkin, anda belum khsusyuk”.
Kiai tersentak.
Selama ini, orang desa selalu meng-elu-elukan beribadahnya Kiai. Tetapi, hari itu, Kiai dikatakan oleh Iblis, Kiai tidak khusyuk beribadah. Ini pukulan berat bagi Kiai. Tetapi, sekalipun dadanya sesak, Kiai tetap mencoba bijak.
“Kalau boleh tahu, kenapa kau bisa menangis?”, Kata Kiai mengatur emosi.
“Ya, karena saya pernah melakukan dosa”, Jawab Iblis enteng.
“Dosa yang bagaimana?”
“Dosa apa saja. Bisa membunuh, minum-minuman keras, atau juga berzina”.
Kiai kembali tersentak.
Sebab, seumur hidup-nya, Kiai ini belum pernah melakukan dosa yang disebut Iblis.
“Apakah, kalau saya belum pernah melakukan dosa yang kau sebut tadi, kemudian, saya tidak bisa menangis setiap sehabis sholat?”
“Wah, ya jelas. Kalau sudah melakukan dosa, kan ada penyesalan. Nah, baru kemudian, Kiai bisa menangis pada saat beribadah atau setiap sehabis sholat”, Kata Iblis mulai membuat jebakan.
“Tapi, saya tidak berani berzina. Itu larangan Tuhan. Itu dosa besar?”
“Membunuh!”, Iblis memberi alternatif.
“Wah, apalagi membunuh! Saya ini penakut!”
“Ya, kalau begitu, minum-minuman keras saja. Ini yang paling ringan”.
Kiai tercenung lagi.
“Bagaimana? kalau Kiai setuju, nanti malam, saya akan jemput Kiai. Saya akan tunjukkan bagaimana, Kiai harus mulai melakukan dosa, agar nanti, kalau Kiai sholat, Kiai bisa menangis seperti saya”.
**
Waktu Isyak berlalu. Iblis dan Kiai keluar dari Masjid. Orang-orang sekitar hanya menatap heran, ketika ada warga baru yang sudah demikian akrab dengan Kiai mereka. Tapi, tak seorang pun yang berani melarang. Mereka tidak bisa berbuat banyak. Sementara, Iblis sudah membawa Kiai menembus malam.
Pada sebuah Kedai, agak jauh dari perdusunan, tempat Kiai tinggal. Banyak Laki-laki dan perempuan berkumpul di situ. Kata-kata kotor, dan suara manja perempuan kampung yang siap melayani para lelaki, makin jelas terdengar. Bermacam botol minuman keras tersedia di Kedai itu.
“Bagaimana Kiai?”
“Aduh, gila Kau, Blis!”
“Mau minum apa?”, Tanya Iblis ketika keduanya sudah duduk.
“E…e….”
“Tidak perlu gugup Kiai. Nanti juga terbiasa!”
Dua buah botol dipesan. Iblis menatap Kiai. Kiai tampak ragu. Sementara, Iblis sudah menuangkan minuman ke dalam gelas, yang ada di hadapan Kiai.
“Ayolah, Kiai. Setelah minum ini, saya yakin, Kiai bisa lebih khusyuk, dan bisa menangis, ketika nanti Kiai sholat”.
Sedikit demi sedikit, Kiai terkena rayuan Iblis. Tak berapa lama, Kiai sudah mabuk berat. Iblis beri kode pada salah satu perempuan. Salah satu perempuan, kemudian membawa Kiai ke satu rumah, tepat di belakang Kedai.
Langit gelap. Mata Kiai juga menjadi gelap. Sementara, desah napas Kiai dan perempuan itu menjadi satu gerakan erotis yang menegangkan. Keringat bercucuran. Detak jantung keduanya berdegup kencang. Petikan ayat, hadits dan mutiara hikmah, tak lagi mampu membentengi hasrat Kiai. Yang ada hanya napas yang memburu.
Sepertiga malam terakhir, Kiai terbangun. Di sebelahnya, ada perempuan tergolek tanpa busana. Kiai terkejut. Ia jadi blingsatan. Ia coba ucapkan kata Istighfar, tetapi, lidahnya kelu. Beberapa kali, Kiai mencoba sebut nama Tuhan. Tapi ia gagal. Ada ketakutan yang tiba-tiba menyusup. Kiai tak sempat lagi, mengingat rentetan kejadian, yang telah membawanya ke tempat itu.
Matanya menjadi gelap. Hatinya juga tersumbat. Sebuah pisau pemotong buah di atas meja ia hunjamkan ke perut perempuan itu. Seketika, jeritan dan lengkingan kesakitan perempuan itu membangunkan warga sekitar. Warga sudah berbondong-bondong. Menggedor dan berkerumun mengitari tempat Kiai dan perempuan itu tidur.
Pagi tiba. Kiai sudah berada di tiang gantungan. Sementara, dari kejauhan, Iblis tertawa lebar.
“Kurang ajar kau Iblis. Kau telah menipuku!” Teriak Kiai protes.
“Kiai, tak ada gunanya kau memprotes. Kau sudah masuk dalam jeratanku. Kau harus menjalani hukuman berat”.
“Coba Kau selamatkan aku dari tiang gantungan ini, Blis!”
Iblis tertawa. Kali ini lebih lebar.
“Kalau Kiai ingin selamat dari tiang gantungan itu, bersaksilah atas namaku. Lalu tundukkan muka pada ku. Itu sebagai pengakuan Kiai, bahwa Kiai telah mau dan rela menjadi hambaku!”
“Aku adalah hamba Tuhan! Aku bukan hambamu!”
“Tapi pada posisi seperti sekarang, yang dibutuhkan Kiai bukan Tuhan, tetapi aku, yang telah membawa Kiai ke tiang gantungan. Maka segeralah tundukkan muka dan bersaksilah atas namaku!”
Kiai terdiam. Kepalanya tertunduk.
Tetapi, iblis tetap Iblis. Ia tak pernah menyelamatkan Kiai dari tiang gantungan. Iblis lenyap. Kembali pada alam-nya. Ia berlari membawa kemenangan. Dan besok atau lusa, Iblis akan kembali membentangkan sajadah**
lpm ukhuwah-iain rf-Palembang,
30 November 2001
Senin, 11 Januari 2010
T U M O R
Cerpen Imron Supriyadi
Tumor ganas yang kini menjalar di kepala saya, memaksa saya harus tetap terbaring. Lima tahun kuarang satu minggu, penyakit yang konon telah banyak menelan korban itu terasa maikin menyayat sel – sel otak di kepala saya. Ia seakan mengiris – ngiris kepala saya sedikit demi sedikit. Ada berjuta mahluk mengerokan yang kini menancapkan taring – taringnya, unutk kemudian menguras daya tahan tubuh saya. Tak jarang saya terpaksa menjerit menahan sakit, sembari memegangi kepal saya yang kian hari makin membesar. Saat saya merintih dan mengaduh, mahluk – mahluk kecil yang tak pernah saya kenal sebelumnya itu justru makin mengaduk – ngaduk luka menganga yang ada di kepala saya. Ketiak saya terlelap, sebentar kemudian, jutaan mahluk aneh itu membuat bara api dikepala saya, lantas bersorak – sorak, membuat pesta besar, menunggu jeritan saya yang sekian kalinya. Dengan beragam cara mereka terus mengusik ketenangan saya. Seperti ada segumpal dendam yang tersirat dari sorot jutaan mahluk itu. Setiap kali mata say terpenjam, setiap kali itu pula mereka menancapkan ketajaman kuku, yang sengaja dipersiapkan untuk mengoyak jaringan otak di kepala saya.
Sesekali, sipembawa virus tumor di kepala saya itu menendang, menggigit, mencabik – cabik dan melakukan apa saja yang dapat menambah rasa sakit yang tak kunjung reda. Hampir tak diberinya kesempatan saya untuk tenang, atau beristirahat barang sebntar. Ketika kebencian saya samapi diubun – ubun melihat tingkah dan ulah mereka, justru membangkitkan semangat mereka untuk terus - menerus memacu kerjanya dalam penyiksaan di setiap urat di kepala. Tak jenuh - jenuhnya mereka senantiasa melobangi, memperlebar areal penyiksaan yang sebelumnya sudah terluka. Tak ada daya lagi yang tersisa di tubuh saya ketika mereka mengisap dan meneguk darah saya, lalu mengubahnya menjadi nanah yang menjijikkan.
Dari gumpalan nanah yang sedikit demi sedikit berrubah menjadi bulatan - bulatan kecil itu, secara perlahan - lahan mengeluarkan ratusan, bahkan jutaan akar yang kemudian menyebar disetiap sudut kepala saya. Akibatnya, besok, lusa dan seterusnya kepala saya mengalami pembengkakan. Kali itu saya benar - benar merasakan tengah menjadi orang yang besar kepala, sehingga tak kuasa lagi saya bangkit dari pembaringan, atau tak mampu turun saat saya sudah diatas kursi dan menyandarkan kepala di dinding kamar.
Malam terpejam. Rembulanpun telah enggan tersenyum menerangi atap dan sekitar rumah saya. Ia seperti tengah membuat kegelapan sendiri di kawasan kekuasaannya. Tapi di ujung gang seperti sinar dewi malam itu masih rela menerangi beberapa bocah dusun yang asyik bermain go back to door. Ternyata hanya kepada saya sinar itu enggan bersahabat. Sesaat, saya mencoba meraihnya kembali, tapi cepat - cepat tumor ganas itu mencegahnya, agar saya terbiar dalam kegelapan panjang.
"Tumor!" Saya mulai protes." Kenapa kau terus - menerus menindasku, menyiksaku dengan taring - taringmu!? Apa salahku sehingga kaubegitu kejam terhadapku!?
" Apa yang kau rasakan saat ini, belum seberapa jika dibandingkan penderitaan rakyat kecil di pinggir perdusunan yang harus menanggung beban hidup akibat kekotoran pikiranmu, selama kau menjadi lurah di sini!" Satu per satu gumpalan tumor itu menjelaskan alasan mereka, mengapa mereka tetap suntuk bersemayam di kepala saya.
" Kalau memang aku kotor! Aku tidak amanah dalam mengemban kepercayaan rakyat, lantas apa kesalahanku!?.
" Dengar mantan lurah yang kini terbaring! Melihat kesalahan sendiri itu memang jauh lebih sulit dari pada melihat kesalahan orang lain. Yang terpikir dalam otakmu selama ini, bahwa kaulah yang selalu benar, selalu pintar, selalu berkuasa, sehingga dengan kekotoran pikiranmu itu, rakyat kecil tidak selalu salah, rakyat kecil yang buta huruf , rakyat kecil yang hanya tahu keperluan makan hari ini, rakyat kecil yang terlalu banyak menelan kepahitan hidup, rakyat kecil yang selalu di hinggapi kekhawatiran dan ketakutan, hanya kau jadikan simbol pemerataan. Hanya kau jadikan tumbal kepintaranmu, lantas kau sulap mereka menjadi bih di lautan, hingga mereka makin kesulitan untuk menentukan masa depan, kebingungan untuk bersikap, ketakutan untuk bersuara, lalu hanya menjerit dalam kepasrahan, menunggu datangnya pagi tiba".
Begitu banyak tumor itu mengingatkan kelalaian saya selama ini.
Meski rasa nyeri di kepala saya belum reda, saya mencoba untuk mengingat masa lalu yang tiba - tiba tenggelam begitu saja. Kruek! Kruek! Gerombolan tumor itu beraksi lagi. Saya menggeliat kesakitan. Tapi itu tak menghentikan aktivitas mereka.
" Jangan harap aku menerima kebisuan dan lamunanmu setelah kau mendengar penjelasan tentang kekotran pikiranmu". Salah satu dari tumor itukembali bersuara.
" Baik! Aku tidak akan hanya membisu dan melamun." Saya menurut keinginan mereka. " Tapi maaf, aku masih bingung untuk mengembalikan akal sehatku, sehingga aku masih sulit memahami tentang ucapanmu itu". Lantas apa maumu?" Tumor itu seakan memberi peluang saya untuk mengajukan permohonan. Saya memang harus menipu mahluk itu agar gerombolan tumor itu segera enyah dari kepala saya, bisik hati saya.
Begini, aku minta, untuk beberapa saat tolong kau dan teman - temanmu itu pergi dari saluran darah di kepalaku. Dengan begitu, mungkin akan memudahkanku untuk emikirkan dan menghayati apa yang telah kau katakan. Sebab, kalau kau dan teman - temanmu masih bersemayam diotakku, aku akan menemui kesulitan untuk menyadari kekotoran pikiranku itu, kata saya menyusun permainan dengan para tumor itu, dengan harapan, melalui akal bulus itu, saya akan segera terbebas adri cengkeraman keganasan tumor.
" Jangan kau anggap aku dan teman - teman itu mahluk yang bodoh. Meskipun anggotaku hanya terdiri dari nyawa yang kecil, tapi jumlah kami melebihi jumlah manusia di alam ini. Jangan kau anggap bahwa mahluk kecil itu selamanya akan kecil. Kau harus ingat, munculnya kebesaran itu juga berangkat dari adanya yang kecil. Dulu kepalamu kecil, tapi karena jumlah kami banyak, akhirnya kami berhasil memperbesar dan membuat bengkak seluruh bagian kepalamu. Oleh sebab itu jangan harap kami yang jutaan ini akan termakan tipu dayamu. Sufah terlampau banyak aku dan teman - teman mengetahui sikap manusia sepertimu ketika tertimpa penderitaan seperti sekarang. Hanya sesaat mereka teringat dengan kelalaiannya. Setelah mahluk seperti kami meninggalkan tubuh manusia, maka saat itu pula kau dan sebangsanya itu kembali pada kealpaan yang sering mengorbankan orang banyak demi kemakmuran sepihak".
Ternyata, saya harus mengaku kalah malam itu. Meski hanya mahluk kecil, tapi memang tidak salah jika mulai hari ini dan seterusnya saya mau dan menerima ucapan dan kritik mereka terhadap ketamakan, kerakusan dan perbuatan buruk yang pernah saya lakukan. Tapi hingga saya terbaring di sini, saya masih belum ingat keburukan - keburukan apa yang telah banyak makan korban itu.
" Tumor!" Saya kembali membuka pembicaraan." Setelah aku mendengar ucapanmu , kini aku sadar bahwa setiap kita, mahluk yang melata di alam ini punya hak yang sama terhadap kenikmatanNya. Tapi ada satu hal, kau harus buktikan keburukan yang bagaimana sehingga dengan keras kau menuduhku telah banyak mengorbankan rakyat kecil yang semestinya kuayomi itu?!"
" Sulit aku sebutkan satu per satu,'' ucap salah satu wakil tumor sembari terus mengerogoti syaraf di kepala saya. " Mungkin dalam satu minggu, kelalaian manusia itu belum habis aku ceritakan. Apalagi masa pengabdianmu sampai berdarsawarsa, sehingga masyarakat yang kau pimpin dulu kini sudah beralih generasi baru yang belum banyak tahu tentang seluk beluk desa yang pernah kau pimpin. Kalupun mereka tahu , paling - paling hanya dapat menggangguk, menggeleng, lantas pergi membawa tanda tanya besar yang masih menunggu jawaban. Mereka juga tetap akan diselimuti dengan ketakutan seperti ketakuanmu ketika kau berselingkuh dengan Winarsih, sekretarismu, yang kemudian kau harus membayar seseorang untuk segera mengawinnya dan meninggalkan desa yang keu pimpin, demi menjaga reputasimu sebagai lurah".
Dua kosong untuk kemenangan tumor dan gerombolannya. Hati saya semakin terisak dalam kepiluan saat para tumor itu membongkar aib yang pernah saya lakukan dulu. Tuhan, seberat inikah siksa yang mesti saya terima? Hingga kau mesti meneurunkan penyakit tumor di otakku? Masih ada harapankah saya untuk hidup, lalu kembali pada jalan-Mu? Perbuatan baik apa dan bagaimana yang dapat menebus dosa - dosa yang telah lalu?.
Hanya angin malam yang kemudian mengabarkan penderitaan saya itu kepada seluruh warga. Sementara tumor ganas yang berselubung di kepala saya makin menguras daya tahan hidup saya. Tak ada lagi protes yang dapat saya lakukan, baik, terhadap tumor atau pada siapapun yang telah menjerumuskan saya, hingga saya harsu menerima penyakit menakutkan itu. Terbersit sebuah penyesalan yang teramat sangat. Tapi semuanya sudah terlambat.
Sampai sudah nafas saya di tenggorokan. Alunan surat Yasin pun tak lagi saya dengar. Semuanya jadi gelap. Sangat gelap, hanya tanah dan kain kafan yang menyertai saya dalam kegelapan itu. Na'udzubillahi min Dzalik!.
Sriwijya Post, Minggu 16 Agustus 1998.
Tumor ganas yang kini menjalar di kepala saya, memaksa saya harus tetap terbaring. Lima tahun kuarang satu minggu, penyakit yang konon telah banyak menelan korban itu terasa maikin menyayat sel – sel otak di kepala saya. Ia seakan mengiris – ngiris kepala saya sedikit demi sedikit. Ada berjuta mahluk mengerokan yang kini menancapkan taring – taringnya, unutk kemudian menguras daya tahan tubuh saya. Tak jarang saya terpaksa menjerit menahan sakit, sembari memegangi kepal saya yang kian hari makin membesar. Saat saya merintih dan mengaduh, mahluk – mahluk kecil yang tak pernah saya kenal sebelumnya itu justru makin mengaduk – ngaduk luka menganga yang ada di kepala saya. Ketiak saya terlelap, sebentar kemudian, jutaan mahluk aneh itu membuat bara api dikepala saya, lantas bersorak – sorak, membuat pesta besar, menunggu jeritan saya yang sekian kalinya. Dengan beragam cara mereka terus mengusik ketenangan saya. Seperti ada segumpal dendam yang tersirat dari sorot jutaan mahluk itu. Setiap kali mata say terpenjam, setiap kali itu pula mereka menancapkan ketajaman kuku, yang sengaja dipersiapkan untuk mengoyak jaringan otak di kepala saya.
Sesekali, sipembawa virus tumor di kepala saya itu menendang, menggigit, mencabik – cabik dan melakukan apa saja yang dapat menambah rasa sakit yang tak kunjung reda. Hampir tak diberinya kesempatan saya untuk tenang, atau beristirahat barang sebntar. Ketika kebencian saya samapi diubun – ubun melihat tingkah dan ulah mereka, justru membangkitkan semangat mereka untuk terus - menerus memacu kerjanya dalam penyiksaan di setiap urat di kepala. Tak jenuh - jenuhnya mereka senantiasa melobangi, memperlebar areal penyiksaan yang sebelumnya sudah terluka. Tak ada daya lagi yang tersisa di tubuh saya ketika mereka mengisap dan meneguk darah saya, lalu mengubahnya menjadi nanah yang menjijikkan.
Dari gumpalan nanah yang sedikit demi sedikit berrubah menjadi bulatan - bulatan kecil itu, secara perlahan - lahan mengeluarkan ratusan, bahkan jutaan akar yang kemudian menyebar disetiap sudut kepala saya. Akibatnya, besok, lusa dan seterusnya kepala saya mengalami pembengkakan. Kali itu saya benar - benar merasakan tengah menjadi orang yang besar kepala, sehingga tak kuasa lagi saya bangkit dari pembaringan, atau tak mampu turun saat saya sudah diatas kursi dan menyandarkan kepala di dinding kamar.
Malam terpejam. Rembulanpun telah enggan tersenyum menerangi atap dan sekitar rumah saya. Ia seperti tengah membuat kegelapan sendiri di kawasan kekuasaannya. Tapi di ujung gang seperti sinar dewi malam itu masih rela menerangi beberapa bocah dusun yang asyik bermain go back to door. Ternyata hanya kepada saya sinar itu enggan bersahabat. Sesaat, saya mencoba meraihnya kembali, tapi cepat - cepat tumor ganas itu mencegahnya, agar saya terbiar dalam kegelapan panjang.
"Tumor!" Saya mulai protes." Kenapa kau terus - menerus menindasku, menyiksaku dengan taring - taringmu!? Apa salahku sehingga kaubegitu kejam terhadapku!?
" Apa yang kau rasakan saat ini, belum seberapa jika dibandingkan penderitaan rakyat kecil di pinggir perdusunan yang harus menanggung beban hidup akibat kekotoran pikiranmu, selama kau menjadi lurah di sini!" Satu per satu gumpalan tumor itu menjelaskan alasan mereka, mengapa mereka tetap suntuk bersemayam di kepala saya.
" Kalau memang aku kotor! Aku tidak amanah dalam mengemban kepercayaan rakyat, lantas apa kesalahanku!?.
" Dengar mantan lurah yang kini terbaring! Melihat kesalahan sendiri itu memang jauh lebih sulit dari pada melihat kesalahan orang lain. Yang terpikir dalam otakmu selama ini, bahwa kaulah yang selalu benar, selalu pintar, selalu berkuasa, sehingga dengan kekotoran pikiranmu itu, rakyat kecil tidak selalu salah, rakyat kecil yang buta huruf , rakyat kecil yang hanya tahu keperluan makan hari ini, rakyat kecil yang terlalu banyak menelan kepahitan hidup, rakyat kecil yang selalu di hinggapi kekhawatiran dan ketakutan, hanya kau jadikan simbol pemerataan. Hanya kau jadikan tumbal kepintaranmu, lantas kau sulap mereka menjadi bih di lautan, hingga mereka makin kesulitan untuk menentukan masa depan, kebingungan untuk bersikap, ketakutan untuk bersuara, lalu hanya menjerit dalam kepasrahan, menunggu datangnya pagi tiba".
Begitu banyak tumor itu mengingatkan kelalaian saya selama ini.
Meski rasa nyeri di kepala saya belum reda, saya mencoba untuk mengingat masa lalu yang tiba - tiba tenggelam begitu saja. Kruek! Kruek! Gerombolan tumor itu beraksi lagi. Saya menggeliat kesakitan. Tapi itu tak menghentikan aktivitas mereka.
" Jangan harap aku menerima kebisuan dan lamunanmu setelah kau mendengar penjelasan tentang kekotran pikiranmu". Salah satu dari tumor itukembali bersuara.
" Baik! Aku tidak akan hanya membisu dan melamun." Saya menurut keinginan mereka. " Tapi maaf, aku masih bingung untuk mengembalikan akal sehatku, sehingga aku masih sulit memahami tentang ucapanmu itu". Lantas apa maumu?" Tumor itu seakan memberi peluang saya untuk mengajukan permohonan. Saya memang harus menipu mahluk itu agar gerombolan tumor itu segera enyah dari kepala saya, bisik hati saya.
Begini, aku minta, untuk beberapa saat tolong kau dan teman - temanmu itu pergi dari saluran darah di kepalaku. Dengan begitu, mungkin akan memudahkanku untuk emikirkan dan menghayati apa yang telah kau katakan. Sebab, kalau kau dan teman - temanmu masih bersemayam diotakku, aku akan menemui kesulitan untuk menyadari kekotoran pikiranku itu, kata saya menyusun permainan dengan para tumor itu, dengan harapan, melalui akal bulus itu, saya akan segera terbebas adri cengkeraman keganasan tumor.
" Jangan kau anggap aku dan teman - teman itu mahluk yang bodoh. Meskipun anggotaku hanya terdiri dari nyawa yang kecil, tapi jumlah kami melebihi jumlah manusia di alam ini. Jangan kau anggap bahwa mahluk kecil itu selamanya akan kecil. Kau harus ingat, munculnya kebesaran itu juga berangkat dari adanya yang kecil. Dulu kepalamu kecil, tapi karena jumlah kami banyak, akhirnya kami berhasil memperbesar dan membuat bengkak seluruh bagian kepalamu. Oleh sebab itu jangan harap kami yang jutaan ini akan termakan tipu dayamu. Sufah terlampau banyak aku dan teman - teman mengetahui sikap manusia sepertimu ketika tertimpa penderitaan seperti sekarang. Hanya sesaat mereka teringat dengan kelalaiannya. Setelah mahluk seperti kami meninggalkan tubuh manusia, maka saat itu pula kau dan sebangsanya itu kembali pada kealpaan yang sering mengorbankan orang banyak demi kemakmuran sepihak".
Ternyata, saya harus mengaku kalah malam itu. Meski hanya mahluk kecil, tapi memang tidak salah jika mulai hari ini dan seterusnya saya mau dan menerima ucapan dan kritik mereka terhadap ketamakan, kerakusan dan perbuatan buruk yang pernah saya lakukan. Tapi hingga saya terbaring di sini, saya masih belum ingat keburukan - keburukan apa yang telah banyak makan korban itu.
" Tumor!" Saya kembali membuka pembicaraan." Setelah aku mendengar ucapanmu , kini aku sadar bahwa setiap kita, mahluk yang melata di alam ini punya hak yang sama terhadap kenikmatanNya. Tapi ada satu hal, kau harus buktikan keburukan yang bagaimana sehingga dengan keras kau menuduhku telah banyak mengorbankan rakyat kecil yang semestinya kuayomi itu?!"
" Sulit aku sebutkan satu per satu,'' ucap salah satu wakil tumor sembari terus mengerogoti syaraf di kepala saya. " Mungkin dalam satu minggu, kelalaian manusia itu belum habis aku ceritakan. Apalagi masa pengabdianmu sampai berdarsawarsa, sehingga masyarakat yang kau pimpin dulu kini sudah beralih generasi baru yang belum banyak tahu tentang seluk beluk desa yang pernah kau pimpin. Kalupun mereka tahu , paling - paling hanya dapat menggangguk, menggeleng, lantas pergi membawa tanda tanya besar yang masih menunggu jawaban. Mereka juga tetap akan diselimuti dengan ketakutan seperti ketakuanmu ketika kau berselingkuh dengan Winarsih, sekretarismu, yang kemudian kau harus membayar seseorang untuk segera mengawinnya dan meninggalkan desa yang keu pimpin, demi menjaga reputasimu sebagai lurah".
Dua kosong untuk kemenangan tumor dan gerombolannya. Hati saya semakin terisak dalam kepiluan saat para tumor itu membongkar aib yang pernah saya lakukan dulu. Tuhan, seberat inikah siksa yang mesti saya terima? Hingga kau mesti meneurunkan penyakit tumor di otakku? Masih ada harapankah saya untuk hidup, lalu kembali pada jalan-Mu? Perbuatan baik apa dan bagaimana yang dapat menebus dosa - dosa yang telah lalu?.
Hanya angin malam yang kemudian mengabarkan penderitaan saya itu kepada seluruh warga. Sementara tumor ganas yang berselubung di kepala saya makin menguras daya tahan hidup saya. Tak ada lagi protes yang dapat saya lakukan, baik, terhadap tumor atau pada siapapun yang telah menjerumuskan saya, hingga saya harsu menerima penyakit menakutkan itu. Terbersit sebuah penyesalan yang teramat sangat. Tapi semuanya sudah terlambat.
Sampai sudah nafas saya di tenggorokan. Alunan surat Yasin pun tak lagi saya dengar. Semuanya jadi gelap. Sangat gelap, hanya tanah dan kain kafan yang menyertai saya dalam kegelapan itu. Na'udzubillahi min Dzalik!.
Sriwijya Post, Minggu 16 Agustus 1998.
Surat Untuk Saeri
Cerpen Imron Supriyadi
Sore selepas ashar, saya masih duduk di bangku panjang, di depan rumah kontrakan saya, dimana dulu saya dan Saeri, teman akrab saya bidup bersama, senasib sepenanggungan. Namun karena roda waktu yang demikian cepat, tak terasa bahwa sebenarnya teman karib saya itu sudah empat tahun meninggalkan saya disini. Mungkin karena keterbatasan daya penglihatan saya, sehingga jarak pandang saya dan Saeri harus terhalang oleh puluhan perkampungan, ratusan tembok tinggi, jutaan rerumputan, atau mungkin terlalu panjangnya kelokan jalan antara lahat dan Kotabumi. Saya tidak tahu persisnya, tiba – tiba Saeri sudah menjadi seorang Bapak. Ya, bapak yang sudah seharusnya menanggung amanat untuk tidak merelakan anaknya terjerumus kedalam jurang kebiadaban zaman. Bagaimana lucu dan mungilnya buah hati Saeri , sampai saya kembali terduduk di atas bangku panjang ini. seperti ketika kami masih bersama, semuanya hanya terlintas dalam bayang. Tak dapat saya gambarkan , jika nanti saya juga mendapat titipan Tuhan yang sama; anak.
Sampai adzan Mahgrib menggema, kerinduan untuk kembali bercengkeramah dengan Saeri masih bergelayut menembusi setiap batin saya, yang kian hari kian ditempa beragam bentuk kenyataan. Mungkin saatnya saya harus mengobati rindu ini, meski hanya mengarungi lautan tinta, bersama desau angin yang mudah – mudahan dapat menyampaikan salam saya kepada Saeri dan keluarganya di Kotabumi.
Saeri , satu kata tertulis diatas kertas folio mengawali surat itu, Entah apa yang harus saya katakan kepada Tuhan, jika nanti tiba – tiba Tuhan bertanya ; bentuk musibah apalagi yang masih kuat kau terima? Ataukah daerah mana lagi yang kuberi pelajaran dengan kerusuhan.
Sungguh ! Ri, mungkin saya gelagapan untuk menjawab jika nanti pertanyaan itu sampai kepada saya. Sebab kenyataan pahit dari perjalanan hidup saya sudah cukup menyayat. Bahkan, jika berwujud pisau, sudah merobek jantung saya, mengobrak abrik usus dan lambung saya. Tapi, Ri, setiap malam saya terus bertafakur bertaqrrub kepada-Nya, meminta, agar kenyataan - kenyataan pahit segera usai. Dalam setiap kesempatan itu pula, saya selalu memohon, agar jangan dulu Tuhan mencabut nafas saya. Sebab, saya sadar, Ri, mungkin segala sesuatu yang telah atau akan menimpa saya, lebih merupakan teguran dari pada cobaan buat saya. Alangkah sombongnya saya, jika kenyataan pahit itu sebagai cobaan. Toh, sudah pasti belum mampu membayar hutang saya terhadap jasa – jasa Tuhan. Ini bukan pesimis, Ri! Tapi sebuah kesadaran dari batin saya yang paling dalam, bahwa saya telah banyak mempermainkan Tuhan. Kenapa tidak? Hari ini saya minta pengampunan dosa, tapi besok, lusa saya kembali membuat dosa baru, yang kadang - kadang nilai dosanya lebih besar ketimbang sebelumnya. Tapi, Ri, bagaimanpun jauh dan lamanya kita berpisah, saya masih ingat dengan keyakinan terhadap ampunan Tuhan , seperti yang pernah kamu katakan kepada saya empat tahun silam. Menjelang tidur, saya sering mengutip ceramah yang pernah kamu sampaikan di masjid Wathoiniyah Telatang Lahat : Hidup harus optimis ! jangan takut gagal, jika kegagalan itu justru akan lebih mendewasakan dalam menyikapi hidup.
Beragam kata yang pernah teruntai dalam kultum itu, sedikit banyak telah memberikan kekuatan tersendiri buat saya. Buat kejiwaan saya. Nurani saya. Atau bahkan sikap hidup saya, ketika saya harus kehilangan semuanya. Mungkin ratusan, bahkan ribuan turut menyaksikan peristiwa duka yang menimpa saya, ketika oktober lalu rumah kontrakan saya habis terbakar. Hanya bangku panjang yang tengah saya duduki ini saya sempat saya selamatkan. Paling tidak, bangku ini menjadi saksi bahwa saya dulu pernah mempunyai teman karib yang bernama Saeri, yang dengan papan – papan bekas telah sanggup menarik orang sekitar kontrakan untuk beberapa saat duduk, sembari menikmati gandum goreng dirumah kita. Kalaupun saya harus mengatakan rumah kontrakan ini juga rumah kita bersama, itu tidak lain karena saya masih ingat bahwa kamu paling suka mencari rumah kontrakan yang murah, sama seperti yang kutempati sekarang.
Ri, satu hal yang makin saya merasa terhempas, adalah munculnya berbagai kebohongan, maraknya ketidak jelasan hidup didalam negeri ini, atau hilanganya seuntai bunga yang pernah saya siram sepanjang hari, bahkan sepanjang tahun. Terbakarnya rumah kontrakan, ternyata melulu lantakkan semua kejujuran, semua cita dan cinta yang pernah bersemai. Semuanya hilang bersama pengapnya negeri, bersama banyaknya slogan dan verbalitas yang mungkin terus memanjang.
Belum sempat saya melanjutkan goresan itu, seseorang mengetuk pintu. Saya kenal betul dengan desah suara itu, Santi sepupu pemilik kontrakan.
“ Kak Im, minta uang listrik dan air”, Santi menagih pajak rutin PLN dan PAM. Sudah saya duga sebelumnya , Santi tidak ada kepentingan lain untuk datang kecuali sekedar menagih iuran bulanan itu.
“ Besok pagi ,Dik. Akan saya antar kerumah”, saya menjawab sekenanya, sembari berpikir akan kemana mencari uang pinjaman, sebatas melunasi kewajiban saya sebagai penghuni kontrakan. Sengaja pintu depan tidak saya tutup rapat, dengan harapan ada saja teman yang mampir seperti biasanya. Kesempatan itu, mudah - mudahan dapat sedikit memperoleh pinjaman atau bantuan sekedarnya.
Denting gitar para remaja tetangga rumah kontrakan tak begitu saya hiraukan. Toh mereka juga tidak tahu jika ketika itu saya memotar otak untuk mencari jalan keluar untuk memenuhi kewajiban pada tuan rumah. Prek! Masa bodoh ! paling – paling selepas isak akan ditegur Pak Er Te. Saya kembali ke kamar, menjumpai kembali pena dan kertas yang sempat saya tinggal.
….Ri, saya kembali menulis. Yang sampai sekarang saya tidak mengerti ada maksud apa Tuhan menyampaikan pesan pada saya harus dengan beragam kegetiran yang berlarut – larut. Saya tahu, Ri, kalau pengalaman batin seperti saya alami ini tak pernah didapat dibangku kuliah perguruan tinggi manapun. Bahkan jika saya diperbolehkan mengadakan tawar – menawar dengan Tuhan sebelum saya lahir, akan saya katakan ; Tuhan! Mungkin dulu lebih baik kau jadikan saya ini menjadi sebuah bukit atau tanah saja, sehingga saya tidak akan merasakan kepahitan hidup seperti manusia! Atau kau jadikan saya ini sebagai angin, agar saya banyak berjasa pada setiap bentuk kehidupan!.
Ini mustahil, Ri! Mustahil! Toh Tuhan sudah bicara lain terhadap perputaran sejarah hidup saya. Meskipun saya tahu persis, bahwa Tuhan Maha Demokratis. Maha Pemberi kebebasan terhadap setiap hamba. Tapi bagaimanapun, saya memang harus kembali menelanjangi diri, bahwa sebenarnya sayalah yang harus terus - menerus mengenali jalan saya, lantas berbenah diri, untk kemudian menerima ketentuan Tuhan, setelah sebelumnya saya harus menempuh jalan, sebagai tanda ikhtiar seorang mahluk lemah semacam saya.
Ri, kalaupun saya harus menuangkan segala bentuk kenyataan ini pada kamu, bukan berarti saya bermaksud mengeluh dengan kebijakan Tuhan terhadap nasib saya. Tapi melalui surat yang saya kirim ini, saya mencoba kembali untuk membaca diri saya , bercermin pada muara batin, tempat dimana semua keputusan akan saya lakukan, tanpa harus merugikan saya, juga para tetangga saya, selain itu, saya tidak bermaksud mengganggu aktivitas kamu, yang sudah pasti disibukkan oleh berbagai watak dan sifat para murid sekolah. Paling tidak, saya hanya ingin kamu mengerti, bahwa saya tidak ingin menambah berbagai kepedihan di tengah zaman yang sudah terkoyak oleh bermacam kerusuhan atau fluktuasi ekonomi yang belum jelas ujungnya. Sungguh! Saya hanya berkeinginan berbagi rasa dan mengabarkan, sebelum negeri ini pengap dan basah oleh ratusan tetesan darah di berbagai daerah, jauh sebelumnya, saya teman karib yang pernah hidup bersama kamu, sudah lebih dulu merasakan kepenatan hidup, memeras darah untuk sebuah kejujuran, meskipun banyak orang menilai bahwa kenyataan itu terlalu pribadi. Itu bukan urusan saya, Ri. Terserah bagaimana orang akan menilai. Namun yang pasti, saya telah merasakan runtutan kebohongan, ketidak mampuan manusia untuk lebih bersikap rendah hati ditengah keangkuhan diri. Dan korbannya adalah saya, atau bahkan orang orang lain yang sebelumnya telah sengaja dikorbankan untuk sebuah kebohongan.
Terakhir, saya sampaikan bahwa saya sama sekali bukan sedang menyalahkan satu pihak, atau mengkambing hitamkan seseorang yang sidah hitam, atau punya keinginan mencela. Toh saya dan kamu punya cermin kecil di bilik jantung. Yaitu nurani. Hanya itulah yang mudah – mudahan dapat mengantarkan saya atau siapapun orangnya pada kejernihan batin. Dari kejernihan inilah, Ri, saya kemudian menemukan kembali satu bunga yang bersemi dari sebuah muara. Muara itu adalah air jernih, yang mata airnya dari alam pedesaan, lalu mengalirkan sidar kejujuran, ketulusan dan ketidak engganan untuk selalu mengalir pada sebuah tangan tergadah. (*)
Telatang lahat,2 Januari 1999 Sumek, Jumat, 26 maret 1999
Sore selepas ashar, saya masih duduk di bangku panjang, di depan rumah kontrakan saya, dimana dulu saya dan Saeri, teman akrab saya bidup bersama, senasib sepenanggungan. Namun karena roda waktu yang demikian cepat, tak terasa bahwa sebenarnya teman karib saya itu sudah empat tahun meninggalkan saya disini. Mungkin karena keterbatasan daya penglihatan saya, sehingga jarak pandang saya dan Saeri harus terhalang oleh puluhan perkampungan, ratusan tembok tinggi, jutaan rerumputan, atau mungkin terlalu panjangnya kelokan jalan antara lahat dan Kotabumi. Saya tidak tahu persisnya, tiba – tiba Saeri sudah menjadi seorang Bapak. Ya, bapak yang sudah seharusnya menanggung amanat untuk tidak merelakan anaknya terjerumus kedalam jurang kebiadaban zaman. Bagaimana lucu dan mungilnya buah hati Saeri , sampai saya kembali terduduk di atas bangku panjang ini. seperti ketika kami masih bersama, semuanya hanya terlintas dalam bayang. Tak dapat saya gambarkan , jika nanti saya juga mendapat titipan Tuhan yang sama; anak.
Sampai adzan Mahgrib menggema, kerinduan untuk kembali bercengkeramah dengan Saeri masih bergelayut menembusi setiap batin saya, yang kian hari kian ditempa beragam bentuk kenyataan. Mungkin saatnya saya harus mengobati rindu ini, meski hanya mengarungi lautan tinta, bersama desau angin yang mudah – mudahan dapat menyampaikan salam saya kepada Saeri dan keluarganya di Kotabumi.
Saeri , satu kata tertulis diatas kertas folio mengawali surat itu, Entah apa yang harus saya katakan kepada Tuhan, jika nanti tiba – tiba Tuhan bertanya ; bentuk musibah apalagi yang masih kuat kau terima? Ataukah daerah mana lagi yang kuberi pelajaran dengan kerusuhan.
Sungguh ! Ri, mungkin saya gelagapan untuk menjawab jika nanti pertanyaan itu sampai kepada saya. Sebab kenyataan pahit dari perjalanan hidup saya sudah cukup menyayat. Bahkan, jika berwujud pisau, sudah merobek jantung saya, mengobrak abrik usus dan lambung saya. Tapi, Ri, setiap malam saya terus bertafakur bertaqrrub kepada-Nya, meminta, agar kenyataan - kenyataan pahit segera usai. Dalam setiap kesempatan itu pula, saya selalu memohon, agar jangan dulu Tuhan mencabut nafas saya. Sebab, saya sadar, Ri, mungkin segala sesuatu yang telah atau akan menimpa saya, lebih merupakan teguran dari pada cobaan buat saya. Alangkah sombongnya saya, jika kenyataan pahit itu sebagai cobaan. Toh, sudah pasti belum mampu membayar hutang saya terhadap jasa – jasa Tuhan. Ini bukan pesimis, Ri! Tapi sebuah kesadaran dari batin saya yang paling dalam, bahwa saya telah banyak mempermainkan Tuhan. Kenapa tidak? Hari ini saya minta pengampunan dosa, tapi besok, lusa saya kembali membuat dosa baru, yang kadang - kadang nilai dosanya lebih besar ketimbang sebelumnya. Tapi, Ri, bagaimanpun jauh dan lamanya kita berpisah, saya masih ingat dengan keyakinan terhadap ampunan Tuhan , seperti yang pernah kamu katakan kepada saya empat tahun silam. Menjelang tidur, saya sering mengutip ceramah yang pernah kamu sampaikan di masjid Wathoiniyah Telatang Lahat : Hidup harus optimis ! jangan takut gagal, jika kegagalan itu justru akan lebih mendewasakan dalam menyikapi hidup.
Beragam kata yang pernah teruntai dalam kultum itu, sedikit banyak telah memberikan kekuatan tersendiri buat saya. Buat kejiwaan saya. Nurani saya. Atau bahkan sikap hidup saya, ketika saya harus kehilangan semuanya. Mungkin ratusan, bahkan ribuan turut menyaksikan peristiwa duka yang menimpa saya, ketika oktober lalu rumah kontrakan saya habis terbakar. Hanya bangku panjang yang tengah saya duduki ini saya sempat saya selamatkan. Paling tidak, bangku ini menjadi saksi bahwa saya dulu pernah mempunyai teman karib yang bernama Saeri, yang dengan papan – papan bekas telah sanggup menarik orang sekitar kontrakan untuk beberapa saat duduk, sembari menikmati gandum goreng dirumah kita. Kalaupun saya harus mengatakan rumah kontrakan ini juga rumah kita bersama, itu tidak lain karena saya masih ingat bahwa kamu paling suka mencari rumah kontrakan yang murah, sama seperti yang kutempati sekarang.
Ri, satu hal yang makin saya merasa terhempas, adalah munculnya berbagai kebohongan, maraknya ketidak jelasan hidup didalam negeri ini, atau hilanganya seuntai bunga yang pernah saya siram sepanjang hari, bahkan sepanjang tahun. Terbakarnya rumah kontrakan, ternyata melulu lantakkan semua kejujuran, semua cita dan cinta yang pernah bersemai. Semuanya hilang bersama pengapnya negeri, bersama banyaknya slogan dan verbalitas yang mungkin terus memanjang.
Belum sempat saya melanjutkan goresan itu, seseorang mengetuk pintu. Saya kenal betul dengan desah suara itu, Santi sepupu pemilik kontrakan.
“ Kak Im, minta uang listrik dan air”, Santi menagih pajak rutin PLN dan PAM. Sudah saya duga sebelumnya , Santi tidak ada kepentingan lain untuk datang kecuali sekedar menagih iuran bulanan itu.
“ Besok pagi ,Dik. Akan saya antar kerumah”, saya menjawab sekenanya, sembari berpikir akan kemana mencari uang pinjaman, sebatas melunasi kewajiban saya sebagai penghuni kontrakan. Sengaja pintu depan tidak saya tutup rapat, dengan harapan ada saja teman yang mampir seperti biasanya. Kesempatan itu, mudah - mudahan dapat sedikit memperoleh pinjaman atau bantuan sekedarnya.
Denting gitar para remaja tetangga rumah kontrakan tak begitu saya hiraukan. Toh mereka juga tidak tahu jika ketika itu saya memotar otak untuk mencari jalan keluar untuk memenuhi kewajiban pada tuan rumah. Prek! Masa bodoh ! paling – paling selepas isak akan ditegur Pak Er Te. Saya kembali ke kamar, menjumpai kembali pena dan kertas yang sempat saya tinggal.
….Ri, saya kembali menulis. Yang sampai sekarang saya tidak mengerti ada maksud apa Tuhan menyampaikan pesan pada saya harus dengan beragam kegetiran yang berlarut – larut. Saya tahu, Ri, kalau pengalaman batin seperti saya alami ini tak pernah didapat dibangku kuliah perguruan tinggi manapun. Bahkan jika saya diperbolehkan mengadakan tawar – menawar dengan Tuhan sebelum saya lahir, akan saya katakan ; Tuhan! Mungkin dulu lebih baik kau jadikan saya ini menjadi sebuah bukit atau tanah saja, sehingga saya tidak akan merasakan kepahitan hidup seperti manusia! Atau kau jadikan saya ini sebagai angin, agar saya banyak berjasa pada setiap bentuk kehidupan!.
Ini mustahil, Ri! Mustahil! Toh Tuhan sudah bicara lain terhadap perputaran sejarah hidup saya. Meskipun saya tahu persis, bahwa Tuhan Maha Demokratis. Maha Pemberi kebebasan terhadap setiap hamba. Tapi bagaimanapun, saya memang harus kembali menelanjangi diri, bahwa sebenarnya sayalah yang harus terus - menerus mengenali jalan saya, lantas berbenah diri, untk kemudian menerima ketentuan Tuhan, setelah sebelumnya saya harus menempuh jalan, sebagai tanda ikhtiar seorang mahluk lemah semacam saya.
Ri, kalaupun saya harus menuangkan segala bentuk kenyataan ini pada kamu, bukan berarti saya bermaksud mengeluh dengan kebijakan Tuhan terhadap nasib saya. Tapi melalui surat yang saya kirim ini, saya mencoba kembali untuk membaca diri saya , bercermin pada muara batin, tempat dimana semua keputusan akan saya lakukan, tanpa harus merugikan saya, juga para tetangga saya, selain itu, saya tidak bermaksud mengganggu aktivitas kamu, yang sudah pasti disibukkan oleh berbagai watak dan sifat para murid sekolah. Paling tidak, saya hanya ingin kamu mengerti, bahwa saya tidak ingin menambah berbagai kepedihan di tengah zaman yang sudah terkoyak oleh bermacam kerusuhan atau fluktuasi ekonomi yang belum jelas ujungnya. Sungguh! Saya hanya berkeinginan berbagi rasa dan mengabarkan, sebelum negeri ini pengap dan basah oleh ratusan tetesan darah di berbagai daerah, jauh sebelumnya, saya teman karib yang pernah hidup bersama kamu, sudah lebih dulu merasakan kepenatan hidup, memeras darah untuk sebuah kejujuran, meskipun banyak orang menilai bahwa kenyataan itu terlalu pribadi. Itu bukan urusan saya, Ri. Terserah bagaimana orang akan menilai. Namun yang pasti, saya telah merasakan runtutan kebohongan, ketidak mampuan manusia untuk lebih bersikap rendah hati ditengah keangkuhan diri. Dan korbannya adalah saya, atau bahkan orang orang lain yang sebelumnya telah sengaja dikorbankan untuk sebuah kebohongan.
Terakhir, saya sampaikan bahwa saya sama sekali bukan sedang menyalahkan satu pihak, atau mengkambing hitamkan seseorang yang sidah hitam, atau punya keinginan mencela. Toh saya dan kamu punya cermin kecil di bilik jantung. Yaitu nurani. Hanya itulah yang mudah – mudahan dapat mengantarkan saya atau siapapun orangnya pada kejernihan batin. Dari kejernihan inilah, Ri, saya kemudian menemukan kembali satu bunga yang bersemi dari sebuah muara. Muara itu adalah air jernih, yang mata airnya dari alam pedesaan, lalu mengalirkan sidar kejujuran, ketulusan dan ketidak engganan untuk selalu mengalir pada sebuah tangan tergadah. (*)
Telatang lahat,2 Januari 1999 Sumek, Jumat, 26 maret 1999
BANGKAI
Cerpen Imron Supriyadi
Aku masih tertunduk di depan cermin, menekuri tentang diri yang telah beralih rupa. Wajahku bukan lagi simbol dari sebuah kewibawaan, seperti ketika aku masih bertengger sebagai Presiden di pabrik terbesar. Saat itu, kekuasaanku sampai keluar lintas batas darat Sabang sampai Merauke. Senyum khas yang kumiliki, kini bukan lagi sebagai keramahan, yang setiap orang berjumpa, di situlah mereka harus sedikit menundukkan badan sebagai penghormatan terhadapku. Tuan Firjaw, begitu banyak orang memanggilku. Keluasan wilayah kekuasaanku, kini justru membenamkan aku ke dalam air comberan.
Petuahku yang dalam kurun waktu puluhan tahun sebagai ucapan ‘dewa kebenaran “, kini tak lagi mampu menjadi pengharum setiap perkampungan dunia. Malah sebaliknya, semua ucapanku, sudah menjadi barang busuk, yang setiap orang akan segera menutupi telinga dan hidung, agar tak mendengar dan mencium hawa mulut atau cipratan ludah yang keluar dari lipatan bibirku. Seluruh penghuni perdusunan, sepertinya memang benar – benar muntah setelah sebelumnya perutnya mual dalam beberapa menit ketika wajahku dipampang oleh wartawan di surat kabar dan televisi.
Sore kemarin, kucoba untuk berhias diri. Kubeli kosmetik ternama dengan harga miliaran rupiah hasil tunjanganku. Dari parfum kelas ratusan ribu sampai seharga se-unting daun kemangi yang harganya turut melonjak, ikut menjadi ramuan. Aku ingin kembali menjadi Tuan Firjaw yang dulu menjadi pewangi bagi setiap penghuni, yang dulu selalu di-elu-elukan jasa dan pengabdianku.
Sembari melumuri dan memandikan diri dengan perasaan daun kemangi, dalam batin, aku hanya berucap;
“Tuhan, seandainya aku tahu, kekuasaanku akan membawa petaka dalam perjalanan hidupku, aku akan memilih kemiskinan sebagai tiang dalam rumahku. Kalau saja aku mengetahui semua ini akan menimpaku, aku akan menjadi tanah atau gunung, yang hanya akan patuh dan tunduk dengan semua perintah dan kekuasaan-Mu”
Aku bersimpuh, menatap kembali cermin kecil yang berada dibalik nuraniku. Sesaat aku tersadar, bahwa ruang kecil, tempat berkumpulnya nurani itu telah lama tidak kusinggahi. Padahal, dari sanalah seharusnya semua kebijakan itu diputuskan. Semestinya, memang tempat itu yang menjadi sumber atau mata air dari semua kebijaksanaanku. Tapi begitu lama aku meninggalkan ruang kecil itu.
“Oh, hati nurani, kini memang aku harus kembali menyusuri dari awal untuk memasuki wilayah itu. Meskipun aku, sekujur tubuhku, keringatku, darahku telah berlumur air air got yang berbau”.
Sekali lagi aku bersimpuh. Aku tak mampu lagi menterjemahkan air mata yang tiba – tiba masih mau keluar dari muara kecil di mukaku yang makin keriput. Sulit kupilah, mana air mata penyesalan, mana air mata kepedihan dan air mata taubat. Semuanya berkumpul menjadi satu genangan, yang setiap penghuni negeri ini tak mau lagi kena cipratannya, meskipun para pengikutku masih ada sebagian yang menunggu kehadiranku kembali, meski aku harus menjelma dan menyulusup dalam tubuh lain.
Beberapa bulan kucoba untuk tetap bertahan diatas penghinaan dan cercaan massa yang tak kunjung pudar. Kukumpulkan kembali gumpalan daging yang sempat tercecer. Ada yang di permukaan air comberan. Ada yang menjadi satu dengan tumpukan sampah. Dengan susah payah kerenggut seluruh kekuatanku yang masih tersisa. Daging dan serat-serat tubuhku yang berserakan, kembali kurangkai. Lalu, kusewa darah para preman untuk membantu dalam menebar keharuman, sehingga kebusukan itu akan segera beralih pada muara yang lain.
“Brooooot!” Kuberaki Banyuwangi dengan darah dukun santet. Mayat terkapar. Ratusan dukun santet menebar kebusukan baru. Anyir darah diatas aspal Banyuwangi tercium ke setiap sudut perdusunan. Aku terkekeh girang. Tanpa sadar, sebenarnya aku telah kembali meninggalkan kemuliaan muara nurani. Sebuah pertikaian baru segera bermula. Para penghuni negeri memendam beragam kebencian, meskipun mereka juga bingung tentang siapa yang mesti dibenci. Permainan kembali mencuat, terangkat di surat kabar dan kamera elektronik, menyebar keseluruh pelosok negeri.
Aku makin tertawa lebar saat pengikutku berhasil mengumpulkan puluhan orang gila yang sudah berlumur darah kambing hitam. Sedikit banyak, bau busukku lambat laun mulai reda, berpindah pada bau anyir darah dari Banyuwangi. Percekcokan antar bagian mulai terlihat. Sebuah pemandangan apik jika ini terus berkelanjutan, harapku dilubuk hati kelam.
Pergolakan darah dukun santet makin merambah kebeberapa kota. Sehingga aku punya waktu istirahat untuk memoles diri dengan cairan perasaan air kemangi, atau istirahat mandi pagi dengan parfum yang kubeli dengan harga miliaran itu. Sembari menyaksikan peperangan antar bagian, di setiap canel teve, kuundang seorang mantan kepala sekolah untuk segera menyusun administrasi baru sebagai kelanjutan dari permainan Banyuwangi.
Sore kian beranjak malam. Orang – orang sekitar terus sibuk dengan persoalannya masing – masing, sambil membersihkan puing – puing kerusuhan yang beberapa waktu lalu terjadi. Perlahan, bau busuk nafasku sedikit reda. Kali itu, rasanya ingin kuucapkan terima kasih pada sekumpulan orang gila yang telah menutupi bau busukku dengan darah kambing hitam. Mereka cukup berjasa dalam permainan ini. Tapi sayang, aku tak lagi berwenang memberi penghargaan putra terbaik bangsa dengan piagam bintang maha putera. Biarlah, toh mereka juga orang gila. Bagaimanapun piagam penghargaan juga tak akan menyembuhkan kegilaan mereka. Justru akan berbahaya jika mereka sadar bahwa mereka aku pecundangi. Jika ini terjadi sangat mungkin bau keringatku akan semakin busuk dari bulan sebelumnya.
Luka menganga telah merobek sudut negeri. Bau anyir darah, sepertinya tak mungkin aku akhiri sampai disini. Semuanya harus berlanjut sampai bau air comberan di tubuhku bisa kembali bau harum, meskipun hanya sebatas harumnya ketek WTS kelas teri.
Dari atap rumahku, kupantau kejadian – kejadian disetiap ujung gang, perkampungan, sampai di depan rumahku, yang ternyata masih terkepung oleh penjaga setia, meskipun aku tak tahu persisnya apakah mereka juga merasakan bau busuk keringatku atau tidak.
“Tuan Firjaw !”, mantan kepala sekolah itu tiba – tiba muncul tepat berada di bawah saat aku bertengger di atas rumah.
“Tuan jangan dulu memunculkan diri. Kondisi seperti sekarang belum cukup aman untuk memunculkan strategi baru. Turunlah! Istirahatlah kembali!.
“Istirahat itu urusan gampang! Apa yang kau katakan tentang genangan darah di Banyuwangi beberapa waktu yang lalu?.
“Beres Tuan! Semua sudah saya sampaikan kepada para wartawan bahwa kejadian itu hanya kriminal biasa. Tenang saja, Tuan! Semuanya sudah berjalan sesuai dengan skenario!”.
“Lantas apa rencanamu sekarang?” Aku menagih janji pada mantan kepala sekolah itu, setelah aku turun dari atap rumah.
“Saya memiliki beberapa pasukan ninja. Dan mereka bisa kita berdayakan, untuk permainan baru”.
Aku tenang sesaat.
“Bagus! Ternyata idemu tetap cermelang meskipun kau hanya mantan kepala sekolah”, Kataku memuji ide jitu yang dilontarkan orang terdekatku itu.
Pasukan ninjapun bergentayangan. Mereka membuat permainan baru di tengah kecemasan para penghuni negeri terhadap kondisi yang belum tenang. Kabar teror, telepon gelap terhadap para kiai memulai operasi ninja. Sehingga hampir seluruh perkampungan dilanda ketidaktenangan yang berkepanjangan. Satu - persatu gerakan ninja menumpahkan anyir darah. Lagi, mayat terkapat tanpa identitas. Cras! Cras! Pedang menyambar, darah tercurah, keringat telah menjadi darah.
Aku makin lupa diri dengan permainan ini. Ini harus berkelanjutan! Sebab, permainan ini, akan memancing surat kabar, sehingga mereka akan tersumbat, tidak lagi mencium bau busuk darah dan keringatku lagi.
Satu menit baru saja aku menarik nafas lega. Sebuah guncangan kembali menggegerkan pagar di sekitar rumahku. Aku terkesiap. Aku bangkit, menyingkap horden jendela. Tak kuduga, sekelompok orang masih tetap mencium bau busuk darah dan keringatku. Aku jadi nanar. Keringat dingin mengucur. Ia membasahi setiap lekuk tubuhku. Sesekali kuusap. Lalu kusemprot dengan parfum sekujur tubuh. Tapi bau busuk tetap saja menyengat keluar rumah. Tak ada jalan lain, mereka pasti kembali membenamkan aku ke air comberan.
“Ah, ternyata, daging dan sekujur tubuhku memang benar – benar telah membusuk! Ucapku, sembari berlari menuju kamar kecil.
Mungkin di sini, aku akan lebih aman. Mudah – mudahan mereka akan kesulitan membedakan bau busuk keringatku dengan bau busuk tinja”, Kataku sambil melumuri badan dengan tinja – tinja yang tersisa. Kini, orang akan susah membedakan aku dengan warna dan bau tinja. (*)
Rumah Kontrakan di Jl. Letnan Yasin - Palembang, 25 Mei 1998
(Tiga hari setelah Jatuhnya Rezim Soeharto 21 Mei 1998)
Aku masih tertunduk di depan cermin, menekuri tentang diri yang telah beralih rupa. Wajahku bukan lagi simbol dari sebuah kewibawaan, seperti ketika aku masih bertengger sebagai Presiden di pabrik terbesar. Saat itu, kekuasaanku sampai keluar lintas batas darat Sabang sampai Merauke. Senyum khas yang kumiliki, kini bukan lagi sebagai keramahan, yang setiap orang berjumpa, di situlah mereka harus sedikit menundukkan badan sebagai penghormatan terhadapku. Tuan Firjaw, begitu banyak orang memanggilku. Keluasan wilayah kekuasaanku, kini justru membenamkan aku ke dalam air comberan.
Petuahku yang dalam kurun waktu puluhan tahun sebagai ucapan ‘dewa kebenaran “, kini tak lagi mampu menjadi pengharum setiap perkampungan dunia. Malah sebaliknya, semua ucapanku, sudah menjadi barang busuk, yang setiap orang akan segera menutupi telinga dan hidung, agar tak mendengar dan mencium hawa mulut atau cipratan ludah yang keluar dari lipatan bibirku. Seluruh penghuni perdusunan, sepertinya memang benar – benar muntah setelah sebelumnya perutnya mual dalam beberapa menit ketika wajahku dipampang oleh wartawan di surat kabar dan televisi.
Sore kemarin, kucoba untuk berhias diri. Kubeli kosmetik ternama dengan harga miliaran rupiah hasil tunjanganku. Dari parfum kelas ratusan ribu sampai seharga se-unting daun kemangi yang harganya turut melonjak, ikut menjadi ramuan. Aku ingin kembali menjadi Tuan Firjaw yang dulu menjadi pewangi bagi setiap penghuni, yang dulu selalu di-elu-elukan jasa dan pengabdianku.
Sembari melumuri dan memandikan diri dengan perasaan daun kemangi, dalam batin, aku hanya berucap;
“Tuhan, seandainya aku tahu, kekuasaanku akan membawa petaka dalam perjalanan hidupku, aku akan memilih kemiskinan sebagai tiang dalam rumahku. Kalau saja aku mengetahui semua ini akan menimpaku, aku akan menjadi tanah atau gunung, yang hanya akan patuh dan tunduk dengan semua perintah dan kekuasaan-Mu”
Aku bersimpuh, menatap kembali cermin kecil yang berada dibalik nuraniku. Sesaat aku tersadar, bahwa ruang kecil, tempat berkumpulnya nurani itu telah lama tidak kusinggahi. Padahal, dari sanalah seharusnya semua kebijakan itu diputuskan. Semestinya, memang tempat itu yang menjadi sumber atau mata air dari semua kebijaksanaanku. Tapi begitu lama aku meninggalkan ruang kecil itu.
“Oh, hati nurani, kini memang aku harus kembali menyusuri dari awal untuk memasuki wilayah itu. Meskipun aku, sekujur tubuhku, keringatku, darahku telah berlumur air air got yang berbau”.
Sekali lagi aku bersimpuh. Aku tak mampu lagi menterjemahkan air mata yang tiba – tiba masih mau keluar dari muara kecil di mukaku yang makin keriput. Sulit kupilah, mana air mata penyesalan, mana air mata kepedihan dan air mata taubat. Semuanya berkumpul menjadi satu genangan, yang setiap penghuni negeri ini tak mau lagi kena cipratannya, meskipun para pengikutku masih ada sebagian yang menunggu kehadiranku kembali, meski aku harus menjelma dan menyulusup dalam tubuh lain.
Beberapa bulan kucoba untuk tetap bertahan diatas penghinaan dan cercaan massa yang tak kunjung pudar. Kukumpulkan kembali gumpalan daging yang sempat tercecer. Ada yang di permukaan air comberan. Ada yang menjadi satu dengan tumpukan sampah. Dengan susah payah kerenggut seluruh kekuatanku yang masih tersisa. Daging dan serat-serat tubuhku yang berserakan, kembali kurangkai. Lalu, kusewa darah para preman untuk membantu dalam menebar keharuman, sehingga kebusukan itu akan segera beralih pada muara yang lain.
“Brooooot!” Kuberaki Banyuwangi dengan darah dukun santet. Mayat terkapar. Ratusan dukun santet menebar kebusukan baru. Anyir darah diatas aspal Banyuwangi tercium ke setiap sudut perdusunan. Aku terkekeh girang. Tanpa sadar, sebenarnya aku telah kembali meninggalkan kemuliaan muara nurani. Sebuah pertikaian baru segera bermula. Para penghuni negeri memendam beragam kebencian, meskipun mereka juga bingung tentang siapa yang mesti dibenci. Permainan kembali mencuat, terangkat di surat kabar dan kamera elektronik, menyebar keseluruh pelosok negeri.
Aku makin tertawa lebar saat pengikutku berhasil mengumpulkan puluhan orang gila yang sudah berlumur darah kambing hitam. Sedikit banyak, bau busukku lambat laun mulai reda, berpindah pada bau anyir darah dari Banyuwangi. Percekcokan antar bagian mulai terlihat. Sebuah pemandangan apik jika ini terus berkelanjutan, harapku dilubuk hati kelam.
Pergolakan darah dukun santet makin merambah kebeberapa kota. Sehingga aku punya waktu istirahat untuk memoles diri dengan cairan perasaan air kemangi, atau istirahat mandi pagi dengan parfum yang kubeli dengan harga miliaran itu. Sembari menyaksikan peperangan antar bagian, di setiap canel teve, kuundang seorang mantan kepala sekolah untuk segera menyusun administrasi baru sebagai kelanjutan dari permainan Banyuwangi.
Sore kian beranjak malam. Orang – orang sekitar terus sibuk dengan persoalannya masing – masing, sambil membersihkan puing – puing kerusuhan yang beberapa waktu lalu terjadi. Perlahan, bau busuk nafasku sedikit reda. Kali itu, rasanya ingin kuucapkan terima kasih pada sekumpulan orang gila yang telah menutupi bau busukku dengan darah kambing hitam. Mereka cukup berjasa dalam permainan ini. Tapi sayang, aku tak lagi berwenang memberi penghargaan putra terbaik bangsa dengan piagam bintang maha putera. Biarlah, toh mereka juga orang gila. Bagaimanapun piagam penghargaan juga tak akan menyembuhkan kegilaan mereka. Justru akan berbahaya jika mereka sadar bahwa mereka aku pecundangi. Jika ini terjadi sangat mungkin bau keringatku akan semakin busuk dari bulan sebelumnya.
Luka menganga telah merobek sudut negeri. Bau anyir darah, sepertinya tak mungkin aku akhiri sampai disini. Semuanya harus berlanjut sampai bau air comberan di tubuhku bisa kembali bau harum, meskipun hanya sebatas harumnya ketek WTS kelas teri.
Dari atap rumahku, kupantau kejadian – kejadian disetiap ujung gang, perkampungan, sampai di depan rumahku, yang ternyata masih terkepung oleh penjaga setia, meskipun aku tak tahu persisnya apakah mereka juga merasakan bau busuk keringatku atau tidak.
“Tuan Firjaw !”, mantan kepala sekolah itu tiba – tiba muncul tepat berada di bawah saat aku bertengger di atas rumah.
“Tuan jangan dulu memunculkan diri. Kondisi seperti sekarang belum cukup aman untuk memunculkan strategi baru. Turunlah! Istirahatlah kembali!.
“Istirahat itu urusan gampang! Apa yang kau katakan tentang genangan darah di Banyuwangi beberapa waktu yang lalu?.
“Beres Tuan! Semua sudah saya sampaikan kepada para wartawan bahwa kejadian itu hanya kriminal biasa. Tenang saja, Tuan! Semuanya sudah berjalan sesuai dengan skenario!”.
“Lantas apa rencanamu sekarang?” Aku menagih janji pada mantan kepala sekolah itu, setelah aku turun dari atap rumah.
“Saya memiliki beberapa pasukan ninja. Dan mereka bisa kita berdayakan, untuk permainan baru”.
Aku tenang sesaat.
“Bagus! Ternyata idemu tetap cermelang meskipun kau hanya mantan kepala sekolah”, Kataku memuji ide jitu yang dilontarkan orang terdekatku itu.
Pasukan ninjapun bergentayangan. Mereka membuat permainan baru di tengah kecemasan para penghuni negeri terhadap kondisi yang belum tenang. Kabar teror, telepon gelap terhadap para kiai memulai operasi ninja. Sehingga hampir seluruh perkampungan dilanda ketidaktenangan yang berkepanjangan. Satu - persatu gerakan ninja menumpahkan anyir darah. Lagi, mayat terkapat tanpa identitas. Cras! Cras! Pedang menyambar, darah tercurah, keringat telah menjadi darah.
Aku makin lupa diri dengan permainan ini. Ini harus berkelanjutan! Sebab, permainan ini, akan memancing surat kabar, sehingga mereka akan tersumbat, tidak lagi mencium bau busuk darah dan keringatku lagi.
Satu menit baru saja aku menarik nafas lega. Sebuah guncangan kembali menggegerkan pagar di sekitar rumahku. Aku terkesiap. Aku bangkit, menyingkap horden jendela. Tak kuduga, sekelompok orang masih tetap mencium bau busuk darah dan keringatku. Aku jadi nanar. Keringat dingin mengucur. Ia membasahi setiap lekuk tubuhku. Sesekali kuusap. Lalu kusemprot dengan parfum sekujur tubuh. Tapi bau busuk tetap saja menyengat keluar rumah. Tak ada jalan lain, mereka pasti kembali membenamkan aku ke air comberan.
“Ah, ternyata, daging dan sekujur tubuhku memang benar – benar telah membusuk! Ucapku, sembari berlari menuju kamar kecil.
Mungkin di sini, aku akan lebih aman. Mudah – mudahan mereka akan kesulitan membedakan bau busuk keringatku dengan bau busuk tinja”, Kataku sambil melumuri badan dengan tinja – tinja yang tersisa. Kini, orang akan susah membedakan aku dengan warna dan bau tinja. (*)
Rumah Kontrakan di Jl. Letnan Yasin - Palembang, 25 Mei 1998
(Tiga hari setelah Jatuhnya Rezim Soeharto 21 Mei 1998)
Surat Untuk Ayah
Cerpen Imron Supriyadi
Malam kian kelam. Aku terbaring diatas balai bambu, menerawang menatapi diri yang makin termakan usia. Tiba – tiba kamar terasa sumpek, panas, dan beraroma kurang sedap. Desiran angin menembus kamarku hanya membawa kabar yang sulit diterka. Aku menangis ketika kamarku dicabik,cubit atau digilas oleh realita. Kucoba menagabarkan pada orang sekitar, tetapi mereka hanya menggelang, meninggalakan tapak tak berbekas. Kadang mereka menatapku sinis, lalu pergi tanpa ucapan maaf. Mungkin, saatnya aku harus mengabarkan ini pada ayah, pikirku. Aku bangkit, dan merapikan kamar.
“Ayah,’’ tulisku mengawali surat itu. Meski kau akan menangis setelah membaca surat ini, tapi segeralah kau usap air mata itu. Jangan kau biarkan air mata berurai dipipimu. Aku malu jika ayah hanya bisa menangis tanpa suara, dan berbisik tanpa kata. Ayah, anakmu kini sedang dalam keprihatinan, bertarung dengan masa depan, berlindung di bawah buramnya cahaya malam.
Cahaya lampu 100 watt yang ayah belikan dulu, sepertinya tak mampu memancarkan suasana baru dalam kamarku. Bahkan Ayah, kamarku kini pengap disusupi oleh cerobong asap pabri, udara kendaraan bermotor atau angin penderitaan, yang datangnya dari pinggir trotoar.
Aku berhenti menulis ketika ratih, istriku menerobos masuk kamar. Ia pun duduk dan menatapku dalam diam. Aku hanya melirik ketika ia memunguti dan mengumpulkan kertas – kertas yang berserakan dilantai kamar. Ratih yang ceria, kini bias karena keadaan. Sapa mesranya yang dulu menggiurkan setiap lelaki, kini hanya sebatas senyum hambar yang tak bermakna. Aku sendiri kadang sulit menerjemahkan, gerangan apa yang sedang dirasakannya.
“ Mas im”, Ratih membuka kebisuan. Aku hanya menoleh. Tubuh semampai itu kuamati dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kubiarkan saja ketika Ratih duduk merapat dan membaca surat yang belum sempat selesai kutulis.
“Sebaiknya, Mas Im tak menulis surat untuk Ayah. Keadaan kamar kontrakan kita yang makin dilalaikan tuan rumahnya, tak semestinya diketahui Ayah. Toh, surat – surat yang sudah terkirim, sampai tak ada yang dibalas. Mungkin, sekarang Ayah lebih sibuk dengan tugas adan aktivitasnya sendiri, ketimbang memikirkan kondisi kamar kita yang dibanjiri air mata ini,” katanya.
Aku tercenung mendengar ucapan Ratih. Namun batinku terus bergolak.” Ratih, tolong simpan kata – katamu”, ucapku coba memberi pengertian. Ratih kemudian memandangku tajam. Ia pun hanya diam saat aku melanjutkan pembicaraan.
“Aku tahu, kesibukan Ayah telah banyak menyita kepedulian terhadap kita. Namun, bergantinya struktur desa dan dengan jabatan kepala dusun dipegang Ayah, adalah peluang kita mengabarkan, bagaimana naisb kita dikamar ini kelak”, kataku optimis.
‘’Tapi, Mas,” sergah Ratih pelan.” Aku belum yakin benar jika surat ini akan mengubah sikap Ayah. Sebab, digantinya aparat desa, belum menjamin kemandirian Ayah untuk bersikap. Apalagi, kepergian kita ke kamar ini sudah di latar belakangi, dengan pertentangan dengan Ayah. Sulit rasanya…”
“Ratih,” potongku tiba – tiba. “ Kegetiran masa lalu membuat kita berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu hari ini. Tapi, masa lalu membuat kita bijak, meskipun kita kesulitan menerjemahkan kebijaksanaan itu sendiri. Sebenarnya Ayah bukan manusia yang tak pernah memikirkan nasib anaknya. Tapi, dia telah masuk lingkaran struktural, jadi apapun yang dikerjakannnya, tentu tidak lepas dari kepentingan itu,” kataku.
Batinku terus bergejolak. Suasana makin menghimpit. Dadaku tersengal sesak ketika tiba – tiba kepulan asap mengitari sekeliling kamar. Kucoba menghalaunya. Namun aku tersingkir kebawah meja. Hanya sobekan kertas dan pena yang sempat kepegang. Besok atau lusa, surat ini harus segera kukirim pada Ayah pikirku.
Aku hanya menurut saja, saat Ratih muncul dan memapahku ke pembaringan. Seberkas kekhawatiran tergambar diwajah Ratih. Isak tangis Ratih yang selama ini kurindukan tiba – tiba menyeruak ketelinga. Sebongkah kebahagiaan seketika menyusup dalam kalbuku. Ratih kini telah menyuarakan penderitaannya yang sekian lama terpendam.
“Ratih, aku tidak apa – apa,” ucapku menenangkan perasaannya. Dengan pandangan sedikit kabut, kutatap wajah Ratih yang lusuh. Namun hanya kepedihan yang tersemburat di sana. Dada kiriku terasa sesak, namun kucoba terus bertahan. Ratih memandangiku dengan kepedihan dalam, dan isak tangisnya menggema keluar ventilasi kamar, kesetiap telinga tetangga.
“Ratih, berhentilah kau menangis. Tak perlu mereka tah, kita sedang menderita di kamar ini. Kalaupun mereka mendengar, itu hanya menambah beban mereka. Sementara nasib mereka tidak berbeda dengan kita,” kataku meredam gejolak batin Ratih sore itu. Tangis Ratih pun reda.
Azan Magrib menggema, membangkitkanku dari pembaringan dan Ratih pun mengikuti. Aku melangkah, lalu menundukkan diri kehadapan Sang Khalik. Dalam penghambaanku malam itu, kutuangkan segala do’a untuk Ayah, pribadi, dan istriku.
“Ya Allah, semoga Ayah kami di kampung terkuak kejernihan pikirannya memandang seluruh isi kamar ini, demikian desa kami yang sedang dalam genggamannya, serta dalam manapat diri dia sendiri.”
“Ya Allah, anugerahkanlah kami khusnul khatimah kepada Ayah kami. Taburkanlah rezeki rohani kedalam ubun – ubunnya, sehingga peran yang diambilnya adalah peran yang sesungguhnya nyepuhi, bukan fungsi fighter.
Segala beban batin kutuangkan di atas sajadah malam ini, semoga hati Ayah untuk membalas surat – surat kami.*
Dimuat
di Harian Umum Sriwijaya Pos. Minggu 1997
Malam kian kelam. Aku terbaring diatas balai bambu, menerawang menatapi diri yang makin termakan usia. Tiba – tiba kamar terasa sumpek, panas, dan beraroma kurang sedap. Desiran angin menembus kamarku hanya membawa kabar yang sulit diterka. Aku menangis ketika kamarku dicabik,cubit atau digilas oleh realita. Kucoba menagabarkan pada orang sekitar, tetapi mereka hanya menggelang, meninggalakan tapak tak berbekas. Kadang mereka menatapku sinis, lalu pergi tanpa ucapan maaf. Mungkin, saatnya aku harus mengabarkan ini pada ayah, pikirku. Aku bangkit, dan merapikan kamar.
“Ayah,’’ tulisku mengawali surat itu. Meski kau akan menangis setelah membaca surat ini, tapi segeralah kau usap air mata itu. Jangan kau biarkan air mata berurai dipipimu. Aku malu jika ayah hanya bisa menangis tanpa suara, dan berbisik tanpa kata. Ayah, anakmu kini sedang dalam keprihatinan, bertarung dengan masa depan, berlindung di bawah buramnya cahaya malam.
Cahaya lampu 100 watt yang ayah belikan dulu, sepertinya tak mampu memancarkan suasana baru dalam kamarku. Bahkan Ayah, kamarku kini pengap disusupi oleh cerobong asap pabri, udara kendaraan bermotor atau angin penderitaan, yang datangnya dari pinggir trotoar.
Aku berhenti menulis ketika ratih, istriku menerobos masuk kamar. Ia pun duduk dan menatapku dalam diam. Aku hanya melirik ketika ia memunguti dan mengumpulkan kertas – kertas yang berserakan dilantai kamar. Ratih yang ceria, kini bias karena keadaan. Sapa mesranya yang dulu menggiurkan setiap lelaki, kini hanya sebatas senyum hambar yang tak bermakna. Aku sendiri kadang sulit menerjemahkan, gerangan apa yang sedang dirasakannya.
“ Mas im”, Ratih membuka kebisuan. Aku hanya menoleh. Tubuh semampai itu kuamati dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kubiarkan saja ketika Ratih duduk merapat dan membaca surat yang belum sempat selesai kutulis.
“Sebaiknya, Mas Im tak menulis surat untuk Ayah. Keadaan kamar kontrakan kita yang makin dilalaikan tuan rumahnya, tak semestinya diketahui Ayah. Toh, surat – surat yang sudah terkirim, sampai tak ada yang dibalas. Mungkin, sekarang Ayah lebih sibuk dengan tugas adan aktivitasnya sendiri, ketimbang memikirkan kondisi kamar kita yang dibanjiri air mata ini,” katanya.
Aku tercenung mendengar ucapan Ratih. Namun batinku terus bergolak.” Ratih, tolong simpan kata – katamu”, ucapku coba memberi pengertian. Ratih kemudian memandangku tajam. Ia pun hanya diam saat aku melanjutkan pembicaraan.
“Aku tahu, kesibukan Ayah telah banyak menyita kepedulian terhadap kita. Namun, bergantinya struktur desa dan dengan jabatan kepala dusun dipegang Ayah, adalah peluang kita mengabarkan, bagaimana naisb kita dikamar ini kelak”, kataku optimis.
‘’Tapi, Mas,” sergah Ratih pelan.” Aku belum yakin benar jika surat ini akan mengubah sikap Ayah. Sebab, digantinya aparat desa, belum menjamin kemandirian Ayah untuk bersikap. Apalagi, kepergian kita ke kamar ini sudah di latar belakangi, dengan pertentangan dengan Ayah. Sulit rasanya…”
“Ratih,” potongku tiba – tiba. “ Kegetiran masa lalu membuat kita berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu hari ini. Tapi, masa lalu membuat kita bijak, meskipun kita kesulitan menerjemahkan kebijaksanaan itu sendiri. Sebenarnya Ayah bukan manusia yang tak pernah memikirkan nasib anaknya. Tapi, dia telah masuk lingkaran struktural, jadi apapun yang dikerjakannnya, tentu tidak lepas dari kepentingan itu,” kataku.
Batinku terus bergejolak. Suasana makin menghimpit. Dadaku tersengal sesak ketika tiba – tiba kepulan asap mengitari sekeliling kamar. Kucoba menghalaunya. Namun aku tersingkir kebawah meja. Hanya sobekan kertas dan pena yang sempat kepegang. Besok atau lusa, surat ini harus segera kukirim pada Ayah pikirku.
Aku hanya menurut saja, saat Ratih muncul dan memapahku ke pembaringan. Seberkas kekhawatiran tergambar diwajah Ratih. Isak tangis Ratih yang selama ini kurindukan tiba – tiba menyeruak ketelinga. Sebongkah kebahagiaan seketika menyusup dalam kalbuku. Ratih kini telah menyuarakan penderitaannya yang sekian lama terpendam.
“Ratih, aku tidak apa – apa,” ucapku menenangkan perasaannya. Dengan pandangan sedikit kabut, kutatap wajah Ratih yang lusuh. Namun hanya kepedihan yang tersemburat di sana. Dada kiriku terasa sesak, namun kucoba terus bertahan. Ratih memandangiku dengan kepedihan dalam, dan isak tangisnya menggema keluar ventilasi kamar, kesetiap telinga tetangga.
“Ratih, berhentilah kau menangis. Tak perlu mereka tah, kita sedang menderita di kamar ini. Kalaupun mereka mendengar, itu hanya menambah beban mereka. Sementara nasib mereka tidak berbeda dengan kita,” kataku meredam gejolak batin Ratih sore itu. Tangis Ratih pun reda.
Azan Magrib menggema, membangkitkanku dari pembaringan dan Ratih pun mengikuti. Aku melangkah, lalu menundukkan diri kehadapan Sang Khalik. Dalam penghambaanku malam itu, kutuangkan segala do’a untuk Ayah, pribadi, dan istriku.
“Ya Allah, semoga Ayah kami di kampung terkuak kejernihan pikirannya memandang seluruh isi kamar ini, demikian desa kami yang sedang dalam genggamannya, serta dalam manapat diri dia sendiri.”
“Ya Allah, anugerahkanlah kami khusnul khatimah kepada Ayah kami. Taburkanlah rezeki rohani kedalam ubun – ubunnya, sehingga peran yang diambilnya adalah peran yang sesungguhnya nyepuhi, bukan fungsi fighter.
Segala beban batin kutuangkan di atas sajadah malam ini, semoga hati Ayah untuk membalas surat – surat kami.*
Dimuat
di Harian Umum Sriwijaya Pos. Minggu 1997
Negeri Kelelawar
Cerpen Imron Supriyadi
Lepas Ashar, setiap kali aku duduk di serambi masjid, aku selalu menyaksikan puluhan, bahkan ratusan Kelelawar. Maklum, di depan masjid itu, ada sebatang pohon beringin yang cukup besar. Dan diatasnya, bergelantungan buah kecil-kecil, yang sepertinya memang disukai oleh Burung dan Kelelawar. Sehingga wajar saja, jika tiap sore menjelang, hampir semua kelelawar, burung, berkumpul, dan beterbangan, dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk memetik rubuan buah pohon beringin, yang tampak ranum. Kalau saja, aku seekor kelelawar, mungkin aku juga akan ikut berebutan seperti mereka. Mereka datang berbondong-bondong, saling sikat , saling sikut, untuk mendapat buah incarannya.
Menjelang maghrib, jumlah kelelawar makin banyak. Sementara, puluhan burung, malah sebaliknya. Satu persatu, burung-burung yang sebelumnya ikut berebut buah, justeru mulai lenyap.
Besoknya, lepas dluhur, aku masih duduk di serambi masjid. Kali ini, aku tidak lagi menjumpai ratusan kelelawar. Tetapi, di bawah pohon, muncul puluhan binatang lain. Ada Kambing, Kancil, dan beberap binatang darat , binatang melata dan mamalia lainnya.
Sepertinya, tujuan mereka sama. Mereka datang untuk mengais sisa buah pohon beringin yang berserakan di bawah pohon. Sebenarnya, mereka punya keinginan untuk mendapat buah aslinya, dan bukan buah sisa. Tetapi, apa boleh buat, mereka tak punya sayap sebagaimana burung dan kelelawar. Dan mau tidak mau, mereka harus menerima sisa dan makan buah bekas gigitan kelelawar dan puluhan burung.
Untuk beberapa bulan, ratusan binatang darat ini, masih saja menerima, ketika mereka harus makan sisa dari kelelawar dan burung. Tetapi, lama-lama, mereka juga jenuh dan bosan, jika sepanjang hidupnya, harus makan sisa dari kelelawar dan burung. Mungkin bukan saja kambing, kancil, aku juga tidak mau jika harus makan bekas orang. Apalagi, kalau makan sisa kelelawar.
Ketidakpuasan ini, akhinrya dilaporkan ke raja hutan.
“Lapor Sang Raja”, Ujar Kancil di depan Singa.
“Ada apa Kancil?”
“Anu, Sing…E, …”.
“Kenapa kau gugup?”
“Ah, enggak kok. Saya hanya mau laporan. Sebenarnya, ini bukan kemauan saya, tetapi, kemauan semua binatang darat di hutan ini?’
“Maksudmu?”
“Yaaa, ini usulan dari binatang yang tidak bisa terbang macam kita”.
“Hmmm….apa keinginan kalian dan kawan-kawan?”
“Kita ini kan punya hak yang sama, Sing. Jadi, di hutan ini, siapapun juga, setiap binatang, juga memiliki wewenang yang sama untuk memilki keaslian, seperti buah phon beringin yang ada di depan masjid itu”.
“To the point saja, Cil, aku tak punya banyak waktu”.
“Apakah akan selamanya , binatang macam kita, hanya akan makan buah pohon beringin, sisa dari kelelawar dan burung?”.
“Lalu?”
“Ya, keinginan saya dan kawan-kawan sih, bagaimana kalau Singa si raja hutan, bisa memperjuangkan hak-hak kami, yang selama ini, hanya dapat makanan sisa. Ini kan diskriminatif. Sementara, kita sering bicara pemerataan dan persamaan hak”.
Sejenak, Singa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Raja hutan ini, tampak mulai berpikir.
“Bagaimana Sing?” Sela Kancil tidak sabar.
“Cil, sebenarnya, aku sih mau-mau saja memperjuangkan
keinginan kawan-kawan. Tapi, semua ini mesti dirapatkan dulu dengan majelis hutan. Tidak bisa usulanmu ini, selesai dalam satu hari. Belum lagi, para pengawal kerajaan hutan ini, juga harus berkirim surat ke beberapa pejabat terkait, untuk diajak musyawarah tentang hal ini”.
“Ya, nggak apa-apa. Tapi jangan lama-lama”.
“Tapi semua ini perlu birokrasi, Cil”.
“Lha, birokrasi itu kan diciptakan untuk memudahkan, bukan untuk menyulitkan?”
“Ah, kau ini makin pintar saja, Cil?”
Kancil jadi kikuk.
“Tapi, Sing, kawan-kawan sudah tidak betah lagi, makan sisa-sisa kelelawar dan burung”.
Paginya, Singa menggelar rapat khusus. Rapat dipimpin oleh Harimau.
“Saudara-saudaraku, para binatang darat, melata dan mamalia, yang kami hormati”, Harimau membuka rapat.
“Dalam surat edaran yang kami kirim satu hari lalu, tentu saudara, sudah mengetahui, apa tujuan kita di sini berkumpul. Yaitu membahas usulan Kancil dan kawannya, agar binatang sebangsa kita, tidak selalu makan buah sisa dari kelelawar. Dan pagi ini, rapat saya buka. Dan silakan, saudara memberi masukan atas gagasan ini”.
“Mohon bicara pimpinan sidang”, Srigala membuka pembicaraan.
“Apa usulmu, Sri?”
“Saya bukan usul, tapi keberatan!”
Majelis sejenak diam. Mata para binatang tertuju pada Srigala.
“Bagi saya, usulan agar binatang sebangsa kita tidak lagi mendapat sisa dari kelawar, itu tuntutan yang tidak masuk akal. Kita ini kan tidak punya sayap. Lagi pula, saya juga tidak pernah doyan yang namanya buah pohon beringin, saya ini makan daging kerbau, daging banteng…”
“Interupsi pimpinan sidang!”, Kambing menyela pembicaraan.
“Interupsi diterima, silakan, mBing!”
“Pernyataan Srigala itu terlalu pribadi. Apa yang dikatakan itu, tidak lebih hanya menyangkut kepentingan individu, karena Srigala tidak pernah makan buah,! atau jangan-jangan, Srigala sudah melakukan konspirasi dengan para kelelawar dan burung…!”
“ Itu tuduhan yang mengada-ada!” Srigala Protes.
“Tenang..tenang…”, Pimpinan sidang menenangkan suasana rapat yang mulai tegang.
“Ada usulan lain?”
“Kalau saya begini”, Kucing hutan mencoba memberi gagasan. “Persoalan makan sisa dari kelelawar ini kan sudah lama. Kalau kita akan protes, kenapa kita tidak protes dengan Tuhan saja, kenapa kita diciptakan tanpa sayap”.
“Konret! Konret…”. Teriak binatang yang lain.
“Ya, maksud saya, kenapa kita tidak nyatakan perang saja, dengan bangsa burung dengan kelelawar. Siapa yang menang, nanti bisa menguasai pohon beringin, sekaligus bisa memiliki buahnya”.
“Mohon bicara pimpinan sidang!” Kancil angkat bicara. “Usulan Kucing hutan terlalu ekstrim. Kenapa kita tidak lebih dulu melakukan pendekatan kultural saja. Yang perlu dilakukan pendekatan ersuasif, bukan represif. Sebab, kalau kita menyatakan perang, ini sama artinya, kita akan saling bunuh, sesama kita. Yang jadi korban, mungkin bukan para pejabat di ruang sidang ini, tetapi, binatang kecil, yang mungkin mereka tidak bersalah. Saya tidak setuju! Ini sama saja kita melakukan pembinasaan hak masyarakat kelelawar dan burung. Sekali lagi, perang hanya dimililki oleh militer. Dan kita bukan militer!”
Perdebatan terus berlangsung seru. Ketegangan, adu argumen dan beragam kepentingan muncul dalam ruang sidang pansus. Tetapi, keputusan, akhirnya diambil dengan cara voting. Dan gagasan Kucing hutan, lebih mendominasi. Dengan sendirinya, keputusan akhir adalah melakukan perang dengan bangsa kelelawar dan burung.
“Payah, kucing hutan, terlalu banyak bergaul dengan para buaya, anak-anak singa dan anak harimau. Makanya dia usulannya ya represif”. Ujar Kancil menggerutu.
“Ya wajar kan, kucing hutan dengan singa, harimau, itu kan punya selera yang sama. Belum lagi, kucing hutan kan sering mencarikan daging buat singa, harimau dan buaya. Ya sudah tentu, dalam rapat tadi, bangsa kita yang kecil kalah. Saya tadi kan sudah bilang, sidang ini jangan diputuskan dengan voting. Kalau voting pasti kita kalah. Konspirasi mereka terlalu kuat”, Ujar kambing hutan yang juga kecewa.
Tapi apa boleh buat. Semua sudah menjadi keputusan sidang pansus. Mau tidak mau, semua binatang harus menerima. Sementara, semut, kadal, ulat, hanya ancang-ancang mencari tempat bersembuyi, kalau-kalau saja, perang benar-benar terjadi.
Di balik itu, ternyata, masyarakat kelelawar dan burung sudah dapat bocoran. Merekapun melakukan rapat singkat, mengatur strategi.
“Kenapa tidak kita tolak saja. Ini pasti akan banyak membawa korban”. Kata Burung Jalak keberatan dengan istilah perang.
“Ya tidak bisa. Ini sudah keputusan mereka. Kita harus hadapi”, Ujar Gagak seakan sudah siap berperang dengan binatang darat.
Mereka pun mengatur taktik sedemikian rupa. Dan mulai hari itu, mulai di data, semua binatang yang bakal masuk dalam pasukan perang. Kelompok binatang tebang, dipimpin oleh Burung Elang. Sementara, dari pihak binatang darat, melata dan mamalia dipimpin langsung oleh Harimau.
Pendaftaran dimulai. Di balik kesibukan panitia menerima pendaftaran. Pimpinan Kelelawar menyusup ke kawasan binatang darat.
“Saya kelelawar, ingin mendaftarkan diri, bergabung dengan kalian”, Ujar Kelelawar di hadaoan Harimau.
“Lho, ya tidak bisa. Kau kan masuk dalam binatang yang terbang”.
“Tapi, saya punya kesamaan dengan kalian. Saya ini kan beranak. Jadi sekalipun saya binatang terbang macam burung, tetapi, saya binatang mamalia juga. Sama seperti kalian”.
Harimau berpikir sejenak. Ia berbisik dengan panitia yang lain.
“Tapi bagaimana di kelompokmu? Apa tidak akan di protes?”
“Ah, itu kan urusan saya. Tenang saja, mereka tidak bakal tahu, kalau saya ikut bergabung di sini”.
Sementara, di kelompok bangsa burung, kelelawar, juga didaftar sebagai pasukan inti. Dan bangsa burung pun tidak protes. Sebab, kelelawar memang masuk dalam binatang yang terbang.
Tepat hari jadi berperang, masing-masing kelompok belum masuk ke arena perang. Keduanya masih menunggu kedatangan satu pasukan. Apalagi kalau bukan kelompok kelelawar.
Kegelisahan ini, mendorong Harimau mengutus Kancil untuk menunda perang, karena masih menunggu pasukan kelelawar.
“Maaf, saya utusan dari bangsa binatang darat, meminta agar perang ini ditunda sesaat. Sebab kami masih menunggu, pasukan kelelawar”.
“Ha!” Semua binatang bangsa burung terkejut.
“Kenapa?” Tanya Kancil heran.
“Kami juga sedang menunggu pasukan kelelawar”.
Mendengar laporan itu, baik kelompok Elang dan kelompok Harimau menjadi geram. Keduanya merasa dipermainkan oleh kelelawar. Sebab, sampai dua hari, meraka kemudian harus mencari kelelawar. Kedua kelompok ini, tidak kurang kalah pintar. Mereka menghadang, di tempat biasa kelelawar mengambil makanan. Dimana lagi kalau bukan di kawasan pohon beringin.
Tepat, kelelawar sedang pesta pora, memakan buah pohon beringin yang sedang dipersengketakan.
“Turun kau kelelawar!” Bentak Gagak hitam geram.
Semua kelelawar ketakutan. Perlahan, meraka turun.
“Kurang ajar Kau kelelawar! Kau sudah menangguk keuntungan, di tengah kericuhan ini. Kau sudah menodai bangsa binatang yang terbang. Kau mau enak sendiri. Dan membiarkan kami perang! Cuih!”
“Sekarang begini, kawan-kawan!” Elang, mencoba memberi penjelasan ke semua bangsa binatang. “Kali ini, Kelelawar telah melakukan kesalahan. Sekalipun dia menyelamatkan kita dari peperangan, sekarang kita tahu, watak kelelawar. Ternyata, kelelawar, hanya akan mencari keuntungan, di balik perseteruan kita. Ideologi kelelawar, yang mau cari keuntungan dari kerusuhan ini, harus dibunuh. Ini mentalitas yang sama sekali tidak bisa diterima oleh siapapun. Sebab, siapa saja yang bermental seperti kelelawar, pasti akan membuat keonaran, tetapi di balik semua itu, dia akan mengambil keuntungan, demi kepentingan pribadi dan kelompoknya”.
“Yang terpenting adalah, kita bagun kesadaran universal, dan bukan kesadaran sektarian kayak kelelawar”, Teriak Kancil.
“Lalu hukuman apa yang akan ditimpakan kepada kelelawar?”, Tanya Kambing hutan.
“Nah, karena kita ada dua kelompok, hukuman ini bisa diberikan dari kedua belah pihak”, Harimau memberi jalan keluar.
“Oke, sekarang dari pihak binatang darat dulu”.
“Baik, kalau begitu, kami sepakat, menghukum kelelawar, tidak boleh keluar siang. Dia hanya boleh keluar malam saja”, Ujar Singa mewakili binatang darat, melata dan mamalia.
“Dari kami, hukumannya, kelelawar, harus tidur tergantung dengan kaki diatas”, Ujar Elang mewakili bangsa burung dan biantang yang terbang.
Mulai hari itulah, Kelelawar, hingga sekarang, hanya keluar malam, dan setiap tidur, dia harus bergantung dengan kaki diatas.
Tetapi, sepertinya, hukuman ini, tak memudarkan bangsa kelelawar, untuk menyebar ideologinya. Hingga sekarang, negeri ini, masih banyak dihuni oleh manusia-manusia yang punya ideologi kelelawar. Mencari keuntungan dari kerusuhan dan konflik sesama, demi keuntungan pribadi. Dasar negeri kelelawar. Mestinya, mereka juga harus dihukum seperti kelelawar. (*)
DL.Daun – Palembang, akhir Juni 2002
Lepas Ashar, setiap kali aku duduk di serambi masjid, aku selalu menyaksikan puluhan, bahkan ratusan Kelelawar. Maklum, di depan masjid itu, ada sebatang pohon beringin yang cukup besar. Dan diatasnya, bergelantungan buah kecil-kecil, yang sepertinya memang disukai oleh Burung dan Kelelawar. Sehingga wajar saja, jika tiap sore menjelang, hampir semua kelelawar, burung, berkumpul, dan beterbangan, dari dahan ke dahan, dari ranting ke ranting. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk memetik rubuan buah pohon beringin, yang tampak ranum. Kalau saja, aku seekor kelelawar, mungkin aku juga akan ikut berebutan seperti mereka. Mereka datang berbondong-bondong, saling sikat , saling sikut, untuk mendapat buah incarannya.
Menjelang maghrib, jumlah kelelawar makin banyak. Sementara, puluhan burung, malah sebaliknya. Satu persatu, burung-burung yang sebelumnya ikut berebut buah, justeru mulai lenyap.
Besoknya, lepas dluhur, aku masih duduk di serambi masjid. Kali ini, aku tidak lagi menjumpai ratusan kelelawar. Tetapi, di bawah pohon, muncul puluhan binatang lain. Ada Kambing, Kancil, dan beberap binatang darat , binatang melata dan mamalia lainnya.
Sepertinya, tujuan mereka sama. Mereka datang untuk mengais sisa buah pohon beringin yang berserakan di bawah pohon. Sebenarnya, mereka punya keinginan untuk mendapat buah aslinya, dan bukan buah sisa. Tetapi, apa boleh buat, mereka tak punya sayap sebagaimana burung dan kelelawar. Dan mau tidak mau, mereka harus menerima sisa dan makan buah bekas gigitan kelelawar dan puluhan burung.
Untuk beberapa bulan, ratusan binatang darat ini, masih saja menerima, ketika mereka harus makan sisa dari kelelawar dan burung. Tetapi, lama-lama, mereka juga jenuh dan bosan, jika sepanjang hidupnya, harus makan sisa dari kelelawar dan burung. Mungkin bukan saja kambing, kancil, aku juga tidak mau jika harus makan bekas orang. Apalagi, kalau makan sisa kelelawar.
Ketidakpuasan ini, akhinrya dilaporkan ke raja hutan.
“Lapor Sang Raja”, Ujar Kancil di depan Singa.
“Ada apa Kancil?”
“Anu, Sing…E, …”.
“Kenapa kau gugup?”
“Ah, enggak kok. Saya hanya mau laporan. Sebenarnya, ini bukan kemauan saya, tetapi, kemauan semua binatang darat di hutan ini?’
“Maksudmu?”
“Yaaa, ini usulan dari binatang yang tidak bisa terbang macam kita”.
“Hmmm….apa keinginan kalian dan kawan-kawan?”
“Kita ini kan punya hak yang sama, Sing. Jadi, di hutan ini, siapapun juga, setiap binatang, juga memiliki wewenang yang sama untuk memilki keaslian, seperti buah phon beringin yang ada di depan masjid itu”.
“To the point saja, Cil, aku tak punya banyak waktu”.
“Apakah akan selamanya , binatang macam kita, hanya akan makan buah pohon beringin, sisa dari kelelawar dan burung?”.
“Lalu?”
“Ya, keinginan saya dan kawan-kawan sih, bagaimana kalau Singa si raja hutan, bisa memperjuangkan hak-hak kami, yang selama ini, hanya dapat makanan sisa. Ini kan diskriminatif. Sementara, kita sering bicara pemerataan dan persamaan hak”.
Sejenak, Singa garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Raja hutan ini, tampak mulai berpikir.
“Bagaimana Sing?” Sela Kancil tidak sabar.
“Cil, sebenarnya, aku sih mau-mau saja memperjuangkan
keinginan kawan-kawan. Tapi, semua ini mesti dirapatkan dulu dengan majelis hutan. Tidak bisa usulanmu ini, selesai dalam satu hari. Belum lagi, para pengawal kerajaan hutan ini, juga harus berkirim surat ke beberapa pejabat terkait, untuk diajak musyawarah tentang hal ini”.
“Ya, nggak apa-apa. Tapi jangan lama-lama”.
“Tapi semua ini perlu birokrasi, Cil”.
“Lha, birokrasi itu kan diciptakan untuk memudahkan, bukan untuk menyulitkan?”
“Ah, kau ini makin pintar saja, Cil?”
Kancil jadi kikuk.
“Tapi, Sing, kawan-kawan sudah tidak betah lagi, makan sisa-sisa kelelawar dan burung”.
Paginya, Singa menggelar rapat khusus. Rapat dipimpin oleh Harimau.
“Saudara-saudaraku, para binatang darat, melata dan mamalia, yang kami hormati”, Harimau membuka rapat.
“Dalam surat edaran yang kami kirim satu hari lalu, tentu saudara, sudah mengetahui, apa tujuan kita di sini berkumpul. Yaitu membahas usulan Kancil dan kawannya, agar binatang sebangsa kita, tidak selalu makan buah sisa dari kelelawar. Dan pagi ini, rapat saya buka. Dan silakan, saudara memberi masukan atas gagasan ini”.
“Mohon bicara pimpinan sidang”, Srigala membuka pembicaraan.
“Apa usulmu, Sri?”
“Saya bukan usul, tapi keberatan!”
Majelis sejenak diam. Mata para binatang tertuju pada Srigala.
“Bagi saya, usulan agar binatang sebangsa kita tidak lagi mendapat sisa dari kelawar, itu tuntutan yang tidak masuk akal. Kita ini kan tidak punya sayap. Lagi pula, saya juga tidak pernah doyan yang namanya buah pohon beringin, saya ini makan daging kerbau, daging banteng…”
“Interupsi pimpinan sidang!”, Kambing menyela pembicaraan.
“Interupsi diterima, silakan, mBing!”
“Pernyataan Srigala itu terlalu pribadi. Apa yang dikatakan itu, tidak lebih hanya menyangkut kepentingan individu, karena Srigala tidak pernah makan buah,! atau jangan-jangan, Srigala sudah melakukan konspirasi dengan para kelelawar dan burung…!”
“ Itu tuduhan yang mengada-ada!” Srigala Protes.
“Tenang..tenang…”, Pimpinan sidang menenangkan suasana rapat yang mulai tegang.
“Ada usulan lain?”
“Kalau saya begini”, Kucing hutan mencoba memberi gagasan. “Persoalan makan sisa dari kelelawar ini kan sudah lama. Kalau kita akan protes, kenapa kita tidak protes dengan Tuhan saja, kenapa kita diciptakan tanpa sayap”.
“Konret! Konret…”. Teriak binatang yang lain.
“Ya, maksud saya, kenapa kita tidak nyatakan perang saja, dengan bangsa burung dengan kelelawar. Siapa yang menang, nanti bisa menguasai pohon beringin, sekaligus bisa memiliki buahnya”.
“Mohon bicara pimpinan sidang!” Kancil angkat bicara. “Usulan Kucing hutan terlalu ekstrim. Kenapa kita tidak lebih dulu melakukan pendekatan kultural saja. Yang perlu dilakukan pendekatan ersuasif, bukan represif. Sebab, kalau kita menyatakan perang, ini sama artinya, kita akan saling bunuh, sesama kita. Yang jadi korban, mungkin bukan para pejabat di ruang sidang ini, tetapi, binatang kecil, yang mungkin mereka tidak bersalah. Saya tidak setuju! Ini sama saja kita melakukan pembinasaan hak masyarakat kelelawar dan burung. Sekali lagi, perang hanya dimililki oleh militer. Dan kita bukan militer!”
Perdebatan terus berlangsung seru. Ketegangan, adu argumen dan beragam kepentingan muncul dalam ruang sidang pansus. Tetapi, keputusan, akhirnya diambil dengan cara voting. Dan gagasan Kucing hutan, lebih mendominasi. Dengan sendirinya, keputusan akhir adalah melakukan perang dengan bangsa kelelawar dan burung.
“Payah, kucing hutan, terlalu banyak bergaul dengan para buaya, anak-anak singa dan anak harimau. Makanya dia usulannya ya represif”. Ujar Kancil menggerutu.
“Ya wajar kan, kucing hutan dengan singa, harimau, itu kan punya selera yang sama. Belum lagi, kucing hutan kan sering mencarikan daging buat singa, harimau dan buaya. Ya sudah tentu, dalam rapat tadi, bangsa kita yang kecil kalah. Saya tadi kan sudah bilang, sidang ini jangan diputuskan dengan voting. Kalau voting pasti kita kalah. Konspirasi mereka terlalu kuat”, Ujar kambing hutan yang juga kecewa.
Tapi apa boleh buat. Semua sudah menjadi keputusan sidang pansus. Mau tidak mau, semua binatang harus menerima. Sementara, semut, kadal, ulat, hanya ancang-ancang mencari tempat bersembuyi, kalau-kalau saja, perang benar-benar terjadi.
Di balik itu, ternyata, masyarakat kelelawar dan burung sudah dapat bocoran. Merekapun melakukan rapat singkat, mengatur strategi.
“Kenapa tidak kita tolak saja. Ini pasti akan banyak membawa korban”. Kata Burung Jalak keberatan dengan istilah perang.
“Ya tidak bisa. Ini sudah keputusan mereka. Kita harus hadapi”, Ujar Gagak seakan sudah siap berperang dengan binatang darat.
Mereka pun mengatur taktik sedemikian rupa. Dan mulai hari itu, mulai di data, semua binatang yang bakal masuk dalam pasukan perang. Kelompok binatang tebang, dipimpin oleh Burung Elang. Sementara, dari pihak binatang darat, melata dan mamalia dipimpin langsung oleh Harimau.
Pendaftaran dimulai. Di balik kesibukan panitia menerima pendaftaran. Pimpinan Kelelawar menyusup ke kawasan binatang darat.
“Saya kelelawar, ingin mendaftarkan diri, bergabung dengan kalian”, Ujar Kelelawar di hadaoan Harimau.
“Lho, ya tidak bisa. Kau kan masuk dalam binatang yang terbang”.
“Tapi, saya punya kesamaan dengan kalian. Saya ini kan beranak. Jadi sekalipun saya binatang terbang macam burung, tetapi, saya binatang mamalia juga. Sama seperti kalian”.
Harimau berpikir sejenak. Ia berbisik dengan panitia yang lain.
“Tapi bagaimana di kelompokmu? Apa tidak akan di protes?”
“Ah, itu kan urusan saya. Tenang saja, mereka tidak bakal tahu, kalau saya ikut bergabung di sini”.
Sementara, di kelompok bangsa burung, kelelawar, juga didaftar sebagai pasukan inti. Dan bangsa burung pun tidak protes. Sebab, kelelawar memang masuk dalam binatang yang terbang.
Tepat hari jadi berperang, masing-masing kelompok belum masuk ke arena perang. Keduanya masih menunggu kedatangan satu pasukan. Apalagi kalau bukan kelompok kelelawar.
Kegelisahan ini, mendorong Harimau mengutus Kancil untuk menunda perang, karena masih menunggu pasukan kelelawar.
“Maaf, saya utusan dari bangsa binatang darat, meminta agar perang ini ditunda sesaat. Sebab kami masih menunggu, pasukan kelelawar”.
“Ha!” Semua binatang bangsa burung terkejut.
“Kenapa?” Tanya Kancil heran.
“Kami juga sedang menunggu pasukan kelelawar”.
Mendengar laporan itu, baik kelompok Elang dan kelompok Harimau menjadi geram. Keduanya merasa dipermainkan oleh kelelawar. Sebab, sampai dua hari, meraka kemudian harus mencari kelelawar. Kedua kelompok ini, tidak kurang kalah pintar. Mereka menghadang, di tempat biasa kelelawar mengambil makanan. Dimana lagi kalau bukan di kawasan pohon beringin.
Tepat, kelelawar sedang pesta pora, memakan buah pohon beringin yang sedang dipersengketakan.
“Turun kau kelelawar!” Bentak Gagak hitam geram.
Semua kelelawar ketakutan. Perlahan, meraka turun.
“Kurang ajar Kau kelelawar! Kau sudah menangguk keuntungan, di tengah kericuhan ini. Kau sudah menodai bangsa binatang yang terbang. Kau mau enak sendiri. Dan membiarkan kami perang! Cuih!”
“Sekarang begini, kawan-kawan!” Elang, mencoba memberi penjelasan ke semua bangsa binatang. “Kali ini, Kelelawar telah melakukan kesalahan. Sekalipun dia menyelamatkan kita dari peperangan, sekarang kita tahu, watak kelelawar. Ternyata, kelelawar, hanya akan mencari keuntungan, di balik perseteruan kita. Ideologi kelelawar, yang mau cari keuntungan dari kerusuhan ini, harus dibunuh. Ini mentalitas yang sama sekali tidak bisa diterima oleh siapapun. Sebab, siapa saja yang bermental seperti kelelawar, pasti akan membuat keonaran, tetapi di balik semua itu, dia akan mengambil keuntungan, demi kepentingan pribadi dan kelompoknya”.
“Yang terpenting adalah, kita bagun kesadaran universal, dan bukan kesadaran sektarian kayak kelelawar”, Teriak Kancil.
“Lalu hukuman apa yang akan ditimpakan kepada kelelawar?”, Tanya Kambing hutan.
“Nah, karena kita ada dua kelompok, hukuman ini bisa diberikan dari kedua belah pihak”, Harimau memberi jalan keluar.
“Oke, sekarang dari pihak binatang darat dulu”.
“Baik, kalau begitu, kami sepakat, menghukum kelelawar, tidak boleh keluar siang. Dia hanya boleh keluar malam saja”, Ujar Singa mewakili binatang darat, melata dan mamalia.
“Dari kami, hukumannya, kelelawar, harus tidur tergantung dengan kaki diatas”, Ujar Elang mewakili bangsa burung dan biantang yang terbang.
Mulai hari itulah, Kelelawar, hingga sekarang, hanya keluar malam, dan setiap tidur, dia harus bergantung dengan kaki diatas.
Tetapi, sepertinya, hukuman ini, tak memudarkan bangsa kelelawar, untuk menyebar ideologinya. Hingga sekarang, negeri ini, masih banyak dihuni oleh manusia-manusia yang punya ideologi kelelawar. Mencari keuntungan dari kerusuhan dan konflik sesama, demi keuntungan pribadi. Dasar negeri kelelawar. Mestinya, mereka juga harus dihukum seperti kelelawar. (*)
DL.Daun – Palembang, akhir Juni 2002
YANG TERHORMAT HAJI FEODAL
Cerpen Imron Supriyadi
Harga kopi merangkak naik. Warga Desa Sukaningrat bersuka ria. Sebagian warga ada yang mengadakan acara khusus di rumahnya dengan membaca Suroh Yasin sebagai bentuk syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa. Gelak tawa dan suka cita ini sekaligus mengembalikan semangat warga Desa Sukaningrat untuk kembali merawat kebun kopi yang beberapa tahun mereka lakukan tanpa harapan.
Raut wajah sumringah dan menebar senyum petani kopi Desa Sukaningrat telah menghibur mereka, setelah dalam kurun waktu 10 tahun mereka didera oleh anjloknya harga kopi. Pasca kepemimpinan Presiden Habibie harga kopi sempat terpuruk hingga Tiga Ribu Rupiah per kilogramnya.
Banyak warga Desa Sukaningrat yang kemudian harus banting setir menyulap kebunnya dengan menanami Palawija. Tetapi keuntungannya tidak sebanding dengan hasil kopi. Mereka akhirnya hanya hidup segan mati tak mau.
Derai air mata petani kopi kini telah usai. Mereka pantas tersenyum lega. Setiap warga bisa menikmati hasil antara 15 juta dalam setiap satu hektarnya. Sementara, warga Desa Sukaningrat mayoritas memiliki lahan kopi lebih dari 3 hektar. Sungguh, ini menjadi jawaban kesabaran yang mereka tahan selama bertahun-tahun.
Dari hasil kopi, ada sekitar 40 warga yang kemudian menunaikan ibadah haji ke Kota Makkah Mukarromah. Ritual keagamaan mereka lakukan saat mereka pulang kembali ke Desa Sukaningrat. Tidak disangka, dalam waktu relatif singkat, di Desa Sukaningrat yang dikenal rawan kriminalitas kini berubah menjadi “Desa Santri” Betapa tidak? Adanya 40 orang yang kemudian menulis di depan namanya dengan “haji” menjadi simbol ketokohan seseorang, terutama dalam bidang agama. Mereka merasa banga dengan gelar itu.
“Apa? Ketokohan?! Penguasaan ilmu agama?!” Abah mencibir pada gelar itu. “Saya tidak akan menggunakan gelar haji, meskipun saya sudah 2 kali pergi ke Makkah, jauh sebelum 40 orang itu berangkat ke Makkah,” Abahku protes keras
dengan rencana pertemuan 40 haji yang baru saja pulang di Balai Desa.
“Lim, coba kamu pikir! Gelar haji itu bukan gelar istimewa. Pergi ke Makkah bukan hanya sekedar ingin mendapat gelar haji setelah pulang ke Indonesia! Tapi gelar haji sebuah pertanggungjawaban moral, bagaimana sikap muslim dalam menyikapi hidup ini dengan lebih bijak, lebih arif dan lebih manusiawi setelah mereka pulang!” suara Abah makin meninggi.
Wajahnya menunjukkan kekecewaan terhadap sebagian haji yang hanya bangga dengan gelarnya. Dadanya serasa penuh. Kalau sampai meledak, mungkin dapat menghempaskan semua isi rumah. Tangannya mengepal menekan permukaan meja. Emosinya seperti menyalur kebeberapa sudut meja. Air teh tadi sore juga ikut bergetar. Abah seperti seperti dendam Ikan Paus terhadap Ikan Hiu yang memakan anaknya. Dalam posisi itu, sebaiknya aku harus menjauh. Tapi kalau itu aku lakukan aku bisa menjadi sasaran amarahnya.
“Kalau setiap orang pulang dari Makkah digelari haji, kenapa jutaan orang muslim yang syahadat, shalat, zakat, puasa tidak disebut Bapak Syahadat, Tuan Shalat Hasan! Yang terhormat Bapak Zakat Hasan dan Bapak Puasa Hasan! Yang ada Haji Hasan! Kenapa hanya haji yang mereka letakkan di depan nama mereka?!"
“Mungkin karena Haji harus mengeluarkan uang banyak, sehingga mereka…!”
“Brak!” Abah menggebrak meja. Aku terkejut. Aku jadi sasaran kali itu.
“Lim, dengar oleh kamu. Uang yang diserahkan itu untuk biaya transportasi dan keperluan di Makkah, bukan untuk membeli haji!” Abah menatapku tajam.
“Abah mau minum air putih?” kataku meredakan emosinya. Abah tak menolak saat kemudian aku menuangkan air putih dan menyodorkan di hadapannya. Syukur Alhamdulillah, Abah kemudian menenggak air putih sampai tak tersisa setetespun. Melihat caranya minum, Abah seperti orang yang baru saja menahan puasa tiga hari tiga malam. Untung gelas yang dipegang tidak remuk oleh getaran emosinya.
“Astaghfirullahaladziiim,” beberapa kali Abah mengucap istighfar, mohon ampunan kepada Tuhan. Ia sadar kalau emosinya telah mengundang syetan di ballik jantungnya. Ia menengadahkan kedua tangannya keatas. Aia setengah menyesal.
Ia sodorkan lagi gelas kosong padaku. Kutuangkan lagi. Untuk kali kedua, Abah menenggak air putih sampai tak tersisa. Ia menghela napas. Aku lega. Air putih itu ternyata telah sedikit mengurangi ketegangan otot syaraf di kepala Abah. Mungkin tidak salah jika aku mulai lagi dengan perdebatan yang lebih dingin. Kucoba mencari kalimat rendah, agar emosi Abah tak naik lagi.
“Bah, menurutku, kita tidak mungkin bisa merubah tradisi itu, Bah,” kataku pelan. Aku berharap dengan kalimat ini tidak menaikkan spaning. “Bukan di kampung ini saja, Bah. Tetapi di semua pelosok tanah air Indonesia ini, gelar haji seakan menjadi gelar istimewa. Setiap haji kemudian diberi hak untuk memimpin kegiatan keagamaan, walaupun sebenarnya mereka tidak menguasai. Dari menjadi imam shalat, berdoa, sampai menjadi khotib jumat,” kataku setengah mengamini pendapat Abah.
“Nah, itu yang Abah maksud, Lim,” pancinganku kena kali ini. Abah tak pula terlalu emosi. Kali ini bicaranya lebih dingin dari sebelumnya. Nadanya rendah. Kecerdasan emosional Abah baru mulai tampak. Detak jantungku juga reda.
“Penguasaan ilmu agama, alim atau tidak alim itu bukan diukur dari gelar haji. Sebab mereka berangkat ke Makkah untuk memenuhi panggilan Allah, bukan untuk mendapat gelar haji. Setelah pulang, bukan berarti kemudian mereka harus diangung-agungkan. Tapi itulah Lim, bisa kau lihat sendiri, kan? Saat ini masih banyak orang menyandang gelar haji, tapi masih juga korupsi. di Makkah, mereka melempar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syetan. Tetapi setelah pulang ke Indonesia, mereka berkawan lagi dengan syetan,” Abah seperti ustadz sedang berceramah di masjid.
“Tapi kenapa gelar haji di Indonesia ini seperti sesuatu yang sakral, Bah,” aku memperlebar pembicaraan.
“Belanda sudah lama meninggalkan kita. Jadi negeri ini tidak perlu mewarisi tinggalan Belanda itu!,” kalimat Abah melenceng jauh dari pertanyaanku. Aku bertanya soal haji, mengapa Abah bercerita tentang Belanda. Sesaat aku diam. Abah menatapku. Ia kemudian tertawa lebar. Aku makin tidak mengerti. Abah tahu persis kalau aku sedang bingung kali itu.
“Belanda?!” aku bertanya pelan. Aku masih menunggu ucapan lanjutan dari mulut Abah. Kali kedua Abah tertawa lebar. Mulutnya masih mengepulkan asap rokok. Ia bangkit. Kali ini Abah duduk lebih dekat. Ia raih bahu kiriku. Seperti ada pesan serius yang akan ia sampaikan. Mataku mengikuti gerakan Abah, sampai ia duduk di dekatku.
“Lim, berapa lama Belanda menjajah kita?”
“Kalau menurut sejarah di buku 350 tahun,” jawabu pendek.
“Lalu berapa lama negeri ini dijajah oleh bangsa asing?”
“Maksud Abah?” aku makin penasaran.
“Belanda, Jepang menjajah kita dihitung oleh sejarah dengan bilangan angka. Tetapi penjajahan bangsa asing setelah itu tak terhitung dengan urutan matematika,” aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan Abah.
“Penjajahan 350 tahun dan Jepang 3 tahun. Itu penjajahan yang berbentuk fisik. Mortir, bom dan mesiu, dor..dor..tembak!, itu yang 350 tahun, Lim,” Abah menjelaskan dengan gaya teaterikal. Ia peragakan bagaimana para pejuang menembak mati Belanda. Abah seperti sedang kembali pada masa lalunya, saat bergerilya bersama Panglima Jenderal Sudirman melawan Kolonial Belanda dan Jepang.
“Lantas apa hubungannya haji dengan Balanda, Bah?” aku mengembalikan tema pembicaraan yang menurutku melenceng jauh.
“Walaupun kata orang kita sudah lepas dari penjajah, tapi sebenarnya sampai saat ini kita masih terjajah, Lim. Penjajahan sekarang tidak bisa dihitung dengan angka-angka,” Abah masih menceritakan penjajah. Lantas bagaimana hubugannya dengan haji? Aku berpikir keras untuk mencari titik temu antara haji dan Belanda.
“Penjajahan pemikiran dan ideologi, sampai saat ini masih begitu mengakar. Kita lepas dari mortir, bom Belandadan Jepang! Tapi perilaku, pola pikir dan cara pandang, tata budaya kita masih seperti Belanda. Dan salah satu warisan itu bernama, Haji!” Abah bicara sangat dekat dengan telingaku. Ia seakan menekankan kalimat “haji” sebagai inti pokok persoalan yang ingin ia sampaikan padaku.
“Haji!?” aku masih penasaran.
“Yap! gelar haji adalah warisan feodalis Belanda,” tegas Abah tanpa ragu.
“Jutaan orang Islam pergi ke Kota Makkah menunaikan ibadah haji. Tetapi hanya Indonesia saja yang kemudian digelari haji oleh masyarakat. Di Negara lain, mana ada gelar haji, Lim!” Abah melebarkan bibirnya hingga tampak sebagian giginya yang hitam kuning-kuningan akibat terlalu lama Abah mengisap nikotin.
“Abah kok jadi ngelantur?”
“Masyarakat kita yang ngelantur, akhirnya salah kaprah dengan gelar haji,” kata Abah ringan. Aku menunggu argumentasi Abah tentang tuduhan haji sebagai warisan Belanda. Tapi Abah masih diam memandangku. Abah makin mengaduk-aduk otakku kali itu. Aku masih penasaran.
“Pendapat Abah ini bisa membuat orang marah, Bah. Sebab sampai saat ini hampir tidak ada yang tahu kalau haji itu warisan Belanda,” aku memancing argumentasi Abah. Ingin aku segera mendegar penjelasan Abah. Sebab ini adalah kabar baru yang tak pernah kudapat sebelumnya.
“Itulah pentingnya belajar sejarah, Lim. Tapi berapa banyak masyarakat kita yang peduli dengan sejarah? Malah sebaliknya, sebagian orang sedang berusaha membunuh dan memutarbalikkan sejarah. Soeharto dengan penumpasan PKI, sedang membunuh sejarah perjuangan Soekarno, dengan tuduhan Soekarno terlibat PKI. Bagaimana mungkin Soekarno melakukan kudeta terhadap dirinya sendiri, sementara dia sedang dalam posisi sebagai presiden seumur hidup? Kalau mau, Soekarno kan bisa saja memecat para jenderal yang tidak satu jalan dengan dia, tidak mesti dibunuh! PKI yang dituduh sebagai otak pemberontakan, mengapa dia tidak siap saat dilakukan penangkapan oelh Soeharto!? Mestinya, dengan jumlah 3 juta anggotanya, PKI bisa melakukan perlawanan. Tapi ini tidak, Lim!?” kalimat Abah makin tidak fokus. Abah makin liar. Kalau dibiarkan, akan menaikkan spaning Abah. Wajahnya sudah mulai serius. Sebentar lagi Abah akan kembali ke masa lalunya. Dendam terhadap Belanda itu bisa meledak di rumah ini seketika. Gawat!
“Bah, Abah tu cuma minum teh dan air putih. Tapi kenapa Abah jadi seperti orang mabuk. Sampai-sampai cerita PKI-lah, Sorekarno-lah. Yang kita bahas ini Haji! Haji, Bah!” aku makin kesal dengan Abah yang makin tidak jelas. Tapi dengan kalimat ini aku ingin mengambalikan ingatan Abah.
“E, iya. Sori. Abah terlalu ngelantur. Tadi apa? Haji?”
“Iya Haji itu warisan Belanda. Jadi Belanda sengaja menerapkan strategi politik struktural feodalistik dengan gelar-gelar ningrat dan gelar haji,” Abah kembali pada kesadarannya.
“Kenapa Belanda melakukan itu, Bah?”
“Ini untuk memudahkan Belanda dalam memetakan para tokoh, siapa tokoh-tokoh yang berpengaruh. Kalau diantara mereka melakukan pembelotan bersama rakyat terhadap pemerintah Kolonial Belanda, dengan mudah Belanda menciduk dan mengasingkan mereka. Makanya, beberapa tokoh agama di negeri ini yang menggali ilmu ke Mesir, Kairo dan sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah, setelah pulang disambut oleh Belanda dengan penobatan gelar haji. Anehnya, masyarakat kita menerima saja. Mereka tidak berpikir kalau gelar ini adalah perangkap Balanda. Ya, sama dengan gelar ningrat. Siapa yang mendapat gelar haji atau gelar ningrat, dalam setiap pertemuan akan menjadi tamu kehormatan. Keturunan mereka diberi hak untuk ikut sekolah Belanda. Setiap bulan mereka mandapat semacam gaji bulanan sebagai bentuk penghargaan. Ini kata mereka!” api kebencian terhadap Belanda itu mulai meranjak ke ubun-ubun Abah. Mata Abah mulai membulat seperti purnama. Tapi sinarnya tidak terang kekuning-kuningan. Ia memerah seperti matahari yang hendak tenggelam diufuk barat.
“Bah! Abah!” seseorang memanggil dari luar. Aku bersyukur. Suara itu kemudian membuyarkan api dendam yang hampir membara.
“Nanti malam, Abah diminta mengukuhkan haji di Balai Desa,” Udin bicara tak melihat suasana emosi Abah.
Abah memandang Udin serius. Udin jadi kikuk. Bibirnya gagap seperti tersangka sedang diperbal polisi. Bola matanya melompat-lompat kearah Abah dan kearahku secara bergantian. Udin menunggu jawaban Abah. Tak ada suara dari bibirnya. Abah melangkah lebar meninggalkan kami. Aku dan Udin hanya saling pandang. Kami tidak mengerti dengan sikap Abah. Sesaat kami berbincang seadanya mengisi suasana yang gagu. Tak lama Abah kembali. Selembar kertas diserahkan pada Udin. Ada tulisan besar di atasnya; “Atas nama kebencian terhadap Belanda, saya gelari anda sebagai Haji Feodal!” (*)
BTN Krg. Asam - Tanjung Enim,
21 September 2008 M
21 Ramadhan 1429 H
Harga kopi merangkak naik. Warga Desa Sukaningrat bersuka ria. Sebagian warga ada yang mengadakan acara khusus di rumahnya dengan membaca Suroh Yasin sebagai bentuk syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa. Gelak tawa dan suka cita ini sekaligus mengembalikan semangat warga Desa Sukaningrat untuk kembali merawat kebun kopi yang beberapa tahun mereka lakukan tanpa harapan.
Raut wajah sumringah dan menebar senyum petani kopi Desa Sukaningrat telah menghibur mereka, setelah dalam kurun waktu 10 tahun mereka didera oleh anjloknya harga kopi. Pasca kepemimpinan Presiden Habibie harga kopi sempat terpuruk hingga Tiga Ribu Rupiah per kilogramnya.
Banyak warga Desa Sukaningrat yang kemudian harus banting setir menyulap kebunnya dengan menanami Palawija. Tetapi keuntungannya tidak sebanding dengan hasil kopi. Mereka akhirnya hanya hidup segan mati tak mau.
Derai air mata petani kopi kini telah usai. Mereka pantas tersenyum lega. Setiap warga bisa menikmati hasil antara 15 juta dalam setiap satu hektarnya. Sementara, warga Desa Sukaningrat mayoritas memiliki lahan kopi lebih dari 3 hektar. Sungguh, ini menjadi jawaban kesabaran yang mereka tahan selama bertahun-tahun.
Dari hasil kopi, ada sekitar 40 warga yang kemudian menunaikan ibadah haji ke Kota Makkah Mukarromah. Ritual keagamaan mereka lakukan saat mereka pulang kembali ke Desa Sukaningrat. Tidak disangka, dalam waktu relatif singkat, di Desa Sukaningrat yang dikenal rawan kriminalitas kini berubah menjadi “Desa Santri” Betapa tidak? Adanya 40 orang yang kemudian menulis di depan namanya dengan “haji” menjadi simbol ketokohan seseorang, terutama dalam bidang agama. Mereka merasa banga dengan gelar itu.
“Apa? Ketokohan?! Penguasaan ilmu agama?!” Abah mencibir pada gelar itu. “Saya tidak akan menggunakan gelar haji, meskipun saya sudah 2 kali pergi ke Makkah, jauh sebelum 40 orang itu berangkat ke Makkah,” Abahku protes keras
dengan rencana pertemuan 40 haji yang baru saja pulang di Balai Desa.
“Lim, coba kamu pikir! Gelar haji itu bukan gelar istimewa. Pergi ke Makkah bukan hanya sekedar ingin mendapat gelar haji setelah pulang ke Indonesia! Tapi gelar haji sebuah pertanggungjawaban moral, bagaimana sikap muslim dalam menyikapi hidup ini dengan lebih bijak, lebih arif dan lebih manusiawi setelah mereka pulang!” suara Abah makin meninggi.
Wajahnya menunjukkan kekecewaan terhadap sebagian haji yang hanya bangga dengan gelarnya. Dadanya serasa penuh. Kalau sampai meledak, mungkin dapat menghempaskan semua isi rumah. Tangannya mengepal menekan permukaan meja. Emosinya seperti menyalur kebeberapa sudut meja. Air teh tadi sore juga ikut bergetar. Abah seperti seperti dendam Ikan Paus terhadap Ikan Hiu yang memakan anaknya. Dalam posisi itu, sebaiknya aku harus menjauh. Tapi kalau itu aku lakukan aku bisa menjadi sasaran amarahnya.
“Kalau setiap orang pulang dari Makkah digelari haji, kenapa jutaan orang muslim yang syahadat, shalat, zakat, puasa tidak disebut Bapak Syahadat, Tuan Shalat Hasan! Yang terhormat Bapak Zakat Hasan dan Bapak Puasa Hasan! Yang ada Haji Hasan! Kenapa hanya haji yang mereka letakkan di depan nama mereka?!"
“Mungkin karena Haji harus mengeluarkan uang banyak, sehingga mereka…!”
“Brak!” Abah menggebrak meja. Aku terkejut. Aku jadi sasaran kali itu.
“Lim, dengar oleh kamu. Uang yang diserahkan itu untuk biaya transportasi dan keperluan di Makkah, bukan untuk membeli haji!” Abah menatapku tajam.
“Abah mau minum air putih?” kataku meredakan emosinya. Abah tak menolak saat kemudian aku menuangkan air putih dan menyodorkan di hadapannya. Syukur Alhamdulillah, Abah kemudian menenggak air putih sampai tak tersisa setetespun. Melihat caranya minum, Abah seperti orang yang baru saja menahan puasa tiga hari tiga malam. Untung gelas yang dipegang tidak remuk oleh getaran emosinya.
“Astaghfirullahaladziiim,” beberapa kali Abah mengucap istighfar, mohon ampunan kepada Tuhan. Ia sadar kalau emosinya telah mengundang syetan di ballik jantungnya. Ia menengadahkan kedua tangannya keatas. Aia setengah menyesal.
Ia sodorkan lagi gelas kosong padaku. Kutuangkan lagi. Untuk kali kedua, Abah menenggak air putih sampai tak tersisa. Ia menghela napas. Aku lega. Air putih itu ternyata telah sedikit mengurangi ketegangan otot syaraf di kepala Abah. Mungkin tidak salah jika aku mulai lagi dengan perdebatan yang lebih dingin. Kucoba mencari kalimat rendah, agar emosi Abah tak naik lagi.
“Bah, menurutku, kita tidak mungkin bisa merubah tradisi itu, Bah,” kataku pelan. Aku berharap dengan kalimat ini tidak menaikkan spaning. “Bukan di kampung ini saja, Bah. Tetapi di semua pelosok tanah air Indonesia ini, gelar haji seakan menjadi gelar istimewa. Setiap haji kemudian diberi hak untuk memimpin kegiatan keagamaan, walaupun sebenarnya mereka tidak menguasai. Dari menjadi imam shalat, berdoa, sampai menjadi khotib jumat,” kataku setengah mengamini pendapat Abah.
“Nah, itu yang Abah maksud, Lim,” pancinganku kena kali ini. Abah tak pula terlalu emosi. Kali ini bicaranya lebih dingin dari sebelumnya. Nadanya rendah. Kecerdasan emosional Abah baru mulai tampak. Detak jantungku juga reda.
“Penguasaan ilmu agama, alim atau tidak alim itu bukan diukur dari gelar haji. Sebab mereka berangkat ke Makkah untuk memenuhi panggilan Allah, bukan untuk mendapat gelar haji. Setelah pulang, bukan berarti kemudian mereka harus diangung-agungkan. Tapi itulah Lim, bisa kau lihat sendiri, kan? Saat ini masih banyak orang menyandang gelar haji, tapi masih juga korupsi. di Makkah, mereka melempar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syetan. Tetapi setelah pulang ke Indonesia, mereka berkawan lagi dengan syetan,” Abah seperti ustadz sedang berceramah di masjid.
“Tapi kenapa gelar haji di Indonesia ini seperti sesuatu yang sakral, Bah,” aku memperlebar pembicaraan.
“Belanda sudah lama meninggalkan kita. Jadi negeri ini tidak perlu mewarisi tinggalan Belanda itu!,” kalimat Abah melenceng jauh dari pertanyaanku. Aku bertanya soal haji, mengapa Abah bercerita tentang Belanda. Sesaat aku diam. Abah menatapku. Ia kemudian tertawa lebar. Aku makin tidak mengerti. Abah tahu persis kalau aku sedang bingung kali itu.
“Belanda?!” aku bertanya pelan. Aku masih menunggu ucapan lanjutan dari mulut Abah. Kali kedua Abah tertawa lebar. Mulutnya masih mengepulkan asap rokok. Ia bangkit. Kali ini Abah duduk lebih dekat. Ia raih bahu kiriku. Seperti ada pesan serius yang akan ia sampaikan. Mataku mengikuti gerakan Abah, sampai ia duduk di dekatku.
“Lim, berapa lama Belanda menjajah kita?”
“Kalau menurut sejarah di buku 350 tahun,” jawabu pendek.
“Lalu berapa lama negeri ini dijajah oleh bangsa asing?”
“Maksud Abah?” aku makin penasaran.
“Belanda, Jepang menjajah kita dihitung oleh sejarah dengan bilangan angka. Tetapi penjajahan bangsa asing setelah itu tak terhitung dengan urutan matematika,” aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan Abah.
“Penjajahan 350 tahun dan Jepang 3 tahun. Itu penjajahan yang berbentuk fisik. Mortir, bom dan mesiu, dor..dor..tembak!, itu yang 350 tahun, Lim,” Abah menjelaskan dengan gaya teaterikal. Ia peragakan bagaimana para pejuang menembak mati Belanda. Abah seperti sedang kembali pada masa lalunya, saat bergerilya bersama Panglima Jenderal Sudirman melawan Kolonial Belanda dan Jepang.
“Lantas apa hubungannya haji dengan Balanda, Bah?” aku mengembalikan tema pembicaraan yang menurutku melenceng jauh.
“Walaupun kata orang kita sudah lepas dari penjajah, tapi sebenarnya sampai saat ini kita masih terjajah, Lim. Penjajahan sekarang tidak bisa dihitung dengan angka-angka,” Abah masih menceritakan penjajah. Lantas bagaimana hubugannya dengan haji? Aku berpikir keras untuk mencari titik temu antara haji dan Belanda.
“Penjajahan pemikiran dan ideologi, sampai saat ini masih begitu mengakar. Kita lepas dari mortir, bom Belandadan Jepang! Tapi perilaku, pola pikir dan cara pandang, tata budaya kita masih seperti Belanda. Dan salah satu warisan itu bernama, Haji!” Abah bicara sangat dekat dengan telingaku. Ia seakan menekankan kalimat “haji” sebagai inti pokok persoalan yang ingin ia sampaikan padaku.
“Haji!?” aku masih penasaran.
“Yap! gelar haji adalah warisan feodalis Belanda,” tegas Abah tanpa ragu.
“Jutaan orang Islam pergi ke Kota Makkah menunaikan ibadah haji. Tetapi hanya Indonesia saja yang kemudian digelari haji oleh masyarakat. Di Negara lain, mana ada gelar haji, Lim!” Abah melebarkan bibirnya hingga tampak sebagian giginya yang hitam kuning-kuningan akibat terlalu lama Abah mengisap nikotin.
“Abah kok jadi ngelantur?”
“Masyarakat kita yang ngelantur, akhirnya salah kaprah dengan gelar haji,” kata Abah ringan. Aku menunggu argumentasi Abah tentang tuduhan haji sebagai warisan Belanda. Tapi Abah masih diam memandangku. Abah makin mengaduk-aduk otakku kali itu. Aku masih penasaran.
“Pendapat Abah ini bisa membuat orang marah, Bah. Sebab sampai saat ini hampir tidak ada yang tahu kalau haji itu warisan Belanda,” aku memancing argumentasi Abah. Ingin aku segera mendegar penjelasan Abah. Sebab ini adalah kabar baru yang tak pernah kudapat sebelumnya.
“Itulah pentingnya belajar sejarah, Lim. Tapi berapa banyak masyarakat kita yang peduli dengan sejarah? Malah sebaliknya, sebagian orang sedang berusaha membunuh dan memutarbalikkan sejarah. Soeharto dengan penumpasan PKI, sedang membunuh sejarah perjuangan Soekarno, dengan tuduhan Soekarno terlibat PKI. Bagaimana mungkin Soekarno melakukan kudeta terhadap dirinya sendiri, sementara dia sedang dalam posisi sebagai presiden seumur hidup? Kalau mau, Soekarno kan bisa saja memecat para jenderal yang tidak satu jalan dengan dia, tidak mesti dibunuh! PKI yang dituduh sebagai otak pemberontakan, mengapa dia tidak siap saat dilakukan penangkapan oelh Soeharto!? Mestinya, dengan jumlah 3 juta anggotanya, PKI bisa melakukan perlawanan. Tapi ini tidak, Lim!?” kalimat Abah makin tidak fokus. Abah makin liar. Kalau dibiarkan, akan menaikkan spaning Abah. Wajahnya sudah mulai serius. Sebentar lagi Abah akan kembali ke masa lalunya. Dendam terhadap Belanda itu bisa meledak di rumah ini seketika. Gawat!
“Bah, Abah tu cuma minum teh dan air putih. Tapi kenapa Abah jadi seperti orang mabuk. Sampai-sampai cerita PKI-lah, Sorekarno-lah. Yang kita bahas ini Haji! Haji, Bah!” aku makin kesal dengan Abah yang makin tidak jelas. Tapi dengan kalimat ini aku ingin mengambalikan ingatan Abah.
“E, iya. Sori. Abah terlalu ngelantur. Tadi apa? Haji?”
“Iya Haji itu warisan Belanda. Jadi Belanda sengaja menerapkan strategi politik struktural feodalistik dengan gelar-gelar ningrat dan gelar haji,” Abah kembali pada kesadarannya.
“Kenapa Belanda melakukan itu, Bah?”
“Ini untuk memudahkan Belanda dalam memetakan para tokoh, siapa tokoh-tokoh yang berpengaruh. Kalau diantara mereka melakukan pembelotan bersama rakyat terhadap pemerintah Kolonial Belanda, dengan mudah Belanda menciduk dan mengasingkan mereka. Makanya, beberapa tokoh agama di negeri ini yang menggali ilmu ke Mesir, Kairo dan sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah, setelah pulang disambut oleh Belanda dengan penobatan gelar haji. Anehnya, masyarakat kita menerima saja. Mereka tidak berpikir kalau gelar ini adalah perangkap Balanda. Ya, sama dengan gelar ningrat. Siapa yang mendapat gelar haji atau gelar ningrat, dalam setiap pertemuan akan menjadi tamu kehormatan. Keturunan mereka diberi hak untuk ikut sekolah Belanda. Setiap bulan mereka mandapat semacam gaji bulanan sebagai bentuk penghargaan. Ini kata mereka!” api kebencian terhadap Belanda itu mulai meranjak ke ubun-ubun Abah. Mata Abah mulai membulat seperti purnama. Tapi sinarnya tidak terang kekuning-kuningan. Ia memerah seperti matahari yang hendak tenggelam diufuk barat.
“Bah! Abah!” seseorang memanggil dari luar. Aku bersyukur. Suara itu kemudian membuyarkan api dendam yang hampir membara.
“Nanti malam, Abah diminta mengukuhkan haji di Balai Desa,” Udin bicara tak melihat suasana emosi Abah.
Abah memandang Udin serius. Udin jadi kikuk. Bibirnya gagap seperti tersangka sedang diperbal polisi. Bola matanya melompat-lompat kearah Abah dan kearahku secara bergantian. Udin menunggu jawaban Abah. Tak ada suara dari bibirnya. Abah melangkah lebar meninggalkan kami. Aku dan Udin hanya saling pandang. Kami tidak mengerti dengan sikap Abah. Sesaat kami berbincang seadanya mengisi suasana yang gagu. Tak lama Abah kembali. Selembar kertas diserahkan pada Udin. Ada tulisan besar di atasnya; “Atas nama kebencian terhadap Belanda, saya gelari anda sebagai Haji Feodal!” (*)
BTN Krg. Asam - Tanjung Enim,
21 September 2008 M
21 Ramadhan 1429 H
Seekor Belut
Cerpen Imron Supriyadi
Seekor belut. Kata orang, aku ini seperti ular. Badanku panjang. Bedanya, kalau ular, memiliki kulit yang bervariasi. Sedang aku, lebih didominasi oleh warna cokelat tua. Dan sisi paling bawah dari badanku agak kekuning-kuningan. Kepalaku seperti peluncur dalam permainan catur. Kata John, orang sebelahku, mahluk seperti aku sulit yang sulit dipegang, apalgi ditangkap. Bukan apa-apa. Sebab, sekujur tubuhku memang mengandung lendir yang sangat licin. Dengan lendir di sekujur tubuhku, aku bisa leluasa untuk berkelit. Memutar badan, ke kanan dan ke kiri. Atau memutar, sehingga aku bisa lepas dari jeratan apapun. Sehingga, tidak semua orang bisa menangkapku. Selihai seorang pawang binatang, mungkin, tidak akan semudah itu bisa menjeratku. Sekalipun, sesekali, aku ditangkap, lalu dibantai lalu digoreng.
Bahkan di Magelang atau di Yogyakarta, aku sudah menjadi komoditi non migas. Dijual di berbagai toko. Dibungkus sedemikian rupa. Lalu ditempel dengan harga bersaing. Tetapi, sekali lagi. Aku tetap saja seekor belut.
Sampai kini, aku juga masih menjadi belut. Tak tahu persisnya, kapan aku mulai berada di Indonesia. Konon, aku berasal dari negeri cina. Bahkan, menurut teman-temanku, di negeri Tionghoa ini, aku dibudidayakan. Diternakkan, dan diperjual belikan. Hingga akhirnya, aku sampai di Indonesia. Di negeri Pancasila ini, aku ditumbuh kembangkan di wilayah Yogyakarta, Magelang dan sekitarnya. Di dua kota ini, aku kemudian berkembang di setiap kawasan sawah. Bagi para pembajak sawah, akan selalu bertemu dengan aku. Dan pada malam hari, tidak jarang, para warga sekitar, sering mencari dan memburuku untuk lauk di meja makan. Kata, salah satu pakar belut, aku ini punya gizi tinggi. Sekalipun, aku masih kalah dengan gizi sapi atau ayam.
Di dua kota ini, aku sudah masuk di super market atau pasar swalayan. Kadang aku dibuat keripik, atau semacam peyek. Dan tidak jarang, aku juga banyak dijumpai di hotel-hotel kawasan Yogyakarta dan Magelang. Bahkan, aku kini sudah menjadi komoditi ekspor non migas. Tetapi, di kota lain, seperti Palembang. Aku justeru menjadi mahluk yang kurang digemari. Sebab, pamorku masih kalah dengan ikan seluang, Betok, ataupun ikan Patin. Tetapi, kurang gemarnya warga palembang untuk menjadikanku sebagai bahan tambahan ekonomi Sumsel, tidak membuatku merasa terusir dari Palembang. Teman-teman sebangsaku di air dan di lumpur, cukup toleran dengan kehadiranku. Kami tak kenal pembedaan perlakuan. Kalau pun harus bertengkar, itu hanya sebagai warna hidup dalam komunitas kami.
Aku hanya seekor belut. Aku hidup dalam ketergantungan cuaca. Pada musim hujan tiba, aku sering muncul di pojok-pojok selokan. Atau muncul di permukaan sawah. Bahkan tak jarang, aku muncul juga di bawah rumah panggung yang permukaanya lembab. Hadirnya aku di bawah kolong, kadang-kadang menjadi incaran para mahasiswa yang kebetulan kost, tempat aku bersembuyi. Kalau senja menjelang, para mahasiswa mengintai rumahku, lalu memasukkan kail penjerat. Untuk kemudian, aku akan dijadikan lauk pada malam harinya. Katanya sih, untuk membantu tambahan gizi. Paginya, aku sudah berubah menjadi tinja, setelah sebelumnya, aku harus bercampur aduk dengan segala makanan di perut. Tetapi, aku masih saja seekor belut, yang hanya bisa hidup di tempat-tempat basah atau sedikit lembab, mengandung air. Kalau musim kemarau tiba, aku segera membenamkan diri ke dalam perut bumi. Menyembunyikan diri, sambil menunggu musim hujan tiba. Hanya sesekali aku keluar ke permukaan. Ya, hanya sekedar membantu pernapasan, demi kelangsungan hidup di dalam tanah. Tapi celakanya, aku juga tidak jarang tertangkap oleh para pencaribelut. Sebab, di kawasan Magelang, paling tidak satu Minggu sekali, apalagi jika purnama tiba. Banyak para pencari ikan yang kemudian mengalihkan buruan. Siapa lagi kalau bukan aku yang menjadi sasaran. Tersiksa memang, tetapi itulah caraku untuk mentaati hukum alam. Karena Tuhan telah menciptakanku menjadi belut. Seperti juga kambing punya cara sendiri untuk mentaati titah Tuhan. Setiap hari raya Kurban, setiap kambing harus bersedia untuk dipotong, sebagai bentuk kedekatan manusia pada Sang Pencipta.
Aku masih tetap seekor belut. Aku hidup seperti mahluk yang lain. Tetapi, aku tak pernah menjalani perkawinan seperti hewan lain, kecuali bekicot, atau hewan sejenisku. Kapan saja, dimana saja, aku bisa saja melakukan persenggamaan. Tak perlu harus menunggu lawan jenis untuk mendekatiku--lalu melakukan persenggamaan, seperti halnya manusia. Aku adalah hewan hermaprodit. Memiliki dua kelamin. Jadi, aku tak mesti susah-susah jika aku sedang menginginkan naluri kebinatanganku. Bagiku, hubungan badan bukan semata-mata hanya untuk mengumbar naluri hewani. Namun, bagiku, persenggemaan kewajiban. Dan ini adalah fitrah setiap mahluk hidup. Secara simbolis, Tuhan telah menciptaku dengan dua kelamin. Itu artinya, kami juga tidak kenal dengan perzinaan. Hanya manusia saja yang kadang-kadang tidak bisa menahan ekor kebinatangannya, lalu tanpa sadar, manusia sering meniru-niru caraku, atau tidak jarang mereka juga memposisikan sebagai binatang hermaprodit. Melakukan persenggamaan dengan dirinya sendiri. Ah, dasar manusia!
Aku hanya seekor belut. Sulit ditangkap. Pintar berkelit. Jika aku dalam jeratan, aku akan mengecilkan badan. Ini adalah caraku untuk lepas dari dekapan. Diatas wajan penggorengan pun, aku masih menggeliat. Aku memang pintar mencari celah untuk berlari dari ranjau. Setiap ada rencana penagkapan, akan kugunakan segala cara, untuk lepas dari perangkap. Bahkan diatas wajan penggorengan pun, aku masih mencoba menggeliat, untuk melompat dari panasnya minyak dan bara api. Memang, ini adalah pekerjaan sia-sia. Tetapi, selagi ada kemampuan untuk berlari, aku akan terus berkelit, berputar, mengecilkan badan, membelit atau juga menggigit. Kecuali, jika Tuhan sudah memintaku untuk kembali.
Aku hanya seekor belut. Bisa dikata, aku juga hewan yang mudah kompromi. Dalam air, aku bisa renang, dalam arus besar sekalipun. Apalagi dalam riak-riak yang kecil. Dalam setiap cara aku bisa bermain. Tetapi, tidak pada setiap cuaca aku bisa hidup. Sebab, sekali lagi, aku hanya hewan yang hidup di tempat yang basah. Jadinya, aku tak pernah bermain di tempat yang kering. Aku tahu, cuaca kemarau yang kering, hanya akan melemahkanku, atau bisa juga akan membunuhku. Makanya, aku memilih tempat yang basah, ya paling tidak pada tempat yang lembab, supaya aku tetap bisa survive.
Aku hanya seekor belut. Aku bisa bermain culas. Bis lebih culas dari seekor Kancil. Aku juga bisa menipu. Bisa lebih pintar dari labi-labi atau kura-kura yang sering menipu menjadi batu. Aku licin. Lebih licin dari ular, ikan, lintah atau pacet. Dalam setiap gerakan tipu, aku sulit terperangkap oleh jeratan. Sebab, aku pintar bermain. Bisa berteman dengan semua jenis ikan sungai. Kalau sudah terpojok, aku juga sering menggunting dalam lipatan, demi kelangsungan hidup di komunitasku. Itulah aku, yang kini tetap menjadi belut.
Aku hanya seekor belut. Kemarin, aku tertangkap. Dibantai. Perutku dibedah. Seluruh isi dikeluarkan. Dicuci dan digarami. Pedih!
“Boleh saja kalian membantaiku, namun, aku akan tetap ada”.
Ayah bengong mendengar suara itu.
“Siapa yang berkata barusan?”
Ayah bertanya-tanya.
“Aku!”
“Siapa?”
“Aku, belut yang ada dalam ember!”
“Tak mungkin. Tak mungkin. Kau sudah mati!”
“Ya aku memang sudah mati. Tetapi cara hidupku, dan semua kepintaranku bermain dalam arus apapun, sudah menjelma kepada setiap manusia!”
“Manusia yang mana? Aku tidak!”
“Aku ada dalam tubuh para poitisi!”
“Lalu?”
“Para ekonom, bisnisman, preman, bisa para petinggi negara dan...”
“Blek..blek!..”
Sebuah benda keras kembali memukulku. Aku mengeliat.
“Kau pukul aku? Tak ada artinya. Sebab aku tetap seekor belut”
“Blek...blek!”, Kali ini Ayah memukul lebih keras.
Aku mati. Dan mungkin, aku hanya hidup dalam setiap watak setiap mahluk. Termasuk juga manusia. Keculasan, pintar berkelit, mencuri lendir pelicin, mudah kompromi, dengan setan sekalipun. Selagi itu menguntungkan aku. Kenapa? Sebab aku seekor belut. **
Angkatan45-Palembang, Januari 2001
Seekor belut. Kata orang, aku ini seperti ular. Badanku panjang. Bedanya, kalau ular, memiliki kulit yang bervariasi. Sedang aku, lebih didominasi oleh warna cokelat tua. Dan sisi paling bawah dari badanku agak kekuning-kuningan. Kepalaku seperti peluncur dalam permainan catur. Kata John, orang sebelahku, mahluk seperti aku sulit yang sulit dipegang, apalgi ditangkap. Bukan apa-apa. Sebab, sekujur tubuhku memang mengandung lendir yang sangat licin. Dengan lendir di sekujur tubuhku, aku bisa leluasa untuk berkelit. Memutar badan, ke kanan dan ke kiri. Atau memutar, sehingga aku bisa lepas dari jeratan apapun. Sehingga, tidak semua orang bisa menangkapku. Selihai seorang pawang binatang, mungkin, tidak akan semudah itu bisa menjeratku. Sekalipun, sesekali, aku ditangkap, lalu dibantai lalu digoreng.
Bahkan di Magelang atau di Yogyakarta, aku sudah menjadi komoditi non migas. Dijual di berbagai toko. Dibungkus sedemikian rupa. Lalu ditempel dengan harga bersaing. Tetapi, sekali lagi. Aku tetap saja seekor belut.
Sampai kini, aku juga masih menjadi belut. Tak tahu persisnya, kapan aku mulai berada di Indonesia. Konon, aku berasal dari negeri cina. Bahkan, menurut teman-temanku, di negeri Tionghoa ini, aku dibudidayakan. Diternakkan, dan diperjual belikan. Hingga akhirnya, aku sampai di Indonesia. Di negeri Pancasila ini, aku ditumbuh kembangkan di wilayah Yogyakarta, Magelang dan sekitarnya. Di dua kota ini, aku kemudian berkembang di setiap kawasan sawah. Bagi para pembajak sawah, akan selalu bertemu dengan aku. Dan pada malam hari, tidak jarang, para warga sekitar, sering mencari dan memburuku untuk lauk di meja makan. Kata, salah satu pakar belut, aku ini punya gizi tinggi. Sekalipun, aku masih kalah dengan gizi sapi atau ayam.
Di dua kota ini, aku sudah masuk di super market atau pasar swalayan. Kadang aku dibuat keripik, atau semacam peyek. Dan tidak jarang, aku juga banyak dijumpai di hotel-hotel kawasan Yogyakarta dan Magelang. Bahkan, aku kini sudah menjadi komoditi ekspor non migas. Tetapi, di kota lain, seperti Palembang. Aku justeru menjadi mahluk yang kurang digemari. Sebab, pamorku masih kalah dengan ikan seluang, Betok, ataupun ikan Patin. Tetapi, kurang gemarnya warga palembang untuk menjadikanku sebagai bahan tambahan ekonomi Sumsel, tidak membuatku merasa terusir dari Palembang. Teman-teman sebangsaku di air dan di lumpur, cukup toleran dengan kehadiranku. Kami tak kenal pembedaan perlakuan. Kalau pun harus bertengkar, itu hanya sebagai warna hidup dalam komunitas kami.
Aku hanya seekor belut. Aku hidup dalam ketergantungan cuaca. Pada musim hujan tiba, aku sering muncul di pojok-pojok selokan. Atau muncul di permukaan sawah. Bahkan tak jarang, aku muncul juga di bawah rumah panggung yang permukaanya lembab. Hadirnya aku di bawah kolong, kadang-kadang menjadi incaran para mahasiswa yang kebetulan kost, tempat aku bersembuyi. Kalau senja menjelang, para mahasiswa mengintai rumahku, lalu memasukkan kail penjerat. Untuk kemudian, aku akan dijadikan lauk pada malam harinya. Katanya sih, untuk membantu tambahan gizi. Paginya, aku sudah berubah menjadi tinja, setelah sebelumnya, aku harus bercampur aduk dengan segala makanan di perut. Tetapi, aku masih saja seekor belut, yang hanya bisa hidup di tempat-tempat basah atau sedikit lembab, mengandung air. Kalau musim kemarau tiba, aku segera membenamkan diri ke dalam perut bumi. Menyembunyikan diri, sambil menunggu musim hujan tiba. Hanya sesekali aku keluar ke permukaan. Ya, hanya sekedar membantu pernapasan, demi kelangsungan hidup di dalam tanah. Tapi celakanya, aku juga tidak jarang tertangkap oleh para pencaribelut. Sebab, di kawasan Magelang, paling tidak satu Minggu sekali, apalagi jika purnama tiba. Banyak para pencari ikan yang kemudian mengalihkan buruan. Siapa lagi kalau bukan aku yang menjadi sasaran. Tersiksa memang, tetapi itulah caraku untuk mentaati hukum alam. Karena Tuhan telah menciptakanku menjadi belut. Seperti juga kambing punya cara sendiri untuk mentaati titah Tuhan. Setiap hari raya Kurban, setiap kambing harus bersedia untuk dipotong, sebagai bentuk kedekatan manusia pada Sang Pencipta.
Aku masih tetap seekor belut. Aku hidup seperti mahluk yang lain. Tetapi, aku tak pernah menjalani perkawinan seperti hewan lain, kecuali bekicot, atau hewan sejenisku. Kapan saja, dimana saja, aku bisa saja melakukan persenggamaan. Tak perlu harus menunggu lawan jenis untuk mendekatiku--lalu melakukan persenggamaan, seperti halnya manusia. Aku adalah hewan hermaprodit. Memiliki dua kelamin. Jadi, aku tak mesti susah-susah jika aku sedang menginginkan naluri kebinatanganku. Bagiku, hubungan badan bukan semata-mata hanya untuk mengumbar naluri hewani. Namun, bagiku, persenggemaan kewajiban. Dan ini adalah fitrah setiap mahluk hidup. Secara simbolis, Tuhan telah menciptaku dengan dua kelamin. Itu artinya, kami juga tidak kenal dengan perzinaan. Hanya manusia saja yang kadang-kadang tidak bisa menahan ekor kebinatangannya, lalu tanpa sadar, manusia sering meniru-niru caraku, atau tidak jarang mereka juga memposisikan sebagai binatang hermaprodit. Melakukan persenggamaan dengan dirinya sendiri. Ah, dasar manusia!
Aku hanya seekor belut. Sulit ditangkap. Pintar berkelit. Jika aku dalam jeratan, aku akan mengecilkan badan. Ini adalah caraku untuk lepas dari dekapan. Diatas wajan penggorengan pun, aku masih menggeliat. Aku memang pintar mencari celah untuk berlari dari ranjau. Setiap ada rencana penagkapan, akan kugunakan segala cara, untuk lepas dari perangkap. Bahkan diatas wajan penggorengan pun, aku masih mencoba menggeliat, untuk melompat dari panasnya minyak dan bara api. Memang, ini adalah pekerjaan sia-sia. Tetapi, selagi ada kemampuan untuk berlari, aku akan terus berkelit, berputar, mengecilkan badan, membelit atau juga menggigit. Kecuali, jika Tuhan sudah memintaku untuk kembali.
Aku hanya seekor belut. Bisa dikata, aku juga hewan yang mudah kompromi. Dalam air, aku bisa renang, dalam arus besar sekalipun. Apalagi dalam riak-riak yang kecil. Dalam setiap cara aku bisa bermain. Tetapi, tidak pada setiap cuaca aku bisa hidup. Sebab, sekali lagi, aku hanya hewan yang hidup di tempat yang basah. Jadinya, aku tak pernah bermain di tempat yang kering. Aku tahu, cuaca kemarau yang kering, hanya akan melemahkanku, atau bisa juga akan membunuhku. Makanya, aku memilih tempat yang basah, ya paling tidak pada tempat yang lembab, supaya aku tetap bisa survive.
Aku hanya seekor belut. Aku bisa bermain culas. Bis lebih culas dari seekor Kancil. Aku juga bisa menipu. Bisa lebih pintar dari labi-labi atau kura-kura yang sering menipu menjadi batu. Aku licin. Lebih licin dari ular, ikan, lintah atau pacet. Dalam setiap gerakan tipu, aku sulit terperangkap oleh jeratan. Sebab, aku pintar bermain. Bisa berteman dengan semua jenis ikan sungai. Kalau sudah terpojok, aku juga sering menggunting dalam lipatan, demi kelangsungan hidup di komunitasku. Itulah aku, yang kini tetap menjadi belut.
Aku hanya seekor belut. Kemarin, aku tertangkap. Dibantai. Perutku dibedah. Seluruh isi dikeluarkan. Dicuci dan digarami. Pedih!
“Boleh saja kalian membantaiku, namun, aku akan tetap ada”.
Ayah bengong mendengar suara itu.
“Siapa yang berkata barusan?”
Ayah bertanya-tanya.
“Aku!”
“Siapa?”
“Aku, belut yang ada dalam ember!”
“Tak mungkin. Tak mungkin. Kau sudah mati!”
“Ya aku memang sudah mati. Tetapi cara hidupku, dan semua kepintaranku bermain dalam arus apapun, sudah menjelma kepada setiap manusia!”
“Manusia yang mana? Aku tidak!”
“Aku ada dalam tubuh para poitisi!”
“Lalu?”
“Para ekonom, bisnisman, preman, bisa para petinggi negara dan...”
“Blek..blek!..”
Sebuah benda keras kembali memukulku. Aku mengeliat.
“Kau pukul aku? Tak ada artinya. Sebab aku tetap seekor belut”
“Blek...blek!”, Kali ini Ayah memukul lebih keras.
Aku mati. Dan mungkin, aku hanya hidup dalam setiap watak setiap mahluk. Termasuk juga manusia. Keculasan, pintar berkelit, mencuri lendir pelicin, mudah kompromi, dengan setan sekalipun. Selagi itu menguntungkan aku. Kenapa? Sebab aku seekor belut. **
Angkatan45-Palembang, Januari 2001
Nyanyian Hutan Perawan
Cerpen Imron Supriyadi
Pagi menjelang fajar aku sudah berkemas. Jaket, parang, pisau pinggang, minyak, lampu, korek, botol minum, dan sedikit singkong rebus sudah masuk kedalam ransel. Kuputuskan, pagi itu, aku harus pergi ke hutan. Aku tidak bisa terus menerus hidup dalam perkampungan yang pengab. Suhu udara, suhu politik dan suhu kebudayaan di kampungku tak bisa membuatku tenang lagi. Aku harus pergi!
"Pagi-pagi buta seperti ini kau akan pergi?", Tanya Non, yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku.
Er masih pakai telekung. Ia sepertinya baru saja pulang dari surau. Non adalah salah satu perempuanku dari golongan ningrat yang gagal kunikahi lantaran dulu aku tak mampu membeli kain songket dan membayar maskawin.
"Lebih cepat lebih baik. Sebab sebentar lagi orang kampung akan segera berhambur keluar. Dan aku tak mau dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh mereka. Kujelaskan sedetil apapun, mereka juga tidak akan tahu, kenapa aku harus pergi ke hutan".
Non, masih terpaku.
"Tetaplah hidup dengan suamimu di sini. Tak ada gunanya kau melarangku pergi".
"Lalu bagaimana dengan aku?", sebuah suara muncul dari arah belakang. Tiba-tiba saja Hay muncul menyela pembicaraan aku dan Non.
Hay, adalah perempuan keduaku, yang belum sempat kunikahi, lantaran sampai tahun ini orang tuanya masih bersikeras untuk menyuap seorang pegawai kabupaten agar Hay menjadi PNS. Makanya, aku tetap bertahan untuk menolak menikah, sampai Hay mengharamkan suap.
"Kau tidak sendirian disini, Hay. Banyak orang yang akan melindungimu. Semua akan menjagamu".
"Apa keputusanmu sudah bulat, Nak?", Ibuku ikut muncul tak mau ketingalan melepas kepergianku.
Ibuku, adalah perempuan yang kuangungkan di alam raya ini. Tanpa darah, keringat dan air mata ibu, aku takkan lahir. "Ini sudah menjadi tekadku Bu," jawabku dengan suara lebih pelan dan--aku mendengarnya sendiri-- tak terlalu meyakinkan seperti kepada Non dan Hay.
"Tapi, hutan bukan duniamu?".
"Tidak Hay, semua milik Tuhan. Dan kita berhak hidup dimana kita suka. Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi Bupati, Walikota dan Gubernur".
"Kalau hanya itu alasanmu, kenapa kau mesti ke hutan? Apa ini bukanlah sikap kerdilmu, untuk menghindar dari kekalahan?"
"Cukup Hay! Biarkan aku pergi. Jangan seperti orang kampung ini, yang tak mau lagi peduli, bagaimana menempuh perjalanan panjang untuk perubahan".
Ketiga perempuan itu hanya terpaku.
"Bu, dan kepada kalian berdua, Hay dan Non, aku pergi. Fajar akan segera tiba. Dan katakan pada ayah, akau akan kembali".
Tepat jam lima pagi, aku sudah keluar dari dusun. Aku tidak akan pusing lagi dengan sapaan basa-basi dari orang-orang dusun. Kalau aku terus berjalan, berarti pada sore nanti, aku sudah sampai di hutan, tempat aku akan bercengkerama dengan alam.
Matahari mulai memancar dari ujung timur. Embun yang menempel di dedaunan perlahan mengering. Berapa butir peluh sudah membasahi tubuhku. Entah berapa kali, aku harus menyeka keringat yang mengalir dari pinggir kening.
Sesaat, aku harus berhenti untuk turun minum. Pada sebuah lereng aku berhenti. Beberapa potong singkong rebus sudah masuk dalam perut. Beberapa teguk air, sudah berhasil mengusir rasa haus yang beberapa jam tertahan.
Aku terus melangkah. Tak sesiapa yang kutemui. Sesekali, hanya ocehan burung yang terdengar samar.
Seekor Elang terlihat sedang mengejar induk Pipit. "Wush!", Elang berhasil menyambar burung induk Pipit. Tak ada perlawanan, karena Pipit hanya sendirian. Dan Elang pun melenggang puas. Sementara, beberapa ekor Pipit di sarangnya, pasti masih menunggu induknya pulang membawa makanan. Anak-anak Pipit itu tidak tahu mereka telah kehilangan induknya lantaran seekor Elang, yang lebih kuat sedang ingin memangsa mahluk yang lemah.
Ada keprihatinan yang tiba-tiba melintas. Serangan Elang terhadap induk burung pipit, tak ubahnya seperti kenyataan hidup di kampungku.
Aku ingat Mang Likin, seorang abang becak di kampungku, yang masuk rumah sakit karena dikeroyok lima oknum polisi. Perkaranya sepele, karena becaknya tidak memiliki SIM yang diatur Perda Nomor 39 Tahun 2002. Mang Likin rupanya sudah ditegur beberapa kali tapi tetap tak juga mengurus SIM. Pada suatu malam naas, oknum polisi yang merasa dikerjain Mang Likin itu lepas kendali dan memanggil empat temannya untuk memberi pelajaran versi mereka kepada Mang Likin. Begitulah cerita Pak Lurah kepada istri dan anak Mang Likin.
Dan belum sempat sembuh total dari sakitnya, surat tagihan rumah sakit dan denda lima juta rupiah harus ditanggung Mang Likin. Karena tak mampu, terpaksa Mang Likin menebus dengan penjara 3 bulan. Istri dan kedua anaknya, kini harus mencari hidup sendiri, sambil menunggu Mang Likin bebas dari penjara. Kelima polisi yang mengeoroyok Mang Likin masih kulihat lalu lalang seperti biasa di pos polisi.
Aku kembali melangkah. Matahari sudah ada diatas kepala.
Berarti, setengah hari lagi, aku akan segera sampai. Aku akan temukan ketenangan disana. Crus! Crus! Beberapa kali, aku harus memangkas ranting-ranting pohon. Aku percepat langkahku, saat di lembah lereng, mataku menatap aliran sungai. Aku makin bergegas untuk membasahi badan, bayang-bayang kesegaran memanggilku buru-buru.
Belum lagi aku sempat mencelupkan tangan ke dalam sungai, kulihat seekor buaya melintas. Aku melompat. Aku tidak ingin mati konyol hanya gara-gara buaya. Aku berhenti di tengah sungai, menyamar menjadi balok kayu. Lama aku duduk di tepi sungai menunggu buaya itu pergi. Tapi, aku merasa matahari sudah bergerak sedikit ke arah Barat dan buaya itu tetap disitu.
Menjelang maghrib, sekelompok rusa muncul dari semak-semak. Mereka bergerombol. Sepertinya mereka hendak minum ke sungai. Aku masih menatap ke arah buaya, yang masih pura-pura diam di tengah sungai. Ratusan rusa yang tak tahu kalau buaya sedang menunggu mangsa.
Byur! Pyak! Pyak! Slep!, gerakan cepat buaya tak diduga oleh rusa. Seekor rusa disantap oleh buaya. Ratusan rusa lainnya lari menjauh dari sungai dan diam berdiri menyaksikan seekor teman mereka dimangsa buaya. Tak ada perlawanan.
Lagi, sebuah kesewenang-wenangan penguasa air memunculkan ketakutan kepada rusa dan juga aku yang ikut terpaku.
Aku terkenang Mak Ijah, tukang jual sayur di pajak sore dekat terminal. Dia menjual kangkung dan tomat dari hasil kebun di halaman belakangnya, jadi bukan kelas pedagang sayur yang punya modal untuk sewa kios. Anaknya lima, dua sudah putus sekolah setamat SD dan yang sulung jadi kenek angkutan kota sedang yang nomor dua kerja tukang parkir di Rumah Pemotongan Hewan. Tiga lagi, waktu itu sekitar satu tahun lalu, masih sekolah.
Suatu hari Mak Ijah, yang jualan di atas selembar tikar ditabrak Toyota Land Cruiser yang membanting stir ke kiri karena ada motor yang nyelonong dari arah depan. Mak Ijah terserempet badan mobil bagian belakang dan kakinya patah. Satu bulan Mak Ijah tak bisa kerja menunggu kakinya pulih dan supir Toyota Land Cruiser ngotot tidak mau mengganti uang pengobatan atau uang ganti rugi karena Mak Ijah jualan di bagian jalan raya, bukan di kaki lima.
Polisi membenarkan supir itu -aku dengar-dengar karena supir merasa lebih untung menyogok 100 ribu kepada polisi daripada membayar uang pengobatan dan ganti rugi sebesar 500 ribu.
Setelah Mak Ijah sembuh, dia tak bisa lagi jualan sayur karena halaman belakangnya sudah dijual untuk pengobatan dan biaya hidup selama tidak bekerja. Sekarang ketiga anak Mak Ijah putus sekolah dan membantunya mengangkati beras di pasar.
Aku lihat langit yang mulai malam dan wajah ketiga anak Mak Ijah meliuk-liuk di antara bintang. Tak terasa malam mulai menjelang. Suara binatang sahut-sahutan terdengar. Sementara, mataku sudah berat setelah seharian berjalan tanpa memejamkan mata sedetikpun. Rasa kantuk tak tertahan. Aku terlelap.
Sebuah auman Singa membangunkanku dari tidur. Aku cepat-cepat beringkas. Jangan-jangan, Singa sudah mengintaiku. Aku masuk berlindung ke dalam semak-semak dan mengintip.
Auww! Gludug! Gludug! Auwww! Aku lihat seekor singa tiba-tiba berguling-guling.
Kedua kakinya seperti mengorek-ngorek telinganya. Beberapa kali, Singa itu terguling-guling. Ada sesuatu yang sepertinya sedang ditahan dalam telinganya. Singa itu terguling-guling terus sekian lama tak jauh dari tempatku bersembunyi.
Lambat laun ia melemah dan terguling tanpa daya. Sesaat kemudian, Singa itu tak bergerak lagi dan burung-burung pemangsa bangkai sudah mengitarinya. Aku lempar sepotong kayu ke Singa itu dan tetap tidak ada gerakan. Aku coba mendekat perlahan-lahan. Singa itu masih tetap tak bergerak. Aku makin berani mendekat dan kulihat sebuah luka menganga di lehernya.
Di dalam telinganya jutaan semut merah sedang berpestapora, seakan sedang merayakan kemenangan. Semut dan burung pemakan bangkai saling berbagi. Raja hutan ini menjadi santapan burung pemakan bangkai setelah dikeroyok jutaan semut merah.
Aku korek-korek benak kenanganku, mencari-cari apakah aku pernah menyaksikannya yang seperti ini di dunia manusia. Sempat terlintas peristiwa Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, tapi cepat-cepat aku buang jauh-jauh kenangan itu. Aku ragu apakah memang ribuan mahasiswa memang berhasil menjatuhkan seorang raja lalim atau hanya menganti raja lalim yang satu dengan raja lalim yang lain. Entahlah.
Gelap masih menyelubung dan aku duduk tak jauh dari burung bangkai yang bersantap malam. Aku mengenang kembali Mang Likin yang dikeroyok lima polisi, Mak Ijah dan tiga anaknya yang mengangkat beras di pasar, burung Pipit yang disambar Elang, dan rusa yang dimangsa buaya. Aku juga mengenang semut-semut merah di kuping Singa, dan juga di kampungku.
Sinar matahari pagi mulai menyebar di ufuk Timur dan aku beranjak pulang dengan kaki ringan. Rasa lelah tadi malam hilang begitu saja dimakan semangat untuk mengabarkan kepada orang-orang di kampungku tentang semut-semut merah yang perkasa.
Selepas magrib aku memasuki rumahku diam-diam dan ketiga perempuanku terhentak, seperti melihatku bangkit dari liang kubur. Aku melempar senyum bahagia kepada mereka.
"Ibu, Non dan Kau Hay, sampaikan kepada semua perempuan di kampung ini untuk tidak pernah berhenti melawan kesewenangan. Kita lemah jika berdiri sendirian tapi kokoh jika bersatu."
"Tapi kita perlu pemimpin," potong ibuku.
"Ini," Kataku menunjuk perut Hay yang sebentar lagi melahirkan seorang bayi. “Dari janin-janin yang bersih inilah, kita akan mencapai perubahan," kataku amat yakin. "Aku mau keliling kampung," Tambahku memutus keterpanaan mereka.
Di benakku terlintas istri Mang Likin di rumahnya berlantai tanah yang sempit, Mak Ijah yang mengumpulkan tumpahan beras di pasar untuk makan malamnya, dan semut-semut kampung lainnya.
Pulang keliling kampung, kutemui tiga perempuanku berdzikir. Aku berjinjit perlahan-lahan, mendengar keinginan ibu agar aku segera menikah. Keyakinanku akan semut-semut merah yang perkasa jadi berkurang sedikit, tapi aku sudah terlalu lelah dan menyelinap ke kamar tidur.
***
Jl. Demang Lebar Daun - Palembang, 26 Mei 2003
Pagi menjelang fajar aku sudah berkemas. Jaket, parang, pisau pinggang, minyak, lampu, korek, botol minum, dan sedikit singkong rebus sudah masuk kedalam ransel. Kuputuskan, pagi itu, aku harus pergi ke hutan. Aku tidak bisa terus menerus hidup dalam perkampungan yang pengab. Suhu udara, suhu politik dan suhu kebudayaan di kampungku tak bisa membuatku tenang lagi. Aku harus pergi!
"Pagi-pagi buta seperti ini kau akan pergi?", Tanya Non, yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku.
Er masih pakai telekung. Ia sepertinya baru saja pulang dari surau. Non adalah salah satu perempuanku dari golongan ningrat yang gagal kunikahi lantaran dulu aku tak mampu membeli kain songket dan membayar maskawin.
"Lebih cepat lebih baik. Sebab sebentar lagi orang kampung akan segera berhambur keluar. Dan aku tak mau dipusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh mereka. Kujelaskan sedetil apapun, mereka juga tidak akan tahu, kenapa aku harus pergi ke hutan".
Non, masih terpaku.
"Tetaplah hidup dengan suamimu di sini. Tak ada gunanya kau melarangku pergi".
"Lalu bagaimana dengan aku?", sebuah suara muncul dari arah belakang. Tiba-tiba saja Hay muncul menyela pembicaraan aku dan Non.
Hay, adalah perempuan keduaku, yang belum sempat kunikahi, lantaran sampai tahun ini orang tuanya masih bersikeras untuk menyuap seorang pegawai kabupaten agar Hay menjadi PNS. Makanya, aku tetap bertahan untuk menolak menikah, sampai Hay mengharamkan suap.
"Kau tidak sendirian disini, Hay. Banyak orang yang akan melindungimu. Semua akan menjagamu".
"Apa keputusanmu sudah bulat, Nak?", Ibuku ikut muncul tak mau ketingalan melepas kepergianku.
Ibuku, adalah perempuan yang kuangungkan di alam raya ini. Tanpa darah, keringat dan air mata ibu, aku takkan lahir. "Ini sudah menjadi tekadku Bu," jawabku dengan suara lebih pelan dan--aku mendengarnya sendiri-- tak terlalu meyakinkan seperti kepada Non dan Hay.
"Tapi, hutan bukan duniamu?".
"Tidak Hay, semua milik Tuhan. Dan kita berhak hidup dimana kita suka. Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi Bupati, Walikota dan Gubernur".
"Kalau hanya itu alasanmu, kenapa kau mesti ke hutan? Apa ini bukanlah sikap kerdilmu, untuk menghindar dari kekalahan?"
"Cukup Hay! Biarkan aku pergi. Jangan seperti orang kampung ini, yang tak mau lagi peduli, bagaimana menempuh perjalanan panjang untuk perubahan".
Ketiga perempuan itu hanya terpaku.
"Bu, dan kepada kalian berdua, Hay dan Non, aku pergi. Fajar akan segera tiba. Dan katakan pada ayah, akau akan kembali".
Tepat jam lima pagi, aku sudah keluar dari dusun. Aku tidak akan pusing lagi dengan sapaan basa-basi dari orang-orang dusun. Kalau aku terus berjalan, berarti pada sore nanti, aku sudah sampai di hutan, tempat aku akan bercengkerama dengan alam.
Matahari mulai memancar dari ujung timur. Embun yang menempel di dedaunan perlahan mengering. Berapa butir peluh sudah membasahi tubuhku. Entah berapa kali, aku harus menyeka keringat yang mengalir dari pinggir kening.
Sesaat, aku harus berhenti untuk turun minum. Pada sebuah lereng aku berhenti. Beberapa potong singkong rebus sudah masuk dalam perut. Beberapa teguk air, sudah berhasil mengusir rasa haus yang beberapa jam tertahan.
Aku terus melangkah. Tak sesiapa yang kutemui. Sesekali, hanya ocehan burung yang terdengar samar.
Seekor Elang terlihat sedang mengejar induk Pipit. "Wush!", Elang berhasil menyambar burung induk Pipit. Tak ada perlawanan, karena Pipit hanya sendirian. Dan Elang pun melenggang puas. Sementara, beberapa ekor Pipit di sarangnya, pasti masih menunggu induknya pulang membawa makanan. Anak-anak Pipit itu tidak tahu mereka telah kehilangan induknya lantaran seekor Elang, yang lebih kuat sedang ingin memangsa mahluk yang lemah.
Ada keprihatinan yang tiba-tiba melintas. Serangan Elang terhadap induk burung pipit, tak ubahnya seperti kenyataan hidup di kampungku.
Aku ingat Mang Likin, seorang abang becak di kampungku, yang masuk rumah sakit karena dikeroyok lima oknum polisi. Perkaranya sepele, karena becaknya tidak memiliki SIM yang diatur Perda Nomor 39 Tahun 2002. Mang Likin rupanya sudah ditegur beberapa kali tapi tetap tak juga mengurus SIM. Pada suatu malam naas, oknum polisi yang merasa dikerjain Mang Likin itu lepas kendali dan memanggil empat temannya untuk memberi pelajaran versi mereka kepada Mang Likin. Begitulah cerita Pak Lurah kepada istri dan anak Mang Likin.
Dan belum sempat sembuh total dari sakitnya, surat tagihan rumah sakit dan denda lima juta rupiah harus ditanggung Mang Likin. Karena tak mampu, terpaksa Mang Likin menebus dengan penjara 3 bulan. Istri dan kedua anaknya, kini harus mencari hidup sendiri, sambil menunggu Mang Likin bebas dari penjara. Kelima polisi yang mengeoroyok Mang Likin masih kulihat lalu lalang seperti biasa di pos polisi.
Aku kembali melangkah. Matahari sudah ada diatas kepala.
Berarti, setengah hari lagi, aku akan segera sampai. Aku akan temukan ketenangan disana. Crus! Crus! Beberapa kali, aku harus memangkas ranting-ranting pohon. Aku percepat langkahku, saat di lembah lereng, mataku menatap aliran sungai. Aku makin bergegas untuk membasahi badan, bayang-bayang kesegaran memanggilku buru-buru.
Belum lagi aku sempat mencelupkan tangan ke dalam sungai, kulihat seekor buaya melintas. Aku melompat. Aku tidak ingin mati konyol hanya gara-gara buaya. Aku berhenti di tengah sungai, menyamar menjadi balok kayu. Lama aku duduk di tepi sungai menunggu buaya itu pergi. Tapi, aku merasa matahari sudah bergerak sedikit ke arah Barat dan buaya itu tetap disitu.
Menjelang maghrib, sekelompok rusa muncul dari semak-semak. Mereka bergerombol. Sepertinya mereka hendak minum ke sungai. Aku masih menatap ke arah buaya, yang masih pura-pura diam di tengah sungai. Ratusan rusa yang tak tahu kalau buaya sedang menunggu mangsa.
Byur! Pyak! Pyak! Slep!, gerakan cepat buaya tak diduga oleh rusa. Seekor rusa disantap oleh buaya. Ratusan rusa lainnya lari menjauh dari sungai dan diam berdiri menyaksikan seekor teman mereka dimangsa buaya. Tak ada perlawanan.
Lagi, sebuah kesewenang-wenangan penguasa air memunculkan ketakutan kepada rusa dan juga aku yang ikut terpaku.
Aku terkenang Mak Ijah, tukang jual sayur di pajak sore dekat terminal. Dia menjual kangkung dan tomat dari hasil kebun di halaman belakangnya, jadi bukan kelas pedagang sayur yang punya modal untuk sewa kios. Anaknya lima, dua sudah putus sekolah setamat SD dan yang sulung jadi kenek angkutan kota sedang yang nomor dua kerja tukang parkir di Rumah Pemotongan Hewan. Tiga lagi, waktu itu sekitar satu tahun lalu, masih sekolah.
Suatu hari Mak Ijah, yang jualan di atas selembar tikar ditabrak Toyota Land Cruiser yang membanting stir ke kiri karena ada motor yang nyelonong dari arah depan. Mak Ijah terserempet badan mobil bagian belakang dan kakinya patah. Satu bulan Mak Ijah tak bisa kerja menunggu kakinya pulih dan supir Toyota Land Cruiser ngotot tidak mau mengganti uang pengobatan atau uang ganti rugi karena Mak Ijah jualan di bagian jalan raya, bukan di kaki lima.
Polisi membenarkan supir itu -aku dengar-dengar karena supir merasa lebih untung menyogok 100 ribu kepada polisi daripada membayar uang pengobatan dan ganti rugi sebesar 500 ribu.
Setelah Mak Ijah sembuh, dia tak bisa lagi jualan sayur karena halaman belakangnya sudah dijual untuk pengobatan dan biaya hidup selama tidak bekerja. Sekarang ketiga anak Mak Ijah putus sekolah dan membantunya mengangkati beras di pasar.
Aku lihat langit yang mulai malam dan wajah ketiga anak Mak Ijah meliuk-liuk di antara bintang. Tak terasa malam mulai menjelang. Suara binatang sahut-sahutan terdengar. Sementara, mataku sudah berat setelah seharian berjalan tanpa memejamkan mata sedetikpun. Rasa kantuk tak tertahan. Aku terlelap.
Sebuah auman Singa membangunkanku dari tidur. Aku cepat-cepat beringkas. Jangan-jangan, Singa sudah mengintaiku. Aku masuk berlindung ke dalam semak-semak dan mengintip.
Auww! Gludug! Gludug! Auwww! Aku lihat seekor singa tiba-tiba berguling-guling.
Kedua kakinya seperti mengorek-ngorek telinganya. Beberapa kali, Singa itu terguling-guling. Ada sesuatu yang sepertinya sedang ditahan dalam telinganya. Singa itu terguling-guling terus sekian lama tak jauh dari tempatku bersembunyi.
Lambat laun ia melemah dan terguling tanpa daya. Sesaat kemudian, Singa itu tak bergerak lagi dan burung-burung pemangsa bangkai sudah mengitarinya. Aku lempar sepotong kayu ke Singa itu dan tetap tidak ada gerakan. Aku coba mendekat perlahan-lahan. Singa itu masih tetap tak bergerak. Aku makin berani mendekat dan kulihat sebuah luka menganga di lehernya.
Di dalam telinganya jutaan semut merah sedang berpestapora, seakan sedang merayakan kemenangan. Semut dan burung pemakan bangkai saling berbagi. Raja hutan ini menjadi santapan burung pemakan bangkai setelah dikeroyok jutaan semut merah.
Aku korek-korek benak kenanganku, mencari-cari apakah aku pernah menyaksikannya yang seperti ini di dunia manusia. Sempat terlintas peristiwa Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, tapi cepat-cepat aku buang jauh-jauh kenangan itu. Aku ragu apakah memang ribuan mahasiswa memang berhasil menjatuhkan seorang raja lalim atau hanya menganti raja lalim yang satu dengan raja lalim yang lain. Entahlah.
Gelap masih menyelubung dan aku duduk tak jauh dari burung bangkai yang bersantap malam. Aku mengenang kembali Mang Likin yang dikeroyok lima polisi, Mak Ijah dan tiga anaknya yang mengangkat beras di pasar, burung Pipit yang disambar Elang, dan rusa yang dimangsa buaya. Aku juga mengenang semut-semut merah di kuping Singa, dan juga di kampungku.
Sinar matahari pagi mulai menyebar di ufuk Timur dan aku beranjak pulang dengan kaki ringan. Rasa lelah tadi malam hilang begitu saja dimakan semangat untuk mengabarkan kepada orang-orang di kampungku tentang semut-semut merah yang perkasa.
Selepas magrib aku memasuki rumahku diam-diam dan ketiga perempuanku terhentak, seperti melihatku bangkit dari liang kubur. Aku melempar senyum bahagia kepada mereka.
"Ibu, Non dan Kau Hay, sampaikan kepada semua perempuan di kampung ini untuk tidak pernah berhenti melawan kesewenangan. Kita lemah jika berdiri sendirian tapi kokoh jika bersatu."
"Tapi kita perlu pemimpin," potong ibuku.
"Ini," Kataku menunjuk perut Hay yang sebentar lagi melahirkan seorang bayi. “Dari janin-janin yang bersih inilah, kita akan mencapai perubahan," kataku amat yakin. "Aku mau keliling kampung," Tambahku memutus keterpanaan mereka.
Di benakku terlintas istri Mang Likin di rumahnya berlantai tanah yang sempit, Mak Ijah yang mengumpulkan tumpahan beras di pasar untuk makan malamnya, dan semut-semut kampung lainnya.
Pulang keliling kampung, kutemui tiga perempuanku berdzikir. Aku berjinjit perlahan-lahan, mendengar keinginan ibu agar aku segera menikah. Keyakinanku akan semut-semut merah yang perkasa jadi berkurang sedikit, tapi aku sudah terlalu lelah dan menyelinap ke kamar tidur.
***
Jl. Demang Lebar Daun - Palembang, 26 Mei 2003
Parodi Surat Pembaca
Cerpen Imron Supriyadi
Budi, salah seorang wartawan teman dekatku di Palembang, tiba-tiba uring-uringan. Dari wajahnya, sepertinya, kawanku itu benar-benar marah. Sekalipun gaya marah Budi memang tidak seperti marahnya seorang redaktur kepada Kepala Humas, yang lalai memberi amplop seusai jumpa pers.
Marahnya Budi biasanya terlihat biasa-biasa saja, sama seperti marah-marah sebelumnya. Semula, aku tidak mau tahu dengan sikap Budi. Aku tahu persis cara marah Budi. Paling-paling beberapa menit. Sudah itu sudah. Menit ini kesal, maka beberapa menit kemudian sudah kembali normal. Seperti marahnya orang yang antri di depan WC hanya lantaran kebelet buang air besar. Marahnya hanya ketika menahan ledakan bom isi perut saja. Setelah dapat giliran, maka sekeluarnya dari WC
pasti akan lebih ramah.
Tapi aku merasa marahnya Budi terasa agak lain. Biasanya dia marah meledak-ledak, mencaci-maki, membanting pintu, menghantam meja, tapi matanya tetap lembut mengalirkan kesegaran hidup. Kali ini sorot matanya memerah dan amat tajam menusuk ke ulu hati orang-orang, dan dia juga lebih banyak diam daripada mencaci-maki. Dia menutup pintu seperti biasa, dia menggeser kursi seperti seorang pembersih yang mau menyapu kolong meja, dia juga tak banyak cakap seperti biasanya. Terus aku sempat pula mendengar dia menyatakan ''aku sedang marah,'' dan bukannya mencaci maki sumber kemarahan.
Aku yakin ini marah serius, dan aku yakin dia bisa mencabik-cabik jantung dan hati si sumber kemarahan dengan matanya yang tajam dan liar itu. Jadi aku harus mencari tahu sumber kekesalan Budi -sekaligus mencegah sebuah pembunuhan dan mencegah Budi menghabiskan tahun-tahunnya di penjara. Mataku tertancap pada sebuah nama Budi di dalam kolom surat pembaca, lengkap dengan identitasnya. Dari gaya bahasanya, aku makin yakin komentar itu kiriman Budi, teman dekatku itu.
Aku tercenung heran. Gaya bahasa sebagus itu kok masuk dalam surat pembaca. Isinya pun bagus, menurutku. Ia menyimpulkan konflik politik antara DPR dan Presiden dengan menohok. "Era euphoria yang ditinggalkan kepemimpinan Habibie benar-benar cuma menjadi wajah dari praktek demokrasi jaman city-state orang-orang Yunani pada abad ke lima Sebelum Masehi. Bedanya orang Yunani berdebat untuk kepentingan rakyat, sedang di Indonesia, di abad 21, legislative dan eksekutif berdebat hanya untuk berdebat. Tak ada yang substantif, atau tepatnya asal omong keras…" begitulah salah satu paragrafnya. Aku bingung; masak sih Budi serendah itu menghargai tulisannya --yang cukup lumayan bagus-- jadi surat pembaca. Bukannya surat pembaca tak bernilai, tapi jelas motif surat pembaca lebih pribadi, sedangkan dalam tulisan Budi aku menangkap motif kepentingan demokratisasi, kepentingan khalayak umum.
Nggak mungkin, pikirku. "Atau jangan-jangan…," aku mulai menerka-nerka. Begitu aku ketemu, langsung aku tembak. "Tulisanmu bagus."
"Itulah, Coi, yang namanya taik kucing!", balasnya tanpa meledak-ledak. Sorot matanya yang memerah tajam ia lempar ke samping -tentu dia tidak mau membunuh seorang teman dekatnya.
Berhasil pancinganku. Berarti, surat pembaca itu yang menjadi sumber kemarahan Budi. Tapi kenapa mesti marah. Aku pancing lagi dia.
"Tulisan ini opini, bukan surat pembaca. Eh, tahunya dimuat jadi surat pembaca. Tai kucing nian!" Suaranya mulai naik satu oktaf, tapi mata yang merah dan tajam itu tetap tidak dia arahkan padaku. Artinya tidak ada masalah kalau aku teruskan penyelidikanku; dia tidak mungkin akan membunuhku dengan sorot matanya.
Aku lepaskan tawaku. "Ya kalau tulisanmu tidak laik jadi opini, sudah baguslah dimuat jadi surat pembaca!"
"Alaah, semua sudah tahu, Coi. Mana ada Surat pembaca sepanjang itu. Tulisanku itu ukuran opini, bukan surat pembaca! Lagi pula, di ujung kiri atas juga sudah jelas, aku tulis, Opini, bukan Surat pembaca. Masak sih, redakturnya nggak baca!"
"Ya, protes saja ke sana! Tanyakan, kenapa tulisanmu jadi surat pembaca".
Budi terdiam. Aku menangkap getaran rasa malu Budi pagi itu. Dia tampaknya merasa singkuh, tak enak hati, kalau sampai harus memprotes tulisannya. Aku bayangkan dia memprotes, berhasil, lantas pulang dari aksi protes dia dapat 35 ribu rupiah, sebagai honor tulisan opini, bukan surat pembaca yang gratisan. Dan Budi memang tidak sampai protes. Mungkin kalau dia protes, mukanya pasti digambar oleh redaktur opini seharga 35 ribu rupiah. Syukurlah Budi bukan wajah 35 ribu-an.
Tapi aku tahu soal itu masih mengganjalnya. Beberapa hari kemudian matanya masih merah dan masih tajam, walau tidak liar lagi. Dia tampak sudah sepenuhnya bisa mengendalikan sorot mata itu. Aku pun lebih berani mengganggunya, "Ada Departemen Komunikasi dan Informasi di kabinet baru, masa kau biarkan saja lewat. Tulislah."
"Ah nanti dijadikan pula iklan ucapan selamat atas Menteri Komunikasi dan Informasi," katanya sinis. Jadi masih ada yang mengganjal, cuma tak ada saluran.
Satu minggu kemudian, Budi bertemu dengan redaktur opini sumber masalah. Serunya, tak hanya si redaktur saja yang hadir, juga pemimpin redaksi. Acaranya seminar Kabinet Gotong Royong dan Kebebasan Pers. Semua petinggi pers, wartawan dan para kepala humas berserta antek-anteknya hadir lengkap. Dari awal aku langsung duduk menjauh dari Budi supaya bisa mengamatinya dengan cermat. Aku lihat dia gelisah terus, bukannya memperhatikan pembicara di depan. Dan ini membuat aku juga jadi tidak mendengar serius karena makin serius mengamati Budi.
Usai rehat kopi, Aku terus menguntit ulah Budi. Matanya masih merah dan tajam, tapi aku sudah amat yakin dia bisa mengendalikannya tanpa harus mencabik-cabik jantung dan hati si redaktur opini. Ia terus mengincar gerak-gerik redaktur.
Namanya redaktur tidak bermutu, begitulah kesanku, dia nempel terus sama pemimpin redaksi. Ini tipe redaktur tukang jilat. Acara seminar di luar kantor malah nempel sama pemimpin redaksi, bukannya ngobrol sama orang-orang lain. Akupun jadi agak paham kenapa opini Budi terdampar jadi surat pembaca.
Kebodohan akan selalu menghasilkan penjilatan dan kekeliruan, atau penjilatan dan kekeliruan akan selalu menghasilkan kebodohan. Yang manapun sama saja, dan si redaktur opini ini adalah salah satu bukti nyatanya, yang hidup, bernafas, dan berkeringat bau tengik.
Budi makin gelisah, karena si redaktur tak lepas dari pemimpin redaksi. Si redaktur bodoh itu --pengamatanku sudah membuat aku berani menyimpulkan dia memang bodoh dan tolol-- terus ngobrol dan tertawa lebar kalau pemimpin redaksinya tertawa. Tak ada kesan kalau redaktur menyadari kesalahan sedikitpun, sementara puluhan wartawan yang hadir di seminar itu sudah mendengar masalah Budi akibat kebodohan redaktur itu. "Ya, itu sama persis dengan monyet yang tidak bisa membedakan mana cermin dan mana loyang," kata seorang teman.
Bagaimanapun kesabaran ada batasnya, begitulah kata orang bijak, dan aku lihat Budi meranjak ke meja depan. Kemarahan sudah hampir meledak, matanya semakin membulat merah dan tetap tajam -seperti bola api yang mau terlontar dari ketapel. Dengan gerakan halus aku mendekat juga sambil membawa salah satu makalah. Aku duduk tak terlalu jauh, supaya bisa mendengar dialog mereka, namun tidak terlalu dekat supaya tidak kentara. Ini ilmu spion Melayu jaman Orde Lama, tapi ternyata masih mujarab juga karena Budi, redaktur bodoh penjilat, dan pemimpin redaksi tampaknya tak merasakan pengamatanku.
"Oi, kamu Bud?" Sapa sang redaktur dengan wajah tanpa dosa -orang-orang bodoh yang selalu merasa naïf tapi tolol.
"Ya siapa lagi, memang aku," Budi menanggapi dingin.
"Bagus tulisanmu yang minggu lalu itu," tukas sang redaktur memuji.
Aku angkat kepalaku dari makalah yang sedang pura-pura kubaca dan terlihat seluruh permukaan wajah Budi merah menahan loncatan aliran darahnya naik ke kepala mau meledak. Budi makin marah, aku yakin.
"Sorry, aku harus potong tulisanmu, makanya aku jadikan saja surat pembaca, bukan opini."
"Tapi gaya dan kualitasnya masih opini, atau kalau mau dibuat surat pembaca, minta ijin dululah," kata Budi, jelas-jelas menantang. Aku tak tahu lagi apa yang sedang aku baca dan aku siap-siap melompat ke arah mereka untuk mencegah pembunuhan, persisnya untuk menyelamatkan masa depan seorang teman -aku tak keberatan si redaktur opini itu mati, tapi biarlah orang lain yang mencincangnya. Suara Budi benar-benar sudah matang untuk terjun ke medan perang sekalipun.
"Saya minta maaf, dik. Tulisanmu bukan masuk dalam artikel, tapi masuk di surat pembaca," pemimpin redaksi masuk menenangkan ketegangan.
Budi berkerut kening. Aku yakin mata Budi berkata 'Bodoh kali kau!'
"Sekali lagi, kami minta maaf, dik," kata pemimpin redaksi, tenang tapi otoritatif. Aku intip si redaktur sudah diam saja mengamini apa kata pemimpin redaksinya. Dasar bodoh, pikirku sambil merenggangkan kembali persiapanku untuk menarik Budi keluar dari insiden pembunuhan.
"Sebenarnya, tulisan itu sudah mau masuk ke opini...," kata si redaktur, tapi belum selesai ia sudah dipotong sama Pemimpin Redaksi.
"Bung Budi kan tahu, sejak beberapa harian ibukota cetak jarak jauh di Palembang, tiras kita menurun. Jadi perlu mengurangi pengeluaran dana operasional, makanya ada kebijakan untuk mengalihkan opini ke surat pembaca. Tulisan Bung Budi dimuat, tetapi dalam surat pembaca. Nggak apa-apa kan? Selama dimuatkan pesannya sampai kepada pembaca. Saya pikir, itu yang lebih esensial. Bukan begitu, Bung?"
Budi mengerutkan kening, tapi tetap dingin. ''Itu persoalan intern perusahaan anda, yang mungkin saya bisa mengerti jika sebelumnya dijelaskan. Persoalan sekarang ini adalah kesemena-menaan mengubah opini menjadi surat pembaca. Kalau sejak awal saya diberitahu, pasti saya akan menolak perubahan itu, dan itu hak saya, hak seorang penulis. Kalau anda bekerja di bidang pers, pertama-tama anda harus memahami hal itu atau lebih baik buka kompleks pelacuran saja.''
Di dalam hati aku acungkan keempat jempolku untuk Budi, sambil tersenyum ikut menikmati kemenangan Budi. Para pemimpin redaksi dan redaktur memang orang-orang yang perlu diberi pelajaran bahwa kekuasaan pada akhirnya di tangan penulis, bukan di tangan redaktur atau pemimpin redaksi. Kekuasaan bukan pada lembaran 35 ribu perak, tapi sepenuhnya berada pada sisi kreatifitas.
Di depan Budi, baik si redaktur bodoh dan pemimpin redaksi -yang terkena pukulan KO itu-- seperti tak ada harganya. Aku pikir tema seminar Kabinet Gotong Royong dan Kebebasan Pers sebaiknya diganti dengan Kekuasaan 35 Ribu Perak Atau Kemurnian Kreatifitas. Pembicara utama si pemimpin redaksi, dan penanggap utama Budi, lantas redaktur opini cukup jadi notulen -karena dia tak punya otak selain bebas buta huruf. Aku penyelanggaranya sajalah.
Kotbah Budi tentang hak penulis betul-betul menohok keduanya. Memang tak jelas apakah karena keduanya benar-benar sudah sadar akan kesalahan cara pandang mereka atau cuma sekedar takut sama Budi. Maklumlah Budi sudah tergolong wartawan senior, yang di atas kertas bisa mengguncang dengan berita-berita investigasinya. Dan pengaruh Budi bukan hanya lokal Palembang tapi juga nasional, karena dia sering jadi tempat bertanya dari para petinggi pers raksasa di Jakarta. Bahkan semua orang tahu ketika pegiat Article 19 dari London dan Human Rights Watch dari New York datang ke Palembang, Budilah orang pertama yang mereka temui untuk mengumpulkan pelor, sebelum menyerang habis para pejabat sipil dan militer dalam soal pengekangan pers dan intimidasi terhadap wartawan.
Wajar kalau aku meragukan apakah redaktur goblok dan pemimpin redaksi memang memakan bulat-bulat inti pernyataan Budi atau cuma karena sekedar takut. Aku intip keduanya terdiam persis seperti anak kelas tiga SD yang dimarahi Kepala Sekolah karena tertangkap basah mengintip WC anak perempuan. Takut, tapi sekaligus mengakui kesalahan dan juga menyadari kalau kesalahan mereka itu tergolong hina. Si redaktur takut dicopot dari jabatannya, si pemimpin redaksi
takut kalau setoran bulanan dari pengelola judi toto gelap diungkap Budi. Bisa jadi persoalan perut semata, bukan persoalan idealisme --yang aku yakin menurut mereka tidak mengenyangkan selain bikin hidup jadi amat rumit. Makanya milih amplop saja, celutuk si redaktur mantap suatu saat ketika pernah aku lihat berbagi amplop dengan reporternya di balik pintu kamar mandi.
"Sekarang begini saja. Bapak Budi menulis lagi saja. Dan kami berjanji, akan
memuatnya di kolom artikel. Saya menjamin. Sedang yang sudah sempat termuat
jadi surat pembaca, kita anggap kesalahan tehnis saja. Itu kita anggap opini
dan usai seminar kita ke kantor bersama-sama menyelesaikannya,'' kata pemimpin
redaksi --yang biasa disuap-- mau menyuap. Aku terkekeh-kekeh di dalam hati dan
tak sabaran memanggil Bapak Budi begitu nanti bertemu dengan Budi selepas
adegan spektakuler ini. Budi diam saja, berbalik meninggalkan keduanya.
Aku putuskan untuk melepas pengamatan atas Bapak Budi, tapi tetap menempel redaktur dan Pemimpin Redaksi. Tanpa malu-malu lagi aku pakai gaya intel jaman Orde Baru yang provokatif, duduk persis di samping mereka berdua. Kotbah Budi tadi membuat aku sepertinya sudah siap juga melabrak mereka, mungkin aku akan memilih tema Pengaruh Toto Gelap Terhadap Pemberitaan. Sekali saja mereka menyapaku -entah itu cuma sekedar selamat siang-- maka aku akan keluarkan kotbahku, yang aku yakin tak kalah meyakinkan dengan kotbah Budi tadi. Tapi keduanya diam membatu sampai seminar selesai.
"Kemana tadi Pak Budi,'' tanya si pemimpn redaksi celingak-celinguk seusai seminar. Sementara aku masih menunggu sapaan mereka untuk melancarkan kotbahku, yang sudah semakin matang karena aku pikirkan sepanjang seminar.
"Mungkin Budi langsung ke kantor Pak, menyelesaikan honor surat pembaca kemarin.'' Si redaktur ini memang betul-betul otak amplop dan cara pandang 35 ribu perak dianggapnya benar-benar ampuh untuk Budi.
Pemimpin Redaksi hanya manggut-manggut, nggak jelas antara mengerti atau tidak. Ia tampaknya kecewa juga, karena kalau surat pembaca masih dibayar, apa gunanya mengalihkan opini ke surat pembaca. Keduanya langsung meluncur ke kantor, mengharap bertemu Budi dan semua persoalan selesai hari itu juga.
Tapi mendekati kantor keduanya terkejut. Ratusan orang berteriak-teriak di depan kantor mereka, memajang spanduk protes. Salah satunya bertuliskan Aliansi Penulis Surat Pembaca Untuk Keadilan. Ratusan pengunjuk rasa adalah penulis surat pembaca. Mereka mau menuntut honor tulisan surat pembaca mereka, yang sudah beberapa kali dimuat.
"Surat pembaca tidak ada yang dibayar. Semuanya bohong!" kata salah seorang pegawai koran untuk meredam amarah massa.
"Bohoooooong!" teriak pengujuk rasa.
"Buktinya, ada kawan kami yang dibayar. Maka kami juga minta bayar. Kalau tidak, maka kami juga akan mengirim surat pembaca lagi!" pekik seorang pengunjuk rasa yang membawa pengeras suara. Ternyata, para pengunjuk rasa mendengar sebuah berita radio yang menyatakan setiap karya tulis harus mendapat
penghargaan sepantasnya, termasuk surat pembaca. Pemimpin Redaksi dan si Redaktur kaget setengah mati. Selama tiga hari, keduanya dirawat di ICU, setelah serangan stroke akibat insiden surat pembaca. Tiga hari kemudian, setelah kedua tangan cukup kuat memencet keyboard komputer, keduanya membuat surat pembaca ke korannya sendiri.
Berhubung redaktur pengganti masih belum ditunjuk, maka redaktrur opini –yang bodoh dan penjilat tadi-memuat surat pembaca mereka sebagai opini, lengkap dengan foto mereka berdua berjas lengkap. Isinya --paling tidak menurutku dan menurut Budi yang sudah pulih kembali sambil terseyum-semyum-- jelas tidak laik opini. "Menteri Kesehatan perlu mengupayakan penegakkan keadilan dan demokrasi di rumah sakit berkaitan dengan daripada sejumlah kamar mandi di rumah sakit yang sepatutnya mendapat perhatian kita bersama-sama untuk pembenahan yang lebih baik mengingat dampak daripada penyebaran bau air seni yang sejauh ini sudah memenuhi seluruh ruangan kamar mandi yang bersangkutan ,'' begitulah tulis pemimpin redaksi. "Cuma bau kencing di toilet saja diributkan si tikus kapitalis busuk itu,'' celutuk Budi.
Sedang si redaktur menulis tentang soal tagihan rumah sakit, yang tidak kena pajak pendapatan tapi kena potongan 4 persen karena pakai kartu kredit. "Tiga hari nggak masuk kerja, setorannya dimakan anak buahnya,'' perkiraan Budi.
Semua wartawan mentertawakan opini yang bergaya surat pembaca itu. Ada juga pembaca yang mengirim surat pembaca mengomentari inflasi opini tadi tapi tidak dimuat, bukan karena tak ada ruang atau takut menyinggung redaktur dan pemimpin redaksi, tapi sekedar menghemat honor surat pembaca.
Tapi Koran itu sendiri masih saja terbit. Tirasnya tetap seperti biasa, iklan juga begitu. Setoran bulanan dari pengelola judi toto gelap, aku dengar-dengar, masih juga berjalan seperti biasa.
Budi sendiri sudah mengirim tulisan ke koran itu, dan semuanya masuk opini walau ada satu opini yang aku yakin seyakin-yakinnya kalau opini itu sebenarnya cerpen. Tapi Budi tidak marah. Matanya tidak merah menajam, juga tidak liar.
Dia tidak pula mengeluarkan sumpah serapah, atau mencaci maki. Budi tetap tenang --walau sedikit dingin-- waktu aku tanya. "Ah sudahlah redaktur bodoh itu memang tidak mengerti apa-apa. Nggak usah diperdulikan lagi. Yang penting dimuat, pesannya sampai" kata Budi, matanya tetap menatap ke halaman Koran yang sedang ia baca, tak diangkat ke arahku. Aku kaget.
Esoknya aku tahu kalau di koran itu --tak perlulah aku sebut namanya—honor cerpen 25 perak, sedangkan opini 35 ribu perak. Oh ya, surat pembaca sudah dihargai 10 ribu perak.
***
Demang Lebar Daun, 3 Agustus 2001-2002
Budi, salah seorang wartawan teman dekatku di Palembang, tiba-tiba uring-uringan. Dari wajahnya, sepertinya, kawanku itu benar-benar marah. Sekalipun gaya marah Budi memang tidak seperti marahnya seorang redaktur kepada Kepala Humas, yang lalai memberi amplop seusai jumpa pers.
Marahnya Budi biasanya terlihat biasa-biasa saja, sama seperti marah-marah sebelumnya. Semula, aku tidak mau tahu dengan sikap Budi. Aku tahu persis cara marah Budi. Paling-paling beberapa menit. Sudah itu sudah. Menit ini kesal, maka beberapa menit kemudian sudah kembali normal. Seperti marahnya orang yang antri di depan WC hanya lantaran kebelet buang air besar. Marahnya hanya ketika menahan ledakan bom isi perut saja. Setelah dapat giliran, maka sekeluarnya dari WC
pasti akan lebih ramah.
Tapi aku merasa marahnya Budi terasa agak lain. Biasanya dia marah meledak-ledak, mencaci-maki, membanting pintu, menghantam meja, tapi matanya tetap lembut mengalirkan kesegaran hidup. Kali ini sorot matanya memerah dan amat tajam menusuk ke ulu hati orang-orang, dan dia juga lebih banyak diam daripada mencaci-maki. Dia menutup pintu seperti biasa, dia menggeser kursi seperti seorang pembersih yang mau menyapu kolong meja, dia juga tak banyak cakap seperti biasanya. Terus aku sempat pula mendengar dia menyatakan ''aku sedang marah,'' dan bukannya mencaci maki sumber kemarahan.
Aku yakin ini marah serius, dan aku yakin dia bisa mencabik-cabik jantung dan hati si sumber kemarahan dengan matanya yang tajam dan liar itu. Jadi aku harus mencari tahu sumber kekesalan Budi -sekaligus mencegah sebuah pembunuhan dan mencegah Budi menghabiskan tahun-tahunnya di penjara. Mataku tertancap pada sebuah nama Budi di dalam kolom surat pembaca, lengkap dengan identitasnya. Dari gaya bahasanya, aku makin yakin komentar itu kiriman Budi, teman dekatku itu.
Aku tercenung heran. Gaya bahasa sebagus itu kok masuk dalam surat pembaca. Isinya pun bagus, menurutku. Ia menyimpulkan konflik politik antara DPR dan Presiden dengan menohok. "Era euphoria yang ditinggalkan kepemimpinan Habibie benar-benar cuma menjadi wajah dari praktek demokrasi jaman city-state orang-orang Yunani pada abad ke lima Sebelum Masehi. Bedanya orang Yunani berdebat untuk kepentingan rakyat, sedang di Indonesia, di abad 21, legislative dan eksekutif berdebat hanya untuk berdebat. Tak ada yang substantif, atau tepatnya asal omong keras…" begitulah salah satu paragrafnya. Aku bingung; masak sih Budi serendah itu menghargai tulisannya --yang cukup lumayan bagus-- jadi surat pembaca. Bukannya surat pembaca tak bernilai, tapi jelas motif surat pembaca lebih pribadi, sedangkan dalam tulisan Budi aku menangkap motif kepentingan demokratisasi, kepentingan khalayak umum.
Nggak mungkin, pikirku. "Atau jangan-jangan…," aku mulai menerka-nerka. Begitu aku ketemu, langsung aku tembak. "Tulisanmu bagus."
"Itulah, Coi, yang namanya taik kucing!", balasnya tanpa meledak-ledak. Sorot matanya yang memerah tajam ia lempar ke samping -tentu dia tidak mau membunuh seorang teman dekatnya.
Berhasil pancinganku. Berarti, surat pembaca itu yang menjadi sumber kemarahan Budi. Tapi kenapa mesti marah. Aku pancing lagi dia.
"Tulisan ini opini, bukan surat pembaca. Eh, tahunya dimuat jadi surat pembaca. Tai kucing nian!" Suaranya mulai naik satu oktaf, tapi mata yang merah dan tajam itu tetap tidak dia arahkan padaku. Artinya tidak ada masalah kalau aku teruskan penyelidikanku; dia tidak mungkin akan membunuhku dengan sorot matanya.
Aku lepaskan tawaku. "Ya kalau tulisanmu tidak laik jadi opini, sudah baguslah dimuat jadi surat pembaca!"
"Alaah, semua sudah tahu, Coi. Mana ada Surat pembaca sepanjang itu. Tulisanku itu ukuran opini, bukan surat pembaca! Lagi pula, di ujung kiri atas juga sudah jelas, aku tulis, Opini, bukan Surat pembaca. Masak sih, redakturnya nggak baca!"
"Ya, protes saja ke sana! Tanyakan, kenapa tulisanmu jadi surat pembaca".
Budi terdiam. Aku menangkap getaran rasa malu Budi pagi itu. Dia tampaknya merasa singkuh, tak enak hati, kalau sampai harus memprotes tulisannya. Aku bayangkan dia memprotes, berhasil, lantas pulang dari aksi protes dia dapat 35 ribu rupiah, sebagai honor tulisan opini, bukan surat pembaca yang gratisan. Dan Budi memang tidak sampai protes. Mungkin kalau dia protes, mukanya pasti digambar oleh redaktur opini seharga 35 ribu rupiah. Syukurlah Budi bukan wajah 35 ribu-an.
Tapi aku tahu soal itu masih mengganjalnya. Beberapa hari kemudian matanya masih merah dan masih tajam, walau tidak liar lagi. Dia tampak sudah sepenuhnya bisa mengendalikan sorot mata itu. Aku pun lebih berani mengganggunya, "Ada Departemen Komunikasi dan Informasi di kabinet baru, masa kau biarkan saja lewat. Tulislah."
"Ah nanti dijadikan pula iklan ucapan selamat atas Menteri Komunikasi dan Informasi," katanya sinis. Jadi masih ada yang mengganjal, cuma tak ada saluran.
Satu minggu kemudian, Budi bertemu dengan redaktur opini sumber masalah. Serunya, tak hanya si redaktur saja yang hadir, juga pemimpin redaksi. Acaranya seminar Kabinet Gotong Royong dan Kebebasan Pers. Semua petinggi pers, wartawan dan para kepala humas berserta antek-anteknya hadir lengkap. Dari awal aku langsung duduk menjauh dari Budi supaya bisa mengamatinya dengan cermat. Aku lihat dia gelisah terus, bukannya memperhatikan pembicara di depan. Dan ini membuat aku juga jadi tidak mendengar serius karena makin serius mengamati Budi.
Usai rehat kopi, Aku terus menguntit ulah Budi. Matanya masih merah dan tajam, tapi aku sudah amat yakin dia bisa mengendalikannya tanpa harus mencabik-cabik jantung dan hati si redaktur opini. Ia terus mengincar gerak-gerik redaktur.
Namanya redaktur tidak bermutu, begitulah kesanku, dia nempel terus sama pemimpin redaksi. Ini tipe redaktur tukang jilat. Acara seminar di luar kantor malah nempel sama pemimpin redaksi, bukannya ngobrol sama orang-orang lain. Akupun jadi agak paham kenapa opini Budi terdampar jadi surat pembaca.
Kebodohan akan selalu menghasilkan penjilatan dan kekeliruan, atau penjilatan dan kekeliruan akan selalu menghasilkan kebodohan. Yang manapun sama saja, dan si redaktur opini ini adalah salah satu bukti nyatanya, yang hidup, bernafas, dan berkeringat bau tengik.
Budi makin gelisah, karena si redaktur tak lepas dari pemimpin redaksi. Si redaktur bodoh itu --pengamatanku sudah membuat aku berani menyimpulkan dia memang bodoh dan tolol-- terus ngobrol dan tertawa lebar kalau pemimpin redaksinya tertawa. Tak ada kesan kalau redaktur menyadari kesalahan sedikitpun, sementara puluhan wartawan yang hadir di seminar itu sudah mendengar masalah Budi akibat kebodohan redaktur itu. "Ya, itu sama persis dengan monyet yang tidak bisa membedakan mana cermin dan mana loyang," kata seorang teman.
Bagaimanapun kesabaran ada batasnya, begitulah kata orang bijak, dan aku lihat Budi meranjak ke meja depan. Kemarahan sudah hampir meledak, matanya semakin membulat merah dan tetap tajam -seperti bola api yang mau terlontar dari ketapel. Dengan gerakan halus aku mendekat juga sambil membawa salah satu makalah. Aku duduk tak terlalu jauh, supaya bisa mendengar dialog mereka, namun tidak terlalu dekat supaya tidak kentara. Ini ilmu spion Melayu jaman Orde Lama, tapi ternyata masih mujarab juga karena Budi, redaktur bodoh penjilat, dan pemimpin redaksi tampaknya tak merasakan pengamatanku.
"Oi, kamu Bud?" Sapa sang redaktur dengan wajah tanpa dosa -orang-orang bodoh yang selalu merasa naïf tapi tolol.
"Ya siapa lagi, memang aku," Budi menanggapi dingin.
"Bagus tulisanmu yang minggu lalu itu," tukas sang redaktur memuji.
Aku angkat kepalaku dari makalah yang sedang pura-pura kubaca dan terlihat seluruh permukaan wajah Budi merah menahan loncatan aliran darahnya naik ke kepala mau meledak. Budi makin marah, aku yakin.
"Sorry, aku harus potong tulisanmu, makanya aku jadikan saja surat pembaca, bukan opini."
"Tapi gaya dan kualitasnya masih opini, atau kalau mau dibuat surat pembaca, minta ijin dululah," kata Budi, jelas-jelas menantang. Aku tak tahu lagi apa yang sedang aku baca dan aku siap-siap melompat ke arah mereka untuk mencegah pembunuhan, persisnya untuk menyelamatkan masa depan seorang teman -aku tak keberatan si redaktur opini itu mati, tapi biarlah orang lain yang mencincangnya. Suara Budi benar-benar sudah matang untuk terjun ke medan perang sekalipun.
"Saya minta maaf, dik. Tulisanmu bukan masuk dalam artikel, tapi masuk di surat pembaca," pemimpin redaksi masuk menenangkan ketegangan.
Budi berkerut kening. Aku yakin mata Budi berkata 'Bodoh kali kau!'
"Sekali lagi, kami minta maaf, dik," kata pemimpin redaksi, tenang tapi otoritatif. Aku intip si redaktur sudah diam saja mengamini apa kata pemimpin redaksinya. Dasar bodoh, pikirku sambil merenggangkan kembali persiapanku untuk menarik Budi keluar dari insiden pembunuhan.
"Sebenarnya, tulisan itu sudah mau masuk ke opini...," kata si redaktur, tapi belum selesai ia sudah dipotong sama Pemimpin Redaksi.
"Bung Budi kan tahu, sejak beberapa harian ibukota cetak jarak jauh di Palembang, tiras kita menurun. Jadi perlu mengurangi pengeluaran dana operasional, makanya ada kebijakan untuk mengalihkan opini ke surat pembaca. Tulisan Bung Budi dimuat, tetapi dalam surat pembaca. Nggak apa-apa kan? Selama dimuatkan pesannya sampai kepada pembaca. Saya pikir, itu yang lebih esensial. Bukan begitu, Bung?"
Budi mengerutkan kening, tapi tetap dingin. ''Itu persoalan intern perusahaan anda, yang mungkin saya bisa mengerti jika sebelumnya dijelaskan. Persoalan sekarang ini adalah kesemena-menaan mengubah opini menjadi surat pembaca. Kalau sejak awal saya diberitahu, pasti saya akan menolak perubahan itu, dan itu hak saya, hak seorang penulis. Kalau anda bekerja di bidang pers, pertama-tama anda harus memahami hal itu atau lebih baik buka kompleks pelacuran saja.''
Di dalam hati aku acungkan keempat jempolku untuk Budi, sambil tersenyum ikut menikmati kemenangan Budi. Para pemimpin redaksi dan redaktur memang orang-orang yang perlu diberi pelajaran bahwa kekuasaan pada akhirnya di tangan penulis, bukan di tangan redaktur atau pemimpin redaksi. Kekuasaan bukan pada lembaran 35 ribu perak, tapi sepenuhnya berada pada sisi kreatifitas.
Di depan Budi, baik si redaktur bodoh dan pemimpin redaksi -yang terkena pukulan KO itu-- seperti tak ada harganya. Aku pikir tema seminar Kabinet Gotong Royong dan Kebebasan Pers sebaiknya diganti dengan Kekuasaan 35 Ribu Perak Atau Kemurnian Kreatifitas. Pembicara utama si pemimpin redaksi, dan penanggap utama Budi, lantas redaktur opini cukup jadi notulen -karena dia tak punya otak selain bebas buta huruf. Aku penyelanggaranya sajalah.
Kotbah Budi tentang hak penulis betul-betul menohok keduanya. Memang tak jelas apakah karena keduanya benar-benar sudah sadar akan kesalahan cara pandang mereka atau cuma sekedar takut sama Budi. Maklumlah Budi sudah tergolong wartawan senior, yang di atas kertas bisa mengguncang dengan berita-berita investigasinya. Dan pengaruh Budi bukan hanya lokal Palembang tapi juga nasional, karena dia sering jadi tempat bertanya dari para petinggi pers raksasa di Jakarta. Bahkan semua orang tahu ketika pegiat Article 19 dari London dan Human Rights Watch dari New York datang ke Palembang, Budilah orang pertama yang mereka temui untuk mengumpulkan pelor, sebelum menyerang habis para pejabat sipil dan militer dalam soal pengekangan pers dan intimidasi terhadap wartawan.
Wajar kalau aku meragukan apakah redaktur goblok dan pemimpin redaksi memang memakan bulat-bulat inti pernyataan Budi atau cuma karena sekedar takut. Aku intip keduanya terdiam persis seperti anak kelas tiga SD yang dimarahi Kepala Sekolah karena tertangkap basah mengintip WC anak perempuan. Takut, tapi sekaligus mengakui kesalahan dan juga menyadari kalau kesalahan mereka itu tergolong hina. Si redaktur takut dicopot dari jabatannya, si pemimpin redaksi
takut kalau setoran bulanan dari pengelola judi toto gelap diungkap Budi. Bisa jadi persoalan perut semata, bukan persoalan idealisme --yang aku yakin menurut mereka tidak mengenyangkan selain bikin hidup jadi amat rumit. Makanya milih amplop saja, celutuk si redaktur mantap suatu saat ketika pernah aku lihat berbagi amplop dengan reporternya di balik pintu kamar mandi.
"Sekarang begini saja. Bapak Budi menulis lagi saja. Dan kami berjanji, akan
memuatnya di kolom artikel. Saya menjamin. Sedang yang sudah sempat termuat
jadi surat pembaca, kita anggap kesalahan tehnis saja. Itu kita anggap opini
dan usai seminar kita ke kantor bersama-sama menyelesaikannya,'' kata pemimpin
redaksi --yang biasa disuap-- mau menyuap. Aku terkekeh-kekeh di dalam hati dan
tak sabaran memanggil Bapak Budi begitu nanti bertemu dengan Budi selepas
adegan spektakuler ini. Budi diam saja, berbalik meninggalkan keduanya.
Aku putuskan untuk melepas pengamatan atas Bapak Budi, tapi tetap menempel redaktur dan Pemimpin Redaksi. Tanpa malu-malu lagi aku pakai gaya intel jaman Orde Baru yang provokatif, duduk persis di samping mereka berdua. Kotbah Budi tadi membuat aku sepertinya sudah siap juga melabrak mereka, mungkin aku akan memilih tema Pengaruh Toto Gelap Terhadap Pemberitaan. Sekali saja mereka menyapaku -entah itu cuma sekedar selamat siang-- maka aku akan keluarkan kotbahku, yang aku yakin tak kalah meyakinkan dengan kotbah Budi tadi. Tapi keduanya diam membatu sampai seminar selesai.
"Kemana tadi Pak Budi,'' tanya si pemimpn redaksi celingak-celinguk seusai seminar. Sementara aku masih menunggu sapaan mereka untuk melancarkan kotbahku, yang sudah semakin matang karena aku pikirkan sepanjang seminar.
"Mungkin Budi langsung ke kantor Pak, menyelesaikan honor surat pembaca kemarin.'' Si redaktur ini memang betul-betul otak amplop dan cara pandang 35 ribu perak dianggapnya benar-benar ampuh untuk Budi.
Pemimpin Redaksi hanya manggut-manggut, nggak jelas antara mengerti atau tidak. Ia tampaknya kecewa juga, karena kalau surat pembaca masih dibayar, apa gunanya mengalihkan opini ke surat pembaca. Keduanya langsung meluncur ke kantor, mengharap bertemu Budi dan semua persoalan selesai hari itu juga.
Tapi mendekati kantor keduanya terkejut. Ratusan orang berteriak-teriak di depan kantor mereka, memajang spanduk protes. Salah satunya bertuliskan Aliansi Penulis Surat Pembaca Untuk Keadilan. Ratusan pengunjuk rasa adalah penulis surat pembaca. Mereka mau menuntut honor tulisan surat pembaca mereka, yang sudah beberapa kali dimuat.
"Surat pembaca tidak ada yang dibayar. Semuanya bohong!" kata salah seorang pegawai koran untuk meredam amarah massa.
"Bohoooooong!" teriak pengujuk rasa.
"Buktinya, ada kawan kami yang dibayar. Maka kami juga minta bayar. Kalau tidak, maka kami juga akan mengirim surat pembaca lagi!" pekik seorang pengunjuk rasa yang membawa pengeras suara. Ternyata, para pengunjuk rasa mendengar sebuah berita radio yang menyatakan setiap karya tulis harus mendapat
penghargaan sepantasnya, termasuk surat pembaca. Pemimpin Redaksi dan si Redaktur kaget setengah mati. Selama tiga hari, keduanya dirawat di ICU, setelah serangan stroke akibat insiden surat pembaca. Tiga hari kemudian, setelah kedua tangan cukup kuat memencet keyboard komputer, keduanya membuat surat pembaca ke korannya sendiri.
Berhubung redaktur pengganti masih belum ditunjuk, maka redaktrur opini –yang bodoh dan penjilat tadi-memuat surat pembaca mereka sebagai opini, lengkap dengan foto mereka berdua berjas lengkap. Isinya --paling tidak menurutku dan menurut Budi yang sudah pulih kembali sambil terseyum-semyum-- jelas tidak laik opini. "Menteri Kesehatan perlu mengupayakan penegakkan keadilan dan demokrasi di rumah sakit berkaitan dengan daripada sejumlah kamar mandi di rumah sakit yang sepatutnya mendapat perhatian kita bersama-sama untuk pembenahan yang lebih baik mengingat dampak daripada penyebaran bau air seni yang sejauh ini sudah memenuhi seluruh ruangan kamar mandi yang bersangkutan ,'' begitulah tulis pemimpin redaksi. "Cuma bau kencing di toilet saja diributkan si tikus kapitalis busuk itu,'' celutuk Budi.
Sedang si redaktur menulis tentang soal tagihan rumah sakit, yang tidak kena pajak pendapatan tapi kena potongan 4 persen karena pakai kartu kredit. "Tiga hari nggak masuk kerja, setorannya dimakan anak buahnya,'' perkiraan Budi.
Semua wartawan mentertawakan opini yang bergaya surat pembaca itu. Ada juga pembaca yang mengirim surat pembaca mengomentari inflasi opini tadi tapi tidak dimuat, bukan karena tak ada ruang atau takut menyinggung redaktur dan pemimpin redaksi, tapi sekedar menghemat honor surat pembaca.
Tapi Koran itu sendiri masih saja terbit. Tirasnya tetap seperti biasa, iklan juga begitu. Setoran bulanan dari pengelola judi toto gelap, aku dengar-dengar, masih juga berjalan seperti biasa.
Budi sendiri sudah mengirim tulisan ke koran itu, dan semuanya masuk opini walau ada satu opini yang aku yakin seyakin-yakinnya kalau opini itu sebenarnya cerpen. Tapi Budi tidak marah. Matanya tidak merah menajam, juga tidak liar.
Dia tidak pula mengeluarkan sumpah serapah, atau mencaci maki. Budi tetap tenang --walau sedikit dingin-- waktu aku tanya. "Ah sudahlah redaktur bodoh itu memang tidak mengerti apa-apa. Nggak usah diperdulikan lagi. Yang penting dimuat, pesannya sampai" kata Budi, matanya tetap menatap ke halaman Koran yang sedang ia baca, tak diangkat ke arahku. Aku kaget.
Esoknya aku tahu kalau di koran itu --tak perlulah aku sebut namanya—honor cerpen 25 perak, sedangkan opini 35 ribu perak. Oh ya, surat pembaca sudah dihargai 10 ribu perak.
***
Demang Lebar Daun, 3 Agustus 2001-2002
Langganan:
Postingan (Atom)